Pertanyaan

APAKAH DIA DIHARUSKAN MENYAMBUNG KERABAT SUAMINYA MESKIPUN SETELAH PERCERAIAN

Saya telah bercerai sejak lama, dan saya ingin mengetahui bahwa anak-anak keluarga suamiku yang lalu masih bagian dalam keluargaku. Apakah saya bermuamalah dengannya seperti kerabatku? Padahal mereka adalah anak-anak saudara (mantan) suamiku. Apakah saya diharuskan menjaga hubungan silaturrahim dengan saudara perempuan suamiku dan saudara laki-laki suamiku meskipun saya tidak menikah dengan saudara-saudaranya. Terima kasih

Jawaban
Jawaban

Alhamdulillah

Hubungan silaturrohim khusus kerabat dari sisi bapak (mertua) dan sisi ibu tanpa besan. Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, ‘Saya mohon perincian silaturrohim, apakah termasuk keluarga istri dan suami satu dengan lainnya atau tidak? Dan siapakah kerabat  (arham)itu?

Beliau menjawab, ‘Arham adalah kerabat dari sisi ibu dan dari sisi bapak. Maka para bapak, para ibu, para kakek dan para nenek adalah arham (kerabat). Anak cucu mereka dari kalangan laki-laki dan perempuan, begitu juga anak-anak perempuan semuanya adalah arham (kerabat). Begitu juga saudara laki-laki dan saudara perempuan dengan anak-anaknya adalah arham (kerabat). Begitu juga paman dan bibi dari bapak dan ibu serta anak-anaknya adalah arham (kerabat). Sementara kerabat istri mereka adalah besan bukan termasuk arham (kerabat). Begitu juga kerabat suami bagi istri adalah besan bukan termasuk arham (kerabat).’ Selesai dari website syekh : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/9326

Syekh Ibn Utsaimin rahimahullah berkata: ‘Kebanyakan dari kalangan awam memahami kata nasab (keluarga) atau kata Arham (kerabat) kecuali kerabat suami dan istri. Sampai seseorang mengatakan, ‘mereka adalah keluargaku dan kerabatku karena dia menikah dengannya. Ini adalah suatu kesalahan baik dari sisi bahasa maupun syara’ (agama). Karena nasab (keturunan) mereka adalah kerabat dari bapak dan ibu. Arham juga mereka adalah dari ayah ibu.

Sementara kerabat dari suami istri, mereka dinamakan besan bukan nasab. Allah Ta’al berfirman:

( وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا ) الفرقان/ 54.

“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.” SQ. Al-Furqan: 54. Allah menjadikan hubungan diantara dua manusia adalah dengan dua hal, nasab 9keluarga) dan besan.’ Selesai  ‘Fatawa Nurun ‘Alad Darbi, karangan Ibnu Utsaimin, 6/11.

Akan tetapi hal itu tidak menghalangi berinteraksi dan berhubungan diantara manusia. Menyambung, berkasih sayang dan berkunjung kepadanya meskipun diantara mereka tidak ada hubungan kerabat dan keturunan.

Tidak mengapat melanjutkan hubungan yang baik dengan besan meskipun setelah bercerai. Pada hakekatnya ini termasuk akhlak yang baik, asli kedermawanan karena seorang muslim itu saudara dengan muslim lain. Akan tetapi perlu diperhatikan akan urgensinya berkometmen dengan hijab syar’i di depan anak-anak muda laki-laki.

Telah ada di kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 7/17: “Seorang wanita harus berhijab dari anak muda yang telah dapat membedakan aurat dengan lainnya. Ini secara global. Kalau masih anak-anak yang belum dapat membedakan antara aurat dengan lainnya, maka tidak mengapa memperlihatkan hiasan kepadanya berdasarkan firman Allah ‘dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.’ SQ. An-Nur: 31.’ Selesai.

Yang dijadikan pedoman terhadap anak kecul yang tidak berhijab darinya. Bahwa dia tidak mengetahui sesuatu yang terkait dengan wanita dan tidak ada perhatiannya. Ini berbeda tergantung perbedaan nafsu dan pertumbuhannya.’ Selesai ‘Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darbi, karangan Ibnu Utsaimin, 11/500.

Wallahu’alam .

Soal Jawab Tentang Islam