Kedudukan Wanita di Dalam Islam

Kedudukan Wanita di Dalam Islam

 

Kedudukan Wanita di Dalam Islam

مكانة المرأة في الإسلام باللغة الإندونيسية

 

 

Abd Ar-Rahman As-Syiiha

 

Penerjemah

European Islamic Research Center (EIRC)

& Muhammed Fikri Aziz

 

www.islamland.com

 

 

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah, semoga shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, dan para sahabatnya, amma ba’du:

Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS Al Hujurat: 13).

Diantara kesalahan yang sangat fatal adalah menisbatkan kepada Islam sesuatu yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengannya, diantaranya adalah tuduhan bahwa Islam tidak menghormati dan memuliakan wanita, Islam juga mengurangi hak-hak para wanita, padahal Allah berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa: 19).

Allah juga berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar Rum: 21).

Banyak sekali tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak kaum wanita dan kebebasan mereka, juga tuntutan yang menyerukan kesetaraan antara kaum wanita dengan kaum pria, terkadang tuntutan tersebut kita dapati di masyarakat yang tidak berlaku adil kepada wanita, dan tidak memberikan hak-hak mereka secara sempurna. Adapun tuntutan yang ditujukan pada masyarakat Islami, yang telah memberikan para wanita hak-hak mereka dan kebebasan mereka sebelum mereka memintanya, dari sejak pertama kali Islam itu datang, dan menjadikan hak - hak wanita sebagai kewajiban syar’i yang tidak boleh ditawar -tawar, ini lah yang membuat aneh! Memang, terkadang kita dapati seorang muslim yang berlaku buruk kepada wanita, dan tidak memberikan mereka hak-haknya, kalaupun itu terjadi, maka hal itu karena mereka tidak berpegang teguh terhadap petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh agama Islam yang mulia.

Sesungguhnya para aktifis penyeru kebebasan wanita dan hak-hak mereka, seperti yang mereka katakan, tuntutan mereka berkisar pada tiga perkara:

  1. Tuntutan untuk memberikan kebebasan kepada para wanita.
  2. Kesetaraan gender, antara wanita dan pria.
  3. Tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak wanita.

 

Abd Ar-Rahman As-Syiiha

 

www.islamland.com

 

 

 

1- Tuntutan untuk memberikan kebebasan kepada para wanita.

 

Kalimat ”Kebebasan” menunjukkan adanya sesuatu yang terkekang yang butuh dilepaskan, sebenarnya penggunaan kalimat ini sangat keliru, karena mengesankan bahwa wanita selama ini hanya menjadi budak yang harus segera dibebaskan.

Sesungguhnya kebebasan yang mutlak adalah suatu hal yang mustahil didapatkan, karena hidup seluruh manusia pada dasarnya terikat, mereka memiliki kemampuan dan kekuasaan yang terbatas. Setiap manusia yang hidup di dunia, baik dia tinggal di kota maju atau di pelosok desa, pastilah ia terikat dengan undang-undang dan peraturan yang ditetapkan di tengah - tengah masyarakat mereka yang bertujuan untuk mengatur segala kehidupan mereka, lantas apakah berarti mereka dikatakan sebagai orang yang tidak memiliki kebebasan?

Kalau begitu, berarti kebebasan memiliki batasan tertentu, yang apabila batasan tersebut dilanggar maka akan muncullah kehidupan rimba yang tidak mengacu kepada peraturan apapun. Seorang professor, Henry Makow Pd.D (seorang cendikiawan amerika, peneliti dan spesialis masalah - masalah yang berkaitan dengan wanita) berkata:”Sesungguhnya kebebasan wanita adalah diantara tipu muslihat yang dimiliki oleh peraturan internasional yang baru, sebuah tipu muslihat yang berbahaya yang merusak para wanita amerika, dan mengahncurkan peradaban barat”[1].

Faktanya, agama Islam adalah agama pertama yang memberikan wanita kebebasan dalam bermu’amalah secara langsung bersama masyarakatnya, setelah sebelumnya seorang wanita tidak boleh melakukan apapun kecuali melalui perantara wali, atau orang yang diberikan kewenangan atasnya.

Adapun Islam tidaklah melarang wanita dari kebebasannya kecuali kebebasan yang merobek kesucian dan rasa malunya, kebebasan seperti ini pun dilarang bagi para laki-laki .

Sesungguhnya arti dari kebebasan dalam agama Islam adalah kebebasan yang dibatasi sabda Rasulullah :

مثل القائم على حدود الله الواقع فيها كمثل قوم استهموا على سفينة فأصاب بعضهم أعلاها وبعضهم أسفلها فكان الذين في أسفلها إذا استقوا من الماء مروا على من فوقهم فقالوا لو أنا خرقنا في نصيبنا خرقا ولم نؤذ من فوقنا فإن يتركوهم وما أرادوا هلكوا جميعا وإن أخذوا على أيديهم نجوا ونجوا جميعا

“Permisalan orang yang tegak berada di atas jalan Allah, dan orang yang melanggarnya layaknya suatu kaum yang saling berbagi diatas sebuah bahtera. Sebagian menempati bagian atas bahtera, sedangkan yang lain menempati bagian bawahnya. Orang - orang yang berada di bagian bawah bahtera, apabila mereka ingin mendapatkan air, mereka akan melewati orang - orang yang berada di atas mereka, lantas seseorang diantara mereka –yang berada di bawah– berkata: ‘Kalaulah kita buat lubang di bagian bawah kapal ini –yang merupakan bagian kita– , sehingga kita tidak perlu mengganggu orang yang berada di atas kita’, apabila kaum tersebut membiarkan orang itu dengan kemauannya-untuk membuat lubang–, niscaya mereka semua akan binasa, namun apabila mereka melarang orang-orang itu, maka orang-orang itu dan mereka semua akan selamat”. (HR Bukhari).

Inilah arti kebebasan dalam Islam, kebebasan yang berarti perilaku setiap orang harus dibatasi dengan batasan-batasan syariat, sehingga tidak mengakibatkan kemadhorotan baik bagi dirinya sendiri, ataupun orang lain.

Adapun yang seharusnya yang dituntut oleh para aktifis kewanitaan tadi adalah, peraturan yang paling baik, paling bermanfaat, dan paling menjaga kemuliaan para wanita dan masyarakat yang lainnya. Apakah itu peraturan yang ditetapkan oleh agama Islam, yang menganggap para wanita sebagai separuh jiwa laki-laki , dan saudari mereka, atau malah peraturan-peraturan buatan manusia, dan undang-undang internasional yang di belakangnya memiliki maksud dan tujuan tertentu, yang malah mencabik - cabik kehormatan mereka, menghalalkan yang haram, menghancurkan moral masyarakat, dan malah menjadi sarana penjajahan atas banyak negara?

 

2- Kesetaraan gender.

Tuntutan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal adalah sesuatu yang mustahil, mengingat perbedaan tabiat antara laki-laki dan perempuan, baik dari segi jasmani, akal, ataupun rohani.

Jikalau kesetaraan antara sesama jenis saja –baik antara sesama laki - laki, ataupun sesama perempuan– adalah suatu hal yang mustahil, karena banyaknya perbedaan antara satu orang dengan yang lainnya, maka bagaimana lagi jika berbeda jenisnya, Allah ta’ala berfirman:

وَمِنْ كُلِ شَيءٍ خَلَقْنَا زَوًجَيْنِ لَعَلَّكُمْ َتَذَكَرٌوْنْ

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS Ad Dzariyat: 49).

Hal itu karena Allah subhanahu wa ta’ala, ketika menciptakan manusia dalam dua macam (laki - laki dan perempuan), dalam bentuk yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang masing - masing melengkapi kekurangan yang ada pada diri yang lainnya secara bersamaan, kalau kita perhatikan bahwa manusia dicipatakan dalam dua macam tadi, maka sudah seharusnya kita katakan, bahwa manusia tidak mungkin diciptakan dua macam kecuali untuk dua tanggung jawab yang berbeda, kalau tanggung jawab mereka sama, niscaya Allah hanya akan menciptakan satu macam saja.

Diciptakannya manusia menjadi dua macam (laki-laki dan perempuan), menunjukkan bahwa setiap macam memiliki kekhususan tersendiri dari yang lainnya, walaupun mereka masih tetap sama-sama manusia.

Contoh yang lain misalnya siang dan malam, keduanya adalah bagian dari satu jenis yang dinamakan waktu, salah satunya diciptakan sebagai waktu untuk istirahat, yaitu malam, sedangkan yang lain diciptakan sebagai waktu untuk bekerja, yaitu siang.

Begitu juga dengan laki-laki dan perempuan, mereka adalah dua macam dari jenis yang sama yaitu manusia, mereka memiliki tanggung jawab yang sama sebagai manusia, dan disamping itu, laki-laki memiliki tanggung jawab tersendiri, begitu juga dengan perempuan yang memiliki tanggung jawab tersendiri pula. Maka bisa kita katakan, bahwa semuanya memiliki tanggung jawab yang sama sebagai manusia, dan tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan jenis masing-masing[2].

Dari sini kita pahami, bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala perkara adalah suatu hal yang mustahil, dan usaha untuk merealisasikannya adalah usaha yang sia - sia, karena hanya akan mengakibatkan berubahnya fitrah dan tabiat mereka, dan pada saat bersamaan, usaha tersebut hanya akan membuahkan penghinaan bagi para wanita, karena hal itu akan mengakibatkan keluarnya wanita dari budi pekerti yang telah Allah gariskan bagi mereka, dan akan berefek negatif bagi masyarakat mereka.

 

3- Tuntutan untuk memenuhi hak - hak wanita.

Tidak ada satu pun undang-undang atau peraturan, baik lama ataupun baru, yang menjaga hak-hak wanita, dan mengangkat derajat mereka sebagiamana yang telah dilakukan oleh agama Islam.

Dari sejak terbit cahaya Islam, dengan diutusnya Nabi Muhammad , dimana pengutusan beliau merupakan kejadian yang paling menakjubkan bagi orang - orang yang beriman kepadanya, dan orang-orang yang beriman setelah mereka, dakwah yang beliau sebarkan merupakan fenomena yang sangat menakjubkan dalam sejarah manusia.

Dakwah yang beliau galakkan merupakan fenomena yang sangat menakjubkan dalam banyak segi, baik dari segi cepat nya dakwah itu tersebar, kesempurnaan syariatnya, kedetailannya, dan kesesuaiannya dengan fitrah manusia, yang mana tidak terdapat sedikit pun kerancuan, keganjilan, ataupun pertentangan antara syariat yang beliau bawa dengan fitrah manusia yang lurus.

Dan diantara syariat yang dibawa oleh syariat tersebut adalah, pandangan yang berbeda dari syariat-syariat yang lainnya, berkaitan dengan wanita dan hak-hak mereka, yang saat ini menjadi topik pembahasan kita, penulis kitab”Peradaban Islam dan Arab” mengatakan:

“Keutamaan agama Islam bukan hanya sebatas mengangkat derajat para wanita saja, bahkan lebih dari itu, Islam merupaka agama pertama yang mengangkat derajat para wanita”[3].

Beliau juga mengatakan di tempat lain dari kitab yang sama, hal: 497:

“Hak-hak suami istri yang diterangkan oleh Alquran dan para ahli tafsir jauh lebih baik dari pada hak - hak suami istri yang diyakini oleh orang-orang eropa”.

Tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak wanita, seharusnya diserukan di tengah-tengah masyarakat yang merampas hak-hak wanita, atau masyarakat yang memberikan hak-hak wanita tanpa adanya batasan-batasan yang mengakibatkan banyak wanita terjerumus ke dalam jurang kehinaan, dan menjadikan mereka sebagai alat pemuas nafsu saja. Adapun dalam agama Islam, maka kita dapati Islam telah berlaku adil kepada para wanita, ia menjaga hak-hak mereka, memberikan kepada mereka hak-hak yang umum maupun khusus, yang dengannya seorang wanita bisa merasakan kebahagiaan dan keselamatan dalam mengerjakan tanggungjawab yang telah Allah berikan kepadanya.

 

 

 

Keadaan para wanita sepanjang sejarah:

Keadaan para wanita pada zaman Jahiliyah:

Wanita pada masa jahiliyah sebelum datangnya Islam, selalu menjadi objek penipuan, penganiayaan, dan kezaliman, hak-hak dan harta-harta mereka dirampas, bahkan mereka dianggap sebagai barang yang tak berguna, mereka tidak berhak mendapatkan harta warisan, karena menurut masyarakat jahiliyah, yang berhak mendapat warisan hanya lah orang-orang yang mampu menunggang kuda dan berperang, bahkan para wanita dijadikan harta warisan sepeninggalan suaminya, apabila suaminya memiliki anak dari wanita lain selain dirinya, maka anak tertua berhak mewarisi istri ayahnya layaknya harta warisan yang lain, dia tidak boleh keluar dari rumah anak itu sampai ia mampu menebus dirinya sendiri.

Seorang wanita dilarang rujuk kepada suaminya jika ia ditalak, dan suaminya memiliki kewenangan untuk berpoligami tanpa batas, seorang wanita tidak memiliki hak untuk memilih suami, ia pun tidak memiliki hak apapun atas suaminya.

Tidak ada peraturan yang melarang kezaliman yang dilakukan seorang suami atas istrinya, bahkan dahulu bangsa Arab tidak menyambut kelahiran anak perempuan, akan tetapi mereka malah menganggapnya sebagai kesialan dan musibah.

Apabila seorang mendapatkan anak perempuan, ia akan ditimpa rasa galau dan gelisah, saking besarnya kebencian mereka kepada anak perempuan, sampai-sampai mereka tega mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup.

Kebiasaan mengubur anak perempuan hidup-hidup adalah adat yang didapati di sebagian kabilah Arab, dan motif melakukannya pun berbeda-beda sesuai keadaan sosial kabilah setempat.

Ada yang mengubur anaknya hidup-hidup lantaran tak kuat menahan malu, ada pula yang mengubur anaknya hidup-hidup karena sang anak memiliki cacat fisik, Allah subhanahu wa ta’ala mensifati keadaan mereka dalam firmanNya:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ . يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup - hidup) ?. Ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS An Nahl: 58-59).

Diantara mereka juga ada yang mengubur anaknya hidup-hidup lantaran takut kemiskinan, sebagaimana yang telah dijelaskan Allah dalam alquran:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al Isra: 31).

Bahkan mereka dilarang menikmati hak - hak mereka sebagai manusia, karena orang-orang jahiliyah meyakini bahwa ada beberapa makanan yang hanya boleh dinikmati oleh laki-laki tanpa wanita, Allah ta’ala berfirman:

وَقَالُوا مَا فِي بُطُونِ هَذِهِ الْأَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِذُكُورِنَا وَمُحَرَّمٌ عَلَى أَزْوَاجِنَا

“Dan mereka mengatakan: ‘Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria Kami dan diharamkan atas wanita kami’.” (QS Al An’am: 139).

Mereka tidak memiliki sesuatu yang bisa mereka banggakan kecuali penjagaan para pria untuk mereka, juga balas dendam yang dilakukan kabilah mereka atas orang-orang yang menghina kedudukan mereka.

 

 

 

Keadaan wanita pada zaman Hindia kuno:

Tertulis dalam kitab ”Weda”, salah satu kitab suci yang di dalamnya terkandung pokok ajaran agama Hindu, perkara-perkara yang berkaitan dengan wanita, diantaranya sebagai berikut.

Syariat agama Hindu membedakan antara laki-laki dengan perempuan dalam segi nilai kemanusiaan dan seluruh hak mereka.

Agama Hindu tidak memberikan kewenangan bagi wanita dalam kehidupan sosial mereka, para wanita sepenuhnya berada dalam kekuasaan laki-laki di setiap tahapan kehidupan mereka.

Sebagai mana disebutkan dalam”Manusmrti” yang menegaskan bahwa seorang wanita tidak berhak melakukan sesuatu semaunya di setiap tahapan kehidupannya, walaupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan internal rumah tangganya. Ketika ia berada di masa anak-anak, seorang wanita mengikuti orang tuanya. Dan ketika sudah masuk masa remaja, seorang wanita mengikuti suaminya, apabila suaminya meninggal kekuasaan atas dirinya pindah ke paman-pamannya, kalau wanita itu tidak memiliki paman, maka kekuasaan atas dirinya diberikan kepada hakim. Sehingga wanita tidak memiliki hak kebebasan dan kekuasaan dalam mengerjakan apa yang mereka inginkan di setiap fase hidupnya[4].

Keadaan wanita di tengah masyarakat Hindu layaknya seorang budak wanita bagi suaminya, mereka tidak memiliki hak dan kekuasaan atas apa yang hendak mereka kerjakan, bahkan mereka terkadang dijadikan objek taruhan dalam perjudian[5].

Seorang wanita tidak boleh menikah lagi sepeninggalan suaminya, bahkan ia tidak berhak hidup setelah suaminya wafat, akan tetapi ia harus ikut mati bersama suaminya, dan dibakar bersama suaminya di satu pembakaran, sebagaimana yang dikatakan dalam buku - buku keagamaan mereka.

Disebutkan bahwa seorang wanita dianjurkan untuk melemparkan dirinya ke dalam kayu bakar yang telah disediakan untuk membakar suaminya yang telah meninggal.

Dahulu, apabila mayat sang suami telah diletakkan di atas kayu bakar, istrinya akan maju memakai penutup kepala, kemudian salah seorang pendeta agama hindu akan menyingkap penutup kepala itu, lalu mengambil setiap perhiasan yang ada pada diri sang wanita dan membagikannya kepada karib kerabatnya, dan melepas ikatan rambutnya, lalu pendeta tertinggi akan menggenggam tangan kanannya dan menuntunnya untuk mengitari tempat pembakaran suaminya tiga kali, kemudian wanita itu mendekat ke tempat pembakaran suaminya, lalu mengangkat kaki suaminya dan menaruhnya di pakaian sang wanita, hal itu untuk melambangkan ketundukan si wanita kepada suaminya, kemudian ia berpindah dan duduk di samping kepala suaminya, lalu meletakkan tangan kanannya di atas kepala suaminya, setelah itu mereka mulai membakar sang istri bersama mayat suaminya, dan berkeyakinan bahwa hal itu akan membuahkan kenikmatan bagi diri sang istri bersama suaminya, sehingga mereka berdua bisa tinggal di langit selama tiga puluh lima juta tahun… Dan melalui prosesi pembakaran tersebut sang istri juga mensucikan keluarga ibunya, keluarga ayahnya, dan keluarga suaminya, juga mensucikan suaminya dari segala dosa yang telah ia kerjakan… sang istri pun dianggap sebagai wanita paling suci, paling mulia dan memiliki nama baik yang paling indah.

Kebiasaan ini tersebar pesat di tengah masyarakat hindu, sampai- sampai mereka membakar sekitar 6000 wanita dalam kurun 10 tahun dari tahun 1815 M sampai tahun 1825 M, dan adat ini masih dilakukan sampai akhir abad ke 17, setelah itu adat ini ditiadakan atas paksaan dari beberapa pemuka agama Hindu[6].

Diantara bukti atas keterpurukan yang dirasakan oleh para wanita hindia saat itu adalah sebagai mana yang diterangkan dalam syariat-syariat Hindu yang mengatakan, bahwa garisan takdir, angin, kematian, neraka, racun, ular, dan api, itu semua tidak lebih buruk dari pada wanita[7].

Bahkan sebagian wanita dalam beberapa keadaan memiliki lebih dari seorang suami, sehingga keadaan dirinya persis seperti keadaan para pelacur[8].

 

Keadaan wanita pada zaman Cina kuno:

Keadaan wanita pada masa Cina kuno, sebagaimana yang dikatakan oleh penulis buku”The Story Of Civilization”[9], mereka berada di bawah kekuasaan laki-laki , mereka menghabiskan seluruh umurnya untuk patuh kepada laki-laki , mereka juga tidak mendapatkan hak-hak mereka, baik berupa harta ataupun kedudukan sosial, mereka tidak memiliki kekuasaan apapun, semua hak mereka dikuasai oleh para laki-laki .

Mereka juga tidak berhak mendapat pendidikan apapun, mereka hanya boleh berdiam diri di dalam rumah, mengabdi, bekerja, belajar menjahit dan belajar menggunakan alat-alat pekerjaan rumah lainnya.

Para wanita harus mencukur rambut mereka ketika mencapai usia 15 tahun, dan menikah di usia 20 tahun, ayahnya akan memilihkan pasangan baginya dengan perantara mak comblang.

Kelahiran wanita bagi masyarakat Cina kuno dianggap sebagai pembawa sial, W. Durrant mengatakan dalam bukunya”The Story Of Civilization”[10], bahwa para ayah setiap kali sembahyang memohon agar mereka mendapatkan anak laki-laki , pada saat itu, diantara sebab kehinaan bagi para ibu adalah apabila mereka tidak memiliki anak laki-laki , karena menurut mereka laki-laki lebih berguna dari pada wanita dalam mengerjakan pekerjaan di ladang, dan laki-laki memiliki hati yang lebih teguh ketika masuk ke medan pertempuran.

Para ayah juga menganggap anak wanita sebagai beban bagi mereka, karena mereka harus membesarkannya, dan bersabar atas itu semua, lalu setelah itu mereka kirim anak-anak wanitanya ke rumah - rumah suami mereka.

Bahkan mereka memiliki kebiasan membunuh anak-anak wanita, apabila sebuah keluarga dikaruniai anak perempuan, namun mereka merasa anak perempuan yang mereka miliki sudah cukup, dan saat itu bertepatan dengan masa peceklik, mereka akan meninggalkan anak perempuan mereka di ladang, hingga anak itu mati karena dinginnya malam, atau karena hewan-hewan buas, tanpa ada rasa iba sedikit pun dalam hati anggota keluarga tersebut.

Pribahasa Cina kuno juga mengatakan:”Diamlah di hadapan istrimu, dan jangan kau percayai dia”[11].

 

Keadaan wanita pada masa Romawi kuno:

Penulis buku”The Story Of Civilization” mengatakan:

“Mereka tidak menginginkan kelahiran anak perempuan, bahkan mereka memiliki adat yang membolehkan seorang ayah yang dikaruniai anak yang cacat, atau anak perempuan untuk membiarkan anaknya mati, sebaliknya mereka sangat berharap sekali mendapatkan anak laki-laki ”[12].

Kedudukan wanita di tengah masyarakat romawi sangatlah kerdil, mereka tidak memiliki hak atas diri mereka sendiri, mereka berada di bawah kekuasaan laki-laki yang mengarahkan mereka seenaknya, semua kekuasaan berada di tangan laki-laki saja.

Laki - laki memiliki kekuasaan mutlak atas anggota keluarga mereka, sampai-sampai mereka berhak untuk menghukum mati istrinya sendiri karena beberapa tuduhan, mereka juga berhak untuk menjual, mengusir, atau membunuh istri-istri dari anak-anak mereka atau cucu-cucu mereka[13].

Tugas seorang wanita hanyalah mendengar, patuh, dan melaksanakan apa yang diperintahkan, mereka tidak boleh menentang, dan mereka tidak boleh menuntut hak waris, karena harta warisan hanya diberikan kepada anak tertua.

Bahkan lebih dari itu semua, mereka membolehkan laki-laki untuk memasukkan siapapun untuk menjadi anggota keluarganya, dan mengeluarkan siapapun dari anggota keluarganya dengan cara dijual[14].

 

Keadaan wanita pada masa Yunani kuno:

Keadaan wanita pada masa Yunani kuno tidak lebih beruntung jika dibandingkan keadaan mereka pada masa - masa sebelumnya, bahkan mereka sangatlah hina, sampai-sampai mereka bisa dijadikan sebagai objek pinjaman. Troy Long mengatakan:”Wanita yang subur, diambil dari suaminya sebagai pinjaman, agar mereka bisa melahirkan anak-anak bagi negeri mereka dari laki-laki lain”[15].

Mereka tidak berhak mendapat pengetahuan apapun, bahkan mereka sangatlah hina, sampai-sampai mereka disebut sebagai kotoran hasil perbuatan syetan[16].

Tidak ada undang - undang yang menjaga para wanita, mereka tidak berhak mendapatkan warisan, dan mereka tidak berhak untuk membelanjakan harta mereka, mereka tidak memiliki kebebasan dan kekuasaan, sepanjang hidupnya mereka hanya tunduk di bawah kekuasaan para laki-laki , mereka tidak berhak menuntut cerai, karena itu semua hak mutlak seorang laki-laki [17].

Sampai-sampai para cendikiawan mereka mengatakan bahwa nama wanita harus dikurung di dalam rumah, sabagaimana jasad mereka dikurung di dalamnya[18].

Bagi orang-orang yunani, para wanita hanyalah makhluk rendah, dan berada di derajat lain rendah, penulis buku” Peradaban Arab” mengatakan:

“Orang-orang Yunani pada umumnya menganggap para wanita adalah makhluk rendahan, yang tidak memiliki manfaat apapun kecuali hanya untuk melestarikan keturunan dan mengurus pekerjaan rumah saja, kalau ada seorang wanita yang melahirkan anak yang buruk rupa, mereka akan membunuh wanita tersebut”[19].

Seorang orator Yunani yang terkenal bernama ”Demosthenes” menggambarkan keadaan wanita, dia mengatakan:

“Sesungguhnya kami memakai para pelacur untuk bersenang-senang, dan kami memakai pacar-pacar kami untuk menunaikan hasrat keseharian kita, dan memakai istri-istri kita agar mereka melahirkan anak-anak yang sah bagi kita”[20].

Lantas hak apa yang dimiliki seorang wanita di tengah masyarakat yang orang berintelektual tingginya pun mengatakan seperti ini?!

 

Keadaan wanita di tengah masyarakat Yahudi kuno:

Bagi wanita hanyalah sumber dan sebab kesalahan, sebagai mana yang disebutkan dalam taurat bahwa wanita adalah awal terjadinya dosa, dan karena sebab wanita, Adam pun melakukan kesalahan[21].

Keadaan wanita pada masyarakat Yahudi tidak lah lebih baik, karena peraturan mereka merendahkan para wanita, dan memperingatkan agar berhati-hati dari mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam ”Kitab Pengkhotbah”:

“Aku tujukan perhatianku untuk memahami, menyelidiki, dan mencari hikmat dan kesimpulan, serta untuk mengetahui bahwa kefasikan itu kebodohan dan kebebalan itu kegilaan.

Dan aku menemukan sesuatu yang lebih pahit dari pada maut: perempuan yang adalah jala, yang hatinya adalah jerat, dan tangannya adalah belenggu. Orang yang dikenan Allah terhindar dari padanya, tetapi orang yang berdosa ditangkapnya”[22].

Seorang ayah memiliki kekuasaan penuh atas keluarganya, khususnya atas para wanita, sang ayah berhak menikahkan mereka dengan siapa pun sesukanya, dan memberikannya sebagai hadiah kepada siapapun sesukanya, ia juga berhak menjual putrinya jika dia mau, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab”Keluaran” pasal 21, - ayat 7-11.

Penulis buku ”The Story Of Civilization” mengatakan:

“Seorang ayah memiliki kekuasaan yang tak terhingga atas anggota keluarganya, bumi berada dalam kepemilikannya, dan anak-anaknya tak berhak hidup kecuali jika mereka mematuhi perintahnya.

Seorang ayah layaknya raja bagi keluarganya, apabila ia jatuh miskin, ia boleh menjual anak perempuannya yang belum baligh supaya mereka menjadi budak, ia juga memiliki hak mutlak untuk menikahkan putrinya dengan pria manapun yang ia sukai, walaupun terkadang mereka sampai rela meminta dari sang anak agar ia ridha dengan pernikahan tersebut”[23].

Dan apabila wanita Yahudi telah menikah, maka kekuasaannya akan pindah dari ayahnya ke suaminya, sehingga ia menjadi harta kepemilikan suaminya layaknya rumah, budak laki-laki , budak wanita, dan uang, inilah yang ditunjukkan oleh taurat dalam kitab”Keluaran” pasal 20 ayat 17.

Ditambah lagi bahwa syariat agama Yahudi tidak membolehkan anak wanita untuk menerima warisan ayahnya, apabila sang ayah memiliki keturunan laki-laki, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab ”Bilangan”, pasal 27, ayat 8:

“Dan kepada orang Israel engkau harus berkata: Apabila seorang mati dengan tidak mempunyai anak laki-laki , maka haruslah kamu memindahkan hak atas milik pusakanya kepada yang perempuan”.

Bagi orang-orang Yahudi, wanita yang ditinggal mati suaminya, maka otomatis hak kepemilikannya akan berpindah ke tangan saudara kandung laki-laki dari suaminya, baik sang istri ridha atau tidak, kecuali saudara laki-laki suaminya berlepas diri darinya, sebagaimana yang disebutkan dala perjanjian lama:

“Apabila orang - orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari pada mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki , maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isreinya dan demikian melakukan perkawinan ipar”[24].

Orang Yahudi juga tidak mau makan, minum, dan tinggal bersama wanita yang sedang haidh, akan tetapi mereka meninggalnya sampai suci, aturan mengatkan:

Bahwa perempuan yang tidak suci (datang bulan), dari sejak ia merasa jadwal datang bulannya telah mendekat, sampai ia benar-benar tidak melihat bekas haidhnya, hendaknya sang suami tidak boleh menyentuhnya, bahkan walau hanya dengan ujung kukunya, dia pun tidak boleh memberikannya apapun, walau barang yang diberikannya itu panjang, dia juga tidak boleh mengambil apapun dari istrinya, ia melemparkan sesuatu ke istrinya, atau sebaliknya pun tidak diperbolehkan.

Dia juga tidak boleh makan bersamanya di satu meja makan, kecuali apabila dipisah antara piring yang ia gunakan dengan piring yang digunakan istrinya, ia juga tidak boleh minum dari air minum istrinya yang tersisa di gelas.

Meraka bedua tidak boleh tidur bersama di atas satu ranjang, dan tidak pula menunggangi satu kendaraan, atau sampan yang sama. Dan mereka berdua boleh bekerja di satu tempat yang sama dengan syarat tidak boleh saling bersentuhan.

Apabila suaminya sakit, sedang ia tidak memiliki siapapun untuk melayaninya kecuali sang istri, maka istrinya itu boleh melayani suaminya, dengan syarat tidak boleh menyentuhnya secara langsung. Namun apabila sang istri yang sakit, maka sang suami sama sekali tidak boleh menyentuh istrinya walaupun secara tidak langsung.

Seorang wanita yang melahirkan maka ia menjadi tidak suci, apabila ia melahirkan anak laki - laki, maka ia tidak suci selama 7 hari, dan apabila yang dilahirkannya adalah anak perempuan, maka ia tidak suci selama 14 hari, dia tidak boleh mandi kecuali setelah 40 hari, jika melahirkan anak laki - laki, dan jika melahirkan anak perempuan, dia baru boleh mandi setelah 80 hari”[25].

 

Keadaan wanita di tengah masyarakat Nashrani kuno:

Para bapa gereja telah melampaui batas sampai mereka menganggap wanita sebagai asal muasal keasalahan, sumber maksiat, dan sebab musibah yang menimpa seluruh manusia, oleh karena itu mereka menganggap semua hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah najis, walaupun melalui pernikahan dan ikatan yang sah, seorang pemimpin agama Kristen yang bernama tertulianus mengatakan:”Sesungguhnya wanita adalah jalan masuk syetan menuju jiwa manusia, dan wanita adalah orang yang menyuruh laki - laki untuk mendekati pohon yang dilaknat dan melanggar peraturang yang telah ditetapkan Allah, dan mencoreng gambaran Allah-maksudnya para laki-laki –.

Seorang penulis berkebangsaan Denmark, Wieth Knudesen menjelaskan keadaan wanita di abad pertengahan, dia mengatakan:”Perhatian yang ditujukan kepada mereka (para wanita) sangatlah terbatas, hal itu berdasarkan pandangan orang-orang katholik yang menganggap wanita hanya sebagai makhluk yang berada di derajat nomor dua”[26].

Rasul Paulus mengatakan:

“Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki , dan kepala dari kristus ialah Allah… sebab laki laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki.

Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.

Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki.

Sebab itu perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat”[27].

Dan ajaran agama Kristen menyuruh wanita untuk tunduk dan patuh kepada laki - laki dengan ketaatan buta, Paulus mengatakan:

“Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada tuhan, karena suami adalah kepala istri, sama seperti kristus adalah kepala jemaat”[28].

Bernard Shaw seorang sastrawan berkebangsaan inggris mengatakan: Ketika seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki , maka saat itu pula seluruh hartanya menjadi hak milik sang suami, sebagaimana yang dikatakan oleh undang-undang Inggris.

Belum lagi ditambah dengan pernikahan yang mereka yang akan tetap berlangsung selamanya, sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang dan agama, sebesar apapun konflik yang terjadi antara kedua pasangan suami istri, dan sebesar apapun permasalahan yang mereka miliki, mereka tidak boleh bercerai, akan tetapi mereka hanya boleh berpisah secara fisik, yang pada akhirnya membuat sang suami memilih pacar wanita yang lain, begitu juga dengan istri yang akan mencari pacar laki-laki yang lain.

Begitu juga apabila salah seorang dari pasangan tersebut wafat, maka yang lainnya tidak diberikan kesempatan untuk menikah lagi.

Dan semua yang telah disebutkan tadi, membuat kedudukan dan peran para wanita di tengah masyarakat menjadi rendah, dan pada akhirnya muncullah pergolakan di tengah masyarakat barat modern yang diusung oleh para cendikiawan mereka, yang menuntut agar semua manusia diberikan hak dan kebebasan masing-masing, baik pria maupun wanita, tanpa ada ikatan apapun, yang mana pergolakan ini merupakan buah dari kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat Eropa, mulai dari merosotnya moral, dan hancurnya rumah tangga, semuanya berasal dari tekanan yang diberikan oleh pihak gereja, dan peraturan mereka yang zalim, yang bertentangan denga fitrah manusia yang sehat.

 

 

 

Hak-hak perempuan dalam Islam:

 

Setelah kita melihat sekilas mengenai hak-hak dan kedudukan wanita di tengah-tengah masyarakat sebelum Islam, mari sama-sama kita lihat kedudukan dan hak-hak para wanita yang telah diberikan oleh Islam. Islam telah memberikan hak-hak mereka, baik hak-hak secara umum, ataupun hak-hak secara khusus.

Dan diantara hak-hak wanita secara umum dalam Islam adalah:

  1. Wanita memiliki tanggung jawab yang sama dengan pria dalam syariat Islam, Islam mewajibkan atas wanita sesuatu yang juga diwajibkan atas pria, selama mereka memenuhi syarat-syarat berikut: Islam, baligh, dan berakal.

Islam mewajibkan atas mereka shalat, zakat, puasa, dan haji. Akan tetapi Islam memberikan mereka keringanan dalam beberapa hukum syariat, mereka tidak wajib melakukan shalat dan puasa ketika mereka sedang haidh atau nifas, mereka diminta untuk meng-qadha puasa mereka di hari lain ketika mereka sudah suci, itu semua Islam berikan demi memperhatikan keadaan fisik dan psikis seorang wanita ketika mereka sedang haidh atau nifas.

  1. Seorang wanita berhak untuk mendapatkan balasan ataupun hukuman di dunia maupun di akhirat layaknya laki-laki , Allah ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laik-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An Nahl: 97).

  1. Dalam segi kemanusiaan, wanita juga sama persis dengan laki-laki , mereka bukan sumber kesalahan, mereka bukan sebab dikeluarkannya Adam dari surga, mereka juga bukan makhluk yang lebih rendah dari pada laki-laki , sebagaimana yang dikatakan oleh para pemuka agama terdahulu, Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisa: 1).

Dalam ayat tersebut Allah subahanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Ia menciptakan dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan, dari asal yang satu, tidak ada perbedaan antara mereka berdua dari segi asal muasal penciptaannya, tidak ada perbedaan antara mereka, mereka berdua semuanya sama.

Dengan ini Islam menghilangkan keyakinan yang tersebar dalam peraturan-peraturan yang lalim, yang berkaitan dengan hak-hak wanita, khususnya keyakinan yang mengatakan bahwa tabiat wanita lebih rendah dari pada pria, sehingga membuat para wanita terhalang dari hak-hak mereka sebagai manusia, Rasulullah ﷺ bersabda:

إنما النساء شقائق الرجال

“Para wanita adalah saudari kandung para laki-laki ”-maksudnya mereka semua sama, pent-(HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani).

  1. Agama Islam memperlakukan wanita sama layaknya memperlakukan pria, dalam perkara wajibnya mernjaga kehormatan dan kemuliaan mereka.

Agama Islam mengancam orang-orang yang menuduh mereka berbuat zina, dan mencemari nama baik mereka dengan hukuman, Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS An Nur: 4).

  1. Kedudukan wanita sama seperti pria, mereka berhak mendapatkan warisan sebagaimana pria juga berhak mendapatkan warisan, Allah ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS An Nisa: 7).

Agama Islam menetapkan bagi wanita hak untuk mendapatkan warisan, setelah sebelumnya ketika masa jahiliyah mereka tidak berhak untuk mendapatkannya, bahkan mereka dijadikan harta warisan layaknya harta benda yang lain, Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.” (QS An Nisa: 19).

Umar رضي الله عنه mengatakan:”… Demi Allah, dahulu kami di masa jahiliyah, kami tidak memperhitungkan mereka dalam perkara apapun sampai Allah menurunkan hukum berkaitan dengan para wanita, dan memberikan mereka bagian tertentu”. (HR Muslim).

  1. Wanita juga layak pria dalam hal kelayakan dan kebebasan untuk membelanjakan harta mereka, mereka boleh menyimpan harta, melakukan jual beli, dan lain sebagainya, tanpa perlu adanya orang yang mengawasi mereka, atau membatasi mereka, kecuali dalam perkara yang di dalamnya terdapat mudarat bagi mereka, Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” (QS Al Baqarah: 267).

Allah juga berfirman:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al Ahzab: 35).

  1. Agama Islam menganggap orang yang senantiasa memuliakan para wanita, sebagai bukti pribadi yang baik dan sempurna, Rasulullah ﷺ bersabda:

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وخياركم خياركم لنسائهم

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya”. (HR Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani).

  1. Agama Islam juga mewajibkan wanita untuk belajar, sebagaimana mewajibkan laki-laki untuk belajar, Rasulullah ﷺ bersabda:

طلب العلم فريضة على كل مسلم

“Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap orang muslim”. (HR Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani).

Para ulama sepakat bahwa lafadz  ”Muslim” dalam hadist tersebut, mencakup para laki-laki dan perempuan.

  1. Para wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam mendapatkan pendidikan, mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan yang baik, dan bimbingan yang shalih, bahkan agama Islam memberikan ganjaran atas pendidikan dan nafkah yang diberikan kepada anak perempuan, juga menjadikannya sebagai sebab masuk ke dalam surga, ini adalah keutamaan yang dimiliki oleh para wanita atas laki-laki, Rasulullah ﷺ bersabda:

من كان له ثلاث بنات فصبر عليهن واطعمهن وسقاهن وكساهن من جدته؛ كن له حجابا من النار يوم القيامة

“Barang siapa yang dikaruniai tiga anak perempuan dan bersabar atas mereka, memberi mereka makan, memberi mereka minum, dan memberi mereka pakaian dari hasil jeruh payahnya, maka mereka akan menjadi penghalang bagi dirinya dari api neraka pada hari kiamat”. (HR Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, Ibnu Majah, dan Ahmad, hadist ini dishahihkan oleh Al Albani).

  1. Wanita juga mengemban tanggung jawab yang sama dengan para pria dalam memperbaiki masayarakat mereka, dengan beramar ma’ruf nahi munkar, Allah ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At Taubah: 71).

  1. Wanita juga memiliki hak yang sama dengan pria untuk memberikan jaminan keselamatan pada orang lain, Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. (QS At Taubah: 6).

Rasulullah ﷺ bersabda:

وذمة المسلمين واحدة يسعى بها أدناهم فمن أخفر مسلما فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين لا يقبل منه صرف ولا عدل

“Perlindungan kaum muslimin (kepada orang kafir) sama, walaupun perlindungan itu diberikan oleh kaum muslimin yang paling rendah, dan barang siapa melanggar janji yang telah diberikan oleh seorang muslim, maka atasnya laknat Allah, malaikat-malaikatNya, dan seluruh manusia, tidak diterima darinya amalan-amalan wajib maupun yang sunnah”. (HR Bukhari).

Hak ini dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan, berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Ummu Hani binti Abi Thalib ia berkata:

Aku pergi menemui Rasulullah ﷺ pada saat tahun fathu makkah, aku dapati ia sedang mandi, dan Fatimah anaknya menutupi beliau, Ummu Hani berkata: maka akupun mengucapkan salam kepadanya, lalu beliau bersabda:”Siapa ini ?”, aku menjawab: saya Ummu Hani binti Abi Thalib, beliau bersabda:”Selamat datang wahai Ummu Hani”, setelah beliau selesai mandi, beliau pun berdiri dan melaksanakan shalat 8 rakaat badan beliau hanya ditutupi satu kain pakain, ketika Rasulullah ﷺ selesai mengerjakan shalat, aku berkata:

“Wahai Rasulullah, anak ibuku (maksudnya Ali bin Abi Thalib) ingin membunuh orang yang aku lindungi, fulan bin Hubairah,” maka Rasulullah ﷺ bersabda:

 قد أجرنا من أجرت يا أم هانئ

“Kami pasti akan melindungi orang yang telah engkau lindungi wahai Ummu Hani”, Ummu Hani mengatakan:”Hal itu terjadi pada waktu dhuha”. (HR Bukhari).

Demi mengangkat kedudukan para wanita dalam Islam, agama Islam memberikan wewenang kepada wanita untuk memberi perlindungan bagi seseorang atas kaum muslimin, dari Abi Hurairah, dari Nabi ﷺ bersabda:

«إِنَّ المَرْأَةَ لَتَأْخُذُ لِلْقَوْمِ»، يَعْنِي: تُجِيرُ عَلَى المُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya seorang wanita boleh memberi perlindungan bagi satu kaum”, maksudnya: perlindungan yang diemban oleh kaum muslimin. (HR Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani).

Perlu diketahui, bahwa dalam beberapa perkara laki-laki memiliki hak khusus yang tidak dimiliki oleh wanita, agama Islam tidak menyamakan antara keduanya dalam perkara-perkara tersebut, kita akan bahas hal itu ketika berbicara mengenai syubhat-syubhat yang berkaitan dengan wanita.

Dan rasanya sangat tepat, jika kita sama-sama mengetahui keadaan wanita sebelum datangnya Islam, dan keadaan mereka setelah datangnya Islam, sehingga menjadi jelas bagi kita kedudukan mulia yang dimiliki oleh seorang wanita dalam Islam.

Adapun hak khusus yang mereka miliki, agama Islam memandang secara global perkara-perkara mereka, agama Islam menyuruh untuk memperhatikan mereka, memberikan hak-hak mereka dalam setiap fase kehiduan mereka, dari sejak mereka dilahirkan, sampai mereka wafat, bukan hanya memperhatikan satu fase saja.

Agama Islam memperhatikan mereka sebagai seorang anak, memperhatikan mereka sebagai seorang istri, memperhatikan mereka sebagai seorang ibu, kemudian memperhatikan mereka sebagai salah satu wanita muslimah pada umumnya.

Kita akan membahas hak-hak mereka secara ringkas dan singkat, agar tidak terlalu bertele-tele, dan bagi siapa yang ingin mengetahui lebih dalam lagi, ia bisa merujuk ke buku-buku fiqih yang membahas masalah-masalah itu lebih terperinci.

 

 

 

Hak-hak wanita dalam Islam sebagai seorang anak.

Hak mereka untuk hidup:

Allah mewajibkan atas kedua orang tua untuk menjaga kehidupan anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan, dan menganggap pembunuhan yang dilakukan orang tua kepada mereka sebagai kejahatan yang besar, Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al Isra: 31).

Agama Islam juga menjadikan infak yang diberikan kepada mereka, baik laki-laki maupun perempuan sebagai hak wajib yang harus dipenuhi oleh sang ayah, sejak mereka masih berupa janin di rahim-rahim ibu-ibu mereka, Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS At Thalaq: 6).

Hak mereka untuk mendapat asi:

Allah mewajibkan untuk berbuat baik kepada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, dan senantiasa memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka, juga mendidik, memenuhi keperluan, dan memberikan kehidupan yang layak bagi mereka, Islam menjadikan itu semua sebagai hak-hak anak atas orang tuanya, Allah ta’ala berfirman:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS Al Baqarah: 233).

Hak mereka untuk mendapat bimbingan dan pendidikan:

Syariat Islam telah mewajibkan atas para ayah untuk memperhatikan pendidikan anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan, baik pendidikan jasmani, rohani, maupun syar’i, Rasulullah ﷺ bersabda:

كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت

“Seseorang sudah cukup berdosa bila ia menyia-nyiakan orang-orang yang harus diberinya makan”. (HR Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al Albani).

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته الإمام راع ومسؤول عن رعيته والرجل راع في أهله وهو مسؤول عن رعيته والمرأة راعية في بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها والخادم راع في مال سيده ومسؤول عن رعيته

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang ia pimpin, seorang Imam (penguasa) adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang ia pimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin bagi rumah tangganya, dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang ia pimpin, seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan kelak akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang ia pimpin, seorang pembantu adalah pemimpin bagi harta majikannya, dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang ia pimpin”. (HR Bukhari).

Sebagaimana orang tua juga hendaknya memilihkan nama-nama yang baik bagi anak-anaknya.

Apabila terjadi perpecahan antara ayah dan ibu, maka seorang ibu lebih berhak untuk mengambil hak asuh anaknya, hal itu karena ibu biasanya lebih memiliki rasa kasih sayang dan lemah lembut, sebagai mana yang disebutkan dalam hadist ‘Amru bin Syu’aib, bahwa seorang wanita berkata:”Wahai Rasulullah, sesunggunya anakku ini, dahulu perutkulah yang mengandungnya, susukulah yang memberinya minum, dan pangkuanku lah yang melindunginya, namun ayahnya menceraikanku dan ingin merebut hak asuhnya dariku, maka Rasulullah ﷺ bersabda:

أنت أحق به ما لم تنكحي

“Engkau lebih berhak atas hak asuhnya, selama kau belum menikah lagi”. (HR Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al Albani).

Hak mereka unduk mendapatkan cinta, kasih, dan sayang:

Mereka membutuhkan ketiga hal ini, sama halnya dengaan kebutuhan mereka akan makan dan minum, karena ketiga hal tersebut memiliki efek yang besar pada akhlak dan tabiat mereka.

Islam sendiri adalah agama cinta dan kasih sayang, yang mengasihi orang yang jauh dengan kita, lantas bagaimana kiranya dengan orang-orang yang berada dekat dengan kita?

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه berkata: Rasulullah ﷺ mencium Hasan bin Ali, sedang di samping beliau duduk Al Aqra’ bin Habis At Tamimi, maka ia pun berkata: ”Sesungguhnya aku memiliki 10 anak, yang tidak pernah aku cium seorang pun dari mereka”, maka Rasulullah ﷺ pun melihatnya kemudian berkata:

من لا يرحم لا يرحم

“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan menyayangi”. (HR Bukhari).

Hak mereka untuk mendapat edukasi:

Agama Islam menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban yang diemban oleh setiap muslim dan muslimah, Rasulullah ﷺ bersabda:

طلب العلم فريضة على كل مسلم

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim”. (HR Ibnu Majah).

Dan menjadikan edukasi yang diberikan kepada anak perempuan, sebagai pelipat ganda pahala, Rasulullah ﷺ bersabda:

أيما رجل كانت عنده وليدة فعلمها فأحسن تعليمها وأدبها فأحسن تأديبها ثم أعتقها وتزوجها فله أجران

“Seorang laki-laki manapun yang memiliki budak perempuan yang masih kecil, kemudian ia memberinya pelajaran dan pendidikan yang baik, lalu ia memerdekakannya, dan menikahkannya, maka ia akan mendapat dua pahala”. (HR Bukhari).

Hak untuk mendapat kesetaraan:

Agama Islam mewajibkan orang tua untuk menyetarakan dan berbuat adil kepada semua anak dalam segala hal, tak ada perbedaan sikap dan kasih sayang dalam bergaul bersama anak, baik laki-laki maupun perempuan, berdasarkan firman Allah ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS An Nahl: 90).

Dari Nu’man bin Basyir رضي الله عنه, ketika berada di atas mimbar beliau mengatakan:

Ayahku memberikanku suatu pemberian, maka ‘Amrah bintu Rawahah mengatakan:”Aku tidak ridha kepada perbuatanmu sampai kau persaksikan Rasulullah -atas pemberianmu –“, maka ayahku pergi menemui Rasulullah ﷺ dan berkata:”Sesungguhnya aku telah memberikan anak lak-lakiku dari ‘Amrah binti Rawahah sebuah pemberian, dan ‘Amrah menyuruhkan untuk mempersaksikanmu atas pemberian tersebut wahai Rasulullah”, maka Rasulullah ﷺ bersabda:”Apakah kau berikan anakmu yang lainnya hadiah seperti itu juga?”, ayahku berkata:”Tidak”, maka Rasulullah ﷺ bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian”.

Nu’man berkata: ”Maka ayahku pun pulang dan mengambil kembali pemberiannya”. (Muttafaq ‘alaihi).

Lantas mana alasan orang-orang yang mengatakan bahwa Islam merampas hak para wanita jika dihadapkan dengan hadist ini?

Hak mereka untuk memilih pasangan:

Agama Islam menghormati para wanita dalam masalah pernikahan, dengan menjadikan izin mereka sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan, mereka memiliki hak untuk menerima atau menolak orang yang maju melamar dirinya, Rasulullah ﷺ bersabda:

لا تنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا يا رسول الله وكيف إذنها قال أن تسكت

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai diminta perintahnya, dan gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya”, para sahabat berkata:”Wahai Rasulullah, bagaimana-tanda-ia memberikan izin?”, Rasulullah ﷺ menjawab:”Bila ia diam”. (HR Bukhari).

Ayah atau walinya tidak memiliki hak untuk memaksa mereka menikah dengan orang yang tidak mereka sukai, dan barang siapa dinikahkan tanpa persetujuan mereka, maka mereka berhak untuk meminta faskh (pembatalan) pernikahan mereka, sebagai mana yang diriwayatkan dalam hadist Khansa binti Jaddzam Al Anshariyah:

Bahwa ayahnya menikahkan dirinya setelah ia menjanda, namun ia tidak suka pernikahan itu, lantas ia pun mendatangi Rasulullah , maka Rasulullah ﷺ pun membatalkan pernikahannya. (HR Bukhari).

Ajaran nabawi yang mulia telah mengajarkan agar kita senantiasa memperhatian anak-anak perempuan, dan mewajibkan untuk menghormati mereka, berbuat baik kepada mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka, Rasulullah ﷺ bersabda:

من كان له ثلاث بنات أو ثلاث أخوات أو ابنتان أو أختان فأحسن صحبتهن واتقى الله فيهن دخل الجنة

“Barang siapa yang memiliki tiga anak perempuan, atau tiga saudari perempuan, atau dua anak perempuan, atau dua saudari perempuan, lalu ia berbuat baik dalam bergaul bersama mereka, dan bertakwa kepada Allah, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga”. (HR Ibnu Hibban).

Agama Islam menjanjikan bagi orang-orang yang memperhatikan anak-anak perempuan, dan berbuat baik kepada mereka, akan menjadikan perbuatan mereka itu sebagai sebab dimasukkannya mereka kedalam surga, demikian agar para orang tua terpacu untuk memperhatikan anak-anak perempuan mereka, demi mengharap pahala dan ganjaran dari Allah ta’ala, dari ‘Aisyah رضي الله عنها berkata:

“Seorang wanita miskin pernah mendatangiku dan membawa dua anak pempuannya, lalu ia memberikan makan anaknya dengan tiga butir kurma, ia memberi setiap anak satu kurma, ia suapi kurma itu ke mulut anak-anak nya, sampai anaknya makan, setelah itu ia membagi dua kurma yang harusnya jadi jatah dirinya untuk kedua anaknya, maka akupun kagum dengan perlakuannya itu, lalu aku pun bercerita kepada Rasulullah ﷺ tentangnya, maka berliau bersabda:

إن الله قد أوجب لها بها الجنة، أو أعتقها بها من النار

“Sesungguhnya Allah pasti akan memasukkan perempuan itu dengan perbuatannya ke dalam surga, atau membebaskannya dari api neraka”. (HR Muslim).

Sebagaimana syariat Islam juga memerintahkan untuk berlaku adil kepada anak-anak , baik laki-laki maupun perempuan, dalam perkara-perkara riil, ataupun materiil. Maka seorang tidak boleh melebihkan anak laki laki atas perempuan, atau perempuan atas laki-laki , dalam pemberian dan hadiah, semuanya sama.

Dari Nu’man bin Basyir mengatakan: Ayahku pernah memberikanku beberapa pemberian dari hartanya, maka ‘Amrah binti Rawahah berkata:”Aku tidak ridha sampai kau mempersaksikannya kepada Rasulullah , maka ayahku pun pergi menemui Rasulullah ﷺ untuk mempersaksikannya atas pemberian yang ia berikan kepadaku, maka Rasulullah ﷺ berkata kepada ayahku:”Apakah kau melakukan seperti ini juga kepada seluruh anakmu?”, ia berkata:”Tidak”, maka Rasulullah ﷺ bersabda:

اتقوا الله واعدلوا في أولادكم

“Bertakwalah kalian kepada Allah, dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian”. Maka Ayahku pun pulang dan mengambil kembali pemberiannya”. (HR Muslim).

Keadilan tersebut bukan hanya sebatas perkara-perkara yang dzahir saja, namun Islam juga mewajibkan untuk berbuat adil, bahkan dalam perkara-perkara yang sering diremehkan oleh manusia, Islam memerintahkan untuk berbuat adil, bahkan dalam hal mencium anak, Anas رضي الله عنه meriwayatkan:

أن رجلا كان جالسا مع النبي صلى الله عليه وسلم ، فجاء بني له فأخذه فقبله و أجلسه في حجره ، ثم جاءت بنية له فأخذها فأجلسها إلى جنبه ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم :” فما عدلت بينهما . أي بين الابن و البنت في التقبيل

Bahwa seorang laki-laki duduk bersama Nabi , maka salah seorang anak laki- lakinya datang, lalu ia pun menghampiri anaknya, menciumnya, dan mendudukkannya di pangkuannya, kemudian datang anak perempuannya, lalu ia hampiri dia dan ia dudukkan di atas pangkuannya, maka Nabi ﷺ bersabda: ”Engkau tidak berlaku adil kepada mereka”. Maksudnya antara anak laki-laki dan perempuan dalam mencium. (HR Bazzar, dan Haitsami, hadist ini dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah, no: 2994).

Berbuhubung saat ini kita sedang membahas perhatian yang diberikan Islam kepada anak-anak, alangkah baiknya jika kita juga sedikit membahas tentang perhatian yang diberikan Islam kepada anak-anak yatim. Karena kepergian orang tua memiliki dampak yang sangat besar bagi pribadi anak-anak yatim, yang terkadang hal itu mengakibatkan mereka melenceng, apalagi jiga masyarakat di sekitarnya tidak memperhatikan hak-hak mereka, dan tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, juga tidak memandang mereka dengan pandangan kasih sayang.

Agama Islam telah memberikan perhatiannya kepada anak-anak yatim, laki-laki maupun perempuan dengan sangat baik. Agama Islam mewajibkan atas karib kerabat dari anak-anak yatim tersebut untuk senantiasa memperhatikan dan mendidik mereka, kalau mereka tidak memiliki kerabat, maka kewajiban untuk memperhatikan, mendidik, dan mengarahkan mereka diemban oleh negara Islam.

Allah telah mengancam orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim dan menghilangkan hak-hak mereka, Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS An Nisa: 10).

Rasulullah ﷺ bersabda:

 إني أحرج عليكم حق الضعيفين اليتيم والمرأة

“Aku menghawatirkan hak dua orang yang lemah atas kalian, anak yatim, dan wanita”. (HR Hakim, dan dihasankan oleh Al Albani).

Sebagaimana Allah juga melarang kita untuk menghardik dan membentak mereka, Allah ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ

“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (QS. Ad Dhuha: 9).

Banyak dalil dari alquran ataupun sunnah yang menganjurkan untuk mengurus dan berbuat baik kepada anak yatim, Rasulullah ﷺ bersabda:

أنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا

“Aku dan orang yang mengurus (menyantuni) anak yatim di surga seperti ini”, seraya mengisyaratkan kedua jarinya, jari telunjuk dan jari tengah, dan merenggangkannya sedikit. (HR Bukhari).

Agama Islam juga menganjurkan untuk memberikan kasih sayang kepada mereka, Rasulullah ﷺ bersabda:

أتحبُّ أن يلينَ قلبُك ، و تُدْرِكَ حاجتَكَ ؟ ارحَمِ اليتيمَ ، و امسَح رأسَه ، وأطْعِمْه من طَعامِك ، يَلِنْ قلبُك ، وتُدْرِكْ حاجتَكَ

“Apakah kau ingin hatimu melembut, dan hajatmu terpenuhi? Sayangilah anak yatim, usap kepalanya, berikan ia makan dari makananmu, niscaya hatimu akan melembut, dan hajatmu akan terpenuhi”. (HR Thabrani).

Sebagaimana agama Islam juga memperhatikan anak-anak yang hilang, laki-laki maupun perempuan, diantara hak mereka atas kaum muslimin dan negara Islam adalah mendapat perhatian layaknya anak-anak yatim, Rasulullah ﷺ bersabda:

في كل ذات كبد رطبة أجر

“Dalam setiap pemeliharaan terhadap suatu yang hidup terdapat pahala”. (HR Bukhari).

Dengan perhatian yang kita berikan ini, kita akan menghasilkan generasi yang shalih, yang akan melaksanakan kewajiban mereka dan hidup sebagai manusia yang baik.

 

 

Hak-hak wanita dalam Islam sebagai seorang istri.

Allah ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar Ruum: 21).

Diantara tanda kebesaran Allah, bahwa Allah menciptakan manusia berpasang pasangan, agar mereka bisa saling melengkapi, sehingga bisa memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi jasmani dan rohani mereka.

Istri dalam Islam, mereka adalah tonggak masyarakat, dan pondasi bagi sebuah rumah tangga Islami, oleh karena itu agama Islam mewajibkan atas mereka kewajiban-kewajiban yang harus mereka penuhi, dan sebaliknya Islam pun menentukan bagi mereka hak-hak mereka, diantara hak-hak mereka adalah:

Hak mendapat mahar (mas kawin),

Mahar adalah hak dan pemberian yang wajib diberikan oleh laki-laki kepada seorang wanita dalam syariat Islam, tidak boleh seorang pun mengambilnya sedikitupun tanpa izin dan ridha sang wanita, termasuk orang yang paling dekat dengannya, akad pernikahan pun tidak dianggap sah, kecuali dengan adanya mahar.

Mahar adalah bukti yang kuat bahwa agama Islam memberikan wanita hak untuk memiliki harta, seorang tidak boleh menikahi wanita tanpa mahar, walaupun sang wanita ridha, adapun setelah terjadinya akad, maka seorang wanita bebas membelanjakan maharnya tersebut semaunya, Allah ta’ala berfirman:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa: 4).

Mahar adalah hak mempelai wanita, suaminya tidak boleh mengambilnya kembali setelah menalak istrinya, padahal sebelum datangnya Islam, seorang wanita harus mengembalikan mahar yang telah diberikan oleh suaminya, setelah mereka dicerai, maka Allah jelaskan keburukan hal tersebut, Allah berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa: 20-21).

Allah juga berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS An Nisa: 19).

Dalam ayat yang mulia ini, terdapat jaminan Allah atas hak seorang wanita, yaitu:

  • Haramnya mempusakai wanita (menjadikannya sebagai warisan yang diwarisi) secara paksa.

Orang-orang Arab sebelum datangnya Islam -sebagai mana yang telah kami jelaskan- apabila salah seorang diantara mereka meninggal, maka karib kerabatnya akan mewarisi istrinya, apabila diantara mereka ada yang mau menikahinya maka ia akan menikahinya, atau mereka akan memaksanya menikah dengan orang yang menginginkannya semau mereka, kalau tidak mereka akan membiarkannya, tidak menceraikannya, dan tidak pula membolehkannya menikah dengan orang lain, keluarga suami lebih berhak atas sang istri dari pada keluarganya sendiri, seakan sang istri menjadi barang yang bisa diwariskan.

  • Kemudian Allah juga jelaskan haramnya seseorang yang menyusahkan istrinya untuk menyudutkan mereka, seperti dengan cara mencelanya, memukulnya, memakan hartanya, melarangnya keluar rumah, atau yang sejenisnya, sehingga istrinya merasa tertekan dan meminta khulu’ darinya, dengan cara membayarkan mahar yang telah diberikan kepadanya.
  • Agama Islam membolehkan seorang pria melakukan itu dalam keadaan sang istri ketahuan berzina, ia boleh meminta kembali mahar yang telah ia berikan, kemudian ia menceraikannya.
  • Kemudian Allah mewajibkan atas laki-laki untuk menggauli istrinya dengan ma’ruf (baik), dengan berlemah lembut kepadanya, memperdengarkan kata-kata yang disukainya, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mereka sukai.

 

Hak mereka untuk mendapatkan keadilan dan kesetaraan:

Hal ini apabila seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu, maka ia wajib untuk berlaku adil kepada mereka dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan jatah bermalam, Rasulullah ﷺ bersabda:

 من كانت له امرأتان فمال مع إحداهما على الأخرى جاء يوم القيامة وأحد شقيه ساقط

“Barang siapa yang memiliki dua istri, namun ia lebih condong kepada salah satunya dari pada yang lain, maka ia akan datang pada hari kiamat, sedang badannya miring sebelah”. (HR Ibnu Hibban).

Hak mereka untuk mendapatkan nafkah:

Seorang suami wajib menafkahi istrinya denga cara yang ma’ruf, dengan cara menyediakan tempat tinggal yang sesuai, memenuhi kebutuhannya, seperti makanan, minuman, dan pakaian, walaupun sang istri adalah seorang yang kaya, Rasulullah ﷺ bersabda:

فاتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف

“Bertakwalah kalian kepada Allah tentang para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kalian menghalalkan kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah, hak kalian yang menjadi kewajiban mereka, yaitu mereka tidak memperbolehkan seorang pun yang kalian tidak sukai menginjak permadani-permadani kalian, apabila mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan, dan mereka memiliki hak yang harus kalian tunaikan. Yaitu memberikan rizki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf”. (HR Muslim).

Seorang suami juga harus memberikan istrinya harta sesuai dengan kemampuannya, Allah ta’ala berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS At Thalaq: 7).

Dan apabila suami yang memiliki kelapangan rizki enggan untuk memberikannya nafkah, sedang sang istri mampu mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya, maka ia boleh mengambil harta suaminya tanpa izin, sesuai dengan kebutuhannya, berdasarkan hadist Hind binti Utbah, ia berkata:

Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, dia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil tanpa sepengetahuannya, maka Rasulullah ﷺ bersabda:

خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف

“Ambillah sebatas apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf”. (HR Bukhari).

Apabila seorang suami kesulitan biaya, sehingga tidak bisa menafkahi istrinya, atau sang suami pergi tanpa kabar, sehingga sang istri merasa dirugikan karenanya, dan sang suami enggan untuk mendatanginya, maka sang istri boleh mengajukan faskh (pembatalan) nikah jika ia mau, diriwayatkan dari Abu Zinad ia berkata: ”Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyib mengenai seorang laki-laki yang tidak mampu menafkahi istrinya?”, Said berkata: ”Keduanya dipisahkan”, Aku berkata: ”Apakah itu sunnah?”, Sa’id berkata: ”Iya itu sunnah”, Syafi’I mengatakan hal yang sama dengan Sa’id, dan yang dimaksud dengan sunnah adalah sunnah Rasulullah . (Riwayat Baihaqi).

Hak mereka untuk mendapat jatah bermalam:

Ini adalah salah satu hak yang sangat penting yang diperintahkan oleh syariat kepada para suami untuk senantiasa memperhatikannya, sehingga istri-istri mereka tidak gelap mata melakukan hal-hal yang tidak terpuji.

Karena sebagai seorang istri, wanita membutuhkan hati laki-laki yang senantiasa mencintainya, dan laki-laki yang senantiasa mencumbunya, laki-laki yang bisa mengobati rasa haus mereka akan kasih sayang.

Syariat Islam telah melarang seseorang untuk berlebihan dalam beribadah agar ia bisa melaksanakan kewajiban ini, hal itu berdasarkan hadist Salman Al Farisi رضي الله عنه, bahwa sanya ia pernah mendatangi Abu Darda رضي الله عنه untuk mengunjunginya, namun ia dapati Ummu Darda dalam keadaan lusuh, maka ia pun berkata: ”Ada apa denganmu?”

Ummu Darda mengatakan: ”Sesungguhnya saudaramu itu adalah orang yang tidak memiliki kebutuhan di dunia ini, ia senantiasa bangun mengerjakan shalat di malam hari, dan puasa di siang hari!!”.

Maka datanglah Abu Darda, lantas ia menyapa Salman, dan menyuguhkan makanan kepadanya, maka Salman berkata kepadanya: ”Makanlah!”. Abu Darda berkata: ”Aku sedang puasa”, Salman berkata: ”Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, berbukalah!”, maka Abu Darda pun makan bersamanya, kemudian Salman bermalam di rumah Abu Darda.

Ketika masuk waktu malam, Abu Darda banging hendak melaksanakan shalat, namun Salman melarangnya, ia berkata: ”Sesungguhnya jasadmu memiliki hak yang harus kau penuhi, Tuhanmu memiliki hak yang harus kau penuhi, keluargamu memiliki hak yang harus kau penuhi, puasalah, dan berbukalah, shalatlah, dan campuri istrimu, berikan setiap hak kepada pemiliknya”.

Ketika datang awal waktu subuh salman berkata: ”Bangunlah saat ini jika kau mau”, lantas Abu Darda pun bangun dan wudhu, lalu mereka berdua shalat, kemudian sama-sama keluar menuju shalat subuh, setelah itu mereka mendatangi Nabi , dan menceritakan apa yang terjadi, lantas Nabi ﷺ berkata kepadanya: ”Salman benar”. (HR Bukhari).

Ibnu Hazm mengatakan: ”Seorang suami wajib menggauli (jima’) istrinya setidaknya sekali setiap masa suci istrinya jika ia mampu, jika tidak, maka ia adalah seorang yang bermaksiat kepada Allah ta’ala… dalil atas hal itu adalah firman Allah ta’ala:

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

”Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS Al Baqarah: 222).

Dan diantara hak seorang istri yang harus dipenuhi suaminya, yaitu hendaknya sang suami tidak meninggalkan istrinya lebih dari 6 bulan, setelah itu, apabila sang istri mampu bersabar, dan merelakan haknya maka tidak mengapa -yang demikian apabila syahwat sang istri lemah-, namun jika tidak, maka ketika sang istri meminta suaminya untuk datang, sang suami harus segera mendatanginya kecuali jika memang ada udzur yang sangat mendesak, sebagai mana yang dilakukan oleh Umar رضي الله عنه khalifah kedua, ketika ia mendengar seorang wanita bersenandung:

تطاول هذا الليل واسود جانبه****وأرقني أن لا خليل ألاعبه

فوالله لولا الله أني أراقبه**** لحرك من هذا السرير جوانبه

Malam ini terasa panjang dan berubah menjadi gelap gulita.

Ditambah lagi sekarang ku tak memiliki kekasih yang ku ajak bermain

Demi Allah, kalau bukan karena takut akan pandanganNya

Niscaya ku biarkan ranjang ini begoyang dengan yang lain

Ketika pagi, Umar pun mengutus utusan kepada perempuan tersebut dan bertanya: ”Engkau yang berkata: demikian dan demikian?”, wanita itu menjawab: ”Iya”, utusan berkata: ”Kenapa?”, wanita itu berkata: ”Suamiku pergi untuk berperang dalam peperangan ini”, lantas Umar pun bertanya kepada Hafshah, berapa lama wanita bisa bersabar ditinggal suaminya?, hafshah menjawab: ”6 bulan”, maka Umar pun setelah itu memerintahkan setiap pasukan untuk pulang ke rumahnya setiap 6 bulan. (Riwayat Abdur Razzaq).

Seorang suami juga harus menjaga rahasia istrinya, dan tidak menyebarkan kekurangannya, juga merahasiakan hal-hal yang ia dengar atau ia lihat darinya, ia harus menjaga segala sesuatu yang terjadi antara keduanya, yang berkaitan dengan hubungan pribadi, tidak seyogyanya hal tersebut menjadi topic pembicaraan ketika ia duduk bersama teman-temannya, Rasulullah ﷺ bersabda:

إن من أشر الناس عند الله منزلة يوم القيامة الرجل يفضي إلى امرأته وتفضي إليه ثم ينشر أحدهما سر صاحبه

“Sesungguhnya diantara manusia yang paling buruk derajatnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah, seorang laki-laki yang menggauli istrinya, atau istri menggauli suaminya, lalu ia sebarkan rahasia pasangannya”. (HR Muslim).

Hak mereka untuk mendapatkan pergaulan dan muamalah yang baik

Diantara hak seorang istri, yaitu hak mereka untuk mendapat pergaulan yang baik, walaupun sang suami membenci istrinya, berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa: 19).

Dan ketika seorang suami membenci istrinya, hendaknya ia tidak menghinakan atau mencelanya, akan tetapi ia wajib menerimanya sebagai seorang istri dengan penuh cinta dan kasih sayang, atau ia ceraikan ia dengan cara yang baik, Allah ta’ala berfirman:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS Al Baqarah: 229).

Mengingat kesempurnaan adalah suatu hal yang mustahil dimiliki oleh seorang wanita, Rasulullah ﷺ bersabda:

استوصوا بالنساء فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, apabila kau paksanya lurus, kau pasti akan mematahkannya, namun jika kau biarkan ia, maka ia akan tetap bengkok, maka perlakukanlah perempuan dengan baik”. (HR Bukhari).

Karena keteledoran adalah suatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan rumah tangga, maka agama Islam memerintahkan para suami untuk bersabar, dan memaklumi sesuatu yang tidak disukai yang terkadang dikerjakan oleh istrinya, demi menjaga biduk rumah tangga, oleh karena itu, ketika seorang teringat keburukan istrinya, hendaknya ia ingat-ingat kembali kebaikan yang pernah dilakukan istrinya, Rasulullah ﷺ bersabda:

لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها غيره

“Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah, apabila ia benci satu sifatnya, ia pasti ridha terhadap sifatnya yang lain”. (HR Muslim).

Seorang suami juga harus mencintai dan berlemah lembut kepada istrinya, Rasulullah bersabda:

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وخياركم خياركم لنسائهم

“Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik kepada istri-istrinya”. (HR Ibnu Hibban).

Seorang suami juga hendaknya bercanda, bergurau, berjenaka, dan berseloroh dengan istrinya, dari ‘Aisyah رضي الله عنها bahwa ia berkata:

سابقني النبي صلى الله عليه وسلم فسبقته فلبثنا حتى إذا أرهقني اللحم سابقني فسبقني فقال النبي صلى الله عليه وسلم:" هذه بتلك"

“Nabi ﷺ pernah mengajakku lomba lari, aku pun mengalahkannya, lalu berlalu lah waktu, sampai ketika tubuhku mulai berisi daging, beliau kembali mengajak ku berlomba, lantas beliau pun menang, lalu Nabi ﷺ bersabda: ‘Kemenangan ini untuk membalas yang kemarin’”. (HR Ibnu Hibban).

Bahkan agama Islam menganggap hal itu sebagai kebaikan, Rasulullah ﷺ bersabda:

كل شيء ليس من ذكر الله عز وجل فهو لغو و لهو أو سهو إلا أربع خصال : مشي الرجل بين الغرضين ، و تأديبه فرسه ، و ملاعبته أهله ، و تعلم السباحة

“Segala sesuatu yang didalamnya tidak terkandung dzikir kepada Allah merupakan perbuatan yang sia-sia dan percuma kecuali 4 hal: seorang yang berjalan antara dua tujuan, seorang yang melatih kudanya, seorang yang bercanda dengan istrinya, dan seorang yang belajar berenang”. (HR Nasai dan Thabrani).

Seorang suami harus menjaga harta pribadi istrinya, dia tidak boleh membelanjakan harta sang istri kecuali dengan izinnya, dan dia tidak berhak mengambil apapun dari harta istrinya tanpa sepengetahuan dan keridhaannya, Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (QS Al Baqarah: 188).

Seorang suami harus bermusyawarah dan meminta pendapat istrinya dalam perkara- perkara yang berkaitan dengan rumah, anak, dan kemaslahatan bersama.

Bukan suatu yang bijaksana jika seorang laki-laki hanya mengandalkan pendapatnya tanpa melihat pendapat istrinya jika pendapat sang istri benar, bermusyawarah adalah perkara yang bisa menimbulkan rasa cinta di antara mereka berdua, Allah ta’ala befirman:

وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.” (QS As Syuura: 38).

Suami juga hendaknya membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah, dan tidak gengsi untuk mengerjakannya, Rasulullah ﷺ dahulu menjahit bajunya, memperbaiki sendalnya, dan membantu istrinya mengerjakan beberapa pekerjaam rumah, ‘Aisyah رضي الله عنها pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan oleh Nabi ﷺ ketika berada dirumah?, beliau menjawab:

كان يكون في مهنة أهله -تعني خدمة أهله-فإذا حضرت الصلاة خرج إلى الصلاة

“Beliau membantu keluarganya, dan apabila datang waktu shalat, beliau akan keluar tuk mengerjakan shalat”. (HR Bukhari).

Dan kita wajib menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai suri tauladan bagi diri kita.

Seorang suami juga harusnya tidak mencari-cari kekurangan dan kesalahan istrinya, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا أَطَالَ أَحَدُكُمْ الْغَيْبَةَ فَلَا يَطْرُقْ أَهْلَهُ لَيْلًا

“Jika seorang diantara kalian pergi dalam waktu yang lama, maka janganlah ia datangi keluarganya di malam hari”. (HR Bukhari).

Maksudnya: jangan datang dari safar (berpergian jauh) di malam hari, ketika sang istri lalai dan tanpa sepengetahuannya, karena bisa jadi ia mendapati istrinya dalam keadaan yang tidak ia sukai, sehingga nantinya akan menjadi sebab ia membenci istrinya.

Seorang suami juga harus menjauhkan dirinya dari segala hal yang akan mengganggu istrinya, walaupun berupa ucapan-ucapan yang melukai hatinya dan menimbulkan kesedihannya, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ bagi seorang yang bertanya kepada beliau: Apa hak istri kami yang harus kami penuhi?, beliau menjawab:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan ketika kau makan, engkau memberinya pakaian ketika kau mengenakan pakaian –atau ketika kau mendapat pakaian–, jangan kau pukul wajah, jangan kau menjelekkannya, dan jangan kau hajr (mengucilkannya dalam rangka menasehatinya) kecuali di dalam rumah”. (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani).

Ketika seorang wanita tidak menyukai suaminya, ia berhak menuntut cerai, dengan syarat mengembalikan mahar yang telah diberikan kepadanya, kecuali jika suami merelakannya, diriwayatkan dari Ibnu Abbas رضي الله عنه: Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi ﷺ dan berkata:

والله ما أعتب على ثابت في دين ولا خلق . ولكني أكره الكفر في الإسلام . لا أطيقه بغضا . فقال لها النبي صلى الله عليه و سلم (أتردين عليه حديقته ؟) قالت نعم . فأمره رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يأخذ منها حديقته ولا يزداد.

“Demi Allah, aku tidak mencela agama Tsabit (bin Qois) atau akhlaknya, akan tetapi aku takut terjeremus ke dalam kekufuran (mengkufuri nikmat yang diberi suaminya) setelah aku masuk ke dalam Islam, dan aku tidak bisa bertahan dengannya karena aku membencinya”, maka Rasulullah ﷺ bersabda: ”Apakah kau bersedia untuk mengembalikan ladangnya –yang ia jadikan mahar bagimu–?”, ia berkata: ”Iya”, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebunnya tidak lebih”. (HR Bukhari).

Seorang suami juga harus menjaga istrinya dari perkara-perkara yang akan mencoreng nama baik dan menghancurkan kehormatannya, Rasulullah ﷺ bersabda:

ثلاثة لا يدخلون الجنة العاق بوالديه والديوث ورجلة النساء

“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, orang yang dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu atas istri dan keluarganya), dan wanita-wanita yang menyerupai pria”. (HR Hakim, dan dishahihkan sanadnya oleh Ad Dzahabi).

Seorang suami harusnya memiliki rasa cemburu, dia harus menjauhkan istrinya dari tempat-tempat buruk, keji, dan sia-sia, Rasulullah ﷺ bersabda:

إن الله يغار وإن المؤمن يغار وغيرة الله أن يأتي المؤمن ما حرم عليه

“Sesungguhnya Allah itu pencemburu, dan seorang mu’min pun pencemburu, Allah cemburu apabila seorang mu’min mengerjakan apa yang telah diharamkan atasnya”. (HR Muslim).

Akan tetapi rasa cemburu ini harus proporsional, Rasulullah ﷺ bersabda:

من الغيرة ما يحب الله ومنها ما يكره الله فأما ما يحب الله فالغيرة في الريبة وأما ما يكره فالغيرة في غير ريبة

“Diantara rasa cemburu, ada cemburu yang dicintai Allah, dan ada cemburu yang dibenci Allah, adapun cemburu yang dicintai Allah, adalah yang berdasarkan pada keraguan, sedangkan yang dibenci Allah adalah cemburu tanpa dasar keraguan”. (HR Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Al Albani).

 

 

Hak wanita sebagai seorang ibu.

Agama Islam mewasiatkan untuk berbuat baik kepada orang tua dalam banyak ayat di dalam alquran, bahkan Allah menyandingkan antara hak mereka dengan hakNya, untuk menjelaskan besarnya hak mereka berdua, Allah ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan ”ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS Al Isra: 23-24).

Agama Islam menjadikan berbakti kepada ibu, dan tidak durhaka kepadanya, juga memberikan rasa cinta, dan kasih sayang kepadanya sebagai salah astu sebab dimasukkan ke dalam surga, seorang yang bernama Jahimah pernah mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: ”Wahai Rasulullah, aku ingin ikut berperang, dan aku mendatangimu bertujuan untuk meminta pendapatmu”, maka Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: ”Apakah kau memiliki Ibu?”, ia berkata: ”Iya”, maka Rasulullah ﷺ bersabda:

اذهب فالزمها فإن الجنة عند رجليها

“Pergilah, dan temanilah ia, karena surga berada di bawah kedua kakinya”. (HR Hakim, dan dishahihkan oleh Ad Dzahabi, Al Albani berkata: Hasan shahih).

Mengingat wanita mayoritasnya adalah makhluk yang lemah di tengah masyarakat, sehingga sering kali mereka terzalimi dan dirampas hak-haknya, maka Islam mengedepankan hak seorang ibu dibanding seorang ayah untuk mendapat bakti, kebaikan, rasa cinta, dan pergaulan yang baik dari sang anak, hal itu agar menjamin hak-hak mereka tidak dirampas, dari Abu Hurairah رضي الله عنه berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata:

يا رسول الله من أولى الناس بحسن صحابتي؟ قال: أمك. قال ثم من ؟ قال: أمك قال: ثم من ؟ قال: أمك. قال ثم من ؟ قال: أبوك

“Wahai Rasulullah, siapakan manusia yang paling utama untuk mendapat perlakuan baikku?”, beliau menjawab: ”Ibumu”, ia berkata: ”Kemudian siapa?”, beliau menjawab: ”Ibumu”, ia berkata: ”Kemudian siapa?”, beliau menjawab:” Ibumu”, ia berkata: ”kemudian siapa”, beliau menjawab: ”Ayahmu”. (HR Bukhari).

Dari hadist ini kita bisa simpulkan –sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama–bahwa seorang ibu harus mendapat tiga kali lipat kebaikan yang diberikan kepada sang ayah, hal itu karena kesulitan yang dirasakan oleh sang ibu, mulai dari hamil, melahirkan, kemudian menyusui, tiga hal ini hanya dirasakan oleh ibu seorang, baru ketika membesarkan sang anak ayah pun memiliki andil.

Ibumu mengandungmu selama 9 bulan –pada umumnya– , engkau hidup begantung dari apa yang ia makan, dan kesehatanmu pun tergantung kesehatannya, setelah itu ibu menyusuimu selama 2 tahun, bagi orang yang ingin menyempurnakan masa susuannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firmanNya:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS Luqman: 14).

Oleh karena itu Allah mengharamkan durhaka kepada ibu, dengan tidak mematuhi perintahnya, dan menzalimi haknya, Rasulullah ﷺ bersabda:

إن الله تعالى حرم عليكم عقوق الأمهات، ومنعا وهات، ووأد البنات،وكره لكم قيل وقال ،وكثرة السؤال, وإضاعة المال-

“Sesungguhnya Allah melarang kalian untuk durhaka kepada para ibu, enggan mengeluarkan harta yang menjadi kewajibanmu (seperti zakat dan nafkah) tapi meminta harta yang tidak berhak kau miliki, dan mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, Allah juga membenci atas kalian, ucapan katanya dan katanya (kabar burung yang belum pasti kebenarannya), banyak bertanya (mengenai hal yang tak dibutuhkan), dan menghambur-hamburkan harta”. (HR Bukhari).

Seorang harus mentaati perintah ibu dan tidak mengingkarinya, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat, dan apabila mereka memerintahkan untuk bermaksiat, maka tidak boleh mentaatinya, karena keridhaan Allah lebih didahulukan dari pada keridhaannya, dan mentaati Allah lebih didahulukan dari pada mentaatinya, namun hal itu bukan berarti boleh berlaku buruk kepadanya, dengan mencela, dan menghardiknya, akan tetapi seorang anak harus menjelaskan kepadanya dengan penuh cinta dan lemah lembut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firmanNya:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS Luqman: 15).

Demi menjelaskan besarnya hak kedua orang tua, Allah subahanahu wa ta’ala menjadikan keridhaan mereka sebagai tanda keridhaanNya, dan kemurkaan mereka tanda akan kemurkaanNya, hal itu agar para anak semangat untuk memberikan kehidupan yang baik bagi mereka berdua, Rasulullah ﷺ bersabda:

رضاء الله في رضاء الوالد وسخط الله في سخط الوالد

“Keridhaan Allah terdapat pada keridhaan orang tua, dan kemurkaanNya terdapat pada kemurkaan orang tua”. (HR Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Al Albani).

Keridhaan mereka berdua adalah sebab masuk kedalam surga, dan kemurkaan dan durhaka kepada mereka berdua adalah sebab masuk ke dalam neraka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah , dari Anas رضي الله عنه ia berkata: Nabi ﷺ ditanya mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda:

الإشراك بالله وعقوق الوالدين وقتل النفس وشهادة الزور

“Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh orang lain, dan kesaksian palsu”. (HR Muslim).

Dan dari Abdullah bin Umar ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

رضا الربِّ في رضا الوالدِ وسُخْطُ الربِّ في سُخطِ الوالد

“Ridha Tuhan ada pada ridha orang tua, dan kemurkaanNya ada pada kemurkaan orang tua”. (HR Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dan dihasankan oleh Al Albani).

Dan dari Abu Darda, sesungguhnya ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

الوالد أوسط أبواب الجنة فحافظ على والديك أو اترك

“Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah, maka jagalah orang tuamu, atau tinggalkanlah”. (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani).

Agama Islam juga mendahulukan berbakti kepada ayah dan ibu atas amalan-amalan sunnah, seperti shalat sunnah dan lainnya, dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Nabi ﷺ bersabda:

لم يتكلم في المهد إلا ثلاثة: عيسى بن مريم عليه السلام، وكان في بني إسرائيل رجل يقال له جريج كان رجلا عابدا، فاتخذ صومعة فكان فيها، فأتته أمه وهو يصلي فقالت: يا جريج، فقال: يا رب أمي وصلاتي فأقبل على صلاته فانصرفت . فلما كان من الغد أتته وهو يصلي، فقالت: يا جريج، فقال: أي رب أمي وصلاتي . فأقبل على صلاته، فلما كان من الغد أتته وهو يصلي فقالت: يا جريج، فقال: أي رب أمي وصلاتي، فأقبل على صلاته، فقالت: اللهم لا تمته حتى ينظر إلى وجوه المومسات. فتذاكر بنو إسرائيل جريجا وعبادته، وكانت امرأة بغي يتمثل بحسنها ، فقالت: إن شئتم لأفتننه، فتعرضت له، فلم يلتفت إليها، فأتت راعيا كان يأوي إلى صومعته، فأمكنته من نفسها فوقع عليها فحملت، فلما ولدت قالت: هو من جريج، فأتوه فاستنزلوه وهدموا صومعته،وجعلوا يضربونه، فقال: ما شأنكم ؟ قالوا: زنيت بهذه البغي فولدت منك. فقال: أين الصبي؟ فجاءوا به فقال: دعوني حتى أصلي، فصلى، فلما انصرف أتى الصبي فطعن في بطنه وقال: يا غلام من أبوك ؟ فقال: فلان الراعي، فأقبلوا على جريج يقبلونه ويتمسحون به وقالوا: نبني لك صومعتك من ذهب، قال: لا، أعيدوها من طين كما كانت، ففعلوا، ...

“Tidak ada yang berbicara ketika bayi kecuali tiga orang: Isa putra Maryam عليه السلام, dan dahulu ada seorang dari kalangan bani Israil bernama Juraij, dia adalah seorang yang ahli ibadah, ia memiliki shauma’ah (tempat ibadah) dan saat itu ia berada di dalamnya, maka datanglah ibunya ketika ia sedanga melaksanakan shalat, ibunya berkata: ‘ Wahai Juraij’, maka ia berkata: ‘Tuhanku, ibuku atau shalatku?’, maka ia pun memilih melanjutkan shalatnya dan ibunya pun pergi, keesokan harinya sang ibu datang lagi ketika ia sedang shalat, dan berkata: ‘Wahai Juraij’, ia pun berkata: ‘Tuhanku, ibuku atau shalatku?’, ia pun melanjutkan shalatnya, dan di keesokan harinya lagi ibunya datang kembali ketika ia shalat, dan berkata: ‘Wahai Juraij’, ia pun berkata: ‘Tuhanku, ibuku atau shalatku?’, ia pun melanjutkan shalatnya, maka sang ibu berkata: ‘Ya Allah, janganlah kau matikan ia, sampai ia melihat wajah wanita-wanita pezina’. Maka orang-orang bani Israil pun saling membicarakan Juraij dan ibadahnya, dan ketika itu ada seorang wanita pelacur yang sangat cantik jelita berkata: ‘Kalau kalian mau, akau bisa menggodanya’, maka ia pun mulai menggodanya, namun ia tidak berpaling, maka sang pelacur tadi mendatangi seorang penggembala yang sedang berteduh di shawma’ahnya, dan berzina dengannya, lantas perempuan itu hamil, dan ketika ia melahirkan, ia berkata: ‘Anak ini dari Juraij’, maka bani Israil pun mendatangi Juraij, mereka mengusir ia keluar dari tempat ibadahnya, lalu menghancurkannya, mereka pun lantas memukulinya, Juraij pun berkata: ‘Ada apa dengan kalian?’, mereka berkata: ‘Engkau telah berzina dengan pelacur ini sampai ia melahirkan anakmu’, ia berkata: ‘Dimana anaknya?’, maka mereka pun membawa anak tadi, ia berkata: ‘Tinggalkan aku sehingga aku bisa melaksanakan shalat’, maka ia pun shalat, dan ketika ia selesai, ia datangi bayi tadi, lalu menekan perutnya dan berkata: ‘Wahai anak, siapa ayahmu?’, bayi itu berkata: ‘Fulan sang penggembala’, maka bani Israil pun langsung mendatangi Juraij, menciuminya, dan mengusapinya, mereka berkata: ‘Kami akan bangun kembali shauma’ahmu dari emas’, ia berkata: ‘Jangan, kecuali kalian bangun kembali ia dari tanah’…..”. (HR Bukhari).

Bahkan agama Islam lebih mendahulukan berbakti kepada kedua orang tua disbanding dengan berjihad di jalan Allah, selama jihad belum menjadi farhu ‘ain, dari Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash رضي الله عنهما berkata:

أقبل رجل إلى نبي الله صلى الله عليه وسلم فقال: أبايعك على الهجرة و الجهاد في سبيل الله أبتغي الأجر من الله تعالى، قال: فهل لك من والديك أحد حي؟, قال: نعم بل كلاهما قال: فتبتغي الأجر من الله تعالى ؟, قال: نعم قال: فأرجع إلى والديك فأحسن صحبتهما

“Seorang datang kepada Nabi Allah ﷺ dan berkata: ”Aku berbaiat kepadamu atas hijrah dan jihad di jalan Allah, demi mengharap pahala dari Allah ta’ala”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Apakah salah satu orang tuamu masih hidup?”, ia berkata: ”Iya, bahkan keduanya masih hidup”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Kau menginginkan pahala dari Allah?”, ia berkata: ”Iya”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Maka pulanglah kepada kedua orang tuamu, dan berbaktilah kepada mereka”. (HR Muslim).

Karena agama Islam datang, untuk memperkuat ikatan, dan mempererat hubungan antar manusia, bukan untuk memutusnya, oleh karena itu agama Islam memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua, dengan memberi, menderma, mengucapkan kalimat baik, dan bergaul dengan baik kepada orang tua, sekalipun keduanya berbeda agama dengan sang anak, dari Asma رضي الله عنها berkata:

قدمت إلى أمي وهي مشركة فاستفتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وقلت: قدمت أمي وهي راغبة, أفأصل أمي? قال عليه الصلاة والسلام: نعم صلي أمك

“Aku mendatangi ibuku, sedang ia adalah seorang yang musyrik, maka aku pun bertanya kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: ”Aku mendatangi ibuku, dan ia menginginkanku untuk menyambung silaturrahmi dengannya, apakah aku boleh melakukannya?”, Rasulullah ﷺ menjawab: ”Iya, sambunglah silaturrahmimu dengannya”. (HR Bukhari).

Agama Islam juga datang untuk menganjurkan seorang muslim untuk memperhatikan orang tuanya, Rasulullah ﷺ menjelaskan, bahwa berbakti dan berbuat baik kepada mereka berdua adalah salah sau sebab dikabulkannya doa, Rasulullah ﷺ bersabda:

انطلق ثلاثة رهط ممن كان قبلكم حتى أووا المبيت إلى غار فدخلوه فانحدرت صخرة من الجبل فسدت عليهم الغار فقالوا إنه لا ينجيكم من هذه الصخرة إلا أن تدعوا الله بصالح أعمالكم فقال رجل منهم اللهم كان لي أبوان شيخان كبيران وكنت لا أغبق قبلهما أهلا ولا مالا فنأى بي في طلب شيء يوما فلم أرح عليهما حتى ناما فحلبت لهما غبوقهما فوجدتهما نائمين وكرهت أن أغبق قبلهما أهلا أو مالا فلبثت والقدح على يدي أنتظر استيقاظهما حتى برق الفجر فاستيقظا فشربا غبوقهما اللهم إن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك ففرج عنا ما نحن فيه من هذه الصخرة فانفرجت شيئا لا يستطيعون الخروج قال النبي صلى الله عليه وسلم: وقال الآخر اللهم كانت لي بنت عم كانت أحب الناس إلي فأردتها عن نفسها فامتنعت مني حتى ألمت بها سنة من السنين فجاءتني فأعطيتها عشرين ومائة دينار على أن تخلي بيني وبين نفسها ففعلت حتى إذا قدرت عليها قالت لا أحل لك أن تفض الخاتم إلا بحقه فتحرجت من الوقوع عليها فانصرفت عنها وهي أحب الناس إلي وتركت الذهب الذي أعطيتها اللهم إن كنت فعلت ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه فانفرجت الصخرة غير أنهم لا يستطيعون الخروج منها قال النبي صلى الله عليه وسلم: وقال الثالث اللهم إني استأجرت أجراء فأعطيتهم أجرهم غير رجل واحد ترك الذي له وذهب فثمرت أجره حتى كثرت منه الأموال فجاءني بعد حين فقال يا عبد الله أد إلي أجري فقلت له كل ما ترى من أجرك من الإبل والبقر والغنم والرقيق فقال يا عبد الله لا تستهزىء بي فقلت إني لا أستهزىء بك فأخذه كله فاستاقه فلم يترك منه شيئا اللهم فإن كنت فعلت ذلك ابتغاء وجهك فافرج عنا ما نحن فيه فانفرجت الصخرة فخرجوا يمشون

“Ada tiga orang dari umat sebelum kalian berangkat bepergian, sampai suatu saat mereka singgah bermalam di sebuah goa, mereka pun memasukinya, lalu jatuhlah sebongkah batu besar dari atas gunung, dan menutupi pintu goa, maka mereka pun berkata: ‘Sesungguhnya tak ada satu pun yang mampu menyelamatkan kalian kecuali berdoa kepada Allah dengan perantara amalan-amalan shalih kalian.

Maka seseorang diantara mereka berkata: ‘Ya Allah, aku memiliki dua orang tua yang sudah renta, dan aku terbiasa tidak menghidangkan susu (di malam hari) kepada siapapun sebelum aku menghidangkannya kepada mereka berdua, suatu hari aku disibukkan karena mencari sesuatu, sehingga aku tidak bisa mendatangi mereka berdua sampai keduanya tertidur, lalu aku memeras susu untuk mereka berdua, namun aku dapati mereka sudah tertidur, sedang aku enggan untuk menghidangkan susu untuk siapapun sebelum mereka, maka aku putuskan untuk menunggu mereka berdua terbangun, sedang di tanganku terdapat tempat susu mereka, sampai datang waktu fajar, lalu mereka bangun, dan meminum susu mereka, Ya Allah, jika aku melakukan itu semua karena mengharap keridhaanMu, maka selamatkanlah kami dari keadaan kami yang tertutup batu besar ini, maka terbukalah sedikit celah, namun belum bisa dipakai mereka untuk keluar”, Nabi ﷺ bersabda:

“Orang kedua berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki sepupu wanita yang lebih aku cintai dari pada siapapun, aku pun sangat menginginkannya, namun ia menolakku, sampai suatu saat ia ditimpa peceklik, ia pun mendatangiku, dan aku berikan ia 120 dinar, dengan syarat ia mau tidur denganku (baca: berzina), maka ia pun menyetujuinya, dan ketika aku ingin menyetubuhinya, ia berkata: ‘ Tidak halal bagimu melepaskan cincin (maksudnya: menyetubuhi wanita) kecuali dengan cara yang benar (yaitu: menikah)’, maka aku pun tercengang dan meninggalkannya, sedang dia adalah manusia yang paling aku cintai, dan aku tinggalkan emas yang telah aku berikan kepadanya, Ya Allah, jika hal itu aku lakukan untuk mengharap keridhaanMu, maka selamatkanlah kami dari keadaan kami ini’, maka terbukalah sedikit, namun mereka masih belum bisa keluar darinya”, Nabi ﷺ bersabda:

“Orang ketiga berkata: ‘Ya Allah, dulu aku memperkerjakan beberapa pegawai, dan aku memberikan mereka upah mereka, kecuali satu orang, ia tinggalkan upahnya dan pergi, aku pun menginvestasikan upahnya itu, sampai menjadi harta yang sangat banyak, lalu ia pun mendatangiku setelah berlalu beberapa saat, dan mengatakan: ‘Wahai hamba Allah, berikan kepadaku upahku’, maka aku katakana kepadanya: ‘Semua yang kamu lihat sekarang ini berupa unta, sapi, kambing, dan budak adalah upahmu’, maka ia berkata: ‘Wahai hamba Allah, janganlah kau mengejekku,’, maka aku katakan: ‘Aku tidak mengejekmu’, maka ia pun mengambil semuanya tanpa menyisakan apapun, ya Allah, jika hal itu aku kerjakan demi mengharap keridhaanMu, maka selamatkanlah kami dari keadaan ini, lantas pintu goa pun terbuka, lalu mereka pun keluar dan jalan”. (HR Bukhari).

Agama Islam juga menjadikan berbakti kepada kedua orang tua sebagai penghapus bagi dosa dan kesalahan, dari Abdullah bin Umar رضي الله عنهما berkata:

أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجل فقال يا رسول الله: إني أذنبت ذنبا كبيرا فهل لي من توبة؟، فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : ألك والدان؟, قال: لا، قال: فلك خالة؟, قال: نعم، قال: فبرها إذا.

Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melakukan dosa besar, apakah aku masih bisa bertaubat?”, maka Rasulullah ﷺ mengatakan kepadanya: ”Apakah kau memiliki kedua orang tua?”, ia menjawab: ”Tidak”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Apakah kau memiliki bibi (dari ibu)?”, ia berkata: ”Iya”, Rasulullah ﷺ bersabda:”Maka kalau begitu berbaktilah kepadamya”. (HR Ibnu Hibban, Syu’aib Al Arna’uth mengatkan: bahwa sanadnya shahih sesuai syarat syaikhain).

Hal itu karena kedudukan bibi (dari ibu) dalam Islam, sama dengan kedudukan ibu, berdasarkan sabda Rasulullah :

الخالة بمنزلة الأم

“Bibi – dari pihak ibu - memiliki kedudukan layaknya ibu”. (HR Bukhari).

Dan Islam menjadikan hak orang tua senantiasa berlanjut, walaupun setelah mereka berdua wafat, dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila manusia meninggal, amalannya akan terputus kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang senantiasa berdoa untuknya”. (HR Muslim).

 

 

Hak wanita dalam Islam sebagai orang biasa.

Agama Islam memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan sesuatu yang ma’ruf dan berbuat baik kepada mereka, berdasarkan sabda Rasulullah :

إن المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا وشبك أصابعه

“Sesungguhnya seorang mu’min bagi mu’min yang lain bagaikan bangunan, yang saling menguatkan satu sama lainnya”, seraya menyimpulkan jari jemarinya. (HR Bukhari).

Dan kalau kah mereka itu termasuk bibi, baik dari pihak ayah, ataupun ibu, atau merupakan kerabat dekat, maka mereka termaasuk memiliki hubungan rahim yang diperintahkan oleh Allah untuk disambung, dan Allah juga mengancam orang yang memutusnya dengan balasan yang pedih, Allah ta’ala berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ

“Maka Apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS Muhammad: 22).

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

لا يدخل الجنة قاطع رحم

“Tidak akan masuk surga, seseorang yang memutus tali silaturrahmi”. (HR Muslim).

Dan menjanjikan orang yang berbuat baik kepada mereka, pahala dua kali lipat, Rasulullah ﷺ bersabda:

الصدقة على المسكين صدقة وهي على القريب صدقتان صدقة وصلة

“Bersedekah kepada orang miskin dianggap sedekah, dan sedekah kepada kerabat dianggap sebagai sedekah dan menyambung tali silaturrahmi”. (HR Ibnu Khuzaimah).

Dan apabila seorang wanita itu merupakan tetangga kita, maka ia memiliki dua hak, hak seorang muslim, dan hak tetangga, Allah ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh”. (QS An Nisa: 36).

Maka tetangga wanita itu harus berbuat baik kepadanya, memperhatikan keadaan dan memenuhi kebutuhannya, serta memberikan bantuan jika mereka memerlukannya, Rasulullah ﷺ bersabda:

مازال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه

“Masih saja Jibril berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku kira ia berhak mewarisi harta tetangganya”. (HR Bukhari).

Sebagaimana ia juga tidak boleh mengganggunya, baik dengan ucapan yang menyakitkannya, atau sikap yang buruk kepadanya, Rasulullah ﷺ bersabda:

والله لا يؤمن والله لا يؤمن والله لا يؤمن, قيل: ومن يا رسول الله؟، قال:الذي لا يأمن جاره بوائقه

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman”, ada yang berkata: ”Siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Orang yang tetangganya tidak aman dari perilakunya”. (HR Bukhari).

Demi menjaga hak-hak mereka sebagai wanita, dan membuat seluruh kaum muslimin berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhannya, agama Islam menjadikan bantuan yang diberikan seseorang kepada mereka termasuk dari amalan-amalan yang utama, Rasulullah ﷺ bersabda:

الساعي على الأرملة والمسكين كالمجاهد في سبيل الله أو القائم الليل الصائم النهار

“Orang yang berjalan-untuk memenuhi kebutuhan para janda dan orang miskin, bagaikan seorang mujahid di jalan Allah, atau bagaikan orang yang senantiasa shalat di malam hari, dan berpuasa di siang hari”. (HR Bukhari).

Dahulu para sahabat رضي الله عنهم selalu mengecek keadaan para tetangganya, terutama orang-orang yang membutuhkan dan para wanita, Thalhah رضي الله عنه meriwayatkan dan berkata:

“Suatu malam Umar bin Khattab رضي الله عنه keluar, saat itu ia menjabat sebagai Amiirul mu’minin, maka aku pun mengikutinya, lalu ia masuk ke dalam suatu rumah, lalu masuk ke rumah yang lainnya. Ketika datang pagi hari, aku pun kembali melewati rumah itu, dan ternyata di dalamnya terdapat seorang wanita tua yang buta dan tidak mampu bergerak, lalu aku pun berkata kepadanya: ‘Apa yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang datang semalam?’, ia berkata: ‘Dia adalah seorang yang selalu mengurusku, sejak demikian dan demikian, ia memenuhi kebutuhanku, membersihkan rumahku, dan menjauhkanku dari bahaya’”. Thalhah berkata: ”Lantas apakah kau masih mau mencari-cari kesalahan Umar?”. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah).

Yang telah kita sebutkan tadi merupakan garis besar, yang di dalamnya mengandung hak-hak wanita yang lain, yang tidak mungkin kita sebutkan satu persatu, karena takut bertele-tele, dan semoga hal itu bisa menunjukkan kepada pembaca sekalian, sebagian contoh mulia, yang menggambarkan penghormatan Islam bagi wanita, dimana dari sejak dahulu sampai sekarang tidak ada satu pun yang menghormati dan memuliakan wanita seperti ini, dan hal itu tidak akan didapat kecuali dengan berada di bawah naungan agama Islam, dan mempraktekkan segala hukumnya.

 

 

 

Syubhat-syubhat yang berkaitan dengan wanita dalam Islam.

Berhubung saat ini kita sedang membicarakan masalah wanita, saya rasa ini adalah saat yang tepat untuk membahas sebagian syubhat yang tersebar, yang berkaitan dengan hak-hak wanita dalam Islam, yang tujuan dari syubhat itu adalah menuduh agama Islam, dan memperburuk citranya yang indah, yang senantiasa menjaga kehormatan, kemuliaan, keagungan, dan kehormatan wanita muslimah, sejak saat ia pertama kali muncul.

Sesungguhnya syubhat-syubhat yang disebar berkaitan dengan hak-hak wanita dalam Islam melalui seminar-seminar, dan perkumpulan-perkumpulan tertentu, memiliki tujuan terselubung, yang lebih dari sekedar klaim memberikan kebebasan bagi wanita.

Saya tidak tau, mengapa mereka tidak pernah membahas maslah hak-hak anak, hak-hak para difabel, hak-hak para pengangguran, dan hak-hak orang-orang yang lemah dari kedua belah pihak, laki-laki maupun perempuan, yang mendapat tekanan dalam agama dan kehidupan mereka, orang-orang yang terjajah, dan terusir dari negara mereka dimana pun mereka berada? mengapa mereka tidak mengadakan seminar-seminar yang menuntut para penghisap darah rakyat untuk memberikan hak-hak mereka yang terampas? dan mengapa mereka tidak menyebarkan kecuali perara-perkara yang mereka yakini buruk berdasarkan pikiran-pikiran orang-orang yang tidak mengetahui dan mengenal hakikat agama Islam, dan tidak mampu melihat cahayanya?

Diantara tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Menyibukkan pandangan masyarakat, baik muslim ataupun non muslim, dari agenda dan rencana yang telah ditentukan orang-orang tertentu yang mengedepankan kepentingan pribadinya, karena diantara keuntungan bagi mereka adalah menyibukkan masyarakat, juga memanfaatkan kapabilitas dan kemampuan mereka, serta memalingkan pandangan mereka kepada perkara-perkara yang diilusikan layaknya perkara yang penting, sedang mereka meninggalkan perkara-perkara yang jauh lebih penting.

Kami sebagai kaum muslimin meyakini, bahkan memutuskan, bahwa masalah-masalah ini tidak perlu disebar-sebarkan, karena Islam sudah membahas dan menjelaskannya.

Namun orang-orang itu berpenampilan layaknya orang yang ingin menasehati, mencari kebenaran, dan membela hak-hak wanita, tujuannya agar para wanita bergabung bersama mereka, kemudian setelahnya mereka hanya akan dijadikan bak pion catur yang digerakkan kemanapun orang-orang itu mau, dan menjadikannya sebagai umpan bagi orang-orang yang ingin memburu mereka untuk menjadi golongannya.

  • Kecintaan untuk menyebarkan kerusakan dan kehinaan di tengah-tengah masyarakat, karena apabila kehinaan dan kerusakan sudah tersebar di suatu masyarakat, hal itu akan mempermudah usaha untuk menjajah mereka, dan merampas sumber daya dan kekayaan mereka, untuk keuntungan musuh-musuh yang senantiasa mengintai mereka, dan mencari kesempatan untuk menghabisi mereka.

Hal itu karena seluruh kemampuan mereka, yang merupakan benteng yang menjaga mereka, dihabiskan untuk memikirkan hal-hal sia-sia, dan kenikmatan individu semata yang jauh dari apa yang akan menguntungkan mereka, baik dari segi ekonomi atau sosial.

Professor Henry Makow Ph.D mengatkan:

“Sesungguhnya peperangan yang dilancarkan orang-orang barat atas umat Islam-khususnya Arab-memiliki tujuan yang sangat jauh, baik dari segi politik, budaya, dan moral. Karena yang menjadi target mereka adalah aset dan kekayaan mereka, ditambah lagi mereka juga menargetkan sesuatu yang paling mahal yang mereka miliki, yaitu agama, dan kekayaan budaya, dan moral mereka, dan diantara usaha mereka dalam masalah wanita adalah, usaha mengganti burqa (cadar) dengan bikini, dan segala sesuatu yang membuat mereka melucuti pakaian mereka”[29].

Jikalau mereka memang benar-benar peduli terhadap wanita, pastilah mereka tidak akan menuntut hak-hak wanita hanya di usia-usia tertentu, lalu melemparkannya begitu saja ketika ia tua, mana tuntutan mereka yang menuntut hak-hak wanita ketika menjadi ibu? Mana tuntutan mereka yang menuntut hak-hak wanita ketika mereka sudah memasuki usia senja? Padahala saat itu mereka lebih membutuhkan bantuan dan perhatian dari pada sebelumnya -sedang agama Islam menekankan untuk berbuat baik kepada mereka apalagi ketika mereka sudah memasuki usia senja, dan menjadikannya sebagai amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah- , namun kenyataaan yang kita saksikan malah banyak sekali panti-panti jompo tersebar di negara-negara yang menuntut hak-hak para wanita.

Betapa indah dan lebih terjaganya hak-hak yang diberikan karena mengharap pahala dari Allah, dan menganggap memberikannya sebagai amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, juga takut dari hukumanNya, ketika enggan untuk meberikannya kepada pemiliknya, dari pada hak-hak yang diberikan atas dasar undang-undang semata, apabila undang-undang itu hilang, maka hak-hak itu pun akan hilang.

Dan betapa mengherankannya ketika kita melihat majalah-majalah yang menyebarkan foto-foto wanita yang cantik, lalu lupa -atau pura-pura lupa- menyertakan foto-foto wanita yang tidak secantik yang terpampang dimajalah itu, atau wanita-wanita tua, bukankah semuanya sama-sama wanita? Atau mereka memajangnya semata hanya memanfaatkan para wanita untuk mempromosikan barang-barang dagangan mereka?

  • Kedengkian yang dimiliki para penganut agama terdahulu terhadap agama Islam dan para pengikutnya, Samuel Zwemer, pimpinan kelompok misionaris, mengatakan dalam konfrensi untuk para misionaris yang dilaksanakan di yerusalem pada tahun 1935:

“Tujuan kristenisasi yang dianjurkan oleh negara-negara Kristen atas kalian dan digencarkan di negara-negara Muhammad (maksudnya: negara-negara Islam), bukan untuk menjadikan kamu mulimin beragama nasharani, karena hal itu sama saja memberikan hidayah dan kemuliaan kepada mereka, akan tetapi tujuan kalian adalah mengularkan seorang muslim dari agama Islam… sehingga ia menjadi makhluk yang tidak memiliki hubungan antara dirinya dengan Allah.. kemudian setelah itu mereka menjadi makhluk yang tidak diikat oleh moral yang menjadi sandaran setiap umat dalam kehidupan mereka… sehingga usaha kalian itu menjadi awal mula penjajahan atas kerajaan-kerajaan Islam”[30].

Misionaris lainnya juga mengatakan:

“Kalau kita bisa membuat wanita keluar dari rumahnya atau meracuni otak para wanita, maka kita sudah berhasil mencapai target kita”.

Dan sungguh tujuan dan target mereka hanyalah untuk menyebarkan kerusakan dan kehinaan, untuk menjajah negara-negara Islam dan para pengikutnya, dan dengan menyebarkan syubhat ini, mereka bertujuan untuk mencemarkan nama baik agama Islam dan hakikatnya.

Dan kalau kita perhatikan, permusuhan dan usaha segencar ini, tidaklah mereka lakukan, kecuali hanya kepada agama Islam saja, maka maha benar Allah subhanahu wa ta’ala yang berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ”Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS Al Baqarah: 120).

  • Maksud dari disebarkannya syubhat yang berkaitan dengan hak wanita dalam Islam dari waktu ke waktu, adalah untuk mengeluarkan mereka dari kehormatan, dan kemuliaan mereka, sehingga mereka bisa terjerumus ke dalam jurang kerendahan, dan penjajahan. Hal itu dengan dengan menjadikan wanita-wanita barat sebagai teladan yang harus ditiru oleh mereka.

Maka setiap wanita yang membaca buku ini hendaknya bertanya kepada dirinya sendiri-baik ia muslimah ataupun bukan-apakah kedudukan yang dirasakan oleh wanita barat saat ini adalah kedudukan yang mulia bagi seorang wanita, atau kedudukannya adalah kedudukan yang rendah dan menyedihkan?

Professor Henry Makow Ph.D mengatakan:

“Sesungguhnya para remaja wanita di amerika, mereka menjalani kehidupan yang keras dan murahan, mereka dikenal oleh puluhan lelaki sebelum ia menikah, bahkan ia kehilangan kehormatannya yang merupakan hal yang paling menawan dari dirinya, sehingga mereka menjadi seperti benda mati yang tidak bisa merasakan cinta lagi.

Sesungguhnya wanita di tengah masyarakat amerika, mendapati diri mereka lebih bersifat layaknya laki-laki, inilah yang menjadikan diri mereka kejam dan labil, tidak cocok untuk menjadi seorang istri, akan tetapi mereka hanya sebatas objek penyalur hasrat seksual saja, bukan untuk dicintai dan dijadikan ibu.

Sesungguhnya sifat keibuan adalah puncak dari evolusi manusia, ia adalah tahapan di mana seseorang bisa keluar dari genangan syahwat, sehingga menjadi hamba Allah sejati, memberikan pendidikan, dan merasakan kehidupan yang baru. Akan tetapi peraturan internasional, tidak ingin kita mencapai derajat tersebut, akan tetapi mereka ingin membuat kita orang-orang yang haus dan gila syahwat, dan menyuguhkan kepada kita pandangan-pandangan yang kotor sebagai ganti dari pernikahan”[31].

Setiap orang yang berakal pasti akan menyadari, betapa para wanita benar-benar dimanfaatkan, selama mereka masih cantik dan segar, setiap peluang akan terbuka lebar-lebar bagi mereka, dan ketika mereka kehilangan kecantikan dan kesegaran mereka, mereka akan dibuang layaknya biji buah-buahan.

Mereka berusaha untuk menjadikan wanita sebagai barang dagangan mereka, diperjual belikan melalui media-media masa, lewat tulisan, radio, ataupun televisi, dan menjadikan wanita sebagai objek yang bisa dinikmati, dan dijadikan pelampiasan syahwat semata.

Sesungguhnya mereka yang melakukan itu semua adalah orang-orang yang tidak memperhatikan anak-anak perempuan mereka, mengkhianati istri-istri mereka, durhaka kepada ibu-ibu mereka, dan berbuat buruk kepada tetangga-tetangga wanita mereka, sejatinya merekalah yang sebenarnya merampas hak-hak wanita, juga kebebasan mereka, membuat mereka terjerumus ke dalam jurang kehancuran, sangat jauh sekali dengan sabda Rasulullah :

استوصوا بالنساء خيراً

“Aku berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada wanita”.

Sesungguhnya keadaan wanita yang hidup di tengah masyarakat barat yang tidak terjamin kebebasan mereka, merupakan hasil dari gejolak pemberontakan atas apa yang ditetapkan oleh gereja di abad pertengahan yang berkaitan dengan hak-hak wanita, mereka membatasi, merampas, dan mengoyak hak-hak wanita, juga menghinakan kemanusiaan mereka.

Keadaan itu pun dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki maksud buruk untuk mengadu domba antara masyarakat dengan agama, sehingga mereka bisa menghasilkan sebuah generasi yang jauh dari segala akhlak dan moral, demi mempermudah usaha mereka untuk mengatur mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Berbeda dengan Islam, maka dalam agama Islam tidak ada kedzaliman, ataupun merampas hak para wanita, bahkan agama Islam menyetarakan antara wanita dengan pria dalam segala hal, kecuali beberapa perkara yang khusus diberikan kepada pria tanpa wanita, hal itu pun berdasar atas perbedaan yang dimiliki keduanya, baik dari segi jasmani, ataupun rohani. Tidak ada satu pun yang mengingkari perbedaan yang terdapat antara laki-laki dan perempuan, maka berdasarkan perbedaan itulah agama Islam membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa perkara.

Dr. G. Lobon mengatakan dalam bukunya ”Peradaban Islam dan Arab”:

“Apabila kita ingin mengetahui seberapa besar efek yang diberikan alquran dalam perkara yang berkaitan dengan wanita, maka kita harus melihat keadaan mereka pada saat peradaban Arab mencapai puncaknya.

Para ahli sejarah mengatkan bahwa para wanita saat itu, mereka telah merasakan apa yang baru dirasakan oleh wanita eropa saat ini, orang-orang eropa mengambil dari orang-orang Arab dasar-dasar kepahlawanan, yang diantaranya menghormati wanita.

Maka kalau begitu yang sebenarnya mengangkat derajat wanita dari tingkatan terdasar adalah Islam, bukan Kristen, hal ini berbeda dengan keyakinan yang selama ini tersebar.

Dan jika kau perhatikan orang-orang nashrani generasi pertama di abad pertengahan, kau akan memperhatikan mereka sama sekali tidak menghormati wanita, dan apabila kau buka buku-buku sejarah saat itu, maka kau akan semakin yakin, bahwa laki-laki pada masa feodalisme sangatlah kasar kepada perempuan, dan itu sebelum mereka belajar dari bangsa Arab bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik.

Setiap manusia berakal yang masih memiliki fitrah yang lurus dan rasa cemburu, pasti tidak akan rela jika kehormatan dan kemuliaannya dijadikan barang dagangan, yang dipermainkan oleh para srigala berbentuk manusia, yang tidak memiliki tujuan kecuali hanya untuk memenuhi syahwat hewani mereka.

Begitu juga dengan wanita yang berakal dan memiliki fitrah yang lurus, ia tidak akan rela dijadikan sebagai barang yang diperjual belikan, atau seperti bunga yang rela dicium dan dinikmati oleh setiap orang yang melewatinya, lalu dibuang layaknya baju yang lusuh.

Petunjuk yang diberikan Islam dalam menjaga setiap hak pengikutnya adalah petunjuk yang jelas, sesuai dengan fitrah dan akal, petunjuk yang dibangun atas kebutuhan manusia dan dilandasi rasa cinta untuk memberi kebaikan bagi semua orang. Agama Islam mendidik pengikutnya untuk menjaga kehormatan, kesucian, dan kemuliaan, dan memberikan petunjuk yang baik kepada meraka, sebagaimana yang kita katakana, sesuai dengan kebutuhan manusia, yang melalui petunjuk itu agama Islam berusaha memperbaiki akhlak para pengikutnya.

Lihatlah seorang pemuda yang mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata:

“Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina”, maka seluruh orang yang ada saat itu pun memperingatinya, mereka berkata:”Diam.. diam..!”, makar Rasulullah ﷺ bersabda: ”Dekatkan ia”, pemuda itu pun mendekat dan duduk, Rasulullah ﷺ bersabda:”Apakah kau rela ibumu dizinai?”, ia berkata: ”Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Begitu juga manusia tidak rela ibu mereka dizinai, apa kau rela anak perempuanmu dizinai?”, ia berkata: ”Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Begitu pula manusia tidak rela anak perempuannya dizinai, apa kau rela saudari perempuanmu dizinai?”, ia berkata: ”Tidak, demi Allah wahai Rasulullah”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Begitu juga orang manusia tidak rela saudari perempuannya dizinai, apa kau rela bibimu-dari ayah-dizinai?”, ia berkata: ”Tidak, demi Allah wahai Rasulullah”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Begitu juga manusia tidak rela bibi– dari ayah-mereka dizinai, apa kau rela bibimu-dari pihak ibu-dizinai?”, ia berkata: ”Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Begitu pula manusia tidak rela bibi-dari ibu-mereka dizinai”, kemudian Rasulullah ﷺ menaruh tangannya di atas dada pemuda tersebut dan bersabda: ”Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya”, setelah itu sang pemuda tidak pernah lagi tertarik untuk melakukan zina.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani).

Diantara syubhat-syubaht yang tersebar adalah:

 

 

Masalah poligami.

Sesungguhnya poligami adalah syariat yang diturunkan oleh Tuhan, maka tidak sepantasnya seorang yang beriman kepada Allah, dan risalah-risalah langit, untuk mengingkarinya, atau menolaknya.

Poligami dalam Islam adalah amalan sunnah, sebagaimana yang terdapat juga di agama-agama sebelumnya, poligami bukanlah syariat yang hanya dimiliki oleh agama Islam saja, akan tetapi poligami adalah syariat lama, yang sudah ada di syariat-syariat sebelumnya, seperti di taurat, dan injil.

Para Nabi sebelum diutusnya Muhammad ﷺ banyak berpoligami tanpa ada batasan istri. Contohnya Ibrahim beliau memiliki 2 orang istri, Ya’qub , beliau memiliki 4 orang istri, Sulaiman عليه الصلاة السلام, beliau memiliki banyak istri…dst. Kalau begitu masalah poligami bukanlah masalah baru, akan tetapi sudah ada sejak dahulu.

Dalam taurat:

Disebutkan dalam perjanjian lama, dalam kitab suci orang-orang Yahudi:

“Janganlah kau ambil seorang perempuan sebagai madu kakaknya untuk menyingkap auratnya di samping kakaknya selama kakaknya itu masih hidup”[32].

Ayat ini tidak mengharamkan poligami, akan tetapi mengharamkan menggabung antara seorang wanita dengan saudari perempuannya.

Sebagaimana juga disebutkan dalam kitab Samuel, bahwa nabi Daud menikahi beberapa orang istri, belum termasuk budak perempuannya, begitu juga disebutkan dalam kitab raja-raja, bahwa nabi Sulaiman memiliki 700 istri, dan 300 budak wanita.

Ketika nabi Musa diutus sebagai rasul, ia membolehkan poligami tanpa memberi batasan jumlah istri bagi laki-laki , sampai Bani Israil sendiri yang memberikan batasan jumlah istri ketika mereka berada di Baitul Maqdis, namun ada diantara pemuka agama Bani Israil yang melarang poligami, dan ada pula yang membolehkannya ketika istri seseorang sakit, atau mandul.

Dalam injil:

Isa diutus untuk menyempurnakan syariat Musa , dan tidak ada satupun ayat dalam injil yang mengharamkan poligami.

Lihatlah raja Irlandia yang bernama Diarmait yang memiliki 2 orang istri[33], raja Fredrick II juga memiliki 2 orang istri dan disetujui oleh gereja, sehingga penghalalan dan pengharaman bukan berdasar agama Kristen, namun tergantung keputusan para pemuka gereja.

Martin Luther, pendiri krinsten protestan, ia menganggap poligami adalah peraturan yang tidak bersebrangan dengan hukum-hukum syariat agama Kristen, bahkan ia menyuarakan poligami di setiap kesempatan, ia berkata:

“Iya, Tuhan mengizinkan untuk melakukan hal itu bagi para laki-laki dalam perjanjian lama karena sebab-sebab tertentu, akan tetapi dalam agama Kristen, seorang nashrani yang ingin mengikuti mereka, ia berhak melakukan hal itu kapanpun ia yakin bahwa keadaannya sama dengan keadaan mereka, karena apapun keadaannya, poligami itu lebih baik dari pada perceraian”[34].

Sesungguhnya larangan poligami dalam agama Kristen, merupakan hasil dari peraturan yang ditetapkan oleh para pemuka gereja, bukan dari syariat agama Kristen, peraturan gereja saat ini, yang dipelopori oleh Paus di roma, melarang poligami, contohnya:

  • Kristen orthodoks tidak membolehkan salah seorang pasangan suami istri untuk menikah lagi selama pernikahannya masih berlanjut.
  • Kristen ortodoks Armenia tidak membolehkan menikah untuk kedua kalinya, kecuali setelah membatalkan pernikahan yang pertama.
  • Kristen ortodoks roma menganggap pernikahan yang masih berlaku menjadi penghalang bagi pernikahan baru.

Bangsa Arab pada masa jahiliyah:

Poligami kebiasaan yang tersebar di tengah kabilah Arab pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam, tanpa ada batasan berapa jumlah wanita yang bisa dinikahi seseorang.

Poligami adalah hal yang sudah dikenal di tengah masyarakat Mesir, Persia, suku Assyiria, orang-orang Jepang, dan India.

Sebagaimana poligami juga dikenal di Rusia, suku Germania, dan juga dilakukan oleh beberapa penguasa Yunani.

Dari sini kita tau, bahwa poligami bukanlah perkara yang baru dalam Islam, akan tetapi poligami sudah terlebih dahulu dikerjakan oleh umat-umat sebelumnya, dan ketika Islam datang, Islam juga membolehkannya, akan tetapi Islam juga memberikan syarat-syarat dan batasan-batasan, sebagai berikut:

  1. Tidak boleh lebih dari 4 istri, berdasarkan hadist Ghailan bin Salamah At Tsaqafi, ketika ia masuk Islam, ia memiliki 10 orang istri, maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:

اختر منهن أربعا

“Pilihlah 4 orang diantara mereka”. (HR Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani).

  1. Harus berlaku adil, Allah membolehkan poligami, dan menjadikan diantara syarat melakukannya adalah adil, dan tidak boleh zalim kepada istri-istri, Rasulullah ﷺ bersabda:

إذا كان عند الرجل امرأتان فلم يعدل بينهما جاء يوم القيامة وشقه ساقط

“Apabila seorang memiliki dua orang istri, sedang ia tidak berlaku adil kepada keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring”. (HR Ahmad, Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani).

Maksud adil di sini adalah adil dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan materiil, seperti nafkah, pembagian jatah bermalam. Adapun perkara-perkara yang berkaitan dengan cinta yang ada di hati, juga kecenderungan kepada salah satu istri, ini bukanlah suatu dosa, karena hal itu di luar kemampuan manusia, dengan syarat, hal itu tidak menjadi sebab terebutnya hak salah satu istri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Aisyah رضي الله عنها, ia berkata:

كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ يَقسمُ بينَ نسائِهِ فيعدلُ ، ثمَّ يقولُ : اللَّهُمَّ هذا قَسْمي فيما أملِكُ ، فلا تلمني فيما تملِكُ ولا أملِكُ

“Dahulu Rasulullah ﷺ menjatah setiap istrinya dan berbuat adil, kemudian beliau bersabda: ‘Ya Allah, ini adalah pembagian yang aku lakukan dalam perkara yang aku mampu, maka janganlah kau cela aku atas apa yang Engkau mampu sedang aku tidak mampu”. (HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh syeikh Ahmad Syakir dalam Umdatut Tafsir).

  1. Kemampuan untuk memberi nafkah atas istri kedua dan anak-anak nya. Jika seorang tau bahwa dirinya tidak mampu memberikan nafkah kepada istri kedua dan anak-anak nya, maka tidak sepantasnya ia melakukan poligami.

Kemudian selanjutnya kita akan menyebutkan permasalahan-permasalahan yang kadang terjadi di tengah masyarakat, kemudian setelah itu mari kita lihat, apakah poligami itu memberikan keuntungan atau kerugian bagi masyarakat, dan apakah poligami itu memberikan keuntungan bagi wanita atau tidak?

  1. Terdapat beberapa wanita yang mengalami kemandulan dan tidak bisa melahirkan anak, sedangkan suaminya mendambakan anak, apa kiranya jalan keluar terbaik bagi sang wanita? Apakah sang suami boleh memadunya, dan ia tetap berada di bawah tanggungan suaminya, atau ia memilih suaminya mencerainya tanpa dosa yang ia kerjakan, karena sang suami memiliki hak untuk memiliki anak, sebagaimana ia memiliki hak untuk memiliki anak.
  2. Istri yang mengidap penyakit yang membuatnya tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri, apa yang harus dilakukan wanita itu? Memilih poligami dan tetap menjaga kehormatannya, atau ia memilih cerai, atau membiarkan suaminya berselingkuh dengan orang lain?
  3. Beberapa suami memiliki hasrat seksual yang tidak bisa dipuaskan oleh satu wanita saja, atau istrinya memiliki waktu datang bulan yang lebih panjang daripada wanita lainnya, atau istrinya mengalami lemah syahwat sehingga ia tidak bisa memuaskan hasrat seksual suaminya, apa jalan keluar terbaik? Membolehkan suaminya berpoligami, atau membiarkan suaminya memuaskan hasrat seksualnya melalui jalan yang haram?
  4. Tidak diragukan lagi, bahwa banyaknya peperangan, dan permasalahan permasalahan internal yang tersebar di tengah-tengah masyarakat, banyak memakan korban yang umumnya dari pihak laki-laki , bukti terbaik atas hal itu adalah, perang dunia pertama dan perang dunia kedua, yang memakan korban lebih dari 20.000.000 laki-laki , kalau setiap laki-laki hanya boleh menikahi satu wanita saja, lantas dikemanakan wanita-wanita lainnya? Apakah mereka dipaksa untuk mencari kepuasan melalui jalan-jalan yang haram? Atau mereka boleh mendapatkan kepuasan dengan cara yang syar’i yang menjaga kehormatan, kemuliaan, dan hak-hak mereka, mereka bisa melahirkan anak-anak yang sah sesuai dengan syariat walau melalui jalan poligami? Dan tidak diragukan lagi, bahwa banyaknya wanita yang hidup tanpa suami, mempermudah laki-laki hidung belang untuk melakukan perzinaan.
  5. Banyak tersebarnya janda yang ditinggal mati suaminya, atau dicerai, juga perawan tua, apa jalan keluar terbaik bagi mereka? Bertahan tanpa menikah, atau hidup di bawah naungan seorang laki-laki yang menjaga kehormatan dan kemuliaannya, walau harus berbagi dengan wanita lain?

Apakah poligami terdapat pada masyarakat modern?

Poligami juga terdapat pada masyarakat modern, akan tetapi hal itu dikenal di masyarakat non Islami dengan sebutan pacar, atau simpanan, bukan istri, sehingga poligami yang mereka lakukan tidak ada batasannya. Dan tidak resmi sesuai hukum negara,

Dan seorang laki-laki yang melakukan hal itu tidak memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada para wanita yang dijadikan pacar atau simpanannya, ia hanya menyalurkan syahwat, dan menodai kehormatannya, dengan cara bersetubuh dengannya, lalu meninggalkannya menanggung sendiri sakit karena hamil dan yang lainnya.

Sebagaimana laki-laki itu tidak memiliki kewajiban untuk mengakui anak yang dihasilkan lewat hubungan itu.

Adapun dalam masyarakat Islami, poligami dibolehkan dengan batas 4 orang istri saja, dan dengan akad yang syar’i.

Sang laki-laki harus memberikan mahar kepada wanita, dan ia harus mengakui anak yang dihasilkan dari hubungan yang terjalin antara mereka berdua sebagai anak yang sah, juga bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada wanita itu dan anak-anak nya.

Kalau ada yang bertanya: Jika kita bolehkan poligami untuk laki-laki, mengapa kita tidak perbolehkan poliandri (menikah dengan lebih dari satu orang laki-laki) bagi wanita?

Maka jawabannya: Menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah poligami adalah hal yang mustahil, baik berdasarkan fitrah, ataupun tabi’at.

Adapun dalam masalah fitrah, karena setiap laki-laki yang ada di setiap masyarakat memiliki hak untuk memimpin rumah tangga, karena umumnya mereka memiliki kekuatan lebih –walaupun terkadang ada wanita yang lebih kuat dari pada laki-laki , namun itu jarang sekali–, dan kalau seorang wanita memiliki suami lebih dari satu, lalu siapa yang harus menjadi pemimpin rumah tangga? Dan kepada keinginan siapa wanita itu harus tunduk? Apakah kepada semua suaminya, itu adalah hal yang mustahil, karena setiap orang memiliki keinginan yang berbeda-beda, atau ia hanya mematuhi keinginan salah satunya, dan itu akan mengakibatkan kemarahan suaminya yang lain!

Sedangkan dalam masalah tabiat, sebagaimana kodratnya wanita, dia hanya mampu hamil sekali dalam setahun dan untuk satu laki-laki saja, berbeda dengan laki-laki , yang mampu mendapatkan anak lebih dari satu dari beberapa wanita di satu waktu, kalau wanita diperbolehkan untuk melakukan poliandri, lantas kepada suami yang mana nasab anaknya itu akan disandarkan?

Tuntutan sebagian cendikiawan barat untuk berpoligami

Berhubung saat ini kita sedang membahas poligami, maka kita akan sebutkan perkataan sebagian cendikiawan barat yang menuntut poligami, dan menganggapnya sebagai jalan satu-satunya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan masyarakat.

Seorang ahli filsafat bernama Gustave Le bon dalam bukunya ”Peradaban Islam dan Arab” berkata:

“Sesungguhnya poligami menghindarkan masyarakat dari bencana, merebaknya simpanan para laki-laki, dan tersebarnya anak-anak yang lahir tanpa bapak, yaitu yang tidak jelas asal usulya”.

Mrs. Annie Besant juga berkata dalam bukunya yang berjudul ”Agama-Agama yang Tersebar di India”:

“Sesungguhnya aku membaca di dalam perjanjian lama, bahwa sahabat Allah yang menjadikan hatinya sesuai dengan kemauan Allah, ia melakukan poligami, ditambah lagi perjanjian baru tidak mengharamkan poligami kecuali atas para uskup dan diaken saja, merekalah yang hanya boleh menikahi satu wanita saja.

Dan tidaklah mereka menuduh Islam, kecuali karena manusia lebih mudah mencari aib keyakinan orang lain, dan menyebarkannya, akan tetapi, bagaimana bisa orang-orang barat berbondong-bondong menolak poligami yang diperbolehkan oleh orang timur dengan batasan tertentu, sedangkan pelacuran merebak pesat di negara mereka?

Dan seorang yang memperhatikan dengan seksama, akan mendapati bahwa menikahi satu orang wanita saja bukanlah suatu kehormatan, kecuali bagi sebagian kecil orang-orang suci saja.

Dan tidak bisa dibenarkan, ketika suatu masyarakat mengatakan bahwa mereka hanya cukup menikahi satu wanita saja, lantas memiliki selingkuhan yang dijadikan simpanan, dan ketika kita timbang kedua hal ini (poligami dan memiliki simpanan) dengan timbangan yang adil, kita akan dapati bahwa poligami Islami yang lebih menjaga, mengayomi, dan menafkahi wanita, lebih baik daripada pelacuran yang tersebar di barat, yang membolehkan seorang laki-laki bersetubuh dengan wanita lain hanya untuk memuaskan syahwatnya saja, kemudian setelah itu ia lemparkan wanita itu begitu saja di pinggir jalan ketika ia selesai memakainya, orang-orang barat mengatakan bahwa kedua hal itu buruk[35], akan tetapi janganlah kalian bolehkan seorang beragama Kristen mencela saudaranya yang beragama Islam karena sebab yang sama-sama mereka perbuat”[36].

 

 

 

Wanita dan persaksian.

Allah ta’ala berfirman:

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (QS Al Baqarah: 282).

Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan dalam ayat ini bahwa persaksian untuk menetapkan suatu hak tidak sah, kecuali jika dikerjakan oleh dua orang laki-laki , atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

Diantara hikmah Allah subhanahu wa ta’ala, Ia jadikan wanita memiliki belas kasih dan perasaan yang kuat, itu adalah identitas kepribadian mereka, hal itu agar mereka bisa menunaikan kewajiban yang mereka emban dalam hidup ini, seperti hamil, menyusui, mendidik, dimana hal-hal ini membutuhkan perasaan dan belas kasih yang besar.

Dan karena wanita secara kodrat memiliki perasaan dan belas kasih yang sangat besar, hal itu akan memberikan imbas pada perlakuan mereka di tengah medan persaksian.

Maka diantara keadilan Allah, yaitu berhati-hati dalam masalah persaksian seorang wanita, oleh karena itu kesaksian mereka sebisa mungkin diminimalisir apalagi dalam masalah-masalah pidana.

Karena ketika mereka datang ke persidangan, yang bisa jadi berakhir dengan hukuman mati, atau yang berkaitan dengan pidana, pada umumnya mereka tidak mampu menahan dirinya untuk fokus sampai akhir proses persidangan, akan tetapi ia akan berusaha sebisa mungkin untuk kabur dan menghindar, kalau tidak bisa mereka akan menutup mata, sehingga mereka tidak menyaksikan keburukan yang mungkin terjadi saat itu, hal itu karena sebagaimana yang telah kita jelaskan, bahwa perasaan dan belas kasih mereka bisa berdampak pada kesaksian mereka.

Walaupun agama Islam membolehkan bagi perempuan untuk membelanjakan hartanya, dan menyetarakan mereka dengan laki-laki, namun sudah menjadi kodrat dan tanggunga jawab sosial mereka –pada umumnya– untuk tetap tinggal di dalam rumah untuk mengatur dan menunaikan kewajiban rumah tangga, yang harusnya hal itu menjadi prioritas utama para wanita, sehingga membuat mereka jarang sekali ikut berkecimpung dalam dunia jual beli, yang sering kali di dalamnya terjadi perselisihan, dan kalaupun mereka datang ke tempat-tempat tersebut, kedatangan mereka itu pun jarang, sedangkan perselisihan yang terjadi di tempat tersebut tidak membuat mereka tertarik, bahkan mereka enggan untuk mengingat-ingatnya, dan apabila mereka diminta untuk memberikan kesaksian, maka kemungkinan mereka lupa dan tidak mengetahui perkara itu ada, akan tetapi, jika ada seorang wanita lain yang menguatkan kesaksiannya, maka kemungkinan salah atau lupa tadi hilang, oleh karena itu Allah menjelaskan alasan disyaratkannya dua orang wanita dalam persaksian dalam firmanNya:

أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى

“Supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya”.

Maksudnya, takut salah seorang diantara keduanya salah, atau lupa, maka kesaksian wanita lainnya akan mengingatkan dirinya, inilah yang dimaksud dalam ayat ini.

Bukan seperti yang disangkakan oleh sebagian orang, bahwa ayat ini merendahkan kehormatan wanita dan menghinakan mereka.

Kalau apa yang mereka sangkakan itu benar, maka harusnya persaksian seorang wanita tidak akan diterima walau dalam perkara-perkara khusus yang berkaitan dengan wanita, yang pada umumnya tidak diketahui kecuali oleh para wanita.

Namun nyatanya kesaksian seorang wanita diterima walau tanpa saksi lain, dalam masalah tes keperawanan, tes kelahiran, tes yang berkaitan dengan cacat seksual, dan sejenisnya. Sedangkan persaksian seorang laki-laki saja tidak boleh walaupun dalam masalah keuangan yang paling kecil.

Bahkan kita bisa katakan, bahwa para wanita memiliki keistimewaan atas laki-laki, karena persaksian seorang wanita diterima dalam masalah yang lebih parah dari pada masalah uang, karena persaksian wanita dalam masalah tadi, akan menjadi sandaran atas suatu hukum

Dan sebagaimana kesakian seorang laki-laki dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan harta, akan tetapi harus disaksikan pula oleh laki-laki lain, sehingga kebenaran bisa diketahui, namun tidak ada seorang pun yang menganggap pensyaratan tersebut merendahkan kehormatan dan menghinakan laki-laki.

Ditambah lagi meberi kesaksian bukanlah hak yang diperebutkan manusia, akan tetapi kesaksian adalah beban berat yang dihindari oleh mereka, oleh karena itu Allah ta’ala melarang seseorang untuk kabur dari kesaksiannya, Allah ta’ala berfirman:

وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا

 Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. (QS Al Baqarah: 282).

Larangan ini berlaku umum bagi laki-laki maupun wanita, dan apabila kita tau bahwa kesaksian adalah beban berat yang dihindari oleh manusia, karena bisa mengakibatkan kerugian, dan ia harus datang ke persidangan yang kadang berlangsung sangat lama, sehingga mengakibatkan kerugian baik berupa jasmani ataupun harta, maka Islam berusaha untuk memberikan keringanan bagi wanita dari beban-beban kehidupan sebisa mungkin, bahkan agama Islam menghapus atas mereka beberapa beban, seperti kepemimpinan, dan tanggung jawab menafkahi keluarga, dengan tujuan agar mereka bisa fokus mengerjakan tanggung jawab besar yang mereka emban, hal ini merupaka kehormatan bagi wanita, bukan menghinakan mereka.

Belum lagi ditambah bahwa syariat Islam menerima kesaksian wanita yang bersebrangan dengan kesaksian laki-laki, dan menganggap kesaksian keduanya sama, hal itu berlaku pada masalah Li’an, yaitu ketika suami menuduh istrinya melakukan zina, namun ia tidak memiliki bukti atas tuduhannya, Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ . وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ . وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ . وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ .

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.

Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.” (QS An Nur: 6-9).

 

 

 

Masalah hak untuk menjadi pemimpin (Qawwamah).

Allah ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An Nisa: 34).

Kata ”Qowwamah” diambil dari asal kata: القيام على الشيئ (mengurus sesuatu), dan hak untuk menjadi pemimpin hanya dimiliki oleh para laki-laki, bukan wanita, karena laki-laki memeiliki kelebihan baik dari segi fisik ataupun akal yang memungkinkan mereka untuk mengemban tugas ini, kepemimpinan merupakan sifat bawaan dan di waktu bersamaan ia juga merupakan sifat yang didapat dengan belajar, sifat ini diberikan kepada laki-laki, karena mereka memiliki kewajiban untuk menunaikan hak para wanita, berupa infak, dan mengurusi segala keperluan mereka, seperti menjaga, mendidik, dan memenuhi kebutuhan kehidupan mereka, hal itu karena laki-laki adalah seorang pemimpin di keluarganya, dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas orang yang ia pimpin, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah .

Adapun wanita, dari segi fisik mereka lemah, hal itu karena banyak hal yang sering melanda mereka, seperti haidh, hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh anak-anak , yang mana hal itu membuat mereka tidak bisa mengemban kewajiban memimpin dengan baik.

Haidh: Haidh memberikan dampak pada kejiwaan dan tabiat mereka, dan juga mengurangi kekuatan fisik mereka, karena mereka mengeluarkan darah di setiap bulannya.

Hamil: Adapun saat mengalami kehamilan, seorang wanita sangat tersiksa, baik fisik karena pertumbuhan janin di dalam perutnya yang menyedot banyak gizi yang terdapat pada tubuhnya, dan hal itu membuat mereka lebih cepat lelah dan tak banyak bisa melakukan aktifitas, atau jiwa mereka, karena ketakutan dan kekhawatiran mereka akan keadaan anak mereka, juga rasa takut mereka ketika memikirkan apa yang akan mereka alami ketika datang saat melahirkan, yang mana hal itu akan menjadi beban bagi kejiwaan mereka, yang pada akhirnya berimbas pada perbuatan dan perlakuan mereka.

Melahirkan dan setelahnya: Juga apa yang akan terjadi setelahnya berupa rasa sakit yang teramat sangat, yang mengharuskan mereka untuk istirahat total, dan tidak boleh melakukan aktifitas yang berat selama masa tertentu yang berbeda antara satu wanita dengan yang lainnya.

Menyusui: Ketika seorang wanita menyusui anaknya, hal itu membuat ia harus berbagi gizi yang ia makan dengan anaknya, dan tidak diragukan lagi bahwa hal ini akan berimbas pada kesehatannya, terbukti sebagian wanita yang menyusui anaknya akan mengalami kerontokan rambut, pucat, atau merasakan rasa pening dan pusing.

Mengasuh anak: juga segala sesuatu yang bisa terjadi ketika seorang waita mengasuh anaknya, seperti terjaga di malam hari, dan menunaikan segala kebutuhan bayinya, yang mana hal itu banyak menyita waktu para wanita.

Al Aqqad mengatakan:

“Sesungguhnya para wanita memiliki kodrat berupa rasa kasih sayang yang khusus hanya dimiliki oleh mereka, yang berbeda dengan laki-laki, karena menemani anak-anak membutuhkan usaha ekstra untuk memadukan antara pembawaan mereka dengan pembawaan anak, pemahaman mereka dengan pemahaman anak, hati dan perasaan mereka dengan hati dan perasaan anak, lalu kodrat kewanitaan ini lah yang membuat para wanita lebih perasa dan pengasih, sehingga mereka akan merasa kesulitan untuk mengerjakan tanggung jawab para laki-laki yang membutuhkan akal, pemikiran, dan kemantapan hati”[37].

 Sebagaimana juga dikatakan oleh dr. Alexis Carrel, peraih hadiah nobel, ketika ia menjelaskan perbedaan antara anatomi tubuh laki-laki dan perempuan, ia berkata:

“Perbedaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, bukan hanya terdapat pada perbedaan bentuk, dan anatomi tubuh saja, seperti rahim, kehamilan, dan sistem pembelajarannya, akan tetapi lebih mengarah kepada kodrat dasarnya, hal itu disebabakan dari jaringan yang sangat kompleks, melalui proses impregnasi seluruh organisme bahan kimia atau zat tertentu yang disekresi oleh ovarium, ketidaktahuan akan fakta-fakta mendasar ini menyebabkan para penuntut kesetaraan gender percaya bahwa kedua jenis kelamin ini harus memiliki pendidikan, kekuatan, dan tanggung jawab yang sama.

Pada kenyataannya, wanita sangatlah berbeda dari laki-laki, setiap sela yang ada pada tubuhnya menunjukkan identitas dari jenis kelaminnya, sama halnya dengan anggota tubuhnya yang lain, bahkan lebih dari itu mereka juga berbeda sistem sarafnya.

Sesungguhnya struktur dan tugas anggota tubuh terbatas dan terorganisir, layaknya susunan tata surya, hal tersebut tidak bisa berubah hanya dengan kehendak manusia, tapi kita harus menerima itu semua apa adanya, maka hendaknya wanita berusaha mengembangkan bakat mereka, sesuai dengan kodrat yang mereka miliki, tanpa menyerupai laki-laki”[38].

Sebagaimana otot-otot yang dimiliki laki-laki juga berbeda dengan otot-otot yang dimiliki oleh wanita, sebagaimana yang bisa kita saksikan, hal itu memungkinkan laki-laki untuk mengerjakan tugas-tugas berat, yang biasanya tidak mampu diselesaikan oleh wanita, oleh sebab itu, jelaslah alasan mengapa hak kepemimpina hanya dimiliki oleh laki-laki , bukan wanita.

 

 

 

Hak wanita dalam menerima warisan.

Agama Islam datang dan memberikan para wanita hak mereka dalam warisan, setelah sebelumnya mereka sama sekali tidak memiliki hak untuk menerimanya.

Dahulu yang berhak untuk menerima warisan hanya laki-laki yang mampu membela dan menjaga kabilahnya saja, bahkan lebih dari itu, para wanita dianggap sebagai harta yang bisa berpindah tangan dengan cara diwariskan, dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما ketika beliau menafsirkan firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai (mewariskan) wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.”

Ia berkata:

“Dahulu, apabila seorang meninggal, maka keluarganya lebih memiliki hak atas istrinya, jika sebagian mereka mau, maka akan menikahinya, atau menikahkannya dengan orang lain, atau mereka menahannya tanpa menikahkannya, mereka lebih berhak atas sang wanita dari pada keluarganya sendiri, maka Allah pun turunkan ayat yang membahas masalah tersebut”. (HR Bukhari).

Maka datanglah agama Islam untuk mengharamkan kebiasaan ini, Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai (mewariskan) wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.” (QS An Nisa: 19).

Agama Islam juga memberikan mereka hak untuk mendapat warisan, dan menetapkan bagian mereka, Allah ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS An Nisa: 7).

Sayyid Quthub ketika menafsirkan ayat ini, ia berkata:

“Inilah asas utama yang telah diberikan agama Islam kepada wanita sejak 14 abad, yaitu hak mendapat warisan, sebagaimana agama Islam juga menjaga hak-hak rakyat jelata yang sering terzalimi dan terhalangi dari hak-hak mereka selama masa jahiliyah, karena orang-orang jahiliyah menilai seseorang sesuai dengan apa yang bisa ia kerjakan dalam peperangan atau sesuatu yang bisa ia hasilkan, sedangkan agama Islam, ia datang dengan metode rabbani yang memandang seseorang pertama kali dari sisi kemanusiaannya, yang merupakan nilai utama yang tidak bisa dipisahkan dari dirinya, lalu kemudian baru dilihat kedudukannya dalam rumah tangga dan masyarakat”[39].

Allah ta’ala berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.” (QS An Nisa: 11).

Seorang yang tidak faham maksud agama Islam, ketika ia membaca ayat ini, mungkin bertanya-tanya, dan menyangka bahwa agama Islam menzalimi hak wanita, kalau tidak, lantas mengapa ia memberikan wanita bagian separuh dari apa yang didapatkan laki-laki?!

Allah menjelaskan dengan gamblang mengenai hak wanita dalam mendapatkan harta warisan, dan membagi hak mereka menjadi tiga keadaan:

  • Mereka mendapatkan bagian persis seperti yang didapatkan oleh laki-laki.
  • Mereka mendapat bagian seperti laki-laki, atau sedikit lebih kecil.
  • Mereka mendapat separuh dari bagian laki-laki , ini yang sering terjadi dalam masalah warisan

Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut berkaitan dengan hal ini, bisa langsung merujuk ke ilmu waris yang menjelaskannya dengan sangat rinci.

Dan sebelum kita menghukumi bahwa Islam menzalimi hak wanita dalam masalah warisan, alangkah baiknya jika kita berikan satu permisalan yang akan menjelaskan hikmah mengapa agama Islam memberikan wanita separuh dari bagian laki-laki dalam warisan:

Seorang laki-laki wafat, dan meninggalkan satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, laki-laki ini juga meninggalkan harta, taruhlah contohnya: 3000 real, maka si anak laki-laki mendapat bagian 2000 real, sedangkan anak perempuan mendapat 1000 real.

Lalu mari kita lihat keadaan harta ini setelah berlalu beberapa saat, baik yang diambil anak laki-laki, ataupun anak perempuan.

Adapun harta yang diambil anak laki-laki, maka harta yang diambilnya akan berkurang, karena ia harus membayar mahar kepada istri yang akan ia nikahi, ia juga harus menyiapkan tempat tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga, mengobati anggota keluarga yang sakit, menafkahi istri dan anaknya, juga memenuhi kebutuhan mereka.

Sedangkan anak perempuan, ia tidak memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah, memenuhi kebutuhan rumah tangga, sekalipun ia kaya, belum lagi ditambah seorang laki-laki wajib memberikan nafkah kepada kedua orang tuanya, saudaranya, karib kerabatnya yang harus ia nafkahi ketika mereka semua miskin, dan si laki-laki memiliki kemampuan.

Adapun keadaan sang anak perempuan, maka ia agung dan dimuliakan, ia diliputi dengan rasa cinta, kasih sayang dan nafkah yang diberikan kepadanya, ia tidak harus mengemban tanggung jawab ekonomi, bahkan ia tidak wajib mengeluarkan duit untuk kepentingan dirinya sendiri, jadi seluruh harta warisan yang ia dapatkan tidak berkurang, bahkan bertambah, karena ia akan mengambil mahar dari suaminya ketika ia menikah, dan kalaupun terjadi perceraian antara mereka berdua, seorang tetap harus menafkahi anak-anak nya serta mencukupi kebutuhan mereka, bisa saja anak perempuan itu menginvestasikan hartanya dalam perniagaan atau sejenisnya.

Hal itu menjelaskan kepada kita, bahwa harta yang didapatkan seorang wanita dari warisan, karena kehilangan salah satu anggota keluarganya, akan tetap berada bersama dirinya, adapun harta yang diambil oleh laki-laki, tidak lama harta itu akan habis, karena ia menganggung tanggung jawab yang ada di pundaknya.

Sesungguhnya syariat agama Islam berbeda dengan seluruh peraturan yang ada di dunia ini, di mana terkadang seorang ayah berlepas diri dari anak perempuannya, ketika sang anak mencapai usia tertentu, sehingga sang anak harus mencari rizkinya sendiri dengan segala daya dan upaya.

Akan tetapi anak perempuan dalam agama Islam, memiliki hak untuk mendapat asuhan dari ayahnya sampai anak itu menikah, kemudian setelahnya suaminya lah yang akan menanggung segala keperluan dan kebutuhannya, dan setelah itu haknya ditanggung oleh anak-anak nya.

Sesungguhnya peraturan yang menyetarakan antara laki-laki dan perempuan dalam warisan, ia juga menyetarakan mereka berdua dalam mengemban tanggung jawab dan kewajiban ekonomi secara bersamaan. Adapun orang yang menuntut agar memberikan hak wanita layaknya hak laki-laki dalam menerima warisan, namun ia tidak menuntut wanita untuk memberikan nafkah harta layaknya para laki-laki, maka hal itu bukanlah suatu keadilan, karena hal itu merupakan kezaliman kepada para laki-laki, dan hal itu tidaklah diridhai oleh syariat agama Islam.

Maka yang dinamakan keadilan adalah, apabila kita memberikan jatah lebih bagi laki-laki dalam warisan, dan membebaskan wanita dari segala tanggung jawab ekonomi seperti, nafkah rumah tangga, nafkah kepada anak, dan sejenisnya. Bahkan kita bisa melihat kebaikan Islam dan kemuliaan yang ia berikan kepada wanita, ketika ia membebaskan wanita dari segala tanggung jawab ekonomi, dan membebankannya kepada laki-laki, bersamaan dengan itu, Islam pun tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan jatah warisan, dan memberikan mereka separuh dari jatah laki-laki, bukankah hal itu melambangkan keadilan?

Dan perlu diperhatikan, bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki bagian dalam warisan yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, oleh karena itu agama Islam membatasi wasiat yang boleh dikeluarkan maksimal hanya sepertiga dari harta warisan saja, sehingga menutup kemungkinan yang akan mengakibatkan terhalangnya ahli waris dari harta warisan keluarga mereka, sehingga menyebabkan kerugian bagi mereka, dan ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dai ayahnya رضي الله عنه berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعودني عام حجة الوداع من وجع اشتد بي فقلت: إني قد بلغ بي من الوجع وأنا ذو مال ولا يرثني إلا ابنة أفأتصدق بثلثي مالي؟ قال: لا, فقلت: بالشطر؟ فقال: لا , ثم قال: الثلث والثلث كبير أو كثير إنك أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس وإنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها حتى ما تجعل في في امرأتك

“Rasulullah ﷺ pernah menjengukku pada tahun haji wada’ ketika aku sedang mengalami sakit yang parah, aku pun berkata: ”Sesungguhnya aku merasakan sakit yang teramat sangat, dan aku adalah seorang yang memiliki harta, sedang aku tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan, apakah aku boleh mensedekahkan sepertiga hartaku?”, Rasulullah ﷺ bersabda: ”Tidak”, aku berkata: ”Separuhnya?”, Beliau bersabda: ”Tidak”, kemudian bersabda: ”Sepertiga, dan sepertiga itu pun sudah besar, atau banyak, sesungguhnya engkau meninggalkan keluargamu dalam keadaan kaya, lebih baik bagimu dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga harus berharap kemurahan manusia, dan sesungguhnya tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah apapun, dan engkau mengharap wajah Allah dengannya, kecuali Allah akan memberikanmu pahala, walaupun –nafkah itu– berupa suapan yang kau masukkan ke mulut istrimu”. (HR Bukhari).

Rasulullah ﷺ berusaha menjaga hak-hak para wanita yang senantiasa memberikan mereka kehidupan yang mulia, melalui arahan dan perintah yang beliau berikan.

Ditambah lagi, bahwasanya diyat, dan segala tanggungan materiil yang harus dibayarkan kepada orang lain, karena kecelakaan, atau yang berkaitan dengan hukum pidana, semuanya ditanggung oleh laki-laki, bukan perempuan.

 

 

Diyat.

Dalam syariat agama Islam, diyat wanita adalah separuh dari diyat laki-laki, hal itu terjadi dalam satu kasus, yaitu ketika ada yang membunuh orang lain karena kecelakaan, hal itu menyebabkan orang yang membunuh harus membayar diyat, dan tidak sampai harus diqishash.

Adapun ketika terjadi pembunuhan yang disengaja, inilah yang mengharuskan diadakannya qishash atas orang yang membunuh-apabila para wali dari korban tidak merelakannya, maka dalam hal ini hukumnya sama, baik pembunuhnya laki-laki ataupun perempuan, baik korbannya laki-laki maupun perempuan, karena sebagai manusia mereka semua dinilai sama.

Sedangkan dalam masalah pembunuhan yang dilakukan tanpa sengaja, hal yang menyebabkan mengapa diyat seorang wanita hanya separuh dari diyat seorang laki-laki, hal itu berdasar dari kerugian yang didapatkan keluarga korban dari laki-laki ataupun perempuan. Sebuah keluarga yang kehilangan ayah karena terbunuh tanpa sengaja, akan kehilangan tulang punggung, dan orang yang menanggung segala keperluan mereka, mereka kehilangan orang yang menanggung kebutuhan materiil mereka, yang menjaga, mendidik mereka, dan dari segi non materiil, mereka kehilangan orang yang menyayangi dan mengasihi mereka, walaupun memang kasih sayang seorang ayah lebih kecil disbanding kasih sayang seorang ibu.

Sedangkan keluarga yang kehilangan ibu, karena terbunuh tanpa sengaja, mereka hanya merasakan kerugian dalam hal non materiil saja, mereka kehilangan orang yang memberikan kasih sayang, cinta, dan orang yang mendidik mereka, juga hal-hal yang berkaitan dengan tugas seorang ibu, yang mana kebanyakan laki-laki tidak bisa menggantikan posisi itu, kerugian ini tidak bisa tergantikan walau dengan harta yang melimpah sekalipun.

Diyat sendiri bukanlah harga bagi jiwa orang yang terbunuh, akan tetapi ia adalah sebuah bentuk ganti rugi atas apa yang menimpa suatu keluarga dan apabila kita memperhatikan dengan seksama setiap kerugian yang didapatkan suatu keluarga karena kehilangan ayah atau ibunya, maka kita akan mengetahui alasan mengapa diyat perempuan separuh dari diyat laki-laki.

 

 

Wanita dan pekerjaan.

Sesungguhnya Allah menciptakan manusia berupa laki-laki dan perempuan, dan menjadikan antara mereka berdua rasa cinta dan kasih sayang, yang membantu mereka dalam rangka memakmurkan dunia.

Sebagaimana Allah juga memberikan laki-laki kekuatan, dan kemampuan untuk mengemban tanggung jawab, sehingga mereka bisa berusaha untuk mendapatkan nafkah, Allah pun memberikan perempuan sifat-sifat yang akan membantu mereka mengemban tanggung jawab mereka seperti, hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh anak, dan sifat-sifat lainnya seperti, rasa cinta, kasih, sayang, lemah lembut dan sebagainya. Berdasarkan kodrat penciptaan yang telah Allah tetapkan inilah seorang laki-laki bekerja di luar rumah, dan perempuan bekerja di dalam rumah.

Sesungguhnya agama Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja, bahkan agama Islam membolehkan mereka berbuat dan membelanjakan harta mereka dengan cara berjual beli, dan menganggap hal itu sah-sah saja walau tanpa persetujuan wali atau suaminya, akan tetapi agama Islam memberikan syarat-syarat dan batasan-batasan yang harus dipenuhi, dan apabila salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka hukum yang tadinya boleh menjadi tidak boleh, syarat-syarat itu sebagai berikut:

  1. Pekerjaan perempuan tidak boleh bertabrakan dengan pekerjaan rumah, sehingga pekerjaannya bukan menjadi alasan baginya untuk menunaikan hak-hak suami, dan anak-anak nya yang menjadi kewajiban bagi dirinya, dan tidak pula menjadi sebab lalainya ia untuk mengawasi rumah tangganya, karena perempuan dalam agama Islam –sebagaimana yang telah kita jelaskan– memiliki hak yang harus ditunaikan oleh suaminya, dan suaminya pun memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya, sebagaimana anak-anak juga memiliki hak yang harus dipenuhinya, Rasulullah ﷺ bersabda:

والمرأة راعية في بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها

“Seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin”. (HR Bukhari).

  1. Ia hanya boleh bekerja bersama perempuan-perempuan saja, dan tidak boleh bercampur baur dengan para laki-laki, hal itu ditujukan untuk menjaga mereka, dan menjauhkan mereka dari hal-hal yang akan menjerumuskan mereka kedalam kehinaan, yang membuat mereka kehilangan kehormatan dan kemuliaan mereka lantaran tangan jahil para serigala bertampang manusia, Rasulullah ﷺ bersabda:

ولا يخلون أحدكم بامرأة فان الشيطان ثالثهما

“Tidaklah seorang laki-laki diantara kalian berdua-duaan dengan seorang wanita, kecuali yang ketiganya adalah syetan”. (HR Ibnu Majah).

Seorang penulis berkebangsaan inggris bernama Lady Coke berkata dalam surat kabar ”Echo”:

Campur baur adalah hal yang disukai laki-laki, oleh karena itu banyak sekali perempuan yang berusaha untuk menyelisihi kodratnya, dan semakin banyak campur baur yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, maka semakin banyak pula anak-anak hasil zina, inilah yang merupakan musibah yang besar”[40].

Sayyid quthub mengatakan:

“laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk sama-sama merasakan ketenangan dari pasangan mereka, dan menutup celah yang bisa memalingkan perasaannya dari pasangannya, walaupun hal itu tidak sampai menjerumuskannya ke pada jurang kesalahan, yang mana hal itu akan mengancam hubungan mereka yang suci, dan mengurangi rasa kepercayaan antara mereka, kesalahan ini bahkan lebih parah lagi dari itu, sering kali terjadi di tengah masyarakat yang membolehkan campur baur antara laki-laki dan perempuan, masyarakat yang membolehkan wanitanya keluar sambil berhias diri, yang membuka celah bagi fitnah-fitnah syetan.

Fakta membuktikan, bahwa omong kosong yang sering dikumandangkan dimana-mana oleh para pembual dan orang-orang sesat, dimana menurut mereka, campur baur akan memperbaiki perasaan, mengeluarkan kemampuan yang terpendam, mengajarkan kedua belah pihak tata karma dalam berbicara dan bergaul, hal ini juga akan memberi pengalaman bagi setiap pasangan sehingga mereka bisa terhindar dari kesalahan, berkat pengalaman yang didapat masing-masing, hal itu sudah cukup membuat mereka bisa menahan diri hanya untuk pasangannya saja, karena mereka sudah sama-sama ridha dan memiliki pengalaman.

Maka aku katakan, bahwa itu semua omong kosong yang bertentangan dengan fakta, faktanya, setiap penyelewengan perasaan, dan hancurnya rumah tangga karena cerai atau yang lainnya, juga tersebarnya pengkhianatan antara pasangan suami istri, banyak tersebar di masyarakat yang membolehkan campur baur antara laki-laki dan perempuan.

Adapun anggapan bahwa campur baur akan memperbaiki perasaan, dan memberikan keterampilan berbicara dan sebagianya, silahkan tanyakan mengenai jumlah wanita yang hamil di luar nikah dari siswi-siswi sekolah menengah atas di amerika, bahkan dalam satu sekolah jumlah mereka mencapai 48%, adapun rumah tangga yang bahagia karena pernikahan yang mereka lakukan setelah berpacaran, dan memilih pasangan, tanyakan juga kepada mereka mengenai rumah tangga yang hancur karena perceraian di amerika, setiap saat jumlahnya terus bertambah, hal itu terus bertambah seiring bertambahnya cambur baur di antara mereka, dan setiap kali mereka memilih pasangan hidup”[41].

  1. Hendaknya pekerjaan tersebut pada asalnya berhukum mubah, dan sesuai dengan tabiat wanita, tidak selayaknya wanita mengambil pekerjaan yang tidak sesuai dengan tabiatnya, seperti menjadi pegawai di perusahaan alat berat, dan pekerjaan yang berkaitan dengan peperangan, tidak juga pekerjaan yang akan menghinakan derajat seorang wanita, seperti menjadi petugas kebersihan di tempat khusus laki-laki , atau petugas kebersihan di jalanan, yang mana hal itu dilarang oleh syariat agama Islam bagi wanita.

Sampai di sini muncullah pertanyaan: apa alasan seorang wanita bekerja?

Apabila ia bekerja untuk bertahan hidup, dan memberikan nafkah kepada dirinya sendiri, maka agama Islam telah menjaga bagi mereka hal tersebut, karena kewajiban memberi nafkah kepada wanita dalam Islam, diemban oleh ayah sampai anak wanitanya menikah, dan setelah wanita itu menikah, kewajiban memberikan nafkah atasnya dan anak-anak nya berpindah ke suaminya. Apabila suaminya meninggal, kewajiban memberikan nafkah balik lagi kepada ayahnya, dan apabila ia tidak lagi memiliki ayah, maka yang menanggung nafkah atasnya adalah anak-anak nya, dan jika anak-anak nya masih kecil, maka yang wajib memberikannya nafkah adalah saudara-saudaranya. Seorang wanita dari sejak ia lahir, sampai ia meninggal, senantiasa hak mereka ditanggung, sehingga mereka tidak perlu lagi bekerja hanya untuk makan dan bertahan hidup, hal itu diberikan kepada mereka, hanya semata agar mereka bisa menunaikan tanggung jawab sosial mereka yang mulia, yang membuat orang-orang selain wanita muslimah iri kepada mereka, seorang wanita muslimah berkewajiban untuk mengatur rumah tangganya, dan mendidik anak keturunannya dengan pendidikan yang baik, yang mana hal itu akan menuntut usaha dan kerja keras yang sangat besar, sehingga menguras mayoritas waktu dan pikiran mereka.

Seorang cendikiawan inggris bernama Samuel Smiles yang merupakan salah satu tokoh revolusi inggris berkata:

“Sesungguhnya peraturan yang memerintahkan untuk mempekerjakan wanita di lab-lab, walaupun hal itu muncul hasil dari revolusi negara ini, akan tetapi akibatnya akan menghancurkan kehidupan rumah tangga, karena peraturan itu langsung menyerang struktur, dan tiang rumah tangga, juga mengoyak hubungan sosial.”

Dengan memisahkan antara istri dan suaminya, juga anak-anak dari karib kerabatnya, hal itu hanya akan menghasilkan keterpurukan moral para wanita, karena tugas wanita yang sebenarnya adalah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti beres-beres rumah, mendidik anak-anak , mengatur perekonomian keluarga, dan mengerjakan segala kebutuhan rumah tangga.

Akan tetapi lab-lab yang ada merampas seorang wanita dari seluruh kewajiban ini, sehingga rumah-rumah yang ada bukan layaknya rumah yang semestinya, anak-anak tumbuh tanpa didikan, dan ditinggalkan begitu saja, mematikan rasa cinta antara suami dan istri, sehingga mengubah para istri dari yang harusnya menjadi pasangan yang penuh cinta kepada suaminya, menjadi partner dalam pekerjaan dan kesulitan, yang mana hal itu akan mengakibatkan hilangnya rasa tawadhu’ baik dari segi pikiran ataupun moral yang keduanya merupakan poros dalam menjaga kemuliaan mereka”[42].

 

 

Islam menjadikan perceraian berada di tangan laki-laki , bukan wanita:

Perceraian pada zaman jahiliyah tidak memiliki aturan apapun, seorang laki-laki bebas menceraikan istrinya kapanpun ia mau, ia juga boleh rujuk kepada istrinya kapanpun ia mau, maka datanglah Islam dengan membawa peraturan-peraturan yang menjaga wanita dari kezaliman, kesulitan, dan keinginan untuk mempermainkan mereka.

Seorang laki-laki pada masa jahiliyah bebas menceraikan istrinya semaunya, dan ia akan kembali menjadi istrinya selama ia merujuknya pada masa iddah, walaupun ia menceraikan istrinya seratus kali atau lebih, sampai ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya:”Demi Allah aku akan menceraikanmu namun kau tidak akan bisa menikah dengan orang lain selainku, tapi aku pun tak menanggung dirimu”, istrinya berkata:”Bagaimana caranya?”, ia berkata:”Aku ceraikan kamu, dan ketika masa iddahmu hamper selesai, aku rujuk kembali”, maka turunlah ayat:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS Al Baqarah: 229).

Agama Islam membolehkan perceraian sesuai dengan kebutuhan hidup seseorang, ketika seorang merasa kehidupannya tak lagi baik kecuali dengannya.

Agama Islam juga menyediakan jalan keluar untuk menyelesaikan perselisihan rumah tangga, sehingga tidak harus sampai ke tahap perceraian, Allah ta’ala berfirman:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS An Nisa: 128).

Lantas, mengapa perceraian itu ada di tangan laki-laki?

Sesuai dengan kodrat alami dan logis kewenangan untuk mentalak berada di tangan laki-laki , bukan wanita, karena ia lah yang menanggung kebutuhan ekonomi istri dan rumah tangga, selama seorang laki-laki yang membayar mas kawin, menanggung tanggung jawab untuk memberikan nafkah, menyediakan tempat tinggal dan mengurusinya, maka sudah sewajarnya bila hak untuk memutuskan sebuah hubungan suami istri ada di tangannya, selama ia siap menanggung kerugian materiil dan non materiil yang dihasilkan oleh sebuah perceraian, karena ia benar-benar mengetahui kerugian yang mungkin ia dapati akibat perceraian tersebut, seperti kehilangan harta yang ia jadikan sebagai mas kawin, kehilangan harta yang sudah ia keluarkan selama ia membangun rumah tangganya, juga uang ganti rugi yang harus ia bayarkan kepada istrinya setelah perceraian, di samping itu ia pun harus menanggung segala kebutuhan untuk pernikahan selanjutnya.

 Ditambah lagi, seorang laki-laki biasanya lebih mampu untuk menahan amarah dan mengendalikan emosinya ketika terjadi perselisihan antara dirinya dengan istrinya. Biasanya seorang laki-laki tidak terburu-buru mnceraikan istrinya dalam menyelesaikan permasalahan, kecuali ketika ia sudah pesimis untuk bisa melanjutkan kehidupan bahagia dengan berkeluarga bersama istrinya lagi.

Walaupun demikian, syariat Islam tidak melarang secara total hal itu bagi wanita, karena bisa saja hak perceraian berada di tangan wanita, apabila ia memberikan syarat kepada suaminya ketika akad nikah, dan sang suami ridha dengan syarat tersebut.

Karena syariat Islam adalah sebuah syariat yang selaras dengan fitrah manusia, maka syariat Islam benar-benar mengetahui hakikat jiwa seorang munusia, dan segala perasaan, pikiran, dan emosi yang ada pada diri manusia, maka sebagaimana agama Islam memberikan hak bagi laki-laki untuk menceraikan istrinya ketika ia dapati rasa tidak suka kepadanya, agama Islam pun memberikan hak kepada perempuan hak yang sama ketika ia merasa tidak suka dengan suaminya, ketika ia berbuat buruk kepadanya, baik melalui perkataan, atau pukulan, atau karena suaminya memiliki kekurangan fisik, seperti impoten, atau karena suaminya enggan untuk memberikan hak biologis sang istri, atau menderita penyakit yang berbahaya seperti, kusta, lepra, tuberkolosis, sifillis, atau penyakit lainnya yang berbahaya, sehingga membuat istrinya merasa terancam, maka ia memiliki hak untuk meminta pembatalan pernikahan, akan tetapi dengan cara yang dinamakan dengan ”Khulu”, yaitu dengan cara membayar ganti rugi atas mas kawin yang telah diberikan oleh suaminya, juga biaya pernikahan yang sudah dikeluarkan, sesuai dengan kesepakatan antara mereka berdua. Ini adalah puncak keadilan, karena sang istrilah yang meminta untuk mengakhiri hubungan suami istri, kalaupun setelah itu sang suami menolak menyetujui tuntutan istrinya, maka sang istri boleh mengangkat perkaranya ke pengadilan, agar hak itu diberikan kepadanya.

 

 

Ketidak setaraan antara wanita dan laki-laki dalam prosesi akad nikah:

Memilih istri yang cocok adalah perkara yang sulit, namun lebih sulit lagi untuk memilih suami yang cocok, karena seorang laki-laki, ketika ia menikahi seorang wanita yang tidak cocok, ia bisa dengan mudahnya mengganti wanita tersebut dengan wanita yang lain.. karena seorang wanita berada pada posisi yang sangat lemah di tengah-tengah syariat sebelumnya, maka agama Islam berusaha untuk menjaga dan melindungi mereka dari setiap keburukan, agama Islam juga memerintahkan mereka untuk berhati-hati dalam memilih suami yang cocok, sehingga mereka tidak menjadi korban kegagalan rumah tangga, karena yang akan merasakan imbas terbesar dari hal itu adalah sang wanita. Oleh karena itu agama Islam menjadikan salah satu syarat sahnya pernikahan adalah adanya wali, atau orang yang mewakilinya, suatu akad tidak sah tanpa adanya wali, sesuai sabda Rasulullah :

لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل وما كان من نكاح على غير ذلك فهو باطل فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

“Tidak sah suatu nikah kecuali dengan wali, dan dua orang saksi yang adil, dan pernikahan yang terjadi tanpa keduanya, maka pernikahan itu batal, dan apabila mereka berselisih, maka sulthan (hakim) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (HR Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani dan syeikh Al Arnauth).

Sebagaimana syariat Islam mensyaratkan adanya wali agar pernikahan sah, syariat Islam juga mensyaratkan kerelaan wanita atas pernikahan itu, dan izin yang ia berikan kepada walinya untuk melangsungkan pernikahan, apabila sang wanita dipaksa untuk menerima pernikahan itu, ia boleh mengangkat perkaranya ke pengadilan untuk membatalkan pernikahan tersebut, sebagaimana hadits Khansa binti Jaddzam ia berkata: bahwa ayahnya menikahkannya ketika ia sudah menjanda, namun ia tidak suka dengan pernikahan tersebut, maka ia pun mendatangi Nabi ﷺ dan mengabarkan hal tersebut, lantas Nabi pun membatalkan pernikahannya. (HR Bukhari).

Adapun sebab mengapa disyaratkan adanya wali dalam pernikahan, karena biasanya wali akan berusaha semaksimal mungkin demi kemaslahatan orang yang menjadi tanggungannya, maka barang siapa yang menyangka bahwa hal ini adalah sebuah bentuk kekangan bagi kebebasan wanita dalam memilih orang yang ia ridhai sebagai suaminya maka katakanlah kepadanya: bahwa agama Islam memberikan kepada wanita, baik yang masih gadis atau sudah janda, hak untuk menerima atau menolak laki-laki yang mencoba mempersuntingnya, dan walinya tidak boleh menekan mereka baik fisik ataupun mental agar ia menerima orang yang tidak ia ridhai, sesuai sabda Rasulullah :

لا تنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا يا رسول الله وكيف إذنها قال أن تسكت

“Seorang janda tidak boleh dinikahi sebelum diminta perintahnya, dan seorang gadis tidak boleh dinikahi sebelum diminta izinnya”, para sahabat bertanya:”Wahai Rasulullah, bagaimana -tanda- izinnya?”, Rasulullah ﷺ bersabda:”Dengan diam”. (HR Bukhari).

Syariat Islam, ketika menyuruh dan menganjurkan untuk menikah, tujuannya bukan hanya sekedar untuk memenuhi nafsu sesaat ataupun hasrat sejenak saja, akan tetapi tujuan agama Islam adalah membangun hubungan yang langgeng dan abadi, karena wanita adalah salah satu orang yang memegang peranan dalam hubungan tersebut, maka agama Islam mewajibkan kerelaan dan keridhaannya.

Akan tetapi karena wanita memiliki kodrat perasa yang mudah terkontaminasi dengan hal-hal yang ada di sekitarnya, sehingga berimbas pada keputusannya, mereka biasanya lebih mudah tertipu dengan penampilan luar saja, sehingga syariat agama Islam memberikan hak bagi walinya untuk menolak laki-laki yang dianggap tidak cocok dengan sang wanita, juga karena laki-laki biasanya lebih mengatahui laki-laki lain dari pada wanita, karena kesamaan jenis kelamin mereka, dan jika seorang laki-laki yang cocok datang melamar sang wanita, sedang wanita itu menerimanya, namun sang wali menolak laki-laki tersebut hanya karena sifat egois dan otoritas semata, maka hak kewaliannya berpindah dari dirinya kepada kerabat terdekatnya-yang paling baik -, kalau wanita itu tidak memiliki kerabat, maka hak kewaliannya diemban oleh hakim.

Agama Islam hanya melarang wanita untuk menikahi laki-laki yang tidak sekufu dan tidak cocok dengannya dan keluarganya, karena wanita dan keluarganya akan merasa terhina jika menikahi seorang laki-laki yang tidak sekufu, sehingga mereka akan merasa malu dan hina, pernikahan seorang wanita dengan laki-laki yang tidak diridhai wali dan kerabatnya hanya akan menghasilkan perpecahan dan terputusnya tali silaturrahmi yang Allah perintahkan untuk menyambungnya. Adapun definisi kufu adalah apa yang disebutkan dalam hadits Rasulullah :

إذا أتاكم من ترضون خلقه ودينه فأنكحوه الا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض

“Apabila kalian didatangi seseorang yang kalian ridhai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia, jika tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas”. (HR Hakim dan dihasankan oleh Al Albani).

Karena seorang suami yang memiliki agama dan akhlak yang baik, apabila ia mencintai istrinya, ia akan memuliakannya, namun jika ia tidak mencintai istrinya, ia tidak akan menghinakan dan mempermalukannya, akan tetapi ia akan bertakwa kepada Allah dalam memperlakukan istrinya.

 

 

Safar seorang wanita tanpa mahram.

Seorang wanita dalam agama Islam bagaikan permata yang terjaga, dan perhiasanya yang tersembunyi, agama Islam tidak ridha ada seorang pun yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang memang berhak untuk menyentuhnya saja, oleh karena itu agama Islam mengambil langkah antisipasi dalam menjaga para wanita, ”Menjaga lebih baik dari pada mengobati”, oleh karena itu agama Islam melarang wanita untuk berpergian sendiri tanpa adanya mahram, seperti suami, ayah, saudara laki-laki , atau kerabat yang menjadi mahramnya, sesuai sabda Rasulullah :

لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم ولا يدخل عليها رجل إلا ومعها محرم" فقال رجل يا رسول الله: إني أريد أن أخرج في جيش كذا وكذا وامرأتي تريد الحج؟ فقال:" اخرج معها

“Seorang wanita tidak boleh berpergian jauh (safar) kecuali bersama dengan mahram, dan tidak boleh ia bertemu dengan laki-laki kecuali ditemani oleh mahram”, maka seorang sahabat berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah ditetapkan untuk ikut berperang bersama pasukan ini dan ini, sedangkan istriku hendak melaksanakan haji?”, maka Rasulullah ﷺ bersabda: ”Temanilah istrimu”. (HR Bukhari).

Bisa saja seorang berkata: ”Sesungguhnya larangan ini hanya membatasi kebebasan wanita”, karena inilah yang terbesit pertama kali di pikiran, akan tetapi kalau kita mengetahui alasan dan sebab pengharaman ini, niscaya syubhat yang demikian akan hilang, dan kita akan dapati bahwa agama Islam ketika melarang hal tersebut, tujuannya hanyalah demi menjaga para wanita dan kehormatan mereka… bukan untuk menghinakan dan mengekang kebebasan mereka.

Safar (berpegian jauh) biasanya akan mengakibatkan kesulitan dan beban, sedangkan wanita secara tabiat memiliki fisik yang lemah karena sebab-sebab darurat yang biasanya mereka alami, sebagaimana yang telah kita jelaskan, seperti haid, hamil, dan menyusui, begitu juga dengan mental mereka, karena mereka biasanya mengambil keputusan hanya karena perasaan saja, juga mudah terkontaminasi dengan perkara-perkara yang berada di sekeliling mereka, sebenarnya hal ini bukanlah suatu aib, Rasulullah ﷺ sendiri mengibaratkan mereka dengan kaca, sebagai ungkapan atas kelembutan hati dan jiwa mereka, juga kasih sayang mereka, dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah ﷺ pernah melaksanakan suatu safar, dan beliau memiliki seorang budak hitam bernama Anjasyah yang pandai bersyair (bersenandung), maka Rasulullah ﷺ berkata kepadanya:

ويحك يا أنجشة رويدك بالقوارير

“Hati-hati wahai Anjasyah, pelan-pelan ketika membawa kaca”. (HR Bukhari).

Seorang wanita ketika safar membutuhkan seseorang yang bisa menjaganya dari orang-orang yang memiliki jiwa yang keji yang bisa saja memata-matainya, untuk mengambil harta atau kehormatannya, karena wanita biasanya tidak mampu membela diri karena kelemahan fisiknya. Sebagaimana ia juga butuh seseorang yang menjamin kebutuhan, memenuhi hajat, dan menanggung keperluannya, seseorang yang memberikan ketenangan baginya, dalam agama Islam, mahram seorang wanita bertanggung jawab untuk melakukan semua hal ini, sehingga wanita tersebut tidak harus meminta bantuan laki-laki asing, maka seorang mahram hakikatnya adalah pembantu yang membantu seorang wanita, dan pengawal yang senantiasa menjaga mereka dari orang-orang yang ingin berbuat buruk kepadanya dan orang-orang buruk yang senantiasa mencari-cari kesempatan untuk berlaku buruk kepadanya, maka apakah hal ini dianggap sebagai penghinaan bagi wanita? Sungguh ini adalah sebuah keagungan dan kemuliaan bagi para wanita, ketika ia memiliki seorang yang punya kecemburuan atasnya dan menjaga kehormatannya, juga menjaga dan melindungi dirinya dari orang-orang yang ingin berlaku keji kepadanya, dan bertanggung jawab untuk melayani dan memenuhi seluruh hajat dan kebutuhan mereka.

 

 

 

Larangan Memukul Wanita dalam Islam

Oleh: Ahmad Al Amir & Tsekora Vivian

 

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Muhammad sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, mengutusnya sebagai da’i yang menyeru kepada Allah atas izinNya dan sebagai lentera yang terang benderang, juga memuliakan para sahabatnya, dan memeberikan mereka keutamaan yang besar, semoga shalawat dan salam dari Allah senantiasa tercurahkan kepada Muhammad, para keluarga, dan para sahabatnya.

Amma ba’du:

Saya menulis buku ini sebagai bantahan atas syubhat yang diutarakan oleh orang-orang yang terkena tipu daya syetan, dan disesatkan olehnya. Sering kali permasalahan memukul wanita dalam Islam diangkat dalam beberapa kesempatan, dan kami perhatikan banyak sekali situs-situs yang memfatwakan hal itu tanpa didasari ilmu dan pengetahuan, yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki kebencian kepada Islam untuk berusaha menfitnah agama ini dengan perkara yang sama sekali tidak diajarkan oleh agama Islam, maka aku ingin menyuguhkan kepada saudaraku para pembaca yang mulia mengenai sikap agama Islam berkaitan dengan memukul istri, dan perbedaan yang jelas antara agama Islam dengan agama selainnya, karena agama ini adalah satu-satunya agama yang menjelaskan larangan memukul wanita baik ketika mereka masih kecil, atau sudah besar, maka marilah bersama-sama kita telaah masalah ini secara terperinci, kemudian baru silahkan kalian simpulkan berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang ada.

                   Penulis

 

BAB I

Pembagian hukum perbuatan dalam syariat agama Islam

Sesungguhnya amalan dan perbuatan manusia dalam syariat Islam, hukumnya terbagi menjadi beberapa jenis, supaya kita memahami hukum suatu perbuatan apakah ia mubah atau haram, adapun jenis hukum tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Fardhu: ini adalah derajat taklif tertinggi, yang artinya, segala hal yang diperintahkan oleh syariat dan harus dikerjakan melalui dali yang qoth’i yang tidak terdapat syubhat padanya, seperti perintah untuk mengerjakan shalat, puasa, membaca alquran, hukum hal ini: wajib dikerjakan, hal ini akan menghasilkan pahala bagi orang yang mengerjakannya, dan orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman.
  2. Mustahab: artinya, segala hal yang diperintahkan oleh syariat, namun tidak harus dilaksanakan, orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala, dan orang yang meninggalkannya tidak mendapat dosa, seperti, membersihkan gigi dengan siwak sebelum shalat.
  3. Mubah: segala perkara yang apabila dikerjakan tidak akan menghasilkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak menghasilkan dosa, seperti, jalan, mengendarai kendaraan, dan perkara-perkara lainnya yang diizinkan dari perbuatan-perbuatan yang biasa kita kerjakan di keseharian kita.
  4. Makruh: artinya, segala hal yang dilarang oleh syariat, namun tidak harus ditinggalkan, maka seorang yang meninggalkannya karena patuh, akan mendapat pahala, namun orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa, akan tetapi disunnahkan untuk meninggalkan segala hal yang berkaitan dengan yang makruh ini, walaupun jika melakukannya tidak mendapat dosa, karena kebiasaan dan keseringan mengerjakan hal yang makruh akan meneybabkan pelanggaran atas batasan-batasan yang telah Allah tetapkan, dan mengerjakan perkara-perkara yang haram, adapun alasan mengapa hal yang makruh jika dikerjakan tidak memberikan dosa bagi pelakunya, walaupun hal tersebut makruh, karena keterdesakan yang amat besar, dan keadaan hidup seorang manusia, sehingga ia terpaksa mengerjakan hal yang dimakruhkan tersebut, contohnya: Allah ta’ala memakruhkan talak (perceraian), akan tetapi tidak mengharamkannya, untuk memberi keluasan bagi para hambaNya jika memang mereka terdesak dan sangat membutuhkan hal itu.
  5. Haram: yaitu, segala hal yang dilarang oleh syariat, dan harus ditinggalkan, dengan dalil qoth’i yang di dalamnya tidak terdapat syubhat, orang yang melakukannya akan mendapatkan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena patuh kepada Allah akan mendapatkan pahala, seperti: keharaman meminum khamr.

 

Perbedaan antara halal dan haram:

Mengetahui perkara yang halal, dan membedakan antara yang halal dan yang haram adalah tonggak berdirinya agama Islam, dan bukti keimanan, karena hal itu berhubungan dengan amalan hati, sebagaimana ia pun berhubungan dengan amalan anggota tubuh.

Hukum asal segala sesuatu itu halal atau mubah, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang telah dijelaskan dalam nash-nash yang shahih dan sharih (jelas) akan pengharamannya.

Menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah hak Allah ta’ala, karena Allah lah pencipta, pengatur, pemberi kemudahan, dan kenikmatan, Allah berhak menghalalkan apapun yang Ia kehendaki bagi para hambanya, dan mengharamkan atas mereka apapun yang ia kehendaki, akan tetapi Allah ta’ala atas rahmat dan kasih sayang kepada para hambanya, Allah menjadikan halal dan haram, karena sebab yang bisa dimengerti, demi kemaslahatan manusia itu sendiri, sehingga Allah tidak menghalalkan kecuali sesuatu yang baik, dan tidak mengharamkan kecuali yang buruk.

 

Perpindahan hukum suatu perbuatan dari yang satu ke yang lainnya:

  1. Berpindahnya hukum sesuatu yang mubah menjadi haram, atau sebaliknya:

Terkadang perbuatan yang mubah bisa berubah menjadi haram, apabila terdapat sebab-sebab yang mengubahnya dari perbuatan yang baik, dan diridhai oleh setiap jiwa, menjadi perbuatan yang buruk dan berbahaya bagi manusia, sebagai contoh, hukum berjalan-jalan adalah mubah, akan tetapi bisa jadi hukumnya berubah dari mubah menjadi haram, apabila pemimpin setempat mengeluarkan peraturan yang melarang jalan-jalan setelah jam 10 malam, di sebagian jalan atau kota, karena alasan keamanan, yang bisa mengakibatkan kecelakaan bagi seseorang.

Dan perbuatan yang haram terkadang bisa berubah menjadi mubah, apabila terdapat sebab-sebab yang mengharuskan hal itu diperbuat dalam keadaan darurat, demi menjaga jiwa seseorang, seperti meminum khamr, khamr adalah suatu yang haram dalam syariat, akan tetapi hukumnya bisa menjadi mubah ketika seseorang tersesat di tengah padang pasir, sampai ia hampir mati karena kehausan, sedang ia tidak 4mendapati minuman apapun kecuali khamr, maka saat itu, ia boleh meminum khamr tersebut sekedarnya, sehingga ia bisa menyelamatkan hidupnya, tanpa berlebihan.

  1. Berpindahnya hukum seseuatu yang wajib menjadi haram, atau sebaliknya:

Terkadang perbuatan yang wajib berubah menjadi haram, dan terkadang perbuatan yang haram berubah menjadi wajib, seperti penjelasan yang lalu, contohnya shalat, hukumnya wajib, akan tetapi hal itu akan berubah menjadi haram ketika seorang melaksanakan shalat di dalam rumahnya, di tengah bencana gempa, yang mana seorang yang melakukan shalat tersebut yakin, kalau ia tidak segera keluar dari rumahnya ia akan mati!!! Mendzalimi orang lain, dengan cara memotong kakinya adalah perbuatan yang haram, akan tetapi jika seorang dokter tidak mendapatkan cara lain untuk menyelamatkan seorang pasien yang sakit, kecuali dengan memotong kakinya, jika tidak ia akan mati, maka dalam keadaan seperti ini, memotong kaki orang yang sakit itu hukumnya wajib atas sang dokter, jika ia tidak melakukannya, maka sang dokter berdosa, bersalah, dan layak dihukum karena tidak memotong kaki orang yang sakit tadi.

  1.  berpindahnya hukum sesuatu yang makruh menjadi mustahab, dan berpindahnya hukum sesuatu yang mustahab / mandub menjadi haram:

Perbuatan yang makruh terkadang bisa berubah menjadi mustahab, bahkan menjadi wajib, contohnya cerai, dalam hukum Islam, perceraian hukumnya makruh, dan dibenci oleh Allah azza wa jalla, akan tetapi dalam beberapa keadaan, ketika seseorang tidak menceraikan istrinya, bisa jadi hal itu akan menjerumuskannya kepada perkara yang diharamkan secara syariat, yang mana hal tersebut tidak bisa dihindari kecuali dengan bercerai, seperti misalnya sang istri tidak bisa menjaga kehormatan, dan tidak bisa dinasehati lagi, maka saat itu kita katakan, bahwa jalan terbaik adalah dengan menceraikannya, dengan demikian perkara yang makruh berubah menjadi mustahab.

Dan terkadang perbuatan yang mustahab bisa berubah menjadi haram, contohnya menggunakan siwak, hal ini merupakan perkara yang mustahab, sewaktu-waktu bisa berubah menjadi makruh, bahkan haram, ketika gigi-gigimu keropos, dan engkau tau, kalau engkau tetap bersiwak, hal itu akan menyebabkan gigimu tanggal, maka dalam keadaan seperti ini, bersiwak berlawanan dengan suatu kaidah dalam syariat Islam:

لا ضرر ولا ضرار

Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Kesimpulan:

Kesimpulan dari penjelasan yang lalu, bahwa agama Islam bukanlah agama yang buta, dan tidak menimbang keadaan manusia, dan kemampuan mereka di kehidupan sehari-hari. Akan tetapi yang sebenarnya buta adalah hati para musuh Islam yang ingin menyebarkan syubhat dan kebohongan tentang Islam, mereka ingin mematikan cahaya Allah ta’ala, namun Allah enggan kecuali untuk menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang kafir benci.

Semoga anda wahai pembaca yang budiman mengetahui, bahwa agama Islam bukanlah agama yang dzalim, akan tetapi agama Islam adalah agama yang adil, dan adil sendiri adalah salah satu nama dari nama-nama Allah ta’ala, pengharaman dan penghalalan dalam agama Islam, dibangun atas keadilan bukan atas kebutaan, adapun kedzaliman dalam segala bentuknya, maka hal itu diharamkan dalam syariat agama Islam.

 

BAB II

Bermuamalah dengan istri sesuai petunjuk alquran dan sunnah

Dalam nash-nash alquran kita dapati Allah subahanhu wa ta’ala telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada istri, memuliakannya, bergaul dengannya dengan cara yang ma’ruf, walaupun ketika tidak lagi memiliki rasa cinta di hati, Allah berfirman dalam alquran:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa: 19).

Rasulullah ﷺ bersabda:

لا يفرك مؤمن مؤمنة , إن كره منها خلقا رضي منها آخر

“Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah, pabila ia membenci salah satu perangainya, maka ia menyukai perangainya yang lain”. (HR Muslim).

Allah juga menjelaskan bahwa wanita memiliki hak atas suaminya, sebagaimana suami memiliki hak atas istrinya, Allah ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS Al Baqarah: 228).

Dan diantara wasiat Rasulullah ﷺ sebelum beliau meninggal adalah, agar memperhatikan wanita, memuliakan mereka, tidak mendzalimi, dan juga tidak merampas hak-hak mereka, Rasulullah ﷺ bersabda:

إستوصوا بالنساء خيرا

“Perlakukanlah wanita dengan baik”. (HR Muslim).

Beliau juga bersabda:

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وخياركم خياركم لنسائهم

“Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya”. (HR Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dalam shahihnya, Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih”).

Dari ‘Aisyah رضي الله عنها berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:

خيركم خيركم لاهله وأنا خيركم لاهلي

“ Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku”. (HR Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dalam shahihnya).

Rasulullah ﷺ juga memerintahkan untuk bersabar atas segala kesalahan istri, memaklumi, dan memaafkan mereka, seraya mengasih tau tabiat yang diberikan oleh Allah kepada wanita, beliau bersabda:

إن المرأة خلقت من ضلع , لن تستقيم لك على طريقة , فإن استمتعت بها استمتعت بها وفيها عوج , وإن ذهبت تقيمها كسرتها , وكسرها طلاقها

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak akan pernah bisa lurus, apabila kau bersenang-senang dengannya, engkau bersenang-senang, sedang mereka masih tetap bengkok, dan apabila kau paksa ia untuk lurus, engkau akan mematahkannya, dan patahnya ditandai dengan perceraian”. (HR Muslim).

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

استوصوا بالنساء خيرا, فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شئ في الضلع أعلاه, فإن ذهبت تقيمه, كسرته, وإن تركته, لم يزل أعوج, فاستوصوا بالنساء خيرا

“Perlakukanlah wanita dengan baik, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, apabila kau coba meluruskannya engkau akan mematahkannya, namun apabila engkau biarkan, ia akan tetap bengkok, maka perlakukanlah wanita dengan baik”. (HR Bukhari).

 

Apakah Rasulullah pernah memukul salah seorang istrinya?

Rasulullah merupakan suri tauladan bagi setiap muslim, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengikuti sunnah beliau, Allah ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab: 21).

Beliau adalah contoh tertinggi, dan makhluk yang paling mulia, Allah ta’ala mengutusnya dengan membawa agama yang lurus dan santun, Tuhannya telah mendidiknya dengan baik, beliau memiliki segala perangai baik, dan akhlak yang terpuji, Allah ta’ala berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al Qalam: 4).

Beliau mengaplikasikan akhlak mulia itu dalam perilakunya sehari-hari, beliau bersabda:

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. (HR Malik dalam kitab “Muwattha’”, dan Bukhari dalam kitab “Al Adabul Mufrad”).

‘Aisyah رضي الله عنها istrinya, yang lebih mengetahui tentang pribadi Rasulullah ﷺ dari siapapun, menceritakan tentang diri Rasulullah , beliau berkata:

كان خلقه القرءان

“Akhlak beliau adalah alquran”. (HR Ahmad).

Maksudnya: beliau senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan di dalam alquran, dan meninggalkan larangan yang ada di dalamnya, tidak ada satu pun akhlak mulia yang diperintahkan oleh alquran, kecuali Nabi ﷺ merupakan orang yang paling sempurna bentuk perealisasiannya, dan tidak ada satu akhlak buruk pun yang dilarang oleh alquran, kecuali Nabi ﷺ merupakan orang yang paling menghindarinya.

Belum pernah terjadi sedikitpun dalam kehidupannya, ia memumukul seorang wanita atau anak kecil sedikit pun!!!

Bahkan seorang yang mengikuti biografi kehidupannya, dan menelaah hadits-haditsnya yang mulia, niscaya akan mendapati dengan jelas, bahwa Rasulullah ﷺ melarang dan mengharamkan dengan keras hal tersebut, istrinya ‘Aisyah رضي الله عنها bercerita tentang beliau:

ما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا قط بيده ولا امرأة ولا خادما إلا أن يجاهد في سبيل الله . وما نيل منه شيء قط . فينتقم من صاحبه . إلا أن ينتهك شيء من محارم الله . فينتقم لله عز وجل

“Rasulullah ﷺ tidak pernah sedikit pun memukul sesuatu dengan tangannya, tidak wanita, dan tidak pula pembantu, kecuali ketika beliau sedang berjihad di jalan Allah, dan tidaklah pernah beliau didzalimi, lantas ia membalas orang yang melakukannya, kecuali jika sampai melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maka ia akan membalas karena Allah”. (HR Muslim).

Bahkan musuh-musuh yang senantiasa berusaha untuk menghalangi dakwah beliau, mereka tidak mendapati dari pribadi Rasulullah ﷺ kecuali sebagaimana yang telah kami sebutkan.

Mari kita perhatikan apa yang dikatakan oleh orang yang paling dekat dengan beliau, dan paling sering menemani beliau, tidak diragukan lagi, jika seseorang sering menemani orang lain, maka ia akan mengetahui pribadi orang yang ditemani itu dan akhlaknya, Anas bin Malik رضي الله عنه pembantu yang telah berkhidmat bagi Rasulullah ﷺ selama 10 tahun, mengatakan:

خدمت رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر سنين, فما قال لي: أف قط, وما قال لشئ صنعته : لم صنعته ؟ ولا لشئ تركته : لم تركته ؟ وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحسن الناس خلقا

“Aku berkhidmat bagi Rasulullah ﷺ selama 10 tahun, beliau tidak pernah mengatakan kepadaku: ‘uf’ sama sekali, dan tidak pernah beliau mencela apa yang aku kerjakan dengan mengatakan: ‘Mengapa kau kerjakan demikian?’, dan apa yang aku tinggalkan dengan mengatakan: ‘Mengapa kau tinggalkan hal ini?’, Rasulullah ﷺ adalah salah seorang yang paling baik akhlaknya”. (HR Muslim dan Tirmidzi).

 

BAB III

Hukum memukul wanita dalam Islam

Sesungguhnya sumber syariat agama Islam adalah nash-nash dari kitab Allah dan sunnah NabiNya ﷺ yang shahih, dari keduanya kita mengambil dali, dan melalui keduanya kita mengetahui hukum memukul wanita dalam agama Islam, apakah ia wajib, musthab, mubah, makruh, atau haram, dari hadits yang diriwayatkan dari jalan Iyas bin Abdillah berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

(لا تضربوا إماء الله), فجاء عمر إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : (ذئرن النساء على أزواجهن), فرخص في ضربهن فأطاف بآل رسول الله صلى الله عليه وسلم نساء كثير يشكون أزواجهن, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لقد طاف بآل محمد نساء كثير يشكون أزواجهن ليس أولئك بخياركم).

“Janganlah kalian pukul hamba-hamba wanita Allah”, maka datanglah Umar kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Sebagian istri durhaka kepada suaminya”, maka Rasulullah ﷺ mengizinkan para suami untuk memukul istri-istri mereka, maka para wanita pun banyak mendatangi keluarga (istri) Rasulullah ﷺ guna mengadukan perilaku suami-suami mereka, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Telah datang banyak wanita kepada keluarga (istri) Rasulullah, mengadukan perilaku suami-suami mereka, meraka bukanlah orang yang baik diantara kalian”. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ad Darimi, Al Albani berkata: “ Shahih”).

Dari hadits tersebut kita bisa mengetahui:

Bahwa hadits tersebut tidak disampaikan oleh Rasulullah ﷺ dalam satu kesempatan, akan tetapi disampaikan dalam tiga kesempatan yang berbeda:

Kesempatan pertama: Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kalian pukul hamba- hamba wanita Allah”, sampai disini selesailah kesempatan yang pertama.

Oleh karena itu, semua orang yang saat itu mendengar sabda Rasulullah ﷺ itu pun mengetahui, bahwa hukum memukul wanita adalah haram, karena Rasulullah ﷺ melarang hal tersebut, dan pelakunya berdosa karena ia melanggar larangan yang telah diberikan oleh Rasulullah .

Kesempatan kedua: kedatangan Umar bin Khattab رضي الله عنه di kesempatan yang berbeda dengan kesempatan pertama, untuk mengadukan perilaku sebagian wanita, beliau berkata: “Para wanita durhaka kepada suami mereka”, maksudnya: mereka mulai berani, membantah, dan melawan suaminya, saat ini lah Rasulullah ﷺ mengizinkan para suami untuk memukul para wanita, berdasarkan keadaan dan kebutuhan hidup yang mana kehidupan manusia tidak akan sempurna tanpanya, akan tetapi bagaimana cara memukul wanita? Inilah yang akan kita jelaskan dalam pembahasan berikutnya.

Kesempatan ketiga: setelah Rasulullah ﷺ mengizinkan para suami untuk memukul istri-istri mereka yang membangkang dan berani menentang suaminya, banyak wanita yang mendatangi Rasulullah ﷺ guna mengadukan perilaku suami-suami mereka, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “ Telah datang banyak wanita kepada keluarga Muhammad, mengadukan perilaku suami-suami mereka, maka mereka bukanlah sebaik-baik kalian”.

Pada kesempatan terakhir inilah, menjadi jelas hukum final memukul wanita dalam agama Islam, yaitu makruh, atau haram, ketika sang istri melanggar aturan-aturan Allah subhanahu wa ta’ala –inilah yang akan kita bahas di kesempatan yang akan datang– namun apakah hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ menganjurkan untuk memukul wanita? Atau memuji orang yang memukul istrinya? Sesungguhnya di dalam ucapan Rasulullah ﷺ tersebut terdapat celaan, dan beliau menafikan kebaikan dalam diri seorang yang memukul istrinya!!!

Para sahabat telah memahami maksud dari ucapan Rasulullah ﷺ dan meyakini, bahwa orang yang memukul istrinya tidak akan mendapat keridhaan dan pujian Rasulullah , dan tidak diragukan lagi, bahwa sesuatu yang tidak diridhai oleh Rasulullah ﷺ hukumnya makruh bahkan bisa sampai haram.

 

Apakah mungkin hukum memukul wanita berubah dari makruh menjadi haram?

Kita telah saksikan bersama tahapan dan hukum asla memukul wanita dalam Islam, yang mana pada asalnya hukum memukul wanita adalah haram, kemudian berubah menjadi mubah karena sebab sebab tertentu, kemudian berubah lagi menjadi makruh, akan tetapi kapan memukul wanita bisa menjadi haram? Hukum memukul wanita bisa menjadi haram ketika hal itu dilakukan secara dzalim tanpa sebab, segala bentuk kedzaliman dilarang dalam agama Islam, Allah ta’ala berfirman dalam alquran melarang segala bentuk kedzaliman:

ومن يظلم منكم نذقه عذابا كبيرا

“Dan barang siapa di antara kamu yang berbuat zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya azab yang besar.” (QS Al Furqan: 19).

Rasulullah ﷺ bersabda:

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jauhilah kedzaliman, karena kedzaliman akan mengakibatkan kegelapan pada hari kiamat”. (HR Muslim).

Dari Anas رضي الله عنه berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:

اتقوا دعوة المظلوم و إن كان كافرا فإنه ليس دونها حجاب

“Hati-hatilah dari doa orang-orang yang terdzalimi, walaupun ia seorang kafir, karena tidak ada penghalang bagi doa tesebut (untuk dikabulkan)”. (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani).

Agama Islam melarang segala bentuk menggangu orang lain siapapun itu, baik melalui perkataan, sebagaimana firman Allah ta’ala:

‏‏إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (QS An Nuur: 23).

Ataupun melalui perbuatan, dengan memukul ataupun yang lainnya tanpa alasan yang benar, sesuai firman Allah:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ المُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS Al Ahzab: 58).

Ataupun perbuatan dzalim yang dikerjakan dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (QS Al Baqarah: 188).

Hukum ini berlaku bagi semua manusia, baik laki-laki, ataupun perempuan, kecil ataupun besar, muslim ataupun kafir, dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Rasulullah :

المسلم من سلم الناس من لسانه ويده والمؤمن من أمنه الناس على دمائهم وأموالهم

“Seorang muslim sejati adalah, orang yang membuat manusia merasa selamat dari perbuatan buruk lisan dan tangannya, dan seorang mu’min sejati adalah, orang yang membuat manusia merasa aman atas darah dan hartanya”. (HR Nasai, syeikh Al Albani mengatakan: “Hadits hasan shahih“.).

Barang siapa yang mengatakan bahwa agama Islam menyuruh untuk mendzalimi dan memukul wanita, maka ia telah melakukan fitnah yang sangat keji.

 

Hukuman syar’i bagi orang yang memukul istrinya:

Hukum peradilan dalam agama Islam, tidak menganggap remeh masalah pemukulan wanita, dan kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istri-istri mereka, agama Islam berlaku adil, dan menghukum para suami yang memukul istri mereka secara dzalim, ia juga akan dikenakan hukuman syar’I ketika perkara tersebut diangkat ke pengadilan, sebagai permisalan adalah kasus berikut:

  1. Surat kabar “Riyadh” memberitakan dalam situs resmi mereka, pada tanggal 12/12/2012 kasus sebagai berikut:

Pengadilan khusus pidana provinsi Qatif Arab Saudi, memvonis seorang suami yang memukul istrinya secara dzalim dengan hukuman 30 kali pukulan di depan khalayak, guna menjadikan hal itu pelajaran bagi seluruh suami yang mendzalimi istrinya, pengadilan juga menghukum sang suami untuk belajar selama 10 hari, di salah satu sekolah khusus yang mengajarkan tata cara bergaul dengan istri dan cara mengatur rumah tangga, setelah itu ia harus mengikuti tes tertulis yang hasilnya disertakan di lampiran kasus.

Sama halnya dengan pengadilan-pengadilan lain di setiap negara Islam, yang akan menghukum suami yang menganiaya istrinya dengan memukul, anehnya, sampai ada beberapa wanita yang mengancam suaminya dengan memukuli dirinya sendiri, kemudian ia pergi ke kantor polisi dan melaporkan bahwa yang memukul adalah suami mereka, padahal suami mereka berlepas diri dari tuduhan tersebut.

Kasus ini membuktikan bahwa seorang muslim yang berakal dan mengikuti ajaran-ajaran Islam, tidak akan ridha atas kedzaliman dan penganiayaan terhadap wanita, sebagaimana agama kita tidak mengajarkan hal yang demikian, maka ia pun mengharamkannya, dan menjadikannya sebagai salah satu kedzaliman yang diharamkan, bahkan agama Islam memerintahkan kita untuk memaafkan, mengampuni, bersabar, dan berusaha untuk membayar keburukan dengan kebaikan.

Perlu diketahui, bahwa agama Islam tidak membolehkan begitu saja memukul wanita, akan tetapi mengizinkannya dalam keadaan yang memang harus dikerjakan demi menjaga kerukunan rumah tangga, itu pun dengan syarat, supaya hal itu hanya dilakukan sesekali saja, demi merealisasikan satu tujuan, yaitu menjaga keutuhan rumah tangga, dan akhlak masyarakat pada umumnya.

 

BAB IV

Hukum-hukum syariat ketika seorang istri membangkang

 

Seorang akan mengatakan, bukankah seorang suami harusnya measehati istrinya ketika ia membangkang, bukan malah memukulnya, maka kami katakan, inilah hukum yang ditetapkan oleh Allah ta’ala, Allah berfirman dalam alquran:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (mmebangkang), Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS An Nisa: 34).

Rasulullah ﷺ bersabda pada saat haji wada’:

ألا واستوصوا بالنساء خيرا , فإنما هن عوان عندكم , ليس تملكون منهن غير ذلك , إلا أن يأتين بفاحشة مبينة , فإن فعلن فاهجروهن في المضاجع واضربوهن ضربا غير مبرح , فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا . ألا إن لكم على نسائكم حقا , ولنسائكم عليكم حقا

“Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita, karena mereka (bagaikan) tawanan di sisi kalian, kalian tidak memiliki kuasa atas mereka sedikit pun selain itu, kecuali jika mereka melakukan perbuatan nista yang nyata, dan apabila mereka melakukan itu, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka mentaati kalian, maka janganlah berbuat aniaya kepada mereka, ketahuilah, bahwa kalian memiliki hak yang harus ditunaikan oleh istri-istri kalian, dan istri-istri kalian memiliki hak yang harus kalian tunaikan”. (HR Tirmidzi, syeikh Al Al Bani mengatakan: “ Hadits hasan”).

Demikianlah Allah mengajarkan kita hukum yang sesuai dengan keadaan para hambaNya, dan demikuan pula Rasulullah ﷺ mengajarkan kepada kita, cara untuk mengatasi pembangkangan istri, dan mengurutkannya menjadi beberapa tahapan:

  1. Tahapan pertama:

Seorang suami hendaknya menggunakan nasehat sebagai jalan mengoreksi istrinya yang tidak mentaatinya, sebelum ia menghajr (mendiamkan istri) di atas kasur. Urutan ini wajib hukumnya menurut jumhur ahli fiqih, maka seorang suami harus mengambil hati istrinya dengan cara melembutkan perkataan kepada mereka, dan mengucapkan kata-kata yang menjelaskan rasa cinta dan kedudukan sang istri di hati suami, bahwa ia ingin menasehatinya, dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasehati dan mengoreksi kesalahan sang istri.

Perlu diketahui, bahwa nasehat tidak pernah keluar dan diterima dari hati yang kering dan kasar, akan tetapi nasehat yang diterima adalah nasehat yang disampaikan dengan ucapan yang lembut, dan pergaulan yang baik, seperti membelikan hadiah untuk sang istri, sehingga istrinya menerima nasehat dari suaminya dengan hati yang ridha, dan akal yang baik.

Tentunya seorang istri yang baik, dan memiliki akhlak yang mulia, akan menerima nasehat dari suaminya, menaruh nasehat tersebut di keningnya, seraya mengingat kebaikan rumah tangga dan anak-anaknya. Adapun jika seorang istri adalah wanita yang buruk, dan memiliki tabiat yang jelek, maka nasehat tiadk akan bermanfaat bagi orang yang seperti itu, maka ketika itu seorang suami mulai berpindah kepada tahapan kedua yang telah diperintahkan oleh Allah ta’ala, yaitu menghajr (mendiamkan) istrinya di atas kasur.

  1. Tahapan kedua:

Seorang suami menggunakan cara hajr (mendiamkan) istrinya di atas kasur, dengan berpaling dari sang istri ketika mereka di atas kasur, dan tidak memberikan hak biologis kepadanya maksimal selama 3 hari, sesuai sabda Rasulullah :

لا يحلُّ لمسلمٍ أن يهجرَ أخاه فوق ثلاثٍ

“Tidak boleh seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari 3 hari”. (Muttafaq ‘alaihi).

Hal itu guna memberikan pengertian kepada istri akan ketidak ridhaan suaminya atas perbuatan yang telah ia kerjakan, cara ini bisa dikatakan sebagai masa yang diberikan kepada sang istri untuk mengoreksi dirinya dan memanfaatkan waktu yang diberikan-yaitu 3 hari-untuk berfikir, karena apabila seorang suami mendiamkan istrinya lebih dari itu, maka sama saja ia menyiksa istrinya, bukan mengoreksinya. Apabila sang istri bisa mengoreksi dirinya dan kembali berbuat baik, maka sang suami harus berhenti mendiamkan istrinya, dan memaafkannya. Namun apabila sang istri masih membangkang dan enggan untuk berlaku baik, berarti cara ini belum memberikan efek baginya, maka saat itu sang suami boleh berpindah ke tahapan yang ketiga.

  1. Tahapan ketiga:

Apabila suami sudah berusaha untuk menasehati istrinya yang membangkan dengan ucapan yang baik, dan memberi hadiah keapdanya, namun hal itu belum memberikan efek, kemudian berusaha menggunakan cara kedua, dengan mendiamkan sang istri diatas kasur, dan menampakkan ketidak ridhaannya kepada dirinya, namun hal itu juga belum memberikan efek yang berarti, maka saat itu, seorang suami diizinkan untuk mendidik istrinya dengan cara memukul, namun dengan pukulan yang tidak melukai, dan meninggalkan bekas.

Para ulama bersepakat, bahwa urutan ketiga tahapan ini hukumnya wajib dalam menanggulangi masalah ketidak taatan istri, yaitu mulai dari nasehat, kemudian hajr (mendiamkan) istri, kemudian memukul.

Atha’ berkata: Aku berkata kepada Ibnu Abbas: “Bagaimana pukulan yang tidak melukai itu?”, Ibnu Abbas mengatakan: “Memukulnya dengan siwak atau yang sejenisnya”.

Hasan al Bashri mengatakan: “Maksudnya pukulan yang tidak meninggalkan bekas”.

Demi Allah, saudaraku para pembaca yang mulia, rasa sakit apa yang dihasilkan oleh sepotong siwak (yang panjang dan besarnya saja tidak sampai menyamai pensil)?!! Maka mana mungkin memukul dengan siwak dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga?

 

Apabila engkau menganggap seorang suami yang memukul istrinya dengan siwak sebagai orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, maka mari sama-sama kita lihat bersama, betapa banyak film-film Hollywood dan sebagainya yang menggambarkan kepada kita, bagaimana seorang marah kepada orang lain, seorang laki-laki marah kepada wanita, seorang direktur marah kepada bawahannya, ketika ia marah, ia letakkan jari telunjuknya di dada orang lain, dan membentaknya, bahkan sering kali ia tusukkan jari telunjuk atau pulpennya ke dada orang lain, sering pula kita dapati seorang yang menampar pipi orang lain. Dalam banyak kesempatan, kita dapati seorang istri memiliki masalah dengan suaminya, sampai ia tega menampar pipi sang suami dengan sangat keras, atau sebaliknya, suami menampar istrinya dengan keras, kemudian pergi begitu saja. Semua ini tidak dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga oleh orang-orang barat, akan tetapi hanya sebagai luapan emosi yang dirasakan oleh seorang suami atau istri sehingga mereka tega menampar pipi pasangannya, malah mereka menganggap orang yang melakukan hal itu sebagai pasangan suami istri modern. Perlu diketahui bahwa memukul wajah dalam agama Islam hukumnya haram, namun anehnya, orang-orang menuduh agama Islam, bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan.

Meskipun agama Islam membolehkan seseorang suami yang sudah berusaha untuk menggunakan cara pertama dan kedua, untuk beralih ke cara ketiga, akan tetapi aama Islam juga telah memberikan hak bagi wanita, sebelum sampai ke tahap ini, untuk menuntut cerai, atau yang biasa disebut dengan khulu’. Apabila ia merasa tidak bisa lagi menerima suaminya, maka ia berhak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya: inilah yang akan kita bahas bersama in syaa Allah.

Perlu diketahui, bahwa tahapan-tahapan ini, yang dimulai dengan memberikan nasehat, kemudian hajr, kemudian memukul, bukanlah jalan keluar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sering terjadi sehari-hari antara suami istri, akan tetapi cara ini digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang besar, sebagai contoh, jika seorang suami menyuruh istrinya: “Tolong hari ini masakkan untuk kami nasi dan ikan”, lantas istrinya lupa, malah memasak nasi dan ayam, apakah kita menyikapinya dengan ayat tersebut, menasihati, menghajr, atau memukulnya??

Tentu tidak, karena hal ini adalah masalah yang biasa terjadi, harus diselesaikan dengan damai, dan tanpa makian. Namun apabila seorang istri adalah perempuan yang buruk akhlaknya, keras kepalanya, dan suaminya mulai memperhatikan gelagat kemaksiatan istrinya, maka saat inilah kita dihadapkan dengan wanita pembangkang, yang butuh dikoreksi demi kesembuhannya, sebagaimana orang sakit yang membutuhkan obat. Mari kita bayangkan bersama saudaraku pembaca yang budiman, seorang wanita yang terus menerus membangkang dan congkak, juga terus menerus melakukan perbuatan-perbuatan buruk, yang akan berakibat pada hancurnya rumah tangga, dan perceraian. Bisa jadi suaminya sudah berusaha sejak lama untuk menasehati dan menghajrnya di atas tempat tidur, akan tetapi hal itu tidak memberikan efek yang berarti. Mana kiranya yang lebih baik dilakukan, menceraikannya, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan??!!! Apabila memukul itu ibarat buta sebelah, dan perceraian itu buta seluruhnya, maka buta sebelah itu lebih baik dari pada buta seluruhnya, karena apabila seorang suami meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti itu, hal itu akan menyebabkan rusaknya rumah tangga, dan lebih dari itu rusaknya msayarakat pada umumnya.

 

BAB V

Arti dan definisi kata ضرب (memukul) dalam agama Islam

Sebelum para aktifis HAM di dunia internasional menentang adanya kekerasan rumah tangga atas istri dan anak, agama Islam sudah terlebih dahulu menentang hal tersebut dan mengharamkannya, agama Islam juga menyiapkan hukuman bagi orang yang melakukannya dengan hukuman di dunia dan akhirat. Larangan tersebut bukan hanya berlaku pada perbuatan, akan tetapi mencakup ucapan dan kata-kata yang tidak pantas, maka dengan demikian, aturan agama Islam lebih global dari pada aturan komisi HAM yang hanya menetapkan hukuman di dunia saja.

Sejak 1400 tahun yang lalu, Rasulullah ﷺ sudah menjelaskan:

المسلم من سلم الناس من لسانه ويده, والمؤمن من أمنه الناس على دمائهم وأموالهم

 “Seorang muslim sejati adalah orang yang membuat manusia selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang mu’min sejati adalah orang yang membuat manusia merasa aman atas darah dan hartanya”. (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Nasai, syeikh al Albani megatakan: “Hasan shahih”).

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

ليس المؤمن بالطعان ولا اللعان ولا الفاحش ولا البذئ

“Seorang mu’min bukanlah orang yang sering mencela, tidak sering melaknat, tidak mengucapkan kata-kata kotor, dan tidak pula mengucapkan kata-kata keji”. (HR Bukhari dalam kitab “Al Adabul Mufrad”, Tirmidzi, dan dishahihkan oleh al Albani).

Seorang boleh saja bertanya, bagaimana bisa Islam tidak menyuruh kekerasan, namun secara bersamaan agama Islam juga mengizinkan suami untuk memukul istrinya yang membangkang?!

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menjelaskan terlebih dahulu, perbedaan maksud dari kata ضرب (Memukul) di kehidupan kita saat ini, dengan maksud dari kata tersebut menurut syariat Islam.

Dalam masa sekarang ini, ketika seorang mendengar bahwa seorang suami telah memukul istrinya, maka yang tergambar dipikirannya adalah perbuatan keji dan kasar, yang dilakukan oleh suami yang dzalim ini, yang ia berikan kepada istrinya, dengan cara menonjok, dan menendang, kita juga terpikir keadaan istri yang terdzalimi itu, dengan keadaan badan yang dipenuhi dengan luka, lebah dan cedera yang bermacam-macam. Inilah yang dapat dimengerti dari kata “Memukul” pada zaman ini, gambaran itu kita dapatkan dari kebiasaan yang kita dapati di keseharian kita, ketika mendapati seorang laki-laki yang keji dan mendzalimi istrinya.

Namun jika saya katakan, bahwa saya telah memukul lonceng, apakah itu berarti saya memukul pintu sekeras-kerasnya??!! Atau ketika saya katakan bahwa saya akan memukul[43] sebuah permisalan untukmu, apakah hal itu berarti aku menonjuk missal tersebut dengan kuat??!! Kalau begitu, kata ضرب (memukul) artinya bisa berubah-ubah, sesuai pemakaian, maksud, dan pribadi orang yang mengatakannya, semua itu memberi gambaran kepada kita maksud dari kata ضرب (memukul).

Oleh karena itu, maksud dari kata ضرب (memukul) dalam agama Islam, sangat berbeda dengan arti kata “Memukul” di zaman ini, arti kata “Memukul” yang biasa digunakan pada saat ini hukumnya haram, dan merupakan kesalahan yang terancam mendapat hukuman yang berat dalam agama Islam, maka karena itu, tidak mungkin kedua definisi ini bergabung, karena yang satu berlawanan dengan yang lainnya. Jika kita ingin berlaku adil, maka kita harusnya mengatakan, bahwa memukul istri itu tidak ada dalam agama Islam, dan agama Islam pun tidak mengizinkan untuk menghinakan dan berbuat buruk kepadanya, atau hanya mengucapkan kata-kata yang buruk kepadanya.

Akan tetapi yang dimaksud dengan kata ضرب (memukul) dalam Islam adalah, pukulan yang sangat pelan, sama halnya ketika seorang memukul lonceng, yang tujuannya hanya sebatas memberi pengertian kepada istri bahwa dirinya bersalah karena tidak menunaikan hak suaminya, dan suaminya berhak menasehati dan mengoreksi istrinya.

Agama Islam telah menetapkan tahapan-tahapan bagi suami untuk mengoreksi istrinya yang tidak mentaati perintahnya, yaitu tahapan-tahapan sebelum masuk ke tahap pemukulan, agama Islam menjadikan pukulan sebagai jalan keluar terakhir bagi wanita-wanita yang belum jera dengan hukuman di tahpan-tahapan sebelumnya. Agama Islam telah menetapkan batasan-batasan syari bagi seorang suami, yang apabila ia langgar, ia akan berdosa karena telah melanggar batasan-batasan Allah, dan dengannya ia berhak mendapatkan hukuman di dunia maupun di akhirat, adapun batasan-batasan tersebut adalah:

 

Batasan-batasan memberi pelajaran istri dengan pukulan:

  1. Bertahap dalam menyelesaikan masalah. Dengan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah melalui tahapan pertama dan kedua, yaitu dengan menasehati, kemudian menghajr (mendiamkan) istri di atas tempat tidur.
  2. Memukul dengan kayu siwak atau sejenisnya. Yang ukuran dan panjangnya tidak sampai sama dengan batang pensil.
  3. Tidak memukul wajah, atau tempat-tempat sensitive di tubuhnya. Karena agama Islam melarang untuk memukul wajah, baik yang dipukul laki-laki, maupun wanita, bahkan hewan sekalipun. Wajah adalah bagian yang mulia, dan melukai wajah, bisa berefek pada panca indra yang ada di dalamnya. Sebagaimana ia juga dilarang untuk melukai tempat-tempat sensitif pada tubuh wanita, itulah batasan-batasan Allah, dan barangsiapa yang melanggar batasan-batasan tersebut, maka ia berdosa.
  4. Tidak memberi pelajaran kepada istri di depan halayak. Seorang suami tidak boleh memukul istrinya di hadapan manusia, lebih khusus lagi anak-anaknya, karena dalam hal ini terdapat penghinaan atas wanita, itu yang pertama, kemudian hal itu akan berimbas pada buruknya pendidikan yang diberikan kepada anak, didikan macam apa yang diberikan oleh seorang suami yang memukul istrinya di depan mereka?!
  5. Pukulan yang diberikan bukanlah pukulan yang melukai, atau menyisakan bekas yang tampak di tubuh sang istri, seperti sampai mengeluarkan darah, atau menyisakan bekas di tubuhnya seperti luka, atau patah tulang. Seorang suami yang memukul istrinya sampai berbekas, luka, patah, atau berdarah, maka ia adalah seorang yang berdosa, dia merupakan seorang suami yang kasar, dan keras, seorang suami yang niatnya bukan memperbaiki kesalahan sang istri, akan tetapi ingin membalas dendam, dan melukainya. Dan sesuai syariat agama Islam yang santun, suami yang seperti itu harus diintrogasi dan dihukum.

 

BAB VI

Hukum memukul wanita dalam agama-agama yang lain

Kasus memukul wanita bukanlah terjadi pada waktu dan tempat tertentu saja, tidak pula terikat dengan satu zaman atau masyarakat tertentu, akan tetapi kasus ini ada pada setiap masyarakat di setiap zaman tanpa terkecuali, dan barang siapa yang ingin menelaah masalah kedudukan wanita di masa-masa yang lalu, maka ia akan dapati banyak sekali buku yang membahas masalah ini, tentang kedudukan wanita di tengah masyarakat Yunani, Romawi, Cina, dan India kuno….dst, juga pembahasan bagaimana sikap agama yahudi dan nashrani dalam menyikapi masalah memukul wanita, yang merupakan masalah yang sering terjadi pada masyarakat-masyarakat terdahulu, bahkan sekalipun di masayarakat al Masih sendiri, dan apakah al Masih عليه السلام pernah membicarakan perihal pengharaman memukul wanita??!! Dan apakah dalam kitab-kitab suci umat nashrani, baik di perjanjian lama, ataupun perjanjian baru, ayat - ayat yang membahas pengharaman atau makruhnya memukul wanita??!! Setelah diteliti, kita dapati bahwa itu semua tidak ada.

Apabila seorang yang beragama Kristen memukul istrinya, apakah ia dianggap berdosa dan bersalah karena perbuatannya dari segi agama, dan apa hukuman yang ditetapkan dalam kitab suci untuknya? Tentu saja orang itu tidak berdosa, karena tidak ada ayat yang menunjukkan hal itu dalam kitab suci, baik dalam perjanjian lama, ataupun perjanjian baru!!

Ia pun tidak dianggap bersalah menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan ia tidak berhak dihukum, kecuali nampak bekas-bekas penganiayaan atas istrinya, seperti patah, memar, atau lecet, adapun jika bekas-bekas tersebut tidak nampak pada tubuh sang istri, maka bagaimana caranya sang istri membuktikan pukulan yang diberikan kepadanya!! Atau dengan kata lain, pukulan yang tidak meninggalkan bukti fisik tidak akan membuatnya dihukum, baik menurut agama, atau bahkan menurut hukum negeri yang berlaku sekalipun!!

Dan mari kita lihat bersama dalam agama Yahudi, dan juga Budha, apakah dalam agama-agama itu terdapat ayat yang mengharamkan memukul wanita?!

Tentu saja tidak ada ayat atau petunjuk pada agama manapun yang mengharamkan memukul wanita, kecuali dalam agama Islam saja!!! Bahkan ketika memukul wanita berubah dari yang tadinya berhukum haram, menjadi makruh, hanya agama Islam saja yang menjelaskan larangan memukul wanita!! Adapun agama yang lainnya, tidak sedikitpun menjelaskan masalah ini baik dengan mengharamkan, ataupun memakruhkannya.

Sebagaimana tidak ada satu pun agama yang memberi batasan-batasan dalam masalah memukul wanita kecuali Islam, atau dengan kata lain, ketika seorang suami yang beragama nashrani kehilangan control atas dirinya, lalu ia memukul istrinya, adakah batasan-batasan yang tidak boleh ia langgar? Apakah agama Kristen menjelaskan batasan-batasan bagi seorang suami dalam memukul istrinya, seperti tidak boleh memukul wajah, atau tidak boleh meninggalkan bekas pada tubuh sang istri…dst? Tentu saja hal itu tidak ada.

Seorang yang memperhatikan zaman yang kita berada di dalamnya, akan mendapati bahwa di sana terdapat darta yang menyebutkan kasus pemukulan suami pada istrinya, dalam masyarakat yang beragama yahudi, Kristen, atau masyarakat lainnya selain kaum muslimin, periksalah sendiri data- data yang terdapat pada kantor polisi dan kasus-kasus yang ada pada pengadilan-pengadilan di Amerika, dan Eropa, niscaya engkau akan dapati jumlah suami yang sangat banyak, yang melakukan tindak kekerasan kepada istri dan anak-anak mereka!!!

Bahkan sekalipun di masyarakat jahiliyah sebelum datangnya Islam, dahulu orang Arab mencambuk istri dan budaknya, dan hal itu adalah perkara yang biasa, dan tidak terlarang dalam syariat dan hukum manapun, ketika Rasulullah ﷺ diutus, beliau mengkritik dengan keras perkara ini, beliau bersabda:

يعمد أحدكم فيجلد امرأته جلد العبد فلعله يضاجعها من أخر يومه

 “Seorang diantara kalian tega mencambuk istrinya layaknya seorang budak, namun ia gauli-baca: setubuhi-istrinya di malam hari”. (Muttafaq ‘alaihi, dan lafadznya milik Bukhari).

Dalam hadits ini Nabi ﷺ mengkritisi seorang laki-laki yang memukul istrinya di siang hari, kemudian ketika datang waktu malam ia ingin menggaulinya!! Dengan kata lain, bagaimana bisa ia memperlakukan istrinya dengan keras di siang hari, namun kemudian ia mengharam kasih sayang dan meyuruh istrinya untuk melayaninya di malam hari!!

 

Beberapa kutipan mengenai kedudukan wanita dalam Injil di perjanjian lama dan perjanjian baru

Biasanya orang -orang Kristen akan mengatakan kepada kita, bahwa Yesus merupakan pembela pertama bagi hak-hak wanita, ia merupakan orang yang memberikan para wanita hak-hak mereka yang tidak diberikan oleh agama-agama lainnya, bahwa Alkitab telah berlaku adil dan mengangkat derajat mereka!! Namun apakah pengakuan ini terbukti??!!

Kita semua mengetahui bahwa Bible melarang seorang wanita untuk masuk ke dalam sanctuary yang ada di dalam gereja, yang di dalamnya terdapat altar suci, baik wanita itu masih kecil, remaja, ataupun dewasa, larangan tersebut tidak ada kaitannya dengan usia, namun berkaitan dengan jenis kelamin. Bible tidak menyebutkan, baik dalam perjanjian lama ataupun perjanjian baru, keterangan apapun yang membolehkan wanita untuk memasuki sanctuary. Bahkan penahbisan pun terlarang bagi wanita, seorang wanita tidak diizinkan untuk berbicara atau mengajarkan seseorang di dalam gereja, wanita tidak boleh mengemban jabatan apapun dalam masalah kegerejaan, mereka hanya bisa menjadi seorang diakon, yang hakikatnya derajat mereka hanya sebatas pembantu, bukan pendeta!!

Bible telah menjelaskan kepada kita macam-macam jabatan kegerejaan, yang semuanya dibatasi hanya untuk laki-laki saja, baik jabatan patriark pertama, seperti Nuh, Ayyub, Ibrahim, Ishak, dan Ya’kub, atau jabatan imamat Harun, imamat melkisedek, imamat para rasul, dan penerus mereka para uskup, yang semuanya hanya boleh dijabat oleh laki-laki, kalaupun wanita boleh mengemban jabatan kegerejaan, niscaya Maryam yang suci akan menjadi wanita pertama yang mengembannya, akan tetapi sesuai dengan ajaran agama Kristen, seorang wanita tidak boleh mengemban jabatan apapun!!

Kami akan tunjukkan beberapa teks dari bible, yang menunjukkan keadaan wanita dan kedudukan mereka:

  1. Seorang wanita akan dihukum karena kesalahan seorang laki –laki:

Dalam kitab Yeremia (23 : 34): “Adapun nabi atau imam atau rakyat yang masih berbicara tentang Sabda yang dibebankan oleh TUHAN, kepada orang itu dan kepada keluarganya akan Kulakukan pembalasan”.

  1. Hukuman bagi seorang wanita pezina adalah dibakar dengan api:

Dalam kitab Imamat (21 : 9): “Apabila anak perempuan seorang imam membiarkan kehormatannya dilanggar dengan bersundal, maka ia melanggar kekudusan ayahnya, dan ia harus dibakar dengan api”.

  1. Tangan wanita dipotong tanpa alasan yang masuk akal:

Dalam kitab Ulangan (25 : 11-12): “Apabila dua orang berkelahi dan isteri yang seorang datang mendekat untuk menolong suaminya dari tangan orang yang memukulnya, dan perempuan itu mengulurkan tangannya dan menangkap kemaluan orang itu, maka haruslah kaupotong tangan perempuan itu; janganlah engkau merasa sayang kepadanya”.

  1. Janda yang dicerai, atau suaminya meninggal sama seperti pelacur:

Dalam kitab Imamat (21 : 10-15): “Imam yang terbesar… Seorang janda atau perempuan yang telah diceraikan atau yang dirusak kesuciannya atau perempuan sundal, janganlah diambil, melainkan harus seorang perawan dari antara orang-orang sebangsanya, supaya jangan ia melanggar kekudusan keturunannya di antara orang-orang sebangsanya, sebab Akulah TUHAN, yang menguduskan dia”.

  1. Kepatuhan mutlak seorang wanita kepada suaminya:

Efesus (5: 22-24): “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus kepala jemaat. Dialah yang menyelematkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu”.

  1. Seorang wanita harus tetap diam ketika berada di dalam pertemuan jemaat:

Di dalam Korintus I (14: 34-35): “Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan Jemaat”.

  1. Wanita adalah sebab kesalahan:

Timotius I (2: 11-15): “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak, asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala kesederhanaan”.

  1. Kekuasaan laki-laki atas wanita:

Dalam Petrus I (3: 1-6): “Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu. Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, etapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah. Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya, sama seperti Sara taat kepada Abraham dan menamai dia tuannya”.

Dan dalam kitab Kejadian (3: 16): “Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”.

  1. Seorang wanita yang berzina harus dirajam sampai mati:

Dalam kitab Ulangan (22: 13-21): “Apabila seseorang mengambil isteri dan setelah menghampiri perempuan itu, menjadi benci kepadanya, menuduhkan kepadanya perbuatan yang kurang senonoh dan membusukkan namanya dengan berkata: Perempuan ini kuambil menjadi isteriku, tetapi ketika ia kuhampiri, tidak ada kudapati padanya tanda –tanda keperawanan– maka haruslah ayah dan ibu gadis itu memperlihatkan tanda-tanda keperawanan gadis itu kepada para tua-tua kota di pintu gerbang. Dan ayah si gadis haruslah berkata kepada para tua-tua itu: Aku telah memberikan anakku kepada laki-laki ini menjadi isterinya, lalu ia menjadi benci kepadanya, dan ketahuilah, ia menuduhkan perbuatan yang kurang senonoh dengan berkata: Tidak ada kudapati tanda-tanda keperawanan pada anakmu. Tetapi inilah tanda-tanda keperawanan anakku itu. Lalu haruslah mereka membentangkan kain itu di depan para tua-tua kota. Maka haruslah para tua-tua kota itu mengambil laki-laki itu, menghajar dia, mendenda dia seratus syikal perak dan memberikan perak itu kepada ayah si gadis karena laki-laki itu telah membusukkan nama seorang perawan Israel. Perempuan itu haruslah tetap menjadi isterinya; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi. Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, aka haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati”.

Dan dalam kitab Ulangan (22: 22): “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel”.

Dan juga di dalam kitab Ulangan (22: 23-24): “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati”.

  1. Derajat wanita lebih rendah dari pada laki-laki:

Korintus I (11: 3-10): “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah. Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau berbubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat”.

  1. Ajaran Didascalia apostolorum berkaitan dengan wanita:

Didascalia Apostolorum, pasal 3 dengan judul “Ketundukan seorang wanita kepada suaminya, dan bahwa ia harus mencintai dan berlaku sederhana” mengatakan:

“Seorang wanita haruslah patuh kepada suaminya, karena ia merupakan pemimpinnya, … wahai wanita, takutlah kalian kepada suami kalian, malulah kalian di hadapan mereka, dan berterima kasihlah hanya kepada mereka setelah Allah, dan sebagaimana yang telah kita katakan, hiburlah ia dengan pelayananmu, sehingga suamimu pun akan merangkulmu, … apabila engkau ingin menjadi wanita yang beriman dan diridhai oleh Allah, maka janganlah kamu berhias untuk laki-laki asing, dan jangan pula memakai pakaian-pakaian tipis yang hanya cocok dikenakan oleh para pezina, sehingga anda diikuti oleh laki-laki hidung belang. Walaupun kamu tidak memiliki niatan untuk berzina ketika mengenakannya, namun kamu akan tetap dianggap berdosa karena telah memakainya, sebab engkau telah membuat orang-orang mengarahkan pandangannya dan nafsu kepadamu, lantas mengapa kau tak menjaga dirimu, agar ia tidak jatuh ke dalam dosa, dan tidak membiarkan orang lain jatuh kepada keraguan (atau kecemburuan) karena sebabmu, apabila engkau sengaja melakukan hal ini, maka engkau pun akan terjatuh ke dalam dosa, karena engkau telah menjadi sebab hancurnya laki-laki tersebut. Jika kau menyeret seorang untuk berdosa sekali, nantinya orang itu akan menyeret banyak orang lainnya ke dalam banyak dosa, sebagaimana yang dikatakan oleh Bible: “Bila kefasikan datang, datanglah juga penghinaan dan cela disertai cemooh”. (Amsal: 18:3). Siapapun yang melakukan hal itu akan hancur karena dosa dan menjerumuskan jiwa-jiwa orang bodoh tanpa belas kasih. Hendaknya wanita mengetahui apa yang dikatakan oleh Bible bagi seorang yang menyebabkan fitnah di tengah manusia seperti itu, dikatakan: “Bencilah wanita-wanita yang keji melebihi kebencianmu kepada kematian, karena merekalah yang akan menjerumuskan orang-orang bodoh”, dan dalam ayat lain: “Seperti cacing yang memakan kayu, demikianlah seorang wanita yang jahat menghancurkan suaminya”, Bible juga mengatakan: “Lebih baik tinggal di ujung atap dari pada harus serumah dengan seorang wanita yang pengkhianat”. Janganlah kalian menjadi seperti mereka wahai wanita Kristen, jika kalian ingin menjadi orang-orang beriman, perhatikan lah saja suamimu seorang dan bahagiakanlah ia. Dan jika kau berjalan di tengah jalan, maka tutuplah kepalamu dengan kain, karena jika kau tutupi dirimu dengan kehormatan, maka engkau akan terjaga dari pandangan orang-orang yang buruk, jangan kau hiasi wajahmu yang telah diciptakan oleh Allah, karena pada wajahmu tidak ada satu pun yang akan mengurangi keindahanmu, sebab segala yang diciptakan oleh Allah sangatlah indah, dan tidak perlu lagi diperindah, dan segala sesuatu yang ditambahkan kepadanya, maka akan mengubah kenikmatan Tuhan. Ketika kau berjalan, arahkan wajahmu dan pandanganmu ke bawah, dan kau dalam keadaan tertutup dari setiap sisi, menjauhlah dari segala hubungan yang tidak pantas, seperti berada di satu tempat mandi bersama laki-laki, karena hal itu sering menjadi sebab terjerumus ke dalam dosa, seorang wanita beriman tak boleh mandi bersama laki-laki. Apabila ia telah menutupi wajahnya, maka ia harus menutup wajahnya dari pandangan laki-laki asing… yang harus kau lakukan jika kamu beriman, adalah menghindar dari segala sikap ingin tahu, dan segala pandangan-pandangan mata… “Sesungguhnya hidup di gurun pasir, lebih baik dari pada tinggal bersama wanita yang pengkhianat dan sering berkata keji”.

 

Bab VII

Fenomena Memukul Wanita di Tengah Masyarakat Kristen barat

Banyak musush-musuh Islam yang berusaha untuk menyebarkan syubhat seputar agama Islam, diantaranya masalah memukul wanita, mereka menggunakan jurus andalan mereka, yaitu “Gunting ajaib”, dengan membawakan penggalan ayat-ayat alquran, dan hadits-hadits Rasulullah ﷺ yang menguatkan syubhat mereka, contohnya mereka menggunakan kalimat “Memukul” dalam agama Islam, namun tidak menyebutkan kalimat yang tertulis sebelum dan setelahnya, tujuannya untuk menyusupi syubhat dusta tentang agama Islam, dengan perantara tipu muslihat mereka yang sangat jauh dari hakikatn yang ada, mereka tidak membawakan bukti secara lengkap, namun hanya sepenggal saja, sehingga akan emnimbulkan kesalah pahaman dan kerancuan, tujuan mereka adalah memfitnah agama Islam, dan menampakkan kelebihan dan kemajuan yang mereka miliki dalam bergaul khususnya dengan wanita, namun sejatinya mereka tidak memperhatikan realita yang ada, seperti yang berikut:

Pertama: Sesungguhnya agama Islam adalah satu-satunya agama yang memperhatikan hubungan yang penuh cinta kasih antara dua pasangan suami isteri, Islam adalah satu-satunya agama yang melarang segala bentuk penganiayaan baik melalui perkataan maupun perbuatan, Allah ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (QS Ar Ruum: 21).

Perlu diketahui, bahwa rasa cinta dan kasih sayang ini tidak akan pernah didapat kecuali melalui hubungan yang sah secara syariat.

Kedua: Sesungguhnya agama Islam adalah satu-satunya agama yang mengkritik segala bentuk pemukulan dan penghinaan kepada wanita, juga sikap meremehkan mereka sejak 4000 tahun yang lalu, dan menganggap hal itu sebagai kehinaan bagi laki-laki yang melakukannya.

Jika kita periksa dalam kitab-kitab suci orang Nashrani, baik dalam perjanjian lama, maupun baru, tidak akan kita dapati sedikitpun petunjuk yang melarang memukul wanita.

Ketiga: Agama Islam memerintahkan untuk memperlakukan wanita dengan baik, seluruh ayat alquran, dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hubungan antara suami dan istri, semuanya berisi anjuran untuk memperlakukan masing-masing pasangan dengan baik, Allah ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS Al Baqarah: 228).

Keempat: agama Islam menetapkan atas segala perlakuan baik kepada sesama, khususnya kepada pasangan sebagai amalan yang akan menghasilkan pahala, Rasulullah ﷺ bersabda:

ولست بنافق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا آجرك الله بها، حتى اللقمة تجعلها في امرأتك

“Dan tidaklah kau nafkahkan hartamu karena mengharap wajah Allah-baca: Ikhlas-kecuali Allah akan membalasnya, sekalipun hanya satu suapan yang kau masukkan ke mulut isterimu”. (Muttafaq ‘alaihi).

Kelima: Islam menjadikan memukul wanita itu sebagai pengecualian, bukan sebagai peraturan, itupun dengan menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang suami sebelum ia jadikan memukul sebagai jalan keluar dari suatu masalah, sehingga memukul adalah suatu pengecualian, dan jalan keluar terakhir yang harus dilakukan demi menghindari mafsadat yang lebih besar, hal itu karena wanita tidak semuanya sama dalam setiap masa, masyarakat, dan keluarga.

Apa yang bisa digunakan untuk memperbaiki keadaan seorang wanita di suatu masyarakat, belum tentu memiliki efek yang sama bagi wanita lainnya, dari masyarakat, dan zaman yang lain, sekuat apapun usaha yang telah dilakukan, inilah bukti kesempurnaan agama Islam, karena ia memperhitungkan segala kemungkinan yang ada.

Keenam: Kasus kekerasan dalam rumah tangga merebak luas di tengah negara-negara maju saat ini, berapa banyak laki-laki Kristen yang menganiaya isterinya secara terang-terangan di hadapan orang lain, di bandara, di rumah makan, di bar, atau bahkan di jalan-jalan umum, di hadapan orang-orang yang lewat, hal ini bukan rahasia lagi, bahkan sudah sering tersebar baik melalui televisi atau radio.

Berapa banyak wanita yang tinggal di Amerika, Kanada, Eropa, dan Australia yang mendatangi kantor polisi untuk meporkan kekerasan yang dilakukan oleh suami-suami mereka, dan dakwaan ini pastinya tidak akan diakui kecuali jika terdapat bukti fisik, sebagaimana yang telah kita jelaskan, baik berupa patah tulang, atau lebam di bawah mata, atau wajah akibat pemukulan, dan bagi orang-orang yang melihat statistic resmi yang dikeluarkan kantor kepolisian yang ada di Amerika, Eropa, dan Australia pasti akan mengakui kenyataan ini.

 

Merebaknya Kasus Pemukulan Wanita

Di Tengah Masyarakat Barat

Untuk membuktikan hal itu di tengah-tengah masyarakat eropa yang mengaku sebagai bangsa yang maju dan modern, khususnya dalam masalah kemanusiaan, bukan dalam hal materi semata, sebagai berikut:

  1. Merebaknya yayasan-yayasan, baik nasional maupun swasta di negara-negara Eropa yang menangani kasus penganiayaan atas isteri, dan kekerasan dalam rumah tangga, dan semuanya kewalahan dalam menangani kasus kekerasan yang dilakukan para suami kepada isteri-isteri mereka.
  2. Berita-berita yang sering kali dibawakan oleh media-media masa, baik televisi maupun radio, yang menceritakan secara aktual kekerasan yang dilakukan oleh orang yang tinggal di sebelah rumah kepada istrinya.
  3. Pertanyaan yang sering kali diberikan kepada masyarakat barat, diantaranya:

Apakah kau pernah memukul isterimu walaupun hanya sekali?

Apakah kau pernah melihat atau mendengar bahwa ayahmu memukul ibumu?

Apakah sebelumnya kau pernah mendengar, bahwa kerabatmu pernah memukul isterinya?

Apakah sebelumnya kau pernah mendengar, bahwa tetanggamu pernah memukul isterinya?

Maksud dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah untuk membuktikan merebaknya kasus kekerasan yang dilakukan seorang suami yang beragama Kristen kepada isteri-isteri mereka baik di Eropa, Amerika, Kanada, dan Australia, karena hal ini merupakan fenomena yang sering terjadi di tengah-tengah mereka.

Pada akhirnya, seorang yang adil akan mengakui kemuliaan agama Islam, bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang memuliakan wanita, mengagungkan mereka, dan menjaga mereka dari segala hal yang mengancam kemuliaan mereka, dan senantiasa memberikan mereka kehormatannya, dan melarang dengan keras segala bentuk kedzaliman kepada mereka, Rasulullah ﷺ bersabda:

 

إني أحرج عليكم حق الضعيفين اليتيم والمرآة

“Aku menghawatirkan atas kalian dua hak orang yang lemah, anak yatim dan wanita”. (HR Ahmad, Nasai, dan Ibnu Majah, hadits ini juga disebutkan dalam Shahihul Jami’ no: 2447).

 

 

 

 

Penutup

Sesungguhnya agama Islam adalah syariat Allah yang kekal abadi, ajaran yang diturunkan kepada seluruh manusia melalui lisan Muhammad , syariat ini sudah menyerukan dari sejak ia diturunkan bahwa manusia memiliki keutamaan disbanding makhluk-makhluk lainnya yang telah Allah ciptakan, Allah berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS Al Isra: 70).

Setelah Allah mengabarkan kepada manusia akan nilai mereka, bahwa mereka diberi kelebihan atas segala makhluk yang telah diciptakanNya, Allah pun mengabarkan kepada mereka hal yang lain, yaitu kesetaraan asal mula penciptaan seluruh manusia, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu.” (QS An Nisa: 1).

Dari sini, setiap manusia setara dengan yang lainnya dalam segi kemanusiaan, setiap orang berhak untuk mengutarakan pendapatnya, dan memanfaatkan segala kenikmatan dan kebaikan yang telah Allah ciptakan di dunia ini, kalaupun ada perbedaan di antara mereka, maka hal itu bukan karena perbedaan nasab, warna, ataupun ras, walaupun derajat kehidupan mereka berbeda-beda, namun hal itu bukan karena perbedaan jenis mereka sebagai manusia, karena kemuliaan di sisi Allah tidak dibangun di atas perbedaan jenis, warna, ataupun ras, semua orang di hadapan Allah sama, baik laki-laki maupun wanita, kaya maupun miskin, mulia ataupun hina, akan tetapi yang menjadi sebab perbedaan antara manusia di hadapan Allah adalah, sejauh mana usaha mereka untuk menerapkan syariatNya, dan konsisten di atas jalan yang benar, sebagaimana yang Allah telah jelaskan:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS Al Hujurat: 13).

Ajaran agama Islam menganggap seluruh manusia setara dari segi asal mula penciptaan dan kemanusiaan mereka, dan menjadikan wanita setara dengan pria dalam segala hal, kecuali dalam perkara-perkara yang memang harus diberi perbedaan dalam masalah tersebut, Allah ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” (QS At Taubah: 71).

Allah juga berfirman:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan.” (QS Ali Imran: 195).

Dan saya rasa ini adalah saat yang tepat untuk menyampaikan beberapa pendapat secara ringkas:

  • Bisa saya katakan, dan saya yakin dengan kebenaran hal ini, bahwa seorang wanita tidak akan pernah bisa mendapatkan hak-hak dan kebebasan mereka secara sempurna kecuali di bawah naungan agama Islam, hal itu karena agama Islam adalah agama samawi yang telah diterapkan oleh Tuhan pencipta manusia, baik yang laki maupun wanita, Tuhan yang mengatahui segala perkara yang mereka butuhkan, baik di dunia maupun di akhirat.
  • Hendaknya kita tidak menghakimi Islam hanya dengan melihat beberapa perbuatan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Banyak sekali yang menisbatkan dirinya kepada Islam, namun ia jauh dari ajaran Islam, karena agama Islam bukan hanya mengucapkan dua kalimat syahadat saja, akan tetapi ia juga agama yang mencakup aqidah dan amal. Contohnya: kita dapati beberapa orang dari kaum muslimin berbohong, curang, dan megerjakan perbuatan-perbuatan yang buruk, namun hal itu bukan berarti agama Islam menganjurkan ataupun membolehkan apa yang mereka lakukan!! Islam itu cakupannya luas, diantara kaum muslimin ada yang menjalankan seluruh ajarannya hingga ia hampir sampai derajat sempurna, dan diantara mereka ada juga orang yang tidak banyak beramal, dimana mereka masih melakukan beberapa pelanggaran yang dengannya mereka berhak untuk dihukum, baik di dunia maupun di akhirat, akan tetapi ia tetap tidak keluar dari agama Islam, mereka lah yang biasa dinamakan dengan sebutan orang muslim yang bermaksiat, atau orang berdosa.
  • Aku serukan kepada seluruh manusia non muslim, untuk memiliki kebebasan mereka sendiri dalam menghukumi agama Islam, mereka hendaknya tidak mengikuti doktrin-doktrin dari orang lain, dan hendaknya mereka mencari tau tentang agama Islam dari buku-buku yang kompeten dan terpercaya, sehingga mereka bisa mengenal lebih jauh agama Islam dan peraturan-peraturannya, karena agama ini adalah agama Allah, dan barang siapa yang membaca buku berkaitan dengan agama ini, dengan hati dan pikiran yang terbebas dari doktrin agama dan fanatisme golongan tertentu, dan tujuannya hanya untuk mencari kebenaran semata, saya yakin –in syaa Allah– Allah akan menerangi jalannya, dan akan menuntunnya ke jalan yang benar, bagi setiap orang yang Allah inginkan baginya kebaikan.

Seorang penulis bernama L. Veccia Vaglieri berkata dalam bukunya “Membela Agama Islam”, padahal ia bukanlah seorang muslimah:

“Demi menghindari dorongan yang akan menjerumuskan ke akhlak yang buruk, juga menghindari sesuatu yang akan dihasilkannya, maka seorang wanita muslimah harus mengenakan hijab, dan menutupi seluruh tubuhnya kecuali anggota-anggota tubuh yang memang boleh dibuka, seperti kedua mata dan kaki, dan hal ini bukanlah bentuk tidak menghormati wanita, atau untuk mengekang kebebasan mereka, akan tetapi untuk melindungi mereka dari hawa nafsu para laki-laki. Aturan yang telah diwarisi secara turun temurun, yang mengharuskan untuk memisah antara laki-laki dan perempuan, juga kehidupan yang dipenuhi dengan akhlak inilah yang menjadikan bisnis prostitusi menjadi organisasi yang tabu dan sama sekali tidak diketahui di daerah timur, akan tetapi hal itu merebak karena andil orang-orang asing atau otoritas tertentu, dan apabila seseorang tidak dapat menyangkal nilai keuntungan hal ini, maka kita akan menyimpulkan bahwa kebiasaan berhijab adalah suatu hal yang tidak akan menguntungkan bagi komunitas Islami”.

 

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

 

 

 

 

[1] Tabloid Mustaqbal Islami edisi: 146, 6 / 1424 H, The Debuchery Of American Woman Hoot Bikini vs Burka.

[2] Lihat Al Qadha wal Qadar karya syeikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, hal: 130 – 132 .

[3] Arabic Culture. Dr.G. Lebon, hal: 488.

[4] Dinukil dari Kitab – Kitab Suci Pada Agama – Agama Terdahulu”, Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, hal: 168.

[5] Kerugian Yang Didapat Dunia Karena Terpuruknya Kaum Muslimin (ماذا خسر العالم بانحطاط المسلمين), Abul Hasan Ali Al Hasani An Nadawi, menukil dari kisah Mahabarata.

[6] Lihat: The Story Of Civilization, W. Durrant, jilid: 3, hal: 178, 180, 181, alih bahasa ke bahasa arab oleh: Muhammad Badran.

[7] Arabic Culture, Dr. G. Lebon, Efek yang diberikan Islam pada keadaan wanita di timur, hal: 406.

[8] Kerugian Yang Didapat Dunia Karena Terpuruknya Kaum Muslimin (ماذا خسر العالم بانحطاط المسلمين), Abul Hasan Ali Al Hasani An Nadawi, menukil dari: R.C.DUTT. 331.

[9] Lihat: jilid: 3, perempuan di cina, W. Durrant.

[10] Ibid.

[11] Arabic Culture, Dr. G. Lebon, hal: 406, alih bahasa ke bahasa arab: zu’aitir.

[12] The Story Of Civilization, W. Durrant, (1 / 119).

[13] Ibid, hal: 118, 119, 120.

[14] Lihat Perbandingan agama, Dr. Ahmad Syibli, hal: 188, dan Peradaban Arab, hal: 408.

[15] Lihat Peradaban Arab, hal: 406.

[16] Ibid, hal: 408.

[17] Lihat perbandingan Agama, Dr. Ahmad Syibli, hal 186.

[18] Lihat: The Story Of Civilization, W. Durrant, (7 / 117 – 118).

[19] Lihat: Arabic Culture, hal: 406.

[20] Studi Sejarah Peradaban Yunani dan Romawi, Dr. Husain As Syaikh, hal: 149.

[21] Lihat: Kitab Kejadian, pasal 3, ayat: 1.

[22] Kitab Pengkhotbah, pasal 7, ayat: 25 – 26.

[23] The Story Of Civilization, (1 / 374).

[24] Kitab Ulangan, pasal: 25, ayat: 5.

[25] Kumpulan Undang – Undang dan Adat Yahudi, Rabbi Shlomo Ganzfried, hal: 22.

[26] Perbandingan Agama, Dr. Ahmad Syibli, hal: 187, menukil dari Feminism, yang diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Arthur Chater.

[27] Perjanjian baru, Korintus 1, pasal 11, ayat: 3, 7-10.

[28] Perjanjian baru, Efesus, pasal: 5, ayat: 22 – 23.

[29] Tabloid Mustaqbal Islami edisi: 146, 6 / 1424 H, The Debuchery Of American Woman Hoot Bikini vs Burka.

[30] Dinukil dari buku: “Para Pemimpin Barat berkata: ‘Hancurkan Agama Islam dan Binasakan Para Pemeluknya”, Jalalul ‘Alam, hal: 52.

[31] Tabloid Mustaqbal Islami edisi: 146, 6 / 1424 H, The Debuchery Of American Woman Hoot Bikini vs Burka.

 

[32] Perjanjian lama, Kitab Imamat, pasal 18, ayat 18.

[33] Sejarah Pernikaha (تاريخ الزواج), Waster Mark, alih bahasa ke bahasa arab: Abdul Hamid Yunus.

[34] Wanita di Dalam Alquranul Karim, Abbas Mahmud Al ‘Aqqod.

[35] Kita tidak setuju dengan pendapat penulis yang menyamakan poligami dengan pelacuran, dan mengatakan bahwa poligami adalah hal yang buruk, kecuali memang orang yang melakukan poligami tidak adil kepada istri – istrinya.

[36] Majalah Al Azhar, jilid: 8, hal: 291.

[37] Wanita di dalam alquranul karim, Abbas Mahmud Al Aqqad.

[38] Islam memberikan tantangan, Wahidud Diin Khan, hal: 168, dinukil dari buku “ Man The Unknown”, hal: 51.

[39] Fii Dzilalil Quran, (1 / 855).

[40] Dinukil dari: Pekerjaan Wanita dalam Timbangan, Dr. Abdullah bin Wakil As Syaikh.

[41] Keselamatan internasional dan Islam, hal: 56.

[42] Dinukil dari “ Nadzorot fii Kitabil Hijab was Sufur”, karya: Musthafa al Ghalayiini, hal : 94 – 95.

[43] Kata ضرب ( memukul ) dalam bahasa arab sering digunakan sebagai predikat dan objeknya adalah permisalan, maksudnya: memberikan sebuah permisalan.