Chosen Islamic Manners - Indonesian

Chosen Islamic Manners - Indonesian

1-ADAB KEPADA ALLAH TA’ALA

  • Ikhlas kepada Allah dalam beramal.
  • Waspada agar tidak terjerumus dalam kesyirikan, firman Allah Ta’ala:

وََلوْ أَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْن

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”َ[1] 

  • Beribadah dan menjalankan kewajiban sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya
  • Mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah. Firman Allah Ta’ala:

وَِإذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ َلأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azabku sangat pedih”[2] 

  • Mengagungkan dan memuliakan-Nya serta mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya. Firman Allah Ta’ala: وَمَا قَدَرُوْا اللهَ حَـقَّ قَدْرِهِ          “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya”[3]
  • Tidak berbicara tentang hukum-hukum Allah tanpa ilmu. Firman Allah Ta’ala: وَلاَ تَقُـوْلُوْا لِمَا تَصِـفُ أَلْسِنَتِـكُمُ اْلكَذِبَ هذَا حَلاَلٌ وَهذَا حَـرَام

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa-apa yng disebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram…….”[4]

  • Merasakan pengawasan Allah baik saat sepi dan ramai. Firman Allah Ta’ala:    وَيَعْـلَمُ مَا تُسِـرُّوْنَ وَمَا تُعْلِـنُوْنَ وَاللهُ عَلِيْمٌ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ

“Dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati”[5]

  • Menumbuhkan rasa takut, cemas dan penuh harap kepada-Nya.
  • Bertaubat dan kembali kepada-Nya, serta meminta ampun hanya kepadaNya. Firman Allah Ta’ala:

وَلَوْ أَنَّـهُمْ إِذْ ظَلَمـُوْا أَنْـفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْـتَغْفَـرُوا اللهَ وَاسْـتَغْفَـرَ لَـهُمُ الرَّسُـوْلُ لَوَجُـدُوْا اللهَ تَـوَّابًارَحِيْمًا

“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”[6]

  • Berdo’a, bersikap merendah diri dan hina di hadapan-Nya. Firman Allah Ta’ala:
أَمَّنْ يُجِيْبُ اْلُمضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ اْلأََرْضِ أَإِلهٌ مَعَ اللهِ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ

“Atau siapakah orang yang memperkenankan do’a orang yang sedang dalam kesulitan yang bila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi, apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain. Amat sedikitlah kamu mengingatnya”[7]

  • Tidak putus asa dan harap terhadap ampunan-Nya. Firman Allah Ta’ala:

قُلْ يَاعِباَدَيَ الَّذِيْنَ أَسْـرَفُوْا عَلىَ أَنْفـُسِهِمْ لاَ تَقْـنَطُوْا مِنْ رَحْـمَةِ اللهِ إنَّ اللهَ يَغْفِـرُ الُّذُنُوْبَ جَمِيْعًا إِنَّهُ هُـوَ الْغَـفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[8]

  • Meyakini bahwa hanya di tangan-Nyalah kekuasaan untuk memberikan manfaat, memudharatkan, menghidupkan dan mematikan. Firman AllahTa’ala:
مَنْ يُصْرَفْ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ فَـقَدْ رَحِمَـهُ  وَذلِكَ اْلـفَوْزُ الْمُبِينُ

“Barangsiapa yang dijauhkan azab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata”[9]

  • Berprasangka baik terhadap Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala:
وَذلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْـتُمْ بـِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْـتُمْ مِنَ اْلخَاسِـرِيْنَ

“Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi”[10]

  • Bersabar atas semua taqdir-taqdirNya, membenarkan apa-apa yang diberitakan-Nya dan melaksanakan semua kewajiban yang di perintahkan-Nya.
  • Konsisten dengan perjanjian.
  • Mencintai orang yang dicintai-Nya dan memusuhi orang yang dimusuhi-Nya.
  • Pasrah, tunduk dan taat kepada-Nya.
  • Berhukum dengan syari’atNya dan perintah-Nya dalam semua aspek kehidupan.
  • Selalu berzikir kepada-Nya.
  • Malu dan waspada untuk berbua maksiat kepadaNya, serta menjauhi semua sikap yang bisa mendatangkan murka dan siksa-Nya. Firman Allah Ta’ala:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُـوْنَ عَنْ أَمْـرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْـنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

“Maka hendaklah  orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”[11]

 

2-ADAB KEPADA RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM

  • Mentaatinya, mencontoh, mentauladani dan mengikuti sunnahnya.
  • Mendahulukan cinta kepadanya dari yang lainnya, dan mengormati serta memuliakannya.
  • Membaca shalawat saat menyebut namanya.[12]
  • Waspada terhadap perbuatan yang menyelisihi dan melanggar tuntunannya.
  • Tidak mendahulukan perkataan siapapun atas perkataan dan pendapat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
  • Beriman kepada kenabian dan risalahnya serta membenarkan pa-apa yang diberitakannya.
  • Waspada terhadap sikap berlebihan terhadap dirinya, yaitu dengan mengangkat derajatnya melebihi keududukan yang telah diturunkan oleh Allah baginya.
  • Tidak memberikan kepada beliau shallallahu alaihi wasallam sesuatu yang menjadi kekhususan bagi Allah, seperti bersumapah, berserah diri dan berdo’a yang ditujukan hanya kepada Allah.
  • Bersikap loyal kepada orang yang loyal kepada beliau, mencitai orang yang dicintainya, membenci dan berlepas diri dari musuh-musuhnya.
  • Membela sunnah dan syari’ahnya.
  • Menghidupkan sunnah beliau, mempertahankan syari’ahnya dan menyampaikan da’wahnya, serta melaksanakan waisiatnya.[13]

 

3-ADAB SEORANG PENGAJAR AL-QUR’AN

  • Mengajarkan Al-Qur’an hanya untuk mencari ridha Allah Ta’ala.
  • Mengajarkan Al-Qur’an bukan bertujuan untuk mendapatkan balasan duniawi. Firman Allah Ta’ala:

 مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُـؤْتِهِ مِنْـهَا وَمَالَهُ فِي اْلآخِرَةِ مِنْ نََصِيْبٍ

"Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan  dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.[14]

Dan waspada untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber penghasilan, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an, semoga pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran adalah pendapat yang membolehkannya, berdasarkan hadits Abi Said yang telah mengambil sekumpulan kambing sebagai upah atas kesembuhan orang yang diruqyahnya dengan surat Al-Fatihah.

  • Hendaklah dia waspada dari kesengajaan memperbanyak bacaan karena banyaknya orang yang meminta dan mendatanginya.
  • Hendaklah dia waspada jika bersikap tidak senang terhadap kecendrungan shahabat-shahabatnya untuk belajar Al-Qur’an kepada orang lain yang pernah belajar darinya.
  • Berakhlaq dengan adab-adab syara’.
  • Bersikap zuhud dan mencukupkan diri dengan bagian yang sedikit dari dunia.
  • Hendaklah ia bersikap tenang, berwibawa dan merendah diri.
  • Menjauhi ketawa dan senda gurau yang berlebihan.
  • Menggunakan hadits sebagai sandaran untuk bertasbih, berdo’a dan mengerjakan amal-amal yang utama
  • Waspada terhadap penyakit hati seperti hasad, bangga diri, riya’, bersikap melebihi orang lain atau merendahkannya….
  • Tidak memandang diri lebih baik dari salah seorang dari mereka.
  • Seyogyanya untuk bersikap kasih sayang terhadap orang yang belajar kepadanya, dan bergaul dengan lembut serta memberikan semangat bagi mereka untuk belajar.
  • Memberikan nasehat khususnya bagi orang yang belajar kepadanya sebatas kemampuannya.
  • Bersikap toleran saat mengajar.
  • Kasih sayang terhadap siswa, memperhatikan kemaslahatnnya sebagaimana ia memperhatikan kemaslahatan diri dan anaknya, seorang siswa diperlakukan seperti anaknya dalam kasih sayang, bersabar atas sikapnya yang kasar atau adabnya yang buruk serta menjelaskan keburukan sikap tersebut dengan cara yang lembut agar ia tidak kembali padanya.
  • Hendaklah dia menyenangi kebaikan bagi para siswanya seperti dia menyukainya untuk dirinya, dan membenci kekurangan bagi mereka sebagaimana hal tersebut dia benci bagi dirinya sendiri.
  • Hendaklah ia menjelaskan bagi mereka tentang keutamaan belajar untuk menambah motifasi mereka dan mendorong mereka untuk bersikap zuhud terhadap dunia.
  • Mendahulukan siswa atas kemaslahatan duniawi yang tidak primer.
  • Memberikan setiap siswa apa-apa yang sesuai (bagi dirinya), maka hendaklah ia tidak melimpahkan kadar yang banyak bagi siswa yang tidak mampu menerima yang banyak, dan tidak mengurangi pemberiannya terhadap siswa yang mampu menerima tambahan.
  • Memberikan dorongan bagi mereka untuk mengulangi hapalan-hapalan mereka.
  • Memberikan pujian kepada siswa yang rajin.
  • Hendaklah dia mengutamakan orang yang terlebih dahulu datang pada saat banyak murid-murid yang datang menyibukannya, dan janganlah mendahulukan orang yang tergesa-gesa mementingkan dirinya kecuali terdapat maslahat syar’i.
  • Mengamati keadaan mereka dan menanyakan murid yang tidak hadir.
  • Menjaga kedua tangan saat guru membacakan ayat baginya dari perbuatan sia-sia, dan menjaga pandangan yang liar tanpa kebutuhan.
  • Duduk menghadap kiblat setelah bersuci dengan penuh wibawa dan pakaian yang putih bersih, pada saat ia sudah sampai di tempat duduk hendaklah dia melakukan shalat dua rekaat pada tempat duduknya sebelum dia duduk.
  • Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu membaca Al-Qur’an untuk orang lain dengan duduk secara berlutut.
  • Dianjurkan agar majlis seorang guru meluas agar bisa menampung para siswa yang belajar padanya.
  • Seyogyanya bagi seorang guru untuk tidak menghinakan ilmunya.

 

4-ADAB SEORANG PELAJAR DAN PENGAMAL AL-QUR’AN

  • Berdo’a kepada Allah dengan jujur dan ikhlash agar diberikan pertolongan untuk menghapal Al-Qur’an dan dengan tujuan hanya untuk mencari keredhaan Allah baik dalam beramal dan berilmu.
  • Menghapal Al-Qur’an dan beramal dengannya akan menambah ketinggian derajat. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:   

  إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهذَا اْلِكتَابَ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

“Sesunguhnya Allah mengangkat derajat beberapa kaum dengan Al-Qur’an ini dan merendahkan yang lain”.[15]

  • Menjauhi kesibukan yang menjauhkan dirinya dari memperoleh ilmu secara sempurna.
  • Menperoleh hafalan Al-Qur’an dengan cara talaqqi.[16]
  • Waspada terhadap rasa putus asa yang mungkin mneyelimuti hati karena masa panjang yang dilalui untuk menghapal, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya ilmu tersebut didapatkan dengan cara belajar”[17]
  • Membaca tafsir untuk ayat yang sedang dihapal.
  • Mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca dan menghapal.
  • Selalu menjaga waktu untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an:  “Sebab Al-Qur’an lebih mudah terlepas dari onta yang ada pada ikatannya”.
  • Membaca Al-Qur’an secara tartil, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
  • وَرَتِّلِ اْلقُرْآنَ تَرْتِيْلا “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan secara perlahan-lahan”[18]. Apabila melewati ayat-ayat rahmat maka ia segera mohon rahmat dan karunia dari Allah, dan jika melewati ayat-ayat azab maka ia segera berlindung kepada Allah darinya, hendaklah ia duduk menghadap kiblat dengan khusyu’, tenang dan berwibawa.
  • Dianjurkan membaca Al-Qur’an secara berurutan, apabila melewati ayat yang mengandung sujud tilawah maka disunnahkan baginya untuk bersujud. Apabila seseorang mengucapkan salam kepadanya saat ia membaca Al-Qur’an maka hendaklah ia menjawab salam, lalu berta’awwudz dan menyempurnakan bacaan.
  • Membaca apa-apa yang telah dihapal pada saat shalat malam, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا قَامَ صَاحِبُ اْلقُـرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَـرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ

 “Apabila seorang yang belajar Al-Qur’an bangun untuk membaca apa yang dihapalnya pada waktu siang dan malam maka ia pasti mengingatnya, dan jika ia tidak melakukannya niscaya akan dilupakannya”.[19]

  • Waspada terhadap perbuatan maksiat. Di antara akibatnya adalah terlupanya ilmu dan hapalan.
  • Duduk di hadapan guru layaknya seorang murid, tidak mengangkat suara tanpa kebutuhan, tidak ketawa dan banyak bicara atau tidak menoleh ke kanan dan kiri tanpa kebutuhan.
  • Tidak memperdengarkan bacaan saat hati sang guru sedang sibuk atau bosan…dan bersabar atas kekasaran guru atau keburukan prilakunya. Apabila sang guru berbuat kasar kepadanya maka ia segera meminta maaf.
  • Saat mendatangi majlis gurunya, namun ia tidak melihatnya, hendaklah menunggu dan tetap berdiam di pintu. Dan apabila mendapatkan guru sedang sibuk maka ia minta izin untuk tetap menunggu.
  • Tidak masuk kepada gurunya tanpa minta izin kecuali jika berada pada tempat yang tidak membutuhkan izin, dan janganlah ia mengganggunya dengan terlalu banyak permintaan izin.
  • Merendah dan berakhlaq yang baik terhadap gurunya sekalipun usianya lebih kecil.
  • Selalu bersemangat untuk belajar, tidak puas dengan yang sedikit selama ia mampu berusaha memperoleh yang lebih banyak, dan tidak membebani diri dengan sesuatu yang tidak bisa ditanggung oleh dirinya demi mencegah kebosanan dan hilangnya apa yang telah didapatkan.
  • Bersikap merendah diri kepada orang-orang shaleh, orang-orang baik dan orang-orang miskin.
  • Pembawa dan pelajar Al-Qur’an harus berakhlaq dan berpenampilan yang sempurna, dan menjauhi diri dari segala yang dilarang oleh Al-Qur’an.
  • Ibnu Mas’ud berkata: “Seharusnya bagi pembawa Al-Qur’an dikenal (dengan ibadah) malamnya saat manusia tertidur, dan (ibadah) siangnya saat manusia tidak berpuasa, dengan kesedihannya saat manusia dalam kesenanganya, dengan tangisnya saat manusia ketawa, dengan diamnya saat manusia bicara serampangan, dengan kekhusyu’annya saat manusia berbangga diri, maka seharusnya ia menjadi orang yang suka menangis, sedih, bijaksana, alim, tenang, tidak kasar, lalai, berkata kotor, keras dan bersikap keras”[20]
  • Menghormati ahlil Qur’an dan tidak menyakiti mereka.

 

5-ADAB MEMBACA DAN PENGAJAR AL-QUR’AN

  • Menjaga keikhlasan saat belajar dan membaca Al-Qur’an, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa ia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya orang yang paling pertama akan ditanya pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah, ia didatangkan lalu Allah memperlihatkan kepadanya nikmat-Nya sampai dia mengetahuinya. Allah bertanya kepadanya: “Apakah yang telah engkau perbuat di dunia?”, ia menjawab: “Aku telah berperang di jalanMu sampai aku mati syahid”. Allah membantahnya: “Engkau bohong, sebab engkau berperang agar orang mengatakan bahwa dirimu adalah seorang pemberani, dan itu telah dikatakan”, lalu diperintahkan untuk diseret di atas wajahnya lalu dicampakkan ke dalam api neraka. Dan seorang yang belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an, maka ia dihadpakan ke hadapanNya lalu Dia memperlihatkan nikamat-Nya sehingga ia mengetahuinya. Allah bertanya: “Apakah yang telah engkau perbuat di dunia?”. Ia menjawab: “Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an ikhlas semata untukMu”. Maka Allah membantahnya: “Kamu bohong, engkau belajar ilmu agar dikatakan sebagai orang yang alim, dan membaca Al-Qur’an agar dikatakan sebagai qori’, dan itu terjadi, lalu ia diperintahkan untuk diseret di atas wajahnya dan dilempar ke dalam neraka….”[21]
  • Beramal sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an. Dijelaskan dalam sebuah riwayat yang panjang tentang mimpi Nabi shallallahu alaihi wasallam…dikatakan kepadanya: “Berjalanlah”, maka kami berjalan sampai mendatangi seseorang lelaki yang sedang terbaring di atas tengkuknya, dan seorang lelaki yang berdiri di atas kepalanya sambil membawa sebuah batu atau batu besar untuk membenturkan kepalanya sendiri pada batu tersebut sampai terlempar, lalu ia segera mengambilnya, dan dia tidak melakukan seperti apa yang telah dilakukannya sampai kepalanya pulih seperti semula, setelah pulih ia kembali memukulnya. Aku bertanya: “Siapakah orang ini?”, “Berjalanlah”, perintahnya. (lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan tentang apa yang telah dilihatnya), dalam lanjutan sabdanya beliau mengatakan: Orang yang telah aku lihat memukul kepalanya  adalah seorang yang diajarkan oleh Allah Al-Qur’an namun ia tertidur darinya pada waktu malam dan tidak beramal dengannya pada waktu siang hari, itulah balasannya sampai hari kiamat”[22]
  • Meningkatkan semangat untuk selalu mengingat kembali dan memperhatikan Al-Qur’an; berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

تَعَاهَدُوْا الْقُرْآنَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا (أي تفلتا) مِنَ اْلإِبِلِ فِي عُقُلِهَا

“Perhatikanlah Al-Qur’an demi yang jiwaku ada di tangan-Nya sesungguhnya ia lebih mudah terlepas dari seekor unta yang ada di dalam ikatannya”.[23]

  • Janganlah engkau mengatakan: “Aku telah melupakannya”, tetapi katakanlah: Aku telah dibuat lupa, atau aku telah dibuat bimbang, atau dijadikan lupa, seperti yang diterangkan dalam Riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sangat buruk apa yang dikatakan oleh seseorang: “Aku telah melupakan ayat ini dan ini akan tetapi ia telah dibuat lupa”.[24]
  • Wajib untuk mentadabburi Al-Qur’an, berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla: أَفَلاَ يَتَبَرُّوْنَ اْلقُرْآنَ وَلَوْكَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا ِفيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”[25].

  • Boleh membaca Al-Qur’an dengan cara berdiri, berjalan, berbaring dan berkendaraan, seperti yang dijelaskan dalam hadits Aisyah radhiallahu anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersandar pada pahaku saat aku sedang kedatangan haid dan beliau membaca Al-Qur’an”.[26]
  • Boleh menaruh mushaf di dalam kantong baju.
  • Dianjurkan agar membersihkan mulut dengan siwak sebelum membaca Al-Qur’an. Berdasarkan riwayat Abi Hudzaifah radhiallahu anhu ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam apabila bangun pada waktu malam maka beliau menggosok mulutnya dengan siwak”.[27]
  • Termasuk sunnah membaca isti’adza(أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ)  dan membaca basmalah: (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ)  kecuali saat membaca surat Al-Taubah, maka dia hanya berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk saat membaca surat Al-Taubah.[28]
  • Ucapan ((صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْم setelah membaca Al-Qur’an dan melakukannya secar terus menerus adalah adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya.[29]
  • Imam Nawawi berkata: Disunnahkan bagi seorang yang membaca Al-Qur’an jika ia memulai bacaannya dari pertengahan surat untuk mengawalinya dari awal kalimat yang mempunyai hubungan dengannya”.[30]
  • Dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an secara tartil dan makruh membacanya dengan cara cepat yang berlebihan saat membaca Al-Qur’an, berdasarkan firman Allah Ta’ala: وَرَتِّلِ اْلقُرْآنَ تَرْتِيْلاً         

“Dan bacalah Al-Qur’an dengan perlahan-lahan”.[31]

Dianjurkan untuk memanjangkan mad saat membaca Al-Qur’an, Anas radhiallahu anhu pernah ditanya tentang sifat bacaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?”, Dia menjawab bahwa sifat bacaan beliau adalah memanjangkan mad bacaannya, lalu dia mencontohkan dengan membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ beliau memanjangkan kataبِسْمِ اللهِ , dan memanjangkanالرَّحْمنِ  dan memanjangkan bacaan الرَّحِيْمِ[32]

  • Dianjurkan untuk memperindah suara saat membaca Al-Qur’an dan dilarang membacanya dengan suara yang kacau. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: زَيِّنُوْا أَصْوَاتَكُمْ بِالْقُرْآنِ  “Hiasilah suaramu saat membaca Al-Qur’an”.[33]
  • Menangis saat membaca Al-Qur’an atau mendengarnya, diriwayatkan di dalam sunnah dari hadits Abdullah bin Al-Syakhir radhiallahu anhu ia berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِجَوْفِهِ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ الْمِرْجَلِ يَعْنِي الْبُكَاءُ

“Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, (saat itu) dari dalam ternggorokan beliau terdengar isak tangis seperti suara periuk yang besar”.[34]

  • Dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an dengan suara yang nyaring jika hal tersebut tidak menimbulkan kegaduhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beri’tikaf di masjid dan beliau mendengar para shahabat membaca Al-Quran secara nyaring, maka beliau membuka tabir rumah beliau dan berkata:

أَلاَ كُلُّكُمْ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلاَ يـُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعُ بَعْضُكُمْ عَلىَ بَعْضٍ فِي اْلقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فيِ الصَّلاَةِ

“Ketahuilah bahwa setiap kalian sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah setiap kalian menyakiti yang lainnya dan jangan sebagian dari kalian mengangkat suaranya atas yang lain saat membaca Al-Qur’an”, atau beliau bersabda: “Saat shalat”.[35]

  • Tidak ada do’a khusus untuk khatam Al-Qur’an[36], dan mengadakan acara tertentu untuk menyambut orang yang sudah sempurna menghafal Al-Qur’an tidak termasuk sunnah. Adapun acara-acara yang selalu diadakan oleh masyarakat dan dijadikan sebagai adat kebiasaan untuk mencerminkan rasa bahagia dengan nikmat menghafal Al-Qur’an, maka hal tersebut tidak apa-apa.[37]
  • Menghentikan membaca Al-Qur’an saat terlalu mengantuk. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فَاسْتَعْجَمَ اْلقُرْآنَ عَلىَ لِسَانِهِ فَلَمْ يَدْرِ مَا يَقُوْلُ فَلْيَضْطَجِعْ

“Apabila salah seorang di antara kalian bangun untuk ibadah (pada waktu malam) lalu terbata-bata dengan lisannya saat membaca Al-Qur’an (karena mengantuk) sedang ia tidak sadar dengan apa yang dikatakannya maka hendaklah dia segera berbaring”.

  • Memilih tempat yang tenang dan waktu yang tepat; sebab hal itu akan lebih efektif untuk meningkatkan semangat dan kebersihan hati.
  • Mendengar dan memperhatikan dengan baik pada bacaan Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا قُـرِأَ اْلقُـرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُـرْحَمُوْنَ

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”[38].

Hendaklah dia menjiwai setiap ayat yang dibacanya, memohon kepada Allah kenikmatan surga saat membaca ayat-ayat tentang surga dan berlindung kepada-Nya, saat melewati ayat-ayat tentang neraka. Firman Allah Ta’ala mengatakan

   كِتبٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيكَ مُبرَكٌ لِيَدَّبُّرُوْا ءَايتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الاَلْببِ      

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”.[39]

  • Boleh bagi wanita yang sedang haid dan nifas membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf atau (boleh membacanya dengan cara) menyentuhnya pakai lapis sesuai dengan yang paling shahih dari pendapat para ulama; dan tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang melarang hal tersebut.[40]
  • Termasuk sunnah bertasbih saat membaca ayat-ayat yang menyebutkan tentang kemaha sucian Allah, dan berlindung kepada Allah saat melewati ayat-ayat yang menyebutkan tentang azab, serta meminta karunia Allah saat membaca ayat-ayat yang menyebutkan tentang rahmat Allah. Dalam hadits riwayat Hudzaifah radhiallahu anhu ia berkata: Apabila beliau melewati ayat-ayat yang menyebutkan kemaha sucian Allah beliau bertasbih, saat melewati ayat-ayat yang memerintahkan untuk berdo’a beliau berdo’a dan saat melewati ayat-ayat yang menyeru untuk berlindung beliau berlindung”.[41]
  • Hendaklah seseorang membaca Al-Qur’an dalam keadaan berwudhu’, bersih pakaian, badan dan tempat, terdapat perbedaan ulama apakah anak kecil diwajibkan berwudu’ saat akan menyentuh mushaf atau tidak?, Yang lebih baik baginya adalah berwudhu’.[42]
  • Dianjurkan untuk menyambung bacaan dan tidak memutus-mutuskannya, diriwayatkan oleh seorang tabi’i yang mulia, Nafi’ bahwa Ibnu Umar radhiallahu anhu saat membaca Al-Qur’an beliau tidak berbicara sampai dia selesai membacanya…”.[43]
  • Termasuk sunnah melaksanakan sujud saat membaca ayat-ayat sujud.[44]
  • Dimakruhkan mencium mushaf dan meletakkannya di antara kedua mata, hal ini biasanya terjadi saat setelah selesai membaca Al-Qur’an atau saat mushaf didapatkan tergeletak di tempat yang dihinakan.[45]
  • Dimakruhkan menggantung ayat Al-Qur’an di atas tembok atau yang lainnya,[46] dan tidak sepantasnya Alqur’an hanya sekedar dijadikan sebagai pengganti dari berbagai bacaan-bacaan, paling ringan hukumnya adalah makruh.[47]

 

6-ADAB MENUNTUT ILMU

  • Ikhlash semata karena Allah Ta’ala dalam menuntut dan menimba ilmu.
  • Harus mengetahui tentang keutamaan dan pentingnya ilmu syara’.
  • Berdo’a kepada Allah agar diberikan taufiq dalam menuntut ilmu.
  • Bersemangat untuk bersafari dalam menuntut ilmu.[48]
  • Menghadiri halaqah-halaqah ilmu semampunya.
  • Jika seseorang terlambat dalam menghadiri majlis ilmu, maka lebih baik baginya untuk tidak mengucapkan salam jika hal tersebut bisa mengganggu perjalanan majlis tersebut. Namun jika tidak memberikan pengaruh apapun maka mengucapkan salam adalah sunnah.[49]
  • Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimhullah bahwa seorang lelaki bertanya kepadanya: “Aku ingin menuntut ilmu tapi ibuku mencegahku untuk mewujudkan keinginanku, dia ingin agar aku menyibukkan diri dengan berdagang. Beliau menjawab: “Hendaklah dia tetap tinggal di rumahnya, dan di kampung halamannya, serta janganlah kamu meninggalkan menuntut ilmu”.[50]
  • Tidak beramal dengan ilmu adalah sebab hilangnya barakah ilmu tersebut, Allah Ta’ala telah mengecam mereka yang berkelakuan seperti ini dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لاَ تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَالاَ تَفْعَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.[51] Dari Imam Ahmad diceritakan bahwa beliau berkata: Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu alaihi wasallam kecuali aku telah mengamalkannya, sampai aku mengetahui sebuah hadits di mana Nabi shallallahu alaihi wasallam berbekam dan mengupah Abi Thaibah satu dinar maka aku memberikan orang yang membekamiku satu dinar saat aku berbekam padanya.[52]

  • Merasa rugi dengan kehilangan para ulama yang semasa dengan dirinya,[53] mentauladani adab dan akhlaq mereka, Al-Khallal meriwayatkan tentang akhlaq Imam Ahmad dari Ibrahim, menceritakan: Mereka jika mendatangi seseorang untuk menuntut ilmu darinya maka mereka terlebih dahulu melihat pada shalatnya, sifat dan penampilannya barulah kemudian mereka menimba ilmu darinya. Dari A’masy, ia berkata: Mereka (generasi salaf) belajar dari orang yang faqih segala sesuatu bahkan cara memakai pakian dan sandal”[54].
  • Beradab dan berbudi dalam menuntut ilmu.
  • Hadiri secara terus menerus dalam majlis ilmu dan tidak malas.
  • Tidak putus asa dan merendahkan diri, hendaklah dia mengingat firman Allah Ta’ala:وَ اللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا   "Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun”.[55]Terlebih jika ia merasakan kesulitan terhadap apa-apa yang dipelajarinya.
  • Membaca buku-buku yang memotifasi untuk menuntut ilmu, mengetahui metode yang benar dalam menimbanya serta mengetahui kekurangan dan kesalahan yang terjadi pada dirinya.
  • Menjaga agar selalu bergegas menghadiri majlis ilmu dan memanfaatkan waktu.
  • Mengejar pelajaran yang tertinggal.
  • Menulis catatan penting pada sampul luar buku atau kertas lainnya.
  • Memperhatikan agar selalu membaca ulang catatan penting tersebut.
  • Saat membeli buku sebaiknya seseorang membuka halamannya secara umum.
  • Tidak melempar buku di atas tanah, seseorang telah melakukannya di hadapan Imam Ahmad rahimahullah, akhirnya beliau marah dan berkata: Seperti inikah prilaku kita terhadap ucapan para para ulama yang mulia”.[56]
  • Tidak memotong pebicaraan seorang guru sampai dia selesai menerangkan masalahnya, Imam Bukhari berkata: “Bab Man Su’ila Ilman Wa Huwa Musytagilun Fi Haditsihi Fa Atammal Hadits” (Bab tentang orang yang ditanya masalah ilmu, sementara dia sibuk dalam menjelaskan sesuatu maka hendaklah dia menyempurnakan penjelasannya) kemudian beliau menyebutkan hadits bahwa seorang badui berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam saat beliau berkhutbah: Kapankah hari kiamat terjadi?, namun Rasulullah tetap melanjutkan khutbahnya sampai orang badui tersebut berpaling darinya, sehingga saat beliau menyempurnakan khutbahnya, beliau bertanya:”Di manakah orang yang bertanya tentang hari kiamat?”[57].
  • Ibnul Jauzi berkata: Dan pada saat seorang penuntut ilmu tidak memahami suatu pelajaran, hendaklah dia bersabar sampai gurunya tersebut berhenti berbicara, lalu barulah bertanya kepada syekh dengan beradab dan cara yang lembut serta tidak memotong penjelasan gurunya saat berbicara.[58]
  • Beradab dalam mengajukan pertanyaan kepada guru, maka hendaklah seseorang tidak bertanya dengan pertanyaan yang sengaja dibuat-buat dan dipaksakan, atau mengajukan pertanyaan yang telah diketahui jawabannya dengan tujuan menyingkap kelemahan guru atau untuk menampakkan kemampuan diri yang telah mengetahui masalah tersebut, atau bertanya dengan suatu pertanyaan yang tidak terjadi. Para ulama salaf mencela perbuatan seperti ini yaitu jika seseorang mengajukan pertanyaan yang dipaksakan.[59]
  • Seorang penuntut ilmu harus menjalankan hak ilmu di masjid.[60]
  • Seorang penuntut ilmu menjalankan hak ilmu di rumah. Imam Bukhari rahimhullah berkata: (Bab Ta’limur Rajul Amatahu Wa Ahlahu) lalu beliau menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asya’ari radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لَهُمْ أَجْرَانِ: رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ آمَنَ بِنَبِيِّهِ وَآمَنَ بِمُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْعَبْدُ الْمَمْلُوْكُ إِذَا أَدَّى حَقَّ اللهِ وَحَقَّ مَوَالِيْهِ وَرَجُلٌ كَانَتْ عِنْدَهُ أَمَةٌ فَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهَا وَعَلَّمَهَا فَأَحْسَنَ تَعْلِيْمَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا فَتَزَوَّجَهَا فَلُهُ أَجْرَانِ

“Tiga golongan akan mendapat dua pahala: Seorang lelaki dari ahli kitab yang beriman dengan Nabinya dan beriman dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, seorang hamba sahaya yang telah menunaikan hak Allah terhadap dirinya dan hak pemiliknya, dan lelaki yang mempunyai seorang budak perempuan lalu dia mengajarkannya akhlak dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya dan dinikahinya maka dia mendapat dua pahala”.[61]

  • Membaca biografi para ulama.
  • Membaca tentang tuntunan hukum yang berhubungan dengan beberapa musim-musim ibadah tertentu sebelum musim tersebut tiba seperti: ramadhan dan hukum-hukum yang berhubungan dengan puasa, sepuluh hari pertama bulan zulhijjah dan tuntunan berkurban…”.
  • Perhatian terhadap pembelian buku-buku yang secara khusus membahas masalah-masalah fiqh, seperti buku yang membahas tentang sunnah-sunnah rawatib atau shalat malam dan lain-lain…..
  • Mempunyai prioritas dalam menuntut ilmu.
  • Memulai dengan perkara yang terpenting, termasuk petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam memulai dengan perkara yang terpenting yang membuat dirinya merasa terpanggil dengannya. Oleh karena itulah, saat Utban bin Malik memanggil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan berkata kepadanya: “Aku ingin engkau mendatangi rumahku dan shalat padanya agar tempat yang shalatmu aku jadikan sebagai mushalla bagiku”. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersama beberapa shahabat beliau begegas menuju rumahnya, lalu saat telah sampai di rumah Utban dan meminta izin untuk masuk ternyata Utban telah membuatkan bagi mereka makanan, namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak memulai dengan menyantap makanan akan tetapi bertanya kepadanya: “Di manakah tempat yang engkau ingin aku shalat padanya?”. Maka Utbanpun menunjukkan tempat tersebut lalu beliau shalat padanya, kemudian barulah dia duduk untuk menyantap makanan”.[62]
  • Waspada terhadap sifat merasa sudah alim.
  • Memuji Allah saat menyebut namaNya.
  • Bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam saat menyebut nama beliau.
  • Berdo’a agar para shahabat diredhai saat menyebut nama salah seorang dari mereka.
  • Berdo’a saat menyebut nama para ulama (yang telah tiada) agar diberikan rahmat oleh Allah kepada mereka.
  • Tidak menyebutkan sebuah referensi kecuali setelah engkau membaca secara langsung apa yang ada padanya.
  • Tidak menisbatkan riwayat sebuah hadits kepada tokoh selain Bukahri dan Muslim jika hadits tersebut ada di dalam kitab Bukahri dan Muslim atau tercantum pada salah satu dari keduanya.
  • Teliti di dalam mengambil perkataan orang lain.
  • Menisbatkan sebuah kesimpulan tentang hal yang penting kepada pemiliknya.
  • Tidak meremehkan sebuah kesimpulan yang penting sekalipun sedikit.
  • Waspada terhadap sikap menyembunyikan kesimpulan yang penting.
  • Waspada terhadap tindakan memperkuat pendapat dengan riwayat-riwayat yang lemah dan palsu.
  • Tidak melemahkan sebuah hadits kecuali setalah mencari dan bertanya tentang kekuatan hadits tersebut.
  • Tidak meremehkan masalah-masalah yang ditanyakan kepadamu, sebab hal tersebut menuntutnmu untuk mencari dan meneliti masalah.
  • Membawa buku kecil untuk menulis masalah-masalah dan pertanyaan yang penting.
  • Waspada terhadap tindakan meyibukkan diri dengan perkara-perkara yang mubah.
  • Tidak menyibukkan diri dengan memperbanyak memfoto copy manuskrip-manuskrip dan mencermati cetakan yang banyak bagi satu kitab kecuali untuk memperoleh manfaat.
  • Mengunjungi toko buku-toko buku untuk mengetahui buku-buku baru.
  • Menjauhi istilah-istilah ilmiyah yang sama dalam penyebutannya.[63]
  • Membaca buku-buku yang menjelaskan tentang makna bagi istilah-istilah yang dipakai oleh pengarang atau menerangkan tentang metode buku tersebut dan pembahasan yang terdapat di dalamnya.
  • Tidak tergesa-gesa di dalam (mengklaim diri telah) memahami pembahasan, baik pembahasan tersebut berupa tulisan yang dibaca atau sesuatu yang didengar, Ibnul Qoyyim rahimhullah menceritakan tentang Ayyub Al-Sakhtiyani rahimhullah bahwasanya beliau saat ditanya oleh seseorang ia berkata kepadanya: Ulangilah pertanyaanmu!. Jika orang tersebut mengatakan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan yang sebelumnya maka ia menjawab pertanyaan tersebut, namun jika tidak maka beliaupun tidak menjawabnya.[64]
  • Banyak membaca buku-buku yang berhubungan dengan fatwa-fatwa.
  • Tidak tergesa-gesa di dalam menolak sesuatu secara umum/mejeneralisir penolakan
  • Jelaskanlah dengan jujur jika engkau meriwayatkan hadits dengan maknanya.[65]
  • Menjauhi menggunakan kata-kata pujian untuk mengagungkan diri sendiri.
  • Menerima kritik dan nasehat dengan jujur tanpa bersikap pura-pura.
  • Tidak bersedih dengan minimnya orang yang belajar dari dirinya, dan Al-Dzahbi meriwayatkan tentang biogarfi Atho’ bin Abi Robah bahwa tidak belajar kepada dirinya kecuali sembilan atau delapan orang saja.[66]
  • Waspada terhadap kegaitan menyia-nyiakan waktu untuk mencari sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti masalah-masalah yang ganjil dan perkara-perkara yang aneh seperti warna anjing ashabul kahfi atau jenis pohon yang makan oleh Adam alais salam atau ukuran panjang kapal Nabi Nuh alahissalam dan lain-lain.
  • Tidak menyibukkan diri dengan sebuah point penting atau lintasan pikiran saat mencari sebuah masalah.
  • Tidak memaksakan diri memilih kata-kata yang mempunyai kedalaman makna, dan berbicaralah dengan kata-kata yang jelas sebatas kemampuan, atau tidak menggunkan kata-kata yang maknanya masih samar dan istilah-istilah yang asing.
  • Tidak mengucapkan suatu jawaban tanpa ilmu atau tidak merasa sungkan dengan sebuah pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
  • Tidak terpengaruh dan merasa hina karena celaan seseorang kepadamu jika agamamu lurus dan ingatlah perkataan seorang penyair:

وَإِنْ بَلَِيْتَ بِشَخْصٍ لاَ خَلاَقَ لَهُ         فَكُنْ كَأَنَّكَ لاَ تَسْمَعُ وَلَمْ يَقُلْ

Jika engkau diuji dengan seorang yang tidak mempunyai (ilmu)

Bersikaplah seakan dirimu tak mendengar dan dia tidak mengatakannya.

  • Waspada agar tidak putus asa.
  • Menjaga agar selalu shalat malam.
  • Meninggalkan istirahat, omongan dan tidur yang berlebihan demi mendapat ilmu.
  • Seorang muslim dan penuntut ilmu khususnya harus bekerja untuk:
  1. Memenuhi hajat manusia, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Berikanlah syafa’at niscaya engkau akan diberikan pahala”.[67]
  2. 2.      Menepati janji, sesungguhnya Allah telah memuji para Nabi dan RasulNya dengan sifat ini, sebagimana disebutkan tentang Isma’il Alahissalam: إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ اْلوَعْد “Dia adalah seorang  yang menepati janji”.[68]
  3. Bersikap santun dan lembut. Firman Allah Ta’ala:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجهِلِيْنَ

Berikanlah maaf dan ajaklah kepada yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.[69], telah disebutkan oleh Al-Sam’ani dalam kitab Al-Ansab dan Imam Adzahabi dalam kitab Tajridus Shahabah tentang biografi Auf bin Nu’man ia berkata: Seseorang pada zaman jahilyah lebih senang mati kehausan dan tidak suka mengingkari janji, dikatakan dalam sebuah sya’ir:

إِذَا قُلـْتَ فيِ شَيْئٍ نَعـَمْ فَأَتـِمَّهُ       فَإِنَّ نَعَمْ دَيْنٌ عَلىَ الْحُرِّ وَاجِبَةٌ

وَإِلاَّ فَقُـلْ لاَ وَاسْـتَرِحَْ وَأَرِحْ بِهَا      لِئَـلاَّ يَقُـوْلَ النَّاسُ إِنَّكَ كَاذِبٌ

 Jika anda mengatakan pada sesuatu “Ya” maka sempurnakanlah!

      Sebab kata “Ya” adalah hutang yang wajib ditunaikan seseorang.

Jika tidak, maka katakanlah “Tidak” tenanglah dan orang lain tenang

       Orang lain tidak mengatakan kepadamu bahwa kamu bohong.

  1. Merendah diri…Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ أَوْحَي إِلَيَّ أَنْ تَـوَاضَـعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَـرَ أَحَـدٌ عَلىَ  أَحَـدٍ وَلاَ يَبْغِي أَحَـدٌ عَلىَ أَحـدٍ

Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’ agar sesorang tidak merasa sombong atas orang lain dan tidak pula seseorang berbuat zalim atas orang lain”.[70]

  1. Bersikap ramah terhadap orang lain dan berlapang dada serta duduk untuk mendengarkan problema mereka.
  2. Mengingatkan dan menasehati orang lain, telah berkata Ikrimah dari Ibnu Abbas radhillahu anhuma: Berbicaralah kepada manusia pada setiap jum’at satu kali atau dua kali, jika ingin menambah maka tiga kali dan janganlah engkau menjadikan orang bosan dengan Al-Qur’an ini, dan jangan pula engkau mendatangi suatu kaum saat mereka sedang berbicara sehingga bisa memotong pembicaraan mereka dan membuat mereka menjadi bosan, akan tetapi dengarlah jika mereka menyuruh kamu berbicara maka bicaralah niscaya mereka akan mendengarkan kamu sebab mereka ingin mendengar perkataanmu, serta jauhilah bersaja’ dalam berdo’a sesungguhnya aku mengetahui bahwa Rasulullah dan para shahabatnya tidak melakukannya.[71]
  3. Ali bin Abi Thalib berkata: Berbicaralah kepada orang lain dengan sesuatu yang mereka ketahui”. Hal ini menunjukkan bahwa perkara-perakara yang pengertiannya masih samar tidak baik untuk diungkapkan pada masyarakt umum dan seharusnya bagi seseorang untuk mengungkapkan hal-hal yang mereka ketahui. Seperti yang katakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu Anhu: Tidaklah engkau berbicara kepada seseorang dengan sesuatu yang tidak dijangkau oleh akal mereka kecuali akan terjadi pada diri merka fitnah.”[72]

 

7-ADAB DALAM MENGHADIRI PELAJARAN DAN HALAQAH

  • Seorang yang akan menghadiri majlis ilmu seyogyanya memperbaiki penampilannya dan persiapannya, bahkan orang mengungkapkan: Seseorang harus memperhatikan dirinya dan memperindah penampilan pribadinya di hadapan orang lain; dia harus mandi, menyisir rambut dan jenggotnya, memperbaiki sorbannya dan pakainnya, memakai minyak wangi, bersiwak dan memakai pakaian yang putih bersih serta hendaklah dia melihat dirinya pada sebuah cermin sebelum berangkat menghadiri halaqah ilmu.
  • Berjalan dengan tenang dan mengucapkan salam kepada orang yang ditemuinya.
  • Saat memasuki maka hendaklah dia sholat dua rekaat sebelum duduk.
  • Duduk dekat dengan syekh dan tidak menunjuk dengan tangan saat berada di sisinya atau memberi isyarat dengan mata.
  • Tidak melangkahi pundak orang lain akan tetapi duduk pada tempat dia berhenti melangkah menuju majlis kecuali jika syekh mengizinkan dirinya untuk maju.
  • Tidak membangunkan orang yang sudah duduk di tempatnya sendiri, dan tidak pula duduk di tengah-tengah majlis, atau tidak duduk antara dua orang teman kecuali dengan izinnya, maka jika  (mereka berdua) memberikan kelapangan baginya maka dia boleh duduk dan menggabungkan dirinya padanya.
  • Mempergunakan ungkapan yang halus saat berbicara dan hendaklah dia berakhlaq yang baik terhadap teman-teman dan shahabatnya di dalam halaqah tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:                              وَخَـالِـقِ النَّاسَ بِخُـلُقٍ حَسَـنٍ

"Dan bergaullah kepada manusia dengan akhlaq yang baik”.[73] Dan mereka ini lebih utama untuk berakhlaq yang baik.

  • Lebih diutamakan untuk mengadakan majlis ilmu di masjid, namun jika tidak bisa diadakan di masjid, bisa diadakan di rumah dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melakukannya, beliau bersabda:  “Tempat kalian adalah di rumah si fulanah”
  • Menjadikan kiblat sebagai patokan arah selama memungkinkan dan hendaklah halaqah yang diadakan berbentuk melingkar; Oleh karena itulah para ahli bahasa pada saat mendifinisikan tentang halaqah mereka mengatakan: Perkumpulan sekelompok kaum (dalam sebuah tempat) secara melingkar.[74]
  • Tidak mengapa bagi seorang guru untuk duduk di tempat yang lebih tinggi pada saat banyak orang yang hadir.
  • Membuka pelajarannya dengan membaca dua kalimah syahadah dan bacaan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, diceritakan bahwa sebagian tokoh ulama hadits membuka majlisnya dengan membaca sebuah surat dari Al-Qur’an.
  • Berdo’a bagi syekhnya agar diberikan rahmat, menolak gibah pada majlis yang terjadi pada gurunya sebatas kemampuan, namun jika tidak mampu maka hendaklah dia meninggalkan majlis tersebut.
  • Hendaklah seorang syekh menerangkan makna kata yang belum jelas dan asing saat melewati kata tersebut, dan bersikap diam terhadap kata yang tidak dilewatinya, serta tidak menerangkan sesuatu yang tidak mampu ditangkap oleh kemampuan orang awam.
  • Seorang guru dituntut untuk tidak membosankan orang yang   hadir di dalam majlisnya dan tidak pula menghardik mereka, dan tidak mengapa jika dia menutup majlis dengan cerita-cerita yang lucu dan aneh saat dia melihat murid-muridnya mulai bosan, bahkan sebagian orang mengatakan: Cerita adalah tali-tali yang bisa dipergunakan untuk memburu hati.[75]
  • Tidak melupakan do’a kaffaratul majlis di akhir pelajaran.
  • Meninggalkan berdebat, berbantah-bantahan dan pembicaraan yang tidak bermanfaat saat berada di dalam halaqah.
  • Tidak bersikap sombong terhadap orang lain saat berkumpulnya orang-orang miskin.
  • Mendengarkan haidts Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan tenang dan khusyu’.
  • Seorang syekh harus besikap merendah diri.
  • Sebagian orang salaf tidak suka jika murid-muridnya mengejar syekh dan mencium kepalanya.
  • Memberikan motifasi kepada siswa yang ikhlash di dalam halaqah ilmu.
  • Menjauhi sikap merasa alim.
  • Mendengar dan tidak menyibukkan diri dengan sesuatu apapun saat pelajaran berlangsung.
  • Tidak memutus pembicaraan syekh saat sedang menjelaskan.
  • Mengatur, menertibkan dan membagi jadwal pelajaran berdasarkan hari-hari dalam satu minggu. Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu memberikan pelajaran haidits pada setiap hari kamis, Ibnu Abbas radhiallahu anhu memulai pelajarannya dengan tafsir, lalu hadits, kemudian fiqh, setelah itu barulah sya’ir lalu…
  • Tidak menjadikan orang yang lebih kecil sebagai peminpin, dan dianjurkan mendorong para siswa agar selalu ikhlash, diceritakan bahwa seseorang berlomba-lomba (dalam ilmu) di dalam sebuah majlis ilmu, maka syekh berkomentar: ((Jika hal tersebut dilakukan karena Allah maka jiwamu telah bersih, namun jika karena selain Allah berarti engkau telah celaka)).
  • Seorang guru harus mendorong sisiwanya untuk berbuat baik saat pembelajaran berlangsung, Ibnu Mas’ud berkata: ((Aku bersaksi kepada Allah, jangan sampai orang yang memutuskan silaturrahmi hadir bersama kita, sebab kita ingin berdo’a dan ingin dikabulkan permohonan tersebut.
  • Di dalam halaqah harus dicipatkan kiondisi keimanan, nasehat dan saling mengingatkan serta….
  • Harus menyembunyikan rahasia yang terdapat di dalam halaqaah.
  • Ketidakhadiran seorang syekh bagi generasi salaf adalah masalah yang besar.
  • Syekh menentukan salah seorang dari siswanya yang mampu mengendalikan halaqah.
  • Tidak tertipu dengan banyaknya murid-murid yang fasiq dan menyeleweng, disebutkan dalam kiatab Ajaibul Atsar tentang sorang syekh yang paham dan mengusai masalah fiqih, namun pribadinya seorang penyair yang cabul, walau demikian halaqahnya dihadiri oleh lebih dari tiga ratus siswa.
  • Mengusir murid yang sesat dan perusak dari halaqah untuk memperkuat solodaritas di dalam majlis tersebut, membongkar dan menolak fitnah serta kejahatannya, seperti diusirnya Wasil bin Atho’.[76]
  • Jika seorang siswa tidak menghormati pelajaran maka keberadaannya   tidak memberikan manfaat.

 

  • ADAB SEORANG GURU.
    • Menyadari kedudukan dirinya dan hak orang lain.
    • Menentukan hari belajar, jika sudah ditentukan dan guru tersebut sudah menyetujuinya, maka tidak layak baginya terlambat, tidak menghadiri dan mengingkari janjinya kecuali dengan alasan yang dibenarkan secara syara’ seperti sakit dan lain-lain.
    • Seorang syekh harus merendah diri kepada murid-muridnya dan menjaga kehormatan dirinya.
    • Takut jika berkata tentang hukum Allah tanpa didasarkan dengan ilmu, perbuatan ini disejajarkan oleh Allah dengan kesyirikan.[77]
    • Seorang guru harus mampu mengelompokkan siswanya dan berusaha menyetarakan tingkat pemahaman mereka.
    • Mengakhirkan komentar pada akhir pembelajaran.
    • Menentukan waktu khusus untuk menerangkan beberapa point pelajaran.
    • Mengutamakan penjelasan tentang pelajaran sebelum tambahan dan komentar.
    • Menentukan batas terendah (pemahaman) sebagai tuntututan untuk semua siswa dan menfariasikan fasilitas-fasilitas pengajaran yang bermanfaat.
    • Jika seorang guru belum sampai pada tingkat kemampuan menguatkan sebuah pendapat, maka hendakalah dia tidak mentarjih suatu penadapat, akan tetapi dianjurkan baginya untuk mengungkapkan pendapat ulama atau mengatakan bahwa fulan berfatwa seperti ini.
    • Menjauhi cara baca yang membosankan, oleh karena itulah para ulama sangat mengutamakan pembaca yang pelan dan bersuara jelas.
    • Menyediakan waktu istirahat saat pembelajaran.
    • Menentukan waktu khusus untuk menerima tamu.
    • Seorang guru harus bersikap mulia terhadap siswanya.

 

8-SUNNAH-SUNNAH ADZAN.

  • Hendaklah dia mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh Mu’adzin[78] kecuali pada hai’alataini, hendaklah dia menjawab dengan mengucapkan: لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ  “Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah”.[79]
  • Hendkalah berdo’a bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam agar diberikan wasilah, keutamaan dan tempat yang terpuji dengan mengatakan:

 اَللهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْـوَةِالتَّامَّـةِ وَالصَّلاَةِ اْلقَائِمَةِ...آتِ مُحَـمَّدًا اْلَوسِيْلَةَ وَاْلفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ ْمَقَاماَ مَحْمُوْدً اَّلذِي وَعَدَتّهُ

“Ya Allah pemilik seruan yang sempurna ini dan sholat yang didirikan…berikanlah kepada Muhammad wasilah, keutamaan dan kedudukan mulia yang Engkau telah janjikan baginya”.[80]

  • Hendaklah dia membaca

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وََبِمُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُوْلاً غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ

(Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah). Maka akan Diampuni dosanya”.[81]

  • Mengucapkan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah selesai adzan.
  • Berdo’a kepada Allah, karena do’a antara adzan dan iqomah tidak ditolak. Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:    اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ

“Do’a antara adzan dan iqomah tidak ditolak”.[82]

  • Di antara kesalahan yang sering terjadi sesudah mendengar adzan adalah tambahan lafaz yang tidak disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setelah adzan, seperti bacaan yang mengatakan: (  (وَالدَّرَجَـةَ الرَّفِيْـعَةَdan kalimat (يَا أَرْحَمَ الرّاَحِمِيْنَ) dan kalimat (إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ).[83]
  • Boleh menjawab Adzan yang terdengar dari radio jika dikumandangkan saat waktu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:      إِذَا سَمِعْتُمُ اْلمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ...

“Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah seperti apa yang diucapakan oleh muadzin”.[84]

 

9-ADAB DI DALAM MASJID

  • Keutamaan membangun masjid adalah Allah akan membangun sebuah rumah di surga bagi orang yang membangun masjid.
  • Para ulama mengatakan tentang batasan masjid, yaitu tempat yang ada di dalam tembok masjid dan pintu mesjid bagian dalam adalah masjid.
  • Dikatakan bahwa firman Allah Ta’ala yang mengatakan:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepanyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.[85] Maka tidak boleh menisbatkan masjid kepada seseorang mahluk dengan nisbat kepemilikan dan kekhususan, adapun penisbatan masjid dengan nama agar dikenal, maka hal itu tidak apa-apa dan tidak termasuk dalam larangan tersebut; Nabi shallallahu alaihi wasallam menisatkan mesjidnya kepada dirinya, seperti yang diterangkan di dalam sebuah  sabdanya: مَسْجِدِي هذَا (masjidku ini), begitu juga beliau menisbatkan masjid quba’ kepadanya, yaitu quba’, dan masjid baitul maqdis dinisbatkan kepada Iliya’, apa yang telah disebutkan adalah penisbatan nama mesjid kepada selain Allah agar mudah dikenal, semua ini tidak termasuk di dalam larangan di atas.[86]

  • Orang yang makan bawang putih dan merah harus menjauhi mesjid, berdasarkan hadits Jabir radhiallahu amhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْبَصَلاً فًلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فيِ بَيْتِهِ“

Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah maka hendaklah menjauhi kita” Atau bersabda “Maka hendaklah dia menjauhi masjid kami dan hendaklah dia duduk di rumahnya”.[87]

  • Dikiaskan kepada bawang merah atau bawang putih segala sesuatu yang berbau busuk yang bisa menyakiti orang yang shalat, namun jika seseorang memakai sesuatu yang bisa mencegah bau yang tidak sedap tersebut dari dirinya seperti memakai pasta gigi dan lainnya, maka tidak ada larangan baginya setelah itu untuk menghadiri mesjid.
  • Dianjurkan agar segera bergegas menuju masjid, berdasarakan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:      

      الْمُقَدِّمِ لَكَانَتْ قُرْعَة  لِوْ تَعْلَمُوْنَ أَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فيِ الصَّفِ    

Seandainya mereka mengetahui keutamaan shaf pertama, niscaya akan diadakan undian untuk mendapatkannya.”.[88]

  • Dianjurkan berjalan menuju shalat dengan khusyu’, tenang dan tentram. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarang umatnya berjalan menuju shalat secara tergesa-gesa walaupun shalat sudah didirikan. Abi Qotadah radhiallahu anhu berkata:  Pada saat kami sedang shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba beliau mendengar suara kegaduhan beberapa orang. Sesudah menunaikan shalat beliau mengingatkan:

مَا شَأْنُكُم؟ قَالُوْا: اِسْتَعْجَلْنَا إِلىَ الصَّلاَةِ. فَقَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوْا, إِذَا أَتَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَعَلَيْكُمْ بِاالسَّكِيْنَةِ  فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

“Apa yang terjadi pada kalian?”. Mereka menjawab: “Kami tergesa-gesa menuju shalat”. Rasulullah menegur mereka: “Janganlah kalian lakukan, apabila kalian mendatangi shalat maka hendaklah berjalan dengan tenang, dan rekaat yang kalian dapatkan shalatlah padanya!, dan rekaat yang terlewat sempurnakanlah !”.[89]

  • Saat berjalan menuju shalat hendaklah berdo’a dengan mengucapkan:

ا

 

اَللّهُمَّ اجْعَلْ فيِ قَلْبِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي لِسَانِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُوْرًا وَاجْعَلْ خَلْفِي نُوْرًا وَأَمَامِي نُوْرًا وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِي نُوْرًا اَللّهُمَّ وَأَعْظِمْ لِي نُوْرًا

“Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan jadikanlah di dalam lisanku cahaya, dan jadikanlah pada pendengaranku cahaya, dan jadikanlah pada pengelihatanku cahaya, dan jadikanlah di sebelah belakangku cahaya dan di hadapanku cahaya, dan jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah, agungkanlah cahayaku!”.[90]

ا

 

 

ا

 

Memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan dan berdo’a dengan mengucapkan

اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ اَللّهُمَّ افْتَحْ لِي أََبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Ya Allah curahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah bukakanlah pintu rahmatmu bagiku”.

  • Mendahulukan kaki kiri saat keluar dari mesjid dan berdo’a dengan mengucapkan:

اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Ya Allah curahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah limpahkanlah karuniaMu kepadaku”.

  • Menunaikan shalat tahiyatul masjid saat memasuki sebuah mesjid. Berdasarkan hadits riwayat Abi Qotadah Al-Sulami bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

  إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُم ُالْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَنْ يَجْلِسَ

        “Apabila salah seorang di antara kalian memasuki masjid maka hendaklah dia shalat dua rekakat sebelum duduk”.[91] Dan di antara kesalahan yang sering terjadi adalah ditinggalkannya shalat tahiyyatul masjid hanya karena waktu tersebut adalah waktu dilarang mengerjakan shalat sunnah.

  • Terdapat keutamaan yang besar bagi seorang yang duduk-duduk di masjid untuk menunggu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فيِ الصَّلاَةِ مَاكَانَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ واْلمَلاَئِكَةُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ أَحَدِكُمْ مَادَامَ فَِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلىَّ فِيْهِ يَقُوْلُوْنَ: اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ الّلهُمَّ اغْفِرْ لَهُ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ

Apabila seseorang memasuki masjid, maka dia dihitung berada dalam shalat selama shalat tersebut yang menahannya (di dalam masjid), dan para malaikat berdo’a kepada salah seorang di antara kalian selama dia berada pada tempat shalatnya, Mereka mengatakan: “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepadanya, ya Allah ampunilah dirinya selama dia tidak menyakiti orang lain dan tidak berhadats”.[92]

  • Terdapat larangan melingkar di dalam masjid (untuk berkumpul) demi kepantingan dunia semata. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا  وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ

“Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka melingkar di dalam mesjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi kepentingan apapun pada mereka maka janganlah duduk bersama mereka”.[93]

  • Disunnahkan untuk menjaga masjid dari kegaduhan dan memperbanyak pembicaraan yang sia-sia serta mengangkat suara dengan sesuatu yang dibenci.[94]
  • Dibolehkan berbaring di mesjid. Dari Abdullah bin Zaid radhiallahu anhu bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbaring di mesjid sambil meletakkan salah satu kaki beliau di atas yang lainnya.
  • Dibolehkan menjulurkan kaki ke arah kiblat,[95] dan menghindari untuk mejulurkan kaki ke arah mushaf demi meghormati kalam Allah dan untuk mengagungkannya.
  • Diperbolehkan tidur di mesjid, seperti yang dilakukan oleh Ahlis Shuffah di mana mereka tidur di mesjid[96], dan apabila bermimpi sampai keluar mani maka dia harus segera keluar mesjid untuk mandi janabah[97]dan Ibnu Umar pada masa dirinya masih muda dan membujang tanpa keluarga, dia tidur di masjid di masjid Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.[98]
  • Larangan berjual beli di mesjid berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْا لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكُمْ

“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di mesjid maka ucapkanlah: Semoga Allah tidak memberikan laba bagi jual belimu”.[99] Dan di antara kesalahan yang sering terjadi adalah menaruh iklan jual beli di dalam mesjid.

  • Dilarang  mengumumkan barang yang hilang di mesjid, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ سَمِعَ رَجُلاً يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدْ فَلْيَقُلْ: لاَ رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهذَا

“Barangsiapa mendengar seseorang yang mengumumkan barangnya yang hilang di mesjid maka katakanlah kepadanya: Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu karena sesungguhnya mesjid itu tidak dibangun untuk kepentingan ini”.[100]

  • Boleh mengangkat suara di dalam mesjid untuk kepentingan ilmu dan kebaikan adapun mengangkat suara untuk membuat suasana menjadi gaduh atau yang lainnya tidak diperbolehkan…
  • Dibolehkan meminta-minta jika dibutuhkan.
  • Dilarang memasukkan antara jari-jari saat keluar menuju mesjid sebelum melaksanakan shalat, diriwayatkan dari Ka’ab bin Ajroh radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا تَـوَضَّأ أَحَـدُكُمْ فَأَحْسَـنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَـرَجَ عَامِدًا إِلىَ اْلمَسْجِدِ فَلاَ يَشْـبِكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فَي صَلاَةٍ

“Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu’ dan menyempurnakan wudhu’nya kemudian dia keluar menuju shalat secara sengaja maka janganlah dia memasukkan antara jari-jarinya sebab dia sedang berada dalam kondisi shalat”.[101] Dan boleh memasukkan jari-jari tangan sesudah melaksanakan shalat.

  • Boleh makan dan minum di mesjid, berdasarkan hadits Abdullah bin Al-Harits bin Juz’u Al-Zubaidi, dia menceritakan bahwa kami makan pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam roti dan daging di dalam mesjid.[102]
  • Boleh menyenandungkan puisi yang diperbolehkan di dalam mesjid, sesungguhnya Hassan bin Tsabit radhiallahu anhu menyenandungkan puisi di mesjid di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.[103]
  • Boleh main tombak atau sejenisnya di mesjid, dari Aisyah radhiallahu anha berkata: “Suatu hari aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri di pintu kamarku sementara orang-orang Habsy bermain-main di mesjid dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menutupi aku dengan selendangnya saat aku menyaksikan permainan mereka”.[104]
  • Dilarang keluar dari mesjid setelah dikumandangkannya adzan kecuali karena udzur, berdasarkan hadits riwayat Abi Sya’tsa’ bahwa dia berkata:  “Kami sedang duduk-duduk dengan Abu Hurairah radhiallahu anhu di dalam mesjid lalu seorang mu’adzin mengumandangkan adzan lalu seorang lelaki bangkit keluar dari mesjid, maka Abu Hurairah radhiallahu anhu mengatakan: “Adapun orang ini maka ia telah menyalahi tuntunan Abul Qosim shallallahu alaihi wasallam”.[105]
  • Di antara kesalahan yang terjadi di mesjid adalah menghiasi mesjid dan memahatnya, berdasarkan hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:                 إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ فَالدَّمَارُ عَلَيْكُمْ

“Apabila kalian telah memperindah mesjid kalian dan menghiasi mushaf-mushafmu maka kehancuran telah menimpa kalian”.[106] Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:                       لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهىَ النَّاسُ فِي اْلمَسَاجِدِ

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai manusia berlomba-lomba di dalam (memperindah) mesjid”.[107]. ([108]) ([109]).

  • Di antara kesalahan yang sering terjadi adalah shalat di atas hamparan yang diperindah.
  • Di antara kesalahan yang juga sering terjadi adalah menjadikan mesjid sebagai jalanan untuk lewat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:      لاَ تَتَّخِذُوْا اْلمَسَاجِدَ طُرُقًا إِلاَّ لِذِكْرٍ اَوْ صَلاَةٍ

“Janganlah engkau menjadikan mesjid sebagai jalan untuk lewat kecuali untuk berdzikir dan menunaikan shalat”.[110]

  • Di antara kesalahan yang terjadi adalah menjadikan suara jam (di dalam mesjid) seperti suara lonceng yang selalu berbunyi secara teratur seperti bunyi lonceng orang-orang Nashrani.
    • Di antara kesalahan yang sering terjadi, membaca ayat secara nyaring di masjid sehingga mengganggu shalat dan bacaan orang lain.
    • Sungguh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang orang-orang yang melingkar dalam berkumpul untuk membuat kelompok di dalam masjid karena mereka juga akan keluar dari masjid dengan berkelompok-kelompok mereka masing-masing. Dari Jabir bin Samuroh, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memasuki masjid pada saat adanya kelompok-kelompok sedang berkumpul di dalam mesjid. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur mereka: “Kenapa saya melihat kalian berkelompok-kelompok?”.[111]
      • Di antara pelanggaran yang sering terjadi meludah di mesjid. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdasarkan sabda

 اَْلبُزَاقُ فِي اْلمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَـفَّارَتُـهَا َدفـْنُهَا

"Meludah di mesjid adalah kesalahan dan penghapusnya adalah dengan cara menimbunnya”.[112]

  • Termasuk sunnah shalat dengan memakai sandal di mesjid. Anas bin Malik radhiallahu anhu pernah ditanya: Apakah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat dengan memakai kedua sandalnya?. Dia menjawab: “Ya”.[113] Dan apabila seseorang memasuki mesjid lalu melepas kedua sandalnya dan tidak shalat dengan memakai keduanya maka hendaklah dia menjadikannya di sebelah kirinya jika dia sendiri di dalam shaf, namun jika dirinya bersama jama’ah lain dalam shalat berjama’ah maka hendaklah dia meletakkannya di antara kedua kakinya berdasarkan hadits:

إِذَا صَلىَّ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَضَعْ نَعْلَيْهِ عَنْ يَمِيْنِهِ وَلاَ يَضَعْهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَتَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِ غَيْرِهِ إِلاَّ أَلاَّ يَكُوْنَ عَنْ يَسَارِهِ أَحَدٌ وَلْيَضَعْهُمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ

“Apabila salah seorang di antara kalian shalat maka janganlah dia meletakkan sandalnya di sebelah kanannya dan jangan pula disebelah kirinya sehingga bertempat di sebelah kanan jama’ah yang lainnya kecuali jika tidak ada seorangpun di sebelah kirinya. Hendaklah dia meletakannya di antara kedua kakinya”.([114])[115].

  • Tidak lewat di hadapan orang yang sedang shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

لَـوْيَعْلَمُ اْلمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ اْلمُصَليِّ مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِـفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لًهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Seandainya seorang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat mengetahui besar akibat yang harus ditanggunganya, niscaya berhenti selama empat puluh lebih baik baginya dari pada berjalan di hadapannya”.[116]. Dianjurkan bagi orang yang shalat untuk menjadikan sutrah (pembatas) bagi dirinya, berdasarkan hadits:

إِذَا صَلىَّ أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

“Apabila salah seorang di antara kalian shalat maka hendaklah melaksanakannya di hadapan sutroh dan mendekatlah dengannya”.[117]

  • Membersihkan mesjid adalah perbuatan yang utama, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam menganggap berludah di mesjid sebagai kesalahan dan penebus dosanya adalah menimbunnya[118], dan hadits yang menerangkan bahwa mahar bidadari adalah membersihkan mesjid adalah hadits yang lemah.
  • Tidak boleh bagi orang kafir memasuki salah satu al-haromaini sekalipun dengan idzin seorang muslim, dan diperbolehkan bagi Al-Zimmi (Orang kafir yang terikat perjanjian dengan orang muslim) jika orang tersebut diupah untuk membangun keduanya selama tidak ada orang muslim yang bisa mengerjakan pekerjaan tersebut.
  • Ibnu Muflih rahimahullah berkata: Dan para guru kami berkata: Tidak mengapa dengan apa yang terjadi pada zaman kita, yaitu menutup mesjid di luar waktu-waktu shalat, karena khawatir akan terjadinya pencurian terhadap barang-barang milik mesjid.[119]
  • Sesungguhnya mesjid-mesjid yang terdapat di dalam rumah (ruang-ruang yang dipergunakan untuk shalat) tidak berlaku padanya hukum mesjid, menurut jumhur ulama oleh karenanya tidak mencegah orang yang junub dan wanita haid untuk masuk di dalamnya.[120]

 

  • BEBERAPA ADAB YANG KHUSUS BAGI WANITA SAAT MEMASUKI MESJID
  • Tidak memakai wangi-wangian atau berhias sehingga bisa mengundang fitnah.
  • Tidak diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid dan nifas untuk tinggal di mesjid, dan boleh bagi wanita yang istihadhah untuk memasuki mesjid bahkan beri’tikaf padanya, namun harus tetap menjaga agar mesjid tidak tercemar dengan najis.
  • Mereka bershaf di belakang shaf jama’ah pria, dan apabila para wanita berada di tempat shalat yang berbeda maka sebaik-baik shaf mereka adalah yang terdepan.

 

 

10.PETUNJUK NABI SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM PADA HARI JUM'AT

  • Diharamkan mengkhususkan hari jum'at semata untuk berpuasa "Hari jum'at adalah hari raya bagi kalian maka janganlah kalian menjadikan hari raya tersebut sebagai hari untuk berpuasa kecuali jika dibarengi dengan berpuasa sebelumnya atau sesudahnya"[121]
  • Makruh mengkhususkan malam jum'at dengan melakukan berbagai amal ibadah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

لاَ تَخْتَصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنَ الَّيَاليِ,,,               

"Janganlah kalian mengkhususkan malam jum'at dari malam-malam hari lainnya dengan melaksanakan berbagai ibadah".[122]

  • Membaca surat: الم. تَـنْزِيْلُ  (surat Al-Sajdah), serta surat Al-Insan  pada saat shalat fajar hari jum'at.[123]
  • Memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam pada hari jum'at.[124]
  • Membaca surat Al-Kahfi pada malam dan siang hari jum'at, dan barangsiapa yang membacanya maka sinar akan memancar antara dirinya sampai al-baitul atiq.[125]
  • Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mandi untuk hari jum'at apakah wajib[126] atau sunnah[127], seyogyanya bagi seseorang untuk melaksanakan mandi untuk hari jum'at demi mendapat pahala keutamaan mandi hari jum'at tersebut dan keluar dari perbedaan pendapat ulama.
  • Mengkhususkan memakai pakaian tertentu pada hari jum'at, dari Abdullah bin Salam bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda di atas mimbar pada hari jum'at:

مَا عَلىَ أَحَدِكُمْ لَوْ اِشْتَرَى ثَوْبَيْنِ لِيَوْمِ الْجُمْعَةِ سِـوَى ثَوْبِ مِهْنَتِهِ

"Apakah yang memberatkan salah seorang di antara kalian seandainya dia membeli dua helai pakaian untuk hari jum'at sehelai pakaian yang dipergunakan untuk pekerjaannya".

  • Disunnahkan untuk bersegera menuju masjid pada hari jum'at, dianjurkan untuk mandi, memakai wangian dan bersiwak. Dari Aus bin Aus Rasulullah bersabda: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنَ اْلإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

"Barangsiapa yang bersuci dan mandi, kemudian bergegas dan mendengar khutbah dari awal, berjalan kaki tidak dengan berkendaraan, mendekat dengan imam, lalu mendengarkan khutbah dan tidak berbuat sia-sia, maka baginya bagi setiap langkah pahala satu tahun baik puasa dan shalatnya"[128].

  • Pada hari jum'at terdapat saat-saat dikabulkannya do'a, yaitu saat-saat terakhir setelah shalat asar, seperti yang dijelaskan dalam banyak hadits[129], dalam pendapat yang lain dikatakan di antara duduknya imam di atas mimbar saat berkhutbah jum'at sampai shalat selesai ditunaikan.
  • Bersikap diam saat imam mulai berkhutbah, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:      إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ أَنْصِتْ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

"Jika engkau mengatakan kepada temanmu: Diam! Pada saat imam sedang berkhutbah maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia"., Dan yang lebih utama bagi seseorang agar dia menahan berbicara setelah turunnya imam dari mimbar, sebelum didirikan shalat kecuali karena keperluan, seperti yang diterangkan dalam hadits riwayat Salman: "Dan hendaklah seseorang diam sampai imam menyelesaikan shalat".[130]

  • Dianjurkan bagi seorang yang shalat jika terserang kantuk yang berlebihan setelah berada di masjid untuk berpindah dari tempat tersebut.[131]
  • Tidak melangkahi pundak orang lain.
  • Tidak ada sebelum jum'at shalat sunnah dengan waktu tertentu, bilangan rekaat tertentu; sebab adanya suatu ibadah akan ada dengan perkataan atau perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat sunnah apapun sebelum jum'at, adapun shalat setelah jum'at Ibnul Qoyyim menegaskan di dalam kitabnya Zadul Ma'ad 1/440: Dan apabila beliau telah selesai mengerjakan shalat jum'at maka beliau memasuki rumahnya dan shalat sunnah ba'diyah dua rekaat, dan memerintahkan umatnya untuk melaksanakan empat rekaat shalat ba'diyah jum'at. Guru kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Jika beliau melaksanakan shalat sunnah tersebut di masjid maka beliau mengerjakannya empat rekaat, dan jika menunaikannya di rumah maka mengerjakan dalam dua rekaat saja.
  • Ibnul Qoyyim rahimhullah berkata tentang petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya saat khutbah Jum'at: "Apabila beliau berkhutbah pada hari jum'at, maka para shahabat mengarahkan wajahnya kepada beliau dan wajah beliau mengarah kepada mereka saat berkhutbah".
  • Membaca surat Al-Jum'ah dan Al-Munafiqun saat shalat jum'at atau surat Al-A'la dan Al-Gasyiah, atau surat Al-Jum'ah dan Al-Gasyiah[132] Ibnul Qoyyim rahimhullah berkata: (Dan tidak dianjurkan jika seseorang membaca sebagian surat dari surat-surat yang telah disebutkan di atas atau membaca salah satu pasangan surat tersebut pada salah satu rekaat, sebab perbuatan tersebut menyalahi sunnah).[133]
  • Dianjurkan untuk mengadakan tidur siang setelah jum'at, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan umatnya untuk tidur siang dalam sebuah sabdanya:قِيْـلُواْ فَإِنَّ الشَّيْـطَانَ لاَ تَقِيْـلُ               

"Tidur sianglah karena sesungguhnya setan tidak tidur siang"[134]  dan beliau menentukan waktunya, yaitu setelah shalat jum'at; seperti yang disebutkan dalam hadits Anas, ia berkata: "Kami bersegera berangkat menuju jum'at lalu tidur siang sesudah jum'at".[135]

  • Dibolehkan shalat pada pertengahan siang di hari jum'at, tidak seperti hari-hari lainnya, seperti yang disebutkan dalam berbagai hadits: "Kemudian beliau melaksanakan shalat sebanyak yang bolehkan baginya".[136]
  • Ancaman bagi mereka yang meninggalkan beberapa shalat jum'at adalah:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمْعَةَ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لِيَكُوْنَنَّ مِنَ اْلغَافِلِيْن

"Hendaklah sautu kaum berhenti meninggalkan jum'at atau Allah akan mengunci hati mereka lalu mereka termasuk orang-orang yang lalai".[137]

 

11-ADAB SEORANG KHATIB JUM'AT

  • Berkhutbah di atas mimbar.[138]
  • Mengucapkan salam kepada para makmum sesaat setelah menaiki mimbar dan menghadapkan wajahnya kepada mereka.[139]
  • Duduk di atas mimbar setelah menaikinya sebelum memulai khutbah.
  • Berkhutbah dengan cara berdiri, diriwayatkan oleh Ibnu Majah: Abdullah ditanya apakah Nabi shallallahu alaihi wasallam berkhutbah dengan cara duduk atau berdiri. Beliau menjawab: Tidakkah engkau membaca firman Allah Ta'ala:  وَتَرَكُوْكَ قَائِمًا"" (Dan mereka meninggalkan kamu dalam keadaan berdiri).[140]
  • Berpegang pada tongkat atau sebuah panah.[141]
  • Mengangkat suara saat berkhutbah dan memuliakan khutbah.
  • Termasuk petunjuk Nabis shallallahu alaihi wasallam membaca surat ق saat berkhutbah. Diriwayatkan oleh binti Al-Harits bin Al-Nu'man radhiallahu anha, ia berkata:

مَا حَفِظْتُ(ق) إِلاَّ مِنْ فيِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِهَا كُلَّ جُمْعَةٍ

"Aku tidak menghafal surat ق  kecuali dari mulut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang dibacanya saat berhutbah pada setiap hari jum'at"[142]

 

12-SHALAT ISTIKHARAH

  • Syarat shalat istikharah sama seperti syarat shalat sunnah lainnya.
    • Tuntunan yang berlaku pada sholat istikharah sama seperti tuntunan yang berlaku pada yang lainnya seperti sumber penghasilan yang halal dan tidak berlebihan di dalam berdo'a serta…
    • Istikharah berarti engkau berdo'a kepada Allah agar Dia memberikan kebaikan bagi dirimu.
    • Sesuatu yang status hukumnya sunnah, wajib dan makruh serta sesuatu yang haram tidak perlu diistikharahkan. Istikharah dilakukan pada hal-hal yang mubah, sebagian ulama mengatakan: Jika dia dihadapkan pada dua perkara yang wajib atau dua perkara yang sunnah.
    • Tidak menjadikan bayang-bayang, mimpi, dan angan-angan sebagai patokan dari hasil istikharah, akan tetapi berpatokan pada sikapnya yang tanpa ragu dalam menyelesaikan masalah.
    • Dibolehkan mengulangi istikharah.
      • Istkharah tidak mempunyai waktu tertentu, akan tetapi seseorang harus memilih waktu-waktu ijabah.
      • Shalat istikharah adalah salah satu shalat yang dilakukan karena adanya sebab, oleh karena itu seandainya dilakukan pada waktu-waktu yang terlarang, maka hal itu tidak memudharatkannya apabila waktu cukup sempit baginya, dan seandainya diakhirkan sampai setelah waktu terlarang tersebut, maka itu lebih baik.
      • Tidak terdapat dalam shalat istikharah keharusan membaca surat tertentu.
      • Berdo'a dilakukan setelah salam, dan jika menjadikan do'a sebelum salam juga tidak mengapa, yaitu pada saat bertasyahhud akhir atau setelah bertasyahhud akhir dan membaca shalawat Ibrahimiyah.
      • Tidak mengapa jika dua rekaat shalat istikharah tersebut adalah dua rekaat tahiyatul masjid atau dua rekaat sholat sunnah wudhu'.
      • Jika dia berada pada tempat yang tidak bisa bagi seseorang untuk melakukan shalat maka cukup baginya untuk membaca do'a.
      • Tida mengapa jika seseorang membaca do'a istikharah dari buku atau diajarkan oleh orang lain.
      • Mengangkat kedua tangan setelah salam saat berdo'a adalah sunnah yang dianjurkan.
      • Bermusyawarah sebalum melakukan istkharah.  Firman Allah Subhahu Wa Ta’ala:                               وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلىَ اللهِ

Sa'd bin Abi Waqqash radhiallahu anhu meminta pendapat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam saat dia ingin membagi-bagi hartanya kepada kerabatnya, dia bertanya:

يَارَسُوْلَ اللهِ إِنِّي ذُوْمَالٍ وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّ اْبَنَةٌ لِي أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَاليِ؟ قَالَ: لاَ

"Wahai Rasulullah? Saya adalah seorang hartawan dan tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang putri, bolehkah aku bersedeqah dengan dua pertiga hartaku? Rasulullah menjawab tidak…).[143]

 

13-ADAB BERPUASA

  • Seorang muslim hanya mengharap dengan puasanya tersebut keridhaan Allah semata, didorong oleh keimanan dan mengharap pahala dari Allah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمْضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni baginya dosa-dosa yang pernah ia lakukan".[144]

  • Berniat pada waktu malam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:                                  مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ الَّليْلِ فَلاَ ِصيَامَ لَهُ

"Barangsiapa yang tidak berniat pada waktu malam maka dia tidak ada puasa baginya".[145]

  • Tidak menyia-nyiakan makan sahur. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اَلسَّحُوْرُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ اْلمُتَسَحِّرِيْنَ

"Semua makan sahur adalah berkah maka janganlah kalian meninggalkannya sekalipun dengan meneguk air, sesungguhnya Allah dan para malaikatnya berdo'a bagi mereka yang makan sahur".

Di antara keutamaan makan sahur adalah sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya:

فَصْلُ مَابَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ اْلِكتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ

"Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur". Dan hendaklah menekankan diri agar mengakhirkan makan sahur.

  • Bersahur dengan kurma, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:                                                           نِعْمَ سَحُوْرِ اْلمُؤْمِنِ التَّمْرُ

"Sebaik-baik sahur seorang mu'min adalah kurma".

 

14-ADAB SAAT BERBUKA PUASA[146]

  • Menyegerakan berbuka puasa.
  • Berbuaka pausa dengan kurma, kalau tidak ada maka dengan air.
  • Berbuka puasa sebelum shalat.
  • Berdo'a saat berbuka puasa, dan dianjurkan bagi seorang yang berpuasa untuk membaca do'a yang datang dari Rasulullah. Saat berbuka puasa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُـرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْـرُ إِنْ شَاءَ الله ُ

"Dahaga telah pergi, tenggorokan telah basah dan pahala telah ditetapkan insya Allah".

  • Seorang muslim hendaknya berusaha menjamu orang lain untuk berbuka dengan dirinya, telah disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:

 مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْـرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Barangsiapa yang memberikan orang yang sedang berpuasa makanan untuk berbuka puasa, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala (orang yang berpuasa tersebut) tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut".

 

15-ADAB MELAKSANAKAN SHALAT IED

  • Mandi sebelum keluar untuk melaksanakan shalat ied.
  • Tidak keluar pada shalat iedul fitri sampai dia memakan beberapa biji kurma, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukahri dari Anas bin Malik, dia berkata: Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pergi melakasanakan shalat ied sampai beliau memakan beberapa kurma… dengan jumlah ganjil[147], dan jika dia tidak mendapatkan kurma maka hendaklah dia memakan sesuatu yang mubah.
  • Dan dianjurkan pada saat shalat iedul adha untuk tidak makan sesuatu apapun sampai dia kembali dari shalat dan makan dari kurbannya.
  • Bertakbir pada hari ied:

-Waktu takbir untuk shalat iedul fitri: Mulai dari malam ied sampai imam masuk melaksanakan shalat ied.

-Waktu takbir untuk iedul adha: Dimulai dari hari pertama bulan zul hijjah sampai tenggelamnya matahari pada akhir hari tasyriq.

Sifat Bacaan Takbir

اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ

"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Allah Maha Besar, dan bagiNya segala pujian".

اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ اَكْبَرُ وَأَجَلُّ اللهُ اَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ

"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar dan segala puji bagi Allah".[148]

  • Diantara adab yang dianjurkan dalam shalat ied adalah memberikan ucapan selamat dengan kata-kata yang indah, seperti: تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ  "Semoga Allah menerima amal kami dan amal kalian". Dari Jubai bin Nafir berkata: Bahwa para shahabat nabi shallallahu alaihi wasallam jika saling bertemu pada hari ied mereka mengatakan: تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ  [149]. Tuntunan minimal yang harus dilakukan pada hari ied adalah menjawab ucapan selamat orang yang memberikan ucapan selamat dengan kedatangan hari ied dan diam jika orang tidak memberikan ucapan selamat. Imam Ahmad Rahimhullah berkata: "Jika seseorang memberikan ucapan selamat kepadaku maka aku menjawabnya, namun jika tidak maka aku tidak memulainya.
  • Memperindah penampilan diri saat shalat ied, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam mempunyai Jubbah khusus yang dipakainya pada hari ied dan hari jum'at.[150]
  • Berangkat menuju shalat ied dari suatu jalan dan pulang dari jalan lain. Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu dia berakta: Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam jika berada pada hari ied beliau berangkat dan kembali dari jalan yang berbeda.[151]

 

16-ADAB BERDO'A[152]

  • Memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullahs shallallahu alaihi wasallam sebelumberdo'a, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: كلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٍ حَتَّى يُصَلىَّ عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم     

"Setiap do'a akan terhalangi sampai orang tersebut membaca shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam ".[153]

  • Mengakui dosa dan kesalahan, seperti yang diceritakan oleh Allah tentang hambaNya Yunus Alihis salam:

 أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنيِّ كُنْتُ مِنَ الظّلِمِيْنَ                

"Bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berbuat zalim".[154]

  • Bersikap merendah, khusyu' takut dan cemas. Firman Allah Ta'ala:

إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَارِعُوْنَ فيِ الْخَيْرتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوْا لَنَا خشِعِيْنَ

"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami".[155]

  • Kehadiran hati saat berdo'a, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

اُدْعُوْا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لاَ يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَه

"Berdo'alah kepada Allah dan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah!, sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu do'a dari hati yang lalai lagi lengah".[156]

  • Tegas dalam berdo'a dan teguh di dalam memohon kepada Allah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

 لاَ يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ اَللّهُمَّ اغْفِرْليِ إِنْ شِئْتَ اَللّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ لِيَعْزِمِ اْلمَسْأَلَةَ فَإِنَّهُ لاَ مَكْرَهَ لَهُ

"Janganlah seseorang mengatakan dalam do'anya: Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki, Ya Allah berikanlah rahmat kepadaku jika Engkau menghendaki, hendaklah dia teguh dalam berdo'a sebab perbautan tersebut tidak dibenci".[157]

  • Berdo'a dengan cara seakan memaksa.
  • Berdo'a dalam setiap kondisi, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

 مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيْبَ اللهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكَرْبِ فَلْيُكْثرِْ الدُّعَاءَ فِي الرَّخَاءِ

"Barangsiapa yang senang dikabulkan permohonannya pada saat kritis dan bahaya maka hendaklah dia memperbanyak do'a saat nyaman'.

  • Dianjurkan untuk berdo'a dengan suara yang lembut, berdasarkan firman Allah Ta'ala:                                   ُادْعـُوْا رَبَّكُمْ تَضـَرُّعًا وَخُفْيَةً

"Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut."[158]

  •  Tidak berdo'a untuk kebinasaan keluarga, harta dan jiwa, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

:لاَ تَدْعُوْا عَلىَ أَنْفُسِكُمْ وَلاَ تَدْعُوْا عَلىَ أَوْلاَدِكُمْ وَلاَ تَدْعُوْا عَلىَ أَمْوَالِكُمْ لاَ تُوَافِقُوْا مِنَ اللهِ سَاعَةُ يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءً فَيَستَجِيْبَ لَكَ

"Janganlah kalian berdo'a untuk kebinasaan diri kalian, janganlah berdo'a untuk kebinasaan anak-anak kalian, dan jangan pula berdo'a untuk kebinasaan harta-harta kalian, jangan-jangan saat kalian berdo'a tersebut adalah saat dikabulkannya permohonan sehingga Dia mengabulkan do'a kalian".[159]

  • Mengulangi do'a tiga kali; sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam mengulangi do'anya tiga kali.[160]
  • Menghadap kiblat, seperti diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghadap kiblat lalu berdo'a untuk kebinasaan kafir Quraisy.[161]
  • Menjaga waktu-waktu yang mustajab, seperti saat sujud, di antara adzan dan iqamah, saat-saat terakhir pada hari jum'at.
  • Mengangkat tangan saat berdo'a, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهَا صِفْرًا خَائِبَيْنِ

"Sesungguhnya Tuhanmu -Yang Maha Suci dan Maha Tinggi-bersifat malu dan mulia. Dia malu jika hambaNya mengangkat tangan saat berdo'a lalu menolaknya dengan tangan hampa dan kecewa".[162] Dan mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo'a dalam qunut witir atau yang lainnya didasarkan pada hadits yang lemah, syaikhul Islam mengatakan bahwa semua hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.

  • Berbakti kepada kedua orang tua adalah salah satu sebab dikabulkannya do'a, sebagaimana diceritakan dalam kisah Uais bin Amir Al-Qorni[163] bahwa dia seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya; sebagaimana juga diceritakan dalam kisah tiga orang yang tertahan dalam sebuah gua yang lubangnya tersumbat oleh sebuah batu besar.[164]
  • Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan shalat wajib adalah salah satu sebab dikabulkannya do'a.[165]
  • Beramal shaleh sebelum berdo'a.
  • Dianjurkan bagi seorang muslim untuk berwudhu' sebelum berdo'a, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits riwayat Abi Musa Al-Asy'ari radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah selesai perang Hunain…dan disebutkan padanya: Maka beliau memerintahkan untuk mengambil air, lalu beliau berwudhu' dengannya, kemudian barulah beliau mengangkat tangan dengan mengatakan: "Ya Allah ampunilah Ubaid bin Amir", dan aku melihat putihnya kulit kedua ketiak beliau.[166]
  • Tujuan seorang yang berdo'a harus baik, disebutkan di dalam kisah Nabi Musa Alaihis salam:

قَالََ رَبِّ اشْرَحْ ليِ صَدْرِي وَيَسِّرْليِ أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوْا قَوْليِ وَاجْعَلْ ليِ وَزِيْرًا مِنْ أَهْليِ هرُوْنَ اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي كَيْ نُسَبِّحَكَ كَثِيْرًا وَنَذْكُرَكَ كَثِيْرًا إِنَّكَ كُنْتَ بِنَا بَصِيْرً

"Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku". Dan mudahkanlah untukku urusanku, supaya mereka mengerti perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. Yaitu  Harun, saudaraku.Teguhkanlah dengan dia kekuatanku. Dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku. Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau. Dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat keadaan kami."[167]

  • Seorang yang berdo'a harus menampakkan keluhan dan kebutuhannnya kepada Allah, Allah menceritakan tentang Nabi Ya'qub alaissalam:

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُوْ بَثِّي وَحُزْنِي إِلىَ اللهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ

"Ya'qub menjawab: Sesungguhnya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihan dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya."[168] Dan Allah menceritakan tentang Nabi Ayyub alaissalam: وَأَيُّوْبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضَّـرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ "Dan ingatlah kissah Ayyub, ketika dia meyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang Penyayang"[169]. Disebutkan dalam kisah Musa as Allah swt berfirman:

 رَبِّ إِنيِّ لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَّي مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٍ

"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku".[170]

  • Memilih do'a do'a yang jami' (do'a dengan kata yang sedikit namun mengandung makna yang banyak. Pen.) dan baik.
  • Seseorang dianjurkan berdo'a dengan memulai dari dirinya:

رَبَّنَا اغْـفِرْلَنَا وَِلإِخْوَاِننَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ

"Ya Tuhan kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan."[171] Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika menyebut nama seseorang dan berdo'a baginya, beliau memulainya dengan berdo'a untuk dirinya.[172]

  • Berdo'a untuk saudara-saudaranya yang seiman. Allah Ta'ala memerintahkan:    وَاسْتَـغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَات

"Dan mintalah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan."[173] Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

منِ اسْتَغْفَرَ ِلْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كُتِبَ لَهُ ِبكُلِّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ حَسَنَةٌ

"Barangsiapa yang memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan maka Allah akan menulis baginya dengan setiap orang yang beriman tersebut kebaikan."[174]

  • Tidak memaksakan diri untuk bersajak saat berdo'a.
  • Berdo'a dengan kalimat yang jelas tanpa dipaksakan.
  • Memilih nama-nama Allah yang sesuai dan cocok dengan kondisi do'a, seperti: Ya Allah Yang Maha Pengasih kasihilah aku".
  • Tidak membatasi rahmat Allah kepada orang tertentu ketika berdo'a, dari Abu Hurairah radhiallahu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bangkit berdiri untuk melaksanakan shalat maka kamipun bangkit bersamanya, lalu seorang badui berkata saat dirinya sedang shalat:

اَللَّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا وَلاَ تَرْحَمْ ِمنَّا أَحَدًا

"Ya Allah curahkanlah kasih sayangmu kepadaku dan kepada Muhammad dan janganlah Engaku menyayangi selain kami berdua". Saat Nabi shallallahu alaihi wasallam selesai dari shalatnya, beliau menegur orang badui tersebut: "Sesungguhnya engkau telah membatasi sesuatu yang luas- yang dimaksudkan adalah rahmata Allah-".[175]

  • Mengucapkan amin bagi orang mendengarnya.
  • Memohon kepada Allah segala sesuatu baik perkara-perkara yang kecil atau yang besar, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

سَلُوْا اللهَ كُلَّ شَئٍ حَتَّى الشسع فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَوْ لَمْ يُيَسِّرْهُ لَمْ يُيَسَّر

“Mintalah kepada Allah segala sesuatu sampai megadakan tali sendal sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla sendainya tidak memudahkan suatu urusan niscaya dia tidak akan menjadi mudah”

  • Diharuskan untuk tidak berdo'a dengan sesuatu yang mengandung kesyirikan.
  • Tidak berangan-angan untuk mati.
  • Tidak berdo'a untuk mempercepat siksaan.
  • Tidak berdo'a untuk sesuatu yang mustahil, seperti kekal hidup di dunia.
  • Tidak berdo'a dengan sesuatu yang sudah selesai terwujud.
  • Tidak berdo'a dengan sesuatu yang dijelaskan oleh syara' tidak akan terjadi, seperti berdo'a agar seorang muslim tidak masuk surga.
  • Tidak berdo'a agar seseorang terjerumus dalam perbuatan dosa. seperti berdo'a agar seseorang kecanduan minuman keras.
  • Tidak berdo'a untuk memutus silaturrahmi. Seperti berdo'a dengan mengucapkan: Ya Allah cerai berikanlah persatuan umat Islam.
  • Seorang imam tidak boleh mengkhususkan bagi dirinya do'a tertentu tanpa mengikutsertakan kaum muslimin di dalam do'anya.
  • Tidak meninggalkan adab saat berdo'a. Seperti mengucapkan: Ya Allah Tuhannya anjing dan himar…".
  • Tidak berdo'a dengan tujuan yang busuk. Seperti berdo'a memohon harta untuk kemaksiatan dengannya.
  • Orang tersebut harus dengan dikabulkannya do'a.
  • Saat berdo'a seseorang tidak perlu merinci keperluannya dengan perincian yang tidak diperlukan.
  • Tidak berdo'a dengan nama-nama bagi Allah yang tidak terdapat di dalam kitab dan sunnah. Seperti: Ya Sulthan…, Ya Burhan…., dan Ya Hannan….
  • Tidak dalam mengangkat suara secara berlebihan.
  • Tidak berdo'a dengan mengatakan:

 اَللّهُمَّ إِنِّي لاَ أَسْأَلُكَ رَدَّ اْلقَضَاءَ وَلكِنْ أَسْأَلُكَ اللُّطْفَ فِيْهِ

"Ya Allah aku tidak memohon kapadaMu untuk menolak ketentuan yang telah Engkau tetapkan atasku (qodho'Mu) akan tetapi aku memohon kepadaMu agar Engkau bersikap lunak pada ketentuan tersebut".

  • Tidak menggantungkan do'a dengan kehendak. (Seperti berdo'a dengan mengatakan: Ya Allah, ampunilah aku jikalau Engkau menghendakinya. Pen.)

 

17-ADAB SAAT BERADA DI BUKIT SHAFA

  • Menuju Shafa dari pintu yang bersebelahan dengannya.
  • Saat mendekat dengan bukit tersebut seseorang dianjurkan untuk membaca: إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ ...

(Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah).

  •  Menaiki bukit Shafa.
  • Kemudian menghadap kiblat.
  • Bezikir dan berdo'a yang diulangi tiga kali.
  • Mengangkat tangan saat berdo'a.

 

18-ADAB SA'I ANTARA SHAFA DAN MARWA

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: (Kemudian beliau turun ke Marwah dengan berjalan, ketika kedua kaki beliau menginjak dataran lembah beliau bersa'i (lari-lari kecil) sampai melewati lembah tersebut dan menaiki bukit Marwa dengan berjalan. Praktik inilah yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan pada hari itu belum terdapat dua tanda yang hijau pada awal dan akhir lembah, yang jelas bahwa posisi lembah tersebut belum pernah berubah sampai sekarang dari posisinya.

      Kemudian beliau menyebutkan perbedaan riwayat apakah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersa'I dengan cara berjalan atau berkendaraan? Lalu beliau menghimpun beberapa riwayat tersebut dengan menyimpulkan bahwa pada mulanya beliau melaksanakan sa'I dengan cara berjalan lalu saat para shahabat bertambah ramai mengerumuni (tempat sa'i), beliau naik dan menunggang kendaraannya.[176]

 

19-ADAB SAAT BERADA DI BUKIT MARWAH

Ibnul Qoyyim rahimhullah mengatakan: Dan pada saat sampai di bukit Marwah beliau mendakinya lalu menghadap ke ka'bah, mendengungkan takbir dan pujian mengesakan Allah; beliau melakukan di bukit Marwa seperti apa yang telah dilakukan di bukit Shafa.[177]

 

20-ADAB MENELPON

  • Mempertegas kebenaran nomer yang akan dihubungi sebelum menelpon agar tidak membangunkan orang yang sedang tidur, mengusik orang yang sakit atau menyibukkan orang lain.
  • Menentukan waktu yang tepat untuk menelpon seseorang, sebab setiap orang mempunyai kesibukan, kepentingan, mereka mempunyai waktu tidur, istirahat dan waktu makan.
  • Tidak memperpanjang pembicaraan tanpa sebab. Khawatir kalau orang yang dihubungi sedang sibuk dengan pekerjaan yang penting atau dia mempunyai janji yang mesti dipenuhi.
  • Seorang perempuan tidak dibolehkan merendahkan suaranya saat menelpon atau memperpanjang pembicaraan bersama lelaki. Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِاْلقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا

"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik".[178]

  • Orang yang menghubungi harus mengawali pembicaraan dengan mengucapkan salam, sebab orang yang menghubungi ini dianggap sebagai orang yang datang. Begitu juga agar dia menutup pembicaraan dengan salam.
  • Tidak mempergunakan telpon orang lain kecuali setelah mendapat izin darinya dan ada kebutuhan untuk mempergunakannya.
  • Tidak merekam pembicaraan seseorang tanpa izin dan sepengetahuannya, apapun jenis pembicaraan tersebut; sebab hal ini termasuk tindakan khianat dan menyebarkan rahasia orang. Dan jika engkau menyebarkan pembicaraan tersebut maka hal itu adalah bentuk tambahan dalam bersikap khianat dan meruntuhkan amanah, termasuk dalam masalah ini adalah berusaha menguping pembicaraan orang lain dan apa-apa yang beredar di antara mereka, semua ini adalah perbuatan haram yang dilarang.
  • Tidak memanfaatkan telpon untuk kepentingan yang salah; sebab telpon adalah nikmat Allah yang dianugrahkan kepada manusia untuk memenuhi hajat mereka, maka tidak beradab jika dijadikan sebagai bencana dengan memanfaatkannya untuk mengintai aurat kaum muslimin dan mengobrak abrik kehormatan mereka dan menjerumuskan kaum wanita muslimah kepada kehinaan, perbuatan ini adalah haram dan pelakunya harus diberikan hukuman.

 

21-ADAB BERZIARAH

  • Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa dia bersabda:

إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ أَوْ زَارَه,ُ قَالَ اللهُ لَهُ: طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مَنْزِلاً فِي الْجَنَّةِ

"Apabila seseorang mengunjungi atau berziarah kepada saudaranya, maka Allah berkata kepadanya: Selamat bagimu dan kebaikan bagimu dengan perjalananmu ini dan engkau telah mendapatkan sebuah tempat disurga".[179]

  • Berziarah kepada orang lain tidak pada tiga waktu yang disebutkan pada ayat tentang adab meminta izin.
  • Duduk pada tempat yang diperintahkan oleh tuan rumah, jika dia tidak diperintahkan untuk duduk pada suatu tempat maka dianjurkan baginya untuk melihat kebiasaan dan adat yang berlaku pada tuan rumah tersebut dan tidak boleh baginya untuk melangkahi kebiasaan adat.[180]
  • Orang yang datang berziarah tidak menjadi imam bagi tuan rumah dan tidak pula duduk di hamparan kasur yang khsusus bagi tuan rumah kecuali dengan izinnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:    

       ..وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ فِي الرَّجُلَ  سِلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلىَ تَكْرِمَتِهِ

"Tidaklah seseorang lelaki mengimami lelaki lain di dalam kekuasaannya, dan tidak pula dibolehkan baginya duduk di dalam rumah sesorang pada tempat yang khusus bagi tuan rumah".[181]

  • Menjarangkan perkwensi berkunjung. Diriwayatkan dalam shahih Ibnu Hibban:               زُرْ غِبًّا تَزْدَدْ حُبًّا

(Jaranglah berziarah, niscaya hal tersebut akan menambah rasa rindu).[182]

 

22-ADAB MENGUCAPKAN SALAM

  • Yang paling pertama memerintahkan salam adalah Allah Yang Maha Tinggi, di mana Allah memerintahkan Adam alahis salam untuk mengucapkannya kepada para malaikat. Disebutkan di dalam riwayat Al-Bukhari:

 إِنَّ اللهَ لَمَّا خَلَقَ آدَمَ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلىَ أُلئِكَ اْلمَلاَئِكَةِ فَاسْتَمِعْ مَايُجِيْبُوْنَكَ تَحِيَتُكَ وَتَحِيَّة ذُرِّيَتِكَ , فَقَالَ َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, فَقَالُوْا: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ

  • "Sesungguhnya Allah Ta'ala saat setelah menciptakan Adam alahis salam, Dia berfirman kepada Adam: "Pergilah dan ucapkanlah salam kepada para malaikat ini dan dengarkanlah dengan apakah mereka menjawabmu, sebagai ucapan penghormatan bagimu dan bagi keturunanmu". Lalu Adam berkata: َالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ mereka menegaskan: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ…".[183] Dan pada masa awal kedatangan Nabi shallallahu alaihi wasallam di Madinah beliau memerintahkan para shahabat untuk menyebarkan salam.
  • Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari A'isyah, Rasulullah bersabda:

مَا حَسَدَتْكُمُ اْليَهُوْدُ عَلىَ شَئٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ

"Orang-orang Yahudi tidak dengki kepadamu karena sesuatu, mereka dengki karena salam dan ucapan amin (setelah membaca Al-Fatihah)".[184]

  • Disunnahkan untuk mengawali ucapan salam kepada orang lain, dan menjawabnya adalah wajib. Dan jika seseorang mengucapkan salam kepada sebuah jama'ah, kalau dijawab oleh semua jama'ah, maka hal itu lebih bagus, namun kalau dijawab oleh salah seorang dari mereka maka yang lain terbebas dari beban tersebut.[185]
  • Ucapan salam yang paling baik adalah: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa  seorang lelaki lewat di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:    

 dalam sebuah majlis dan mengucapkan salam: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ , beliau bersabda: "Sepuluh kebaikan", lalu lewatlah  lelaki lain seraya mengucapkan salam: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َ Rasulullah mengatakan: "Baginya duapuluh kebaikan". Lalu lewatlah lelaki lain sambil mengucapkan salam: اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ maka Rasulullah mengatakan: "Baginya tigapuluh pahala kebaikan".([186])[187]

  • Dimakruhkan memulai salam dengan ucapan:اَلسَّلاَمُ ْ ُ عَلََيْكُمُ Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:    

  لاَ تَقُلْ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ  فَإِنَّ عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ تَحِيَّةُ المَوْتَى

"Jangnlah engkau mengatakan ,عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ sebab ucapan عَلَيْكُمُ السَّلاَمَ adalah penghormatan bagi orang yang telah meninggal".[188]

  • Dianjurkan untuk mengulangi salam tiga kali jika jama'ah tempat mengucapkan salam cukup banyak atau merasa ragu dengan pendengaran orang yang disalamkan kepadanya. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika mengucapkan salam maka beliau mengulanginya tiga kali.[189]
  • Dianjurkan untuk menyebarkan salam ((kepada orang yang engkau ketahui dan orang yang engkau tidak ketahui)) dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطَ السَّاعَةِ كَانَتِ التَّحِيَّةُ عَلىَ اْلمَعْرِفَةِ

"Sesungguhnya di antara tanda datangnya hari kiamat adalah penghormatan (ucapan salam) dilandaskan pada pengetahuan orang terhadap orang lain semata". Dalam riwayat lain disebutkan:

أَنْ يُسَلِّمَ الرَّجُلُ عَلىَ الرَّجُلِ لاَ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ لِلْمَعْرِفَةِ

  • "Seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lainnya dan dia tidak mengucapkan salam tersebut kecuali karena ia mengenalnya".[190] Begitu juga hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhu bahwa sesorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:    

“Islam apakah yang terbaik? Beliau menjawab: "Engkau memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak kau kenal".[191]

  • Bawasanya Ibnu Umar radhiallahu anhu memasuki pasar dan tidaklah dia melewati seorangpun kecuali dia mengucapkan salam atasnya. Maka Thufail bin Abi Ka'ab berkata kepadanya:  Apakah yang engkau perbuat di pasar sementara dirimu tidak tinggal untuk berjual beli? Tidak bertanya tentang harga barang? Tidak menawar barang dan tidak pula duduk di majlis yang terdapat di pasar? Beliau menjawab: Wahai Abu Bathn (kinayah untuk orang yang besar perutnya) sebab Thufail seorang yang berperut besar-kami hanya pergi untuk mengucapkan salam kepada orang yang kami temui".[192]
  • Dianjurkan bagi orang yang datang untuk mengawali salam, dasarnya adalah kisah tentang tiga orang yang datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu mengucapkan: [193] اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ       
  • Termasuk sunnah bahwa seorang yang mengendarai mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang sedang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak, orang yang lebih kecil kepada orang yang lebih besar. Seandainya dua orang yang sedang mengendarai mobil atau hewan atau dua orang berjalan saling berjumpa, maka yang lebih utama adalah orang yang lebih kecil mengawali salam, seandainya orang yang lebih besar memulai salam maka dia mendapat pahala atas perbuatannya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu:

"يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى اْلمَاشِي وَاْلمَاشِي عَلىَ اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلَكثِيْرِ" وفي راية للبخار" "يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلىَ اْلكَبِيْرِ وَاْلمَارُ عَلَى اْلقَاعِدِ وَاْلقَلِيْلُ عَلىَ اْلكَثِيْرِ"

"Orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, orang yang berjalan kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak"[194] Dalam riwayat lain disebutkan: Orang yang kecil mengucapkan salam kepada orang yang lebih besar, orang lewat / berjalan kepada orang yang duduk dan orang yang sedikit kepada orang yang banyak".[195]

  • Apabila dua orang bertemu dan setiap mereka berdua mengawali ucapan salam maka setiap mereka berdua untuk menjawab salamnya. (Syarhul Hidayah)[196].
  • Para ulama dalam mazdhab Syafi'iy berkata: Disunnahkan mengirim salam dan orang yang dipercayakan mengirim salam tersebut wajib menyampaikannya, inilah yang wajib dilakukan jika dia sanggup menanggungnya sebab dia diperintahkan untuk menyampaikan amanah, namun jika dia tidak sanggup menanggungnya maka dia tidak wajib menyampaikannya. Disebutkan di dalam kitab Al-Shahihaini dari A'isyah radhiallahu anha berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:    

 bersabda: "Wahai Aisayah ini Jibril datang untuk mengucapkan salam kepadamu". Dia menjawab: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ  dan ditambahkan di dalam riwayat Bukhari: "وَبَرَكَاتُهُ" disebutkan di dalam Syarah Muslim: Didalamnya penjelasan tentang bolehnya orang asing (yang bukan mahrom) mengirim salam kepada perempuan asing lainnya jika tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dengan perbuatan tersebut".[197]

  • Menjawab orang yang membawa dan orang yang mengirim salam. Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan berkata: Sesungguhnya bapakku mengirim salam untukmu". Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawabnya:

 [198]وَعَلَيْكَ وَعَلىَ أبِيْكَ السَّلاَم   Abu Dzar berkata ra: "Hadiah yang baik dan beban dengan ringan".

  • Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan mengucapkan salam kepada wanita asing yang bukan mahrom, ada ulama yang melarang dan ada pula membolehkan, dan semoga yang lebih kuat adalah apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad rahimhullah: Jika perempuan tersebut sudah tua maka tidak apa-apa, namun jika masih muda maka tidak boleh.[199]
  • Disunnahkan mengucapkan salam kepada anak-anak kecil, berdasarkan hadits riwayat Anas radhiallahu anhu bahwa dia melewati anak-anak dan mengucapkan salam kepada mereka, lalu menceritakan bahwa "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengerjakan hal tersebut".[200]
  • Mengucapkan salam kepada orang yang terjaga, di tempat yang terdapat padanya orang lain sedang tertidur, dengan merendahkan suara untuk memperdengarkan salam kepada orang yang terjaga tanpa membangunkan mereka yang sedang tertidur, berdasarkan hadits riwayat Miqdad bin Al-Aswad dan disebutkan di dalam hadits tersebut bahwa "Nabi shallallahu alaihi wasallam datang pada waktu malam lalu mengucapkan salam dengan suara yang tidak membangunkan orang yang sedang tertidur namun didengar oleh orang yang sedang terjaga…".[201]
  • Dilarang mendahului ahli kitab dengan salam; berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

لاَ تَبْدَؤُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَم ِفَإِذَا لَقِيْـتُمْ أَحَدَهُمْ فِي الطَّرِيْقِ فَاضْطَرُّوْهُ إِلىَ أَضْيَق

"Janganlah kalian memulai orang yang Yahudi dan Nashrani dengan salam, jika kalian menemukan salah seorang dari mereka di jalanan maka desaklah mereka ke jalan yang lebih sempit".[202] Dan jika ingin menghormatinya maka hormatilah dia dengan selain salam. Dan apabila dia mengawali salam, maka hendaklah dia mengucapkan: (وَعَلَيْكُمْ)[203] dan tidak mengapa setelah itu untuk bertanya kepadanya: Bagaimana keadaanmu, bagaimana keadaan anak-anakmu, sebagaimana dibolehkan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah.[204]

  • Dilarang menyampaikan salam dengan isyarat, berdasarkan hadits riwayat Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu secara marfu' kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam:

 لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَهُوْد فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ

"Janganlah memberi salam seperti salamnya orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat".[205]

  • Boleh memperdengarkan salam pada sebuah majlis yang dihadiri oleh campuran orang muslim dan musyrik, dan niat mengucapkan salam tersebut hanya dikhususkan bagi orang muslim saja.[206]

لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَـهُوْدِ فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ  بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكُفِّ وَاْلإِشَارَةِ

"Janganlah engkau menyampaikan salam seperti apa yang diperbuat oleh orang-orang Yahudi, sesungguhnya salam mereka dengan kepala, telapak tangan dan isyarat".[207]

  •  Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang shalat dan menjawabnya dengan isyarat, dan tidak terdapat baginya cara tertentu; terkadang dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam menjawabnya dengan jari-jari, terkadang pula berisyarat dengan tangan atau memberikan isyarat dengan kepalanya dan disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa beliau berisyarat dengan telapak tangan.[208]
  • Dibolehkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang membaca Al-Qur'an dan dia wajib menjawabnya.
  • Dimakruhkan memberikan salam kepada orang yang sedang menjauh untuk membuang hajat, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu bahwa seorang lelaki lewat sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang kencing, lalu lelaki tersebut mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam namun beliau tidak menjawabnya.[209]
  • Dianjurkan mengucapkan salam saat memasuki rumah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam saat rumah kosong; Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu bahwa dia berkata: Jika seseorang memasuki rumah yang tidak berpenghuni maka hendaklah dia mengatakan:                                 اَلّسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلىَ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ

"Kesejahteraan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh".[210]

  • Dianjurkan bagi seorang yang memasuki mesjid untuk shalat dua rekaat sebagai shalat tahiyatul mesjid sebelum mengucapkan salam. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: …dan di antara petunjuknya adalah orang yang memasuki mesjid mulai dengan dua rekaat tahiyatul masjid kemudian barulah ia datang dan mengucapkan salam kepada jama'ah yang sedang berkumpul seperti yang dijelaskan dalam hadits al-musi' shalatahu (seorang yang mempraktikkan shalatnya secara tidak sempurna).[211]
  • Tidak diperbolehkan bagi seseorang memasuki mesjid saat imam sedang berkhutbah pada hari jum'at, sementara dia sendiri mendengar khutbah tersebut, maka dilarang baginya memberi salam kepada orang yang ada di mesjid, dan orang yang berada di dalam mesjid tidak diperbolehkan menjawab salam tersebut saat imam sedang berkhutbah, namun jika menjawabnya dengan isyarat maka itu diperbolehkan.[212]Jika orang yang ada di sampingnya mengucapkan salam kepadanya lalu ingin menjabat tangannya saat imam sedang berkhutbah, maka dia boleh menjabat tangannya tanpa harus berbicara dan menjawab salamnya setelah khatib selesai dengan khutbah yang pertama, dan jika seseorang mengucapkan salam saat khatib berkhutbah dengan khutbah yang kedua maka engkau menjawab salamnya setelah kahtib selesai dari khutbahnya yang kedua.[213]
  • Dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

  مَنْ بَدَأَ بِالْكَلاَمِ قَبْلَ السَّلاَمِ فَلاَ تُجِبْيُبوْهُ

"Barangsiapa yang memulai dengan mengobrol sebelum mengucakan salam maka janganlah engkau menjawabnya".[214] Dalam lafaz Ibnu Ady dijelaskan bahwa: "Mengucapakan salam dahulu sebelum bertanya, maka barangsiapa yang memulai kepadamu dengan berbicara sebelum mengucapakan salam maka janganlah engkau menjawabnya". Dan diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu anhu secara marfu' Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:                                                  لاَ تَأْذَنُـوْا ِلمَنْ لَمْ يَبْدَأْ بِالسَلاَم

"Janganlah engkau mengizinkan orang yang tidak memulai dengan salam".[215]

  • Termasuk sunnah mengucapkan salam ketika meninggalkan suatu majlis, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا نْتَهَى أَحَـدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُـوْمَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلىَ بِأَحَقَّ مَِن اْلآخِـرَةِ

"Apabila salah seorang di antara kalian telah sampai pada sebuah majlis maka hendaklah dia mengucapkan salam, dan jika dia ingin bangkit keluar maka hendaklah mengucapkan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak dari yang terakhir (dengan salam)".[216]

  • Meminyaki tangan dengan wewangian untuk berjabat tangan. Dari Tsabit Al-Banani bahwa Anas meminyaki tangannya dengan minyak wangi yang harum untuk berjabatan tangan dengan teman-temannya.
  • Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah ditanya tentang hukum berjabat tangan setelah shalat fardhu, beliau menjawab: “Berjabat tangan setelah menunaikan shalat fardhu bukan termasuk sunnah akan tetapi bid’ah”. Dan Al-Izz bin Abdusalam berkata: “Berjabat tangan setelah melaksanakan shalat subuh dan asar adalah bid’ah kecuali bagi orang yang baru datang yang telah berkumpul dengan orang yang akan disalaminya sebelum shalat, sebab sesungguhnya berjabat tangan disyari’atkan saat baru datang dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah selesai melaksanakan shalat wajib, beliau membaca wirid-wirid yang disyari’atkan, beristigfar tiga kali lalu bubar.[217]
  • Di antara kesalahan yang terjadi adalah meninggalkan salam saat baru bertemu (sekalipun tidak lama berpisah), dan hadits Al-Musi’ Shalatahu adalah dalil disyari’atkanya mengucapkan salam seklipun pertemuan sebelumnya berlalu selang beberapa waktu. Dan Imam Nawawi rahimahullah memberikan bab di dalam kitab riadhus shalihin tentang hadits Al-Musi’ Shalatahu, yaitu ((bab isthbaabu I’adatis salam ala man takarrara liqaa’ahu ala Qurbin bi an dakhala tsumma kharaja tsumma dkhala fil haal au haala bainahumaa syajarotun au nahwaha/ Bab dianjurkannya mengulangi salam bagi orang yang pertemuannya berkali-kali selang beberapa saat, yaitu dalam masa yang berdekatan; sekedar masuk kemudian keluar lalu masuk pada saat yang sama atau dihalangi oleh sebuah pohon atau yang lainnya)).
  • Ada beberapa bentuk penghormatan lain yang disyari’atkan, seperti mengucapkan: مَرْحَبًا (Selamat datang), tetapi yang paling utama agar penghormatan ini diucapkan bersamaan dengan salam, maka tidak boleh mencukupkan diri dengannya tanpa dibarengi salam. Sebagaimana yang diriwaytkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhu, ia berkata: Saat utusan Abdul Qois mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau menyambut mereka dengan mengucapkan:

مَـرْحَبًا بِالْـوَفْـدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى

“Selamat datang dengan utusan yang datang tanpa terhina dan penyesalan”. Lalu mereka berkata: Wahai Rasulullah! Kita adalah bagian dari penduduk desa Rabi’ah, dan jarak di antara kami dan dirimu terpisah oleh suku Mudhar, kami tidak bisa mendatangimu kecuali pada bulan-bulan haram, maka perintahkanlah kepada kami dengan perkara yang jelas, yang dengannya kami bisa masuk surga dan sebagai bekal yang kami akan dakwahkan kepada orang-orang di belakang kami..”.[218] Dalam hadits yang shahih Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَتىَ الرَّجُـلُ الْقَـوْمَ فَقَالُوْا مَرْحَبًا فَمَرْحَبًا بِهِ يَـوْمَ يَلْـقَى رَبَّهُ

Apabila seseorang mendatangi suatu kaum kemudian mereka mengucapkan:  مَرْحَبًا maka keselamatan baginya pada hari dia bertemu dengan Tuhannya”.[219]

  • Dan di antara cara memberikan penghormatan yang praktis adalah berjabat tangan, berpelukan dan mencium.
  • Adapun brjabat tangan. Dijelaskan dalam hadits shahih dari Anas, dia berkata: Pada saat penduduk Yaman mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: (Telah datang kepadamu penduduk Yaman) dan mereka adalah orang yang pertama datang dengan berjabat tangan”.[220]

Diriwayakan dari Abu Dawud Rahimahullah dan yang lainnya bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shallallahu alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

"Tidaklah dua orang muslim saling berjabat tangan kecuali dosa-dosa mereka akan diampuni sebelum mereka berdua berpisah".[221] Dari Anas radhiallahu anhu: Seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah! Salah seorang di antara kami menemui sahabatnya yang lain, apakah dia harus tunduk kepadanya (sebagai penghormatan baginya)? Rasulullah menjawab: "Tidak", lalu shahabat tersebut bertanya kembali: Apakah dia harus memeluknya dan menciumnya? Rasulullah menjawab: "Tidak", lalu shahabat tersebut kembali bertanya: "Apakah dia harus berjabat tangan dengannya?" Maka Rasulullah menjawab: Ya, jika dia mau melakukannya".[222] Sebagaimana tidak dianjurkan untuk mencabut tangan saat berjabatan tangan sampai shahabatnya tersebut yang memulai mencabut tangannya sendiri, sebagimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa dia berkata: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika menyambut seseorang dan menjabat tangannya maka beliau tidak mencabut tangannya sendiri sampai orang tersebutlah yang memulai mencabut tangannya".[223]

Adapun berpelukan. para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan (khusus untuk menyambut orang yang baru datang dari) perjalanan, sebagian ulama mengatakan bahwa berpelukan disyari'atkan juga dalam keadaan tidak musafir jika waktu berpisah cukup lama atau orang yang berkunjung adalah seorang yang mempunyai kedudukan dan wibawa dan mereka butuh dengan sikap seperti ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Turmudzi rahihullah dalam kitab Al-Syama'il dan yang lainnya bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatangi rumah Abi Al-Tayhan-salah seorang shahabat-maka pada saat dia melihat bahwa yang datang adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia segera mendatangi beliau dan memeluk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam padahal rumahnya ada di Madinah.[224]

Adapun mencium. Maka para ulama menyebutkan dibolehkannya mencium kepala, adapun mencium tangan maka sebagian ulama membenci hal tersebut, disebutkan dari syekhul Islam rahimhullah bahwa sebagian ulama menyebutnya sebagai sajdah sugro (sujud kecil).

Adapun mencium kedua pipi dan mulut. Maka perbuatan tersebut dilarang dan tidak boleh, dan larangan ini menjadi kuat bahkan hukumnya menjadi haram jika dibarengi dengan meningkatnya syahwat. Yang disyari’atkan adalah mencium kepala. Dan sebagian mereka membolehkan mencium tangan orang-orang shaleh dan para ulama yang mulia jika seseorang melakukannya karena dorongan (keistiqomahannya) di dalam agama dan dimakruhkan mencium tangan selain mereka dan tidak diperbolehkan sama sekali mencium tangan seorang lelaki remaja yang tampan, dan disebutkan di dalam catatan pinggir fatawa Imam Nawawi rahimhullah Ta’ala: Apabila seseorang ingin mencium tangan orang lain karena kezuhudan, kesalehan, keilmuan, kemuliaan dan kedudukannya atau yang lainnya dari kemuliaan karena agama maka hal itu tidak dimakruhkan bahkan dianjurkan, sebab Abu Ubaidah telah mencium tangan Umar radhiallahu anhu, namun jika karena kekayaan, harta, kekuasaan dan wibawa terhadap orang yang ahli dunia dan yang seperti mereka maka perbuatan itu sangat dibenci.[225]

  • Tidak termasuk kebiasaan generasi salaf dari sejak Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan khulafair rasyidin membiasakan berdiri (saat menyambut Nabi shallallahu alaihi wa sallam), sebagaimana yang diperbuat oleh sebagian besar orang, bahkan Anas bin Malik radhiallahu anhu mengatakan tentang para shahabat (bahwa tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, namun saat mereka melihat beliau, mereka tidak pernah beridiri untuk menyambutnya karena mereka mengetahui bahwa beliau membenci perbuatan tersebut)[226], akan tetapi terkadang mereka bangkit untuk menyambut orang yang baru datang untuk menemuinya, sebagaimana diriwayatkan  dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bangkit berdiri untuk menyambut Ikrimah,  dan beliau juga memerintahkan kepada kaum Anshar saat Sa’ad bin Mu’adz ra kembali: “Berdirilah untuk menyambut pemimpin kalian”, yaitu setelah beliau kembali memberikan keputusan hukuman bagi Yahudi Bani Quraidhah.[227]

Jika kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa menghormati orang yang baru datang dengan cara berdiri, dan seandainya ditinggalkan orang beranggapan bahwa hal tersebut berarti meninggalkan hak orang yang baru datang, sementara mereka belum mengetahui perbuatan yang sesuai dengan sunnah, maka yang lebih baik adalah berdiri menyambut orang yang baru datang tersebut sebab hal ini lebih baik dalam menjaga kedamaian antar sesama dan menghindarkan timbulnya permusuhan dan saling benci. Adapun orang mengetahui bahwa kebiasaan suatu masyarakat adalah berbuat sesuatu yang sesuai dengan sunnah, maka meniggalkan berdiri untuk menyambut orang yang baru datang tidak termasuk menyakiti orang yang baru datang tersebut.([228])[229]

Dianjurkan bagi orang yang terhalang menjawab salam sudaranya untuk meminta maaf kepadanya dan menjelaskan alasannya. Diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutusnya ke negeri Yaman, dia menceritakan: "Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam sambil mengucapkan salam  kepadanya, namun beliau tidak menjawabku, akhirnya hatiku merasakan sesuatu yang Allah lebih tahu dengannya, aku berkata di dalam diriku: Jangan-jangan beliau marah karena keterlambatanku mendatanginya”, kemudian, aku kembali mengucapkan salam kepadanya, namun beliau tetap tidak menjawab salamku, maka aku merasa tidak enak di dalam hatiku lebih dari apa yang aku rasakan pada salam yang pertama, lalu aku kembali mengucapkan salam yang ketiga untuknya, kemudian beliau menjawab salamku, lalu bersabda: "Hanya sanya yang menghalangi aku menjawab salammu adalah karena aku sedang shalat”. Dan pada saat itu beliau sedang shalat di atas hewan tunggangannya dan tidak menghadap kiblat.[230]

  • Mengucapkan salam dengan lisan dan isyarat secara bersamaan kepada orang yang bisu dan tuli.[231]
  • Disyari’atkan untuk mengucapkan salam  kepada penghuni kubur.
  • Imam Bukhari berkata dalam kitabnya: Al-Adabul Mufrod: Bab Jawabul Kitab, dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Saya berpendapat harus menjawab salam yang tertulis di dalam kitab sama seperti menjawab salam (yang terucap)”.[232]

 

23-ADAB MEMINTA IZIN

  • Isti’dzan adalah meminta izin untuk masuk pada tempat yang bukan miliki orang yang meminta izin….[233]
  • Disunnahkan untuk memulai dengan salam sebelum meminta izin, dari Rob’I, dia berkata: seorang lelaki dari Bani Amir berkata kepadaku bahwa dia meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat beliau berada di rumahnya: “Apakah saya boleh masuk?”, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada pembantunya:

أُخْـرُجْ إِلىَ هذَا فَعَلِّمْهُ اْلاِسْـتِئْذَانَ فَقُلْ لَهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟

“Keluarlah kepada orang ini dan ajarkan baginya cara meminta izin dan katakan kepadanya hendaklah dia mengatakan: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ "Apakah saya boleh masuk?.[234]

  • Orang yang sedang meminta izin seharusnya berdiri di sebelah kanan atau kiri pintu sehingga pandangannya tidak tertuju pada sesuatu yang ada di dalam rumah, di mana tuan rumah tidak ingin kalau hal tersebut dilirik oleh orang lain, dan sesungguhnya meminta izin tersebut disyari’atkan untuk menjaga pandangan.
  • Diharamkan bagi seseorang untuk melirik-lirik pada rumah orang lain kecuali dengan izinnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

مَنِ اطَّلَعَ فِي بَيْتِ قَـوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِـمْ فَـقَدْ حَلَّ لَهُمْ أَنْ يَـفْـقِؤُا عَيْنَهُ

“Barangsiapa yang melirik dalam rumah seseorang tanpa izin mereka maka telah halal bagi mereka untuk mencungkil matanya”.[235]

  • Seseorang harus memilih waktu yang tepat untuk meminta izin.
  • Meminta izin tersebut dilakukan sebanyak tiga kali, apabila tuan rumah memberikan izin kepadamu maka masuklah, namun seandainya tidak maka kembalilah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:إِذَا اسْـتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُـؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ

“Seandainya salah seorang di antara kalian telah meminta izin sebanyak tiga kali lalu tidak diizinkan baginya maka hendaklah dia kembali pulang”.[236] Dan jika dia mengira bahwa permintaan izinnya tidak di dengar, disebutkan dalam sebuah pendapat bahwa dia harus mengulangi meminta izin berdasarkan makna lahiriyah yang disimpulkan dari hadits di atas, dan dikatakan pula dalam sebuah pendapat bahwa hendaklah dia menambah permintaan izinnya sampai yakin kalau suaranya sudah terdengar oleh tuan rumah.[237]

  • Apabila tuan rumah berkata kepada orang yang sedang meminta izin: “Pulanglah!”, maka hendaklah dia kembali, berdasarkan firman Allah Ta’ala:   وَإِنْ قِـيْلَ لَكُمُ ارْجِـعُوْا فَارْجِـعُوْا هُـوَ أَزْكَى لَكُمْ

“Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu”[238]. Dan seorang muslim seharusnya tidak merasa berat jika disuruh untuk kembali sebab hal itu sebagai pembersih jiwa.

  • Janganlah seorang yang meminta izin megatakan “Ana/saya (tanpa menyebut nama dan identitas pribadi”, Jika dia ditanya: Siapakah anda?. Berdasarkan hadits riwayat Jabir radhialahu anhu, ia berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam urusan hutang yang ditanggung oleh bapakku, maka aku mengetuk pintunya, lalu beliau bertanya: Siapakah ini? Maka aku menjawab: “Saya”, beliau menimpali: “Saya, saya (tanpa menyebut nama atau identitas”, seakan tidak suka dengan jawaban tersebut”.[239]
  • Hendaknya seorang yang sedang meminta izin untuk tidak mengetuk pintu dengan keras; seperti diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa dia menceritakan: Pintu Nabi shallallahu alaihi wa sallam diketuk dengan kuku”.[240]
  • Seorang yang sedang meminta izin tidak diperbolehkan masuk rumah jika di dalam rumah tersebut tidak ada orang sebab hal itu termasuk melangkahi hak orang lain secara zalim.
  • Diam sesaat setelah meminta izin karena kemungkinan adanya halangan, lalu barulah dia meminta kembali untuk masuk, di dalam Al-Shahihaini dari Abi Wa’il, ia berkata: Kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu pada suatu pagi setelah menunaikan shalat, lalu kami mengucapkan salam di pintu, maka diapun mengizinkan kami, lalu kami berhenti di depan pintu beberapa saat.  Abi Wa’il melanjutkan: Lalu keluarlah seorang pembantu rumahnya dan bertanya: “Tidakkah kalian masuk? Lalu kami masuk dan beliau kami dapatkan sedang bertasbih, kemudian beliau bertanya: “Apakah yang menghalangi kalian untuk masuk padahal kalian telah diberi izin?, maka kami menjawab: Tidak ada yang menghalangi kami, hanya kami mengira bahwa sebagian penghuni rumah sedang tertidur”.[241]
  • Bahwa orang yang dipanggil atau dikirim baginya seorang utusan untuk memanggilnya maka dia tidak perlu untuk memunta izin, berdasarkan hadits Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

!ِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلىَ الطَّعَامَ  فَجَاءَ مَعَ الْرَّسُـوْلِ فَإِنَّ ذلِكَ لَهُ إِذْنٌ

"Apaibila seseorang di antara kalian diundang untuk sebuah jamuan lalu dia datang bersama utusannya maka hal itu adalah izin baginya”.[242] Sebagian ahli ilmu mengecualikan bagi orang yang terlambat datang dari waktu undangan atau dia berada pada sebuah tempat yang mengharuskan dia secara adat untuk meminta izin maka mintalah izin.([243])[244]

  • Dianjurkan untuk meminta izin saat akan bangkit dan meninggalkan majlis; berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

     إِذَا زَارَ أَحَـدُكُمْ أَخَاهُ فَجَلسَ عِنْدَهُ فَلاَ يَقُـوْمَنَّ حَتىَّ يَسْتَأْذِنَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian mengunjungi saudaranya dan duduk di sisinya maka janganlah dia bangkit dari majlis tersebut sampai dia meminta izin kepadanya”.[245]

  • Seseorang harus meminta izin kepada ibu, saudari dan orang yang seperti mereka (saat akan ingin masuk kepadanya).
  • Dianjurkan untuk mengingatkan istri saat suami ingin masuk kepadanya.
  • Orang-orang yang sering mondar-mandir di kalangan keluarga, seperti budak dan lelaki yang belum balig harus meminta izin (saat ingin masuk) pada tiga waktu, yaitu sebelum shalat fajar, saat tidur siang, dan setelah shalat isya’.
  • Cara meminta izin adalah mengucapkan salam: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ Apakah saya boleh masuk?.
  • Jika suatu rumah tidak berpenghuni dan  seorang muslim mempunyai kebutuhan terhadapnya, maka Allah menjelaskan dalam firmanNya:

لَيْسَ عَلـَيْكُمْ جـُنَاحٌ أَنْ تَدْخـُلُوْا بـُيُوْتًا غَيْرَ مَسْكُوْنَةٍ فِيْهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تُـبْدُوْنَ وَمَا تَكـْتُمُوْنَ

“Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan”.[246] Termasuk dalam masalah ini tempat-tempat berjual beli, pasar-pasar dan hotel-hotel dan yang lainnya.

  • Kewajiban meminta izin menjadi gugur pada kondisi-kondisi yang darurat, seperti terjadinya kebakaran dan pencurian.
  • Meminta izin kepada orang yang sedang sholat, jika orang tersebut lelaki maka pemberian izinnya dengan mengucpkan: سُبْحَانَ اللهِ   , dan jika perempuan maka cukup baginya dengan bertepuk. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

إِذَا اسْتَأْذَنَ عَلىَ الرَّجُلِ وَهُوَ يُصَليِّ فَإِذْنُهُ التَّسْبِيْحُ وَإِذَا اسْـتَأْذَنَ عَلىَ اْلمَرْأَةِ وَهِيَ تُصَليِّ فَإِذْنُهَا التَّصْفِِيْقُ

“Apabila seseorang meminta izin kepada seorang lelaki pada saat dia sedang shalat maka pemberian izin diisyaratkan dengan tasbih, dan jika dia meminta izin kepada seorang perempuan yang sedang shalat maka pemberian izin dengan bertepuk”.[247]

  • Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam bab (Ma Ja’a Fil Mizah) dari Auf bin Malik Al-Asyja’I, dia berkata: Aku mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada perang Tabuk, saat itu beliau berada pada sebuah kubah yang terbuat dari kulit, maka aku mengucapkan salam kepadanya, lalu menjawab salamku dan memerintahkan: “Masuklah” Aku menjawab: “Apakah seluruh diriku wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Ya, seluruh bagianmu”, barulah aku masuk.[248]

 

24- ADAB BERTAMU

  • Memuliakan tamu hukumnya wajid, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:    

  مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya".[249]

Adapun masa penjamuannya  ialah sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ

"Menjamu tamu itu tiga hari adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal di saudaranya sehingga ia menyakitinya, para sahabat berkata: ya Rasulallah bagaimana menyakitinya? Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: Tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya". [250]

  • Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu ia berkata:

لَمَّا قَـدِمَ وَفْدُ أَبِي اْلقَيْسِ عَلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَرْحَبًا بِاْلوَفْدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَابَا وَلاَ نَدَامَى

"Tatkala utusan Abi Qois datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda: Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal".[251]

  • Wajib memenuhi undangan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:       وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

"Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya."[252]

Beliau juga bersabda: 

    حَقُّ اْلمُسْلِمِ عَلىَ اْلمُسْلِمِ خَمسْ ٌ- وَذَكَرَ مِنْهَا – وَإِجَابَةُ الدَّعْـوَةِ

"Kewajiban seorang muslim kepada muslim yang lainnya ada lima-diantaranya disebutkan-Memenuhi undangan".[253]

Sebagian para ulama menyebutkan untuk menghadiri undangan maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  • Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
  • Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
  • Orang yang mengundang adalah muslim.
  •  Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan, sementara ulama yang lain mengatakan dosanya bagi orang yang mengundang, berbeda dengan jika sesuatu yang diharamkan itu zatnya, seperti minuman keras.
  • Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
  • Tidak ada madharat bagi orang yang menghadiri undangan.
  • Sebagian ahli fiqh berkata: Wajib bagi tamu memenuhi empat syarat: Pertama: Duduk di mana dia ditempatkan.

Kedua: Ridho dengan apa-apa yang dihidangkan.

Ketiga: Tidak beranjak meninggalkan tempat duduk melainkan setelah meminta izin dari tuan rumah.

Keempat: Berdo'a bagi tuan rumah bila hendak pamitan pulang.

  • Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: "Dan di antara adab orang yang bertamu adalah tidak melirik-lirik makanan dengan matanya, bila diberi pilihan di antara dua makanan, maka hendaklah dia memilih yang lebih kiri (darinya) kecuali ia mengetahui bahwa orang yang menghidangkan itu senang jika dia mengambil makanan yang ada di sebelah kanan".[254]
  • Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ

"Bilamana salah seorang di antara kalian di undang, maka hadirilah, bilamana ia puasa maka berdo'alah dan bilamana tidak maka makanlah".[255]

  • Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertamu kepada Abdullah bin Amr,' kemudian ia mengambil karpet untuk beliau yang terbuat dari kulit di mana ujung-ujungnya lembut sekali, lalu beliau duduk di atas tanah dan karpet tersebut berada diantara Nabi dan Abdullah bin Amr'.[256]
  • Bilamana seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, maka ia harus meminta izin kepada tuan rumah sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu:

كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ.  

"Ada seorang laki-laki di kalangan Ansor yang biasa di panggil Abu Syuaib, Ia mempunyai seorang anak tukang daging kemudian ia berkata kepadanya: Buatkan aku makanan di mana aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengundang empat orang di mana orang yang kelimanya adalah beliau, kemudian ada seseorang yang mengikutinya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata: Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami, bilamana engkau ridho izinkanlah ia, dan bilamana tidak maka aku akan meninggalkannya, Kemudian Abu Suaib berkata: Aku telah mengizinkannya".[257]

  • Pelayan orang besar (terpandang) hendaknya mengikuti undangan tersebut sesuai dengan perkataan Anas radhiallahu anhu. Seseorang mengundang Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian aku berangkat bersamanya, orang itu menghidangkan kuah yang didalamnya ada dhuba (Semacam mentimun besar), Rasulullah menyukai dan memakan kuah tersebut, tatkala aku melihat hal itu, aku tidak mengambil makanan tersebut dan tidak pula memakannya, Anas berkata:  Aku senantiasa senang dengan makanan dhuba.[258]
  • Tidak selayaknya berlebih-lebihan dalam menjamu tamu, sehingga keluar dari kewajaran dan standar berlebih-lebihan itu dilihat dari kebiasaan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:"Janganlah memaksakan diri berlebih-lebihan menjamu tamu".[259]
  • Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga berpaling setelah beres memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana di jelaskan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:

يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ

"Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizikan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak maknannya, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan  maka keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar"[260]

Oleh karena itu berusahalah untuk tidak memberatkan tuan rumah.

  • Mendahulukan yang lebih tua dari yang muda serta mendahulukan yang lebih kanan dari yang kiri, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tatkala beliau memberikan minuman pada suatu kaum beliau berkata:  اِبْدَؤُوْا بِاْلَكبِيْرِ   "Mulailah dari yang tua".[261]

Beliau juga berkata :           مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا  

 "Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami".[262]

Hadits ini merupakan penghormatan kepada orang tua.

Al-Albani rahimahullah berkomentar setelah membawakan hadits Ibnu Umar radhiallahu anhu dia berkata: shallallahu alaihi wa sallam bersabda:                                       أَمَرَنِي جِبْرِيْلُ أَنْ أُقَدِّمَ اْلأَكَابِرَ

"Jibril memerintahkanku untuk mendahulukan yang lebih tua". Dan hadits Rofi' bin Khudaij serta hadits Suhail bin Abi Hasmah keduanya berkata (dalam hadits al Qosamah) Berangkatlah Abdul Rahman bin Suhail sedangkan ia orang yang paling muda yang ada di kelompok tersebut. Dia mendahului berbicara sebelum kedua temannya, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegurnya: "Dahulukan orang tua, orang tua adalah orang yang lebih tua usianya". Juga hadits Aisyah radhiallahu anha, ia berkata: "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersiwak sedangkan disampingnya ada dua orang laki-laki maka turunlah wahyu kepadanya, supaya memberikan siwak kepada orang yang lebih tua".

Al Muhallibi berkata: Hal ini apabila kaum tersebut tidak duduk secara tertib, namun bilamana duduknya tertib maka disunahkan mendahulukan yang kanan.[263]

Kemudian Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Habibah radhiallahu anhu dia ditanya apakah engkau mendapatkan sesuatu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Abdullah bin Abi Habibah radhialllahu anhu menjawab: "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendatangi masjid kami (masjid Quba), kemudian aku datang, waktu itu aku masih kecil dan aku duduk di samping kanannya (Rasulullah) dan Abu Bakr duduk di sebelah kirinya. Beliau meminta minuman lalu minum dari air tersebut, kemudian beliau memberikan minuman tersebut kepada-ku, di mana aku berada di samping kanannya, kemudian aku meminumnya lalu berdiri melaksanakan sholat dan beliau sholat dengan memakai kedua sendalnya". Al-Albani rahimahullah berkata: "Hadits ini merupakan dalil bahwasannya yang memberi minum itu dimulai dari sebelah kanan dan bukan orang yang paling tua dari kaum tersebut atau orang yang paling alim atau paling mulia".

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tatkala minum, di samping kanannya terdapat orang badui dan di samping kirinya Abu Bakr, dan Umar berada di hadapannya. Umar radhiallahu anhu berkata: Wahai Rasulallah! Berikan kepada Abu Bakr dan Ia takut kalau Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan minuman tersebut kepada orang baduy tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam enggan memberikannya kepada Abu Bakr kemudian beliau memberikannya kepada orang baduy sambil berkata:

اَْلأَيْمَنُوْن َاَْلأَيْمَنُوْنَ, اَْلأَيْمَنُوَْن                                      

"Dahulukan yang sebelah kanan, dahulukan yang sebelah kanan, dahulukan sebelah kanan".[264]

  • Seorang tamu hendaknya mendo'akan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut dengan do'a:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ.            "Telah berbuka di samping kalian orang-orang yang puasa dan memakan makanan kalian yang paling bagus semoga malaikat mendo'akan kalian semuanya".[265]

اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي,وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي

:"Ya Allah berilah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan berilah minum kepada orang yang telah memberikan kepadaku minuman".[266]

اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

:"Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rizki mereka".[267]

  • Disunahkan tidak mengarahkankan pandangan kepada teman duduknya dan mengutamakan orang yang lebih butuh dari pada dirinya, bilamana di belakangnya ada orang yang berdiri, perintahkan dia supaya duduk dan bilamana menolak maka biarkanlah. Ataupun orang yang berdiri itu seorang hamba sahaya dan pelayannya, karena ingin sesuatu maka berilah dia minum dan ambilkan dari makanan yang terbaik kemudian menyuapkannya, bilamana dia makan bersama orang buta beri tahukan tentang makanan yang ada dihadapannya.
  • Tidak mengapa saling memberi makanan satu sama lainnya, akan tidak boleh berpindah-pindah dalam menyantap satu hidangan ke hidangan yang lain. Bagi orang yang menyediakan makanan atau salah seorang keluarganya diperbolehkan menyediakan makanan yang khusus bagi tamu tertentu yaitu makanan yang baik bagi sebagian tamu selama hal tersebut tidak menyakiti yang lainnya, sebab hal itu diperbolehkan bagi orang-orang khusus atau di sunahkan memberikan (ke-khususan) kepadanya.
  • Menghidangkan apa yang ada tanpa berlebih-lebihan dan tidak meminta izin mereka ketika mau menghidangkan makanan tersebut.
  • Dari adab orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.
  • Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan dengan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, merasa kehilangan tatkala pamitan pulang, tidak berbicara dengan suatu masalah yang dapat mengagetkan mereka, tidak marah pada seseorang di hadapan mereka bahkan berusaha memberikan kegembiraan pada hati-hati mereka semaksimal mungkin dan menanyakan ketidakhadiran anak-anak mereka secukupnya.
  • Tidak menunggu kehadiran sahabat karibnya bilamana jamuan telah dihidangkan.
  • Mengundang mereka untuk menyantap makanan dengan bahasa yang paling indah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman yang mengisahkan tamunya Nabi Ibrahim Alaihissalam:

فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ (26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ

"Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging sapi (26) kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka sambil berkata: Tidakkah kalian makan".[268]

  • Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim Alaihissalam: فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِم ْ"Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka".[269]
  • Tamu meminta persetujuan pelayan untuk menyantap makanan dan tidak menanyakan kepada tuan rumah tentang keadaan rumah kecuali kiblat dan WC. Tamu juga tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan untuk menghormatinya, dan tidak menahan diri untuk mencuci ke dua tangan. Bilamana dia melihat tuan rumah bertindak dengan sautu tindakan maka dia tidak menghalanginya untuk melakukan hal seperti itu.
  • Diperbolehkan memakan makanan yang ada di rumah kerabat dan teman karib bilamana makanan itu berada pada tempat yang tidak  terjaga, apabila dia mengetahui atau menduga kerelaan orang yang memiliki memakan tersebut menurut adat kebiasaan yang ada.
  • Tidak banyak melihat pada arah datangnya makanan.
  • Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
  • Imam Ibnu Jauzi rahimahullah berkata: Dan janganlah dia memberatkan temannya untuk mengatakan kepada tamu “makanlah” bahkan berusaha untuk selalu bermuka manis dan tidak bermuka masam. Tidak membuat hal yang menjijikan orang lain, tidak mengibaskan tangannya di atas piringnya, juga tidak mendekatkan wajahnya ke piring makanan tatkala dia menyuap makanan ke dalam mulutnya, bilamana ia mengeluarkan sesuatu dari mulutnya untuk dibuang maka hendaklah dia memalingkan wajahnya dari makanan dan memegang wajahnya dengan tangan kirinya, tidak memasukan sisa suapan ke dalam kuah, dan tidak memasukan makanan yang berlemak ke dalam cuka, serta tidak mencelupkan cuka ke dalam makanan yang berlemak sebab hal tersebut membuat tamu yang lain tidak senang.
  • Termasuk adab (bertamu), tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
  • Seyogyanya tuan rumah tidak mengangkat tangan dari hidangan sampai mereka selesai menyantap hidangan kecuali dia mengetahui kerelaan mereka dengan hal tersebut.
  • Makan diatas sufroh (seperai makan) lebih diutamakan daripada makan diatas meja makan. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas r.a beliau berkata: "Bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak makan di atas meja makan juga tidak makan roti yang lembut hingga akhir hayatnya".[270]
  • Di sunnahkan mengiringi tamu hingga pintu rumah. Tatkala Abu Abdul Qosim bin Abdus Salam berkunjung kepada Imam Ahmad bin Hambal semoga Allah merahmati mereka berdua. Abu Ubaid berkata: Tatkala aku hendak berdiri diapun berdiri, aku berkata kepadanya: “Jangan engkau lakukan itu wahai Abu Abdallah, As Sya'bi berkata:  “Dari kesempurnaan sikap berkunjung adalah berjalan bersamanya ke pintu rumah hingga mengambilkan tali kendaraannya.[271]
  • Hendaknya orang yang berkunjung mendo'akan tuan rumah yang bertaqwa dan tidak fasik dengan do'a dibawah ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:   

        لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ

"Janganlah engkau berteman melainkan dengan orang mu'min, dan jangan memakan makanan kalian melainkan orang yang bertaqwa".[272]

  • Tidak mengkhususkan jamuan hanya untuk orang kaya saja dan menghiraukan orang miskin sebagaimana Abu hurairah berkata radhiallahu anhu: "Sejelek-jeleknya makanan adalah makanan orang hajatan, di mana yang di undang hanya orang-orang kaya sedangkan orang-orang miskin di biarkan saja, barang siapa yang tidak menghadiri undangan maka ia telah berbuat dosa kepada Allah dan Rasul-Nya".[273]
  • Seorang tamu hendaknya pulang dengan memperlihatkan budi pekerti yang mulia dan meminta maaf pada tuan rumah atas segala kekurangannya.
  • Dari Abu Abdur Rahman bin Abu Bakr As Siddiq semoga Allah merido'i mereka berdua beliau berkata: Datang kepada kami sekelompok tamu, sementara ayahku ingin menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari sejak malam. Abu Abdurrahman bercerita: Maka ayahku pergi (menuju Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), kemudian berpesan: Wahai Abdur Rahman selesaikanlah urusan tamumu. Abdur Rahman bercerita: Tatkala malam tiba aku menjamu mereka. Abdul Rahman berkata: “Mereka menolak sambil berkata: (Kami tidak menyantap hidangan ini) sampai datang tuan rumah kami dan makan bersama kami". Abdul Rahman berkata: Aku berkata pada mereka: Dia (Abu Bakr) adalah orang yang keras, bilamana kalian tidak makan aku takut terkena amarahnya. Abdul Rahman berkata: "Mereka tetap menolak", Maka tatkala dia datang, dia tidak memulai menyantap makanan mendahului mereka. Abu Bakr bertanya: “Apakah kalian telah selesai menyantap hidangan kalian?”, Mereka menjawab: “Demi Allah belum”, Abu Bakr berkata: “Tidakkah aku perintahkan Abdur Rahman?” Abdul Rahman berkata: “Kemudian aku berpaling darinya” lalu dia berkata: “Hai Abdul Rahman!” Aku tetap berpaling darinya. Maka ia berkata: “Hai bodoh aku bersumpah padamu bilamana engkau mendengar suaraku kemarilah!”. Abdul Rahman berkata: “Kemudian aku menghadap kepadanya, dan berkata: Demi Allah, aku tidak berdosa, mereka itu tamu-tamumu, tanyakan kepada mereka!, aku telah membawakan kepada mereka hidangan dan mereka menolak untuk menyantapnya hingga engkau datang”. Abdul Rahman berkata: “Abu Bakr bertanya: "Mengapa kalian menolak hidangan dari kami?" Abdul Rahman berkata: Berkata Abu Bakr: Aku tidak akan memberi makan padanya malam ini. Mereka menjawab: "Demi Allah kami tidak akan makan hingga engkau memberikan makanan kepadanya". Abdul Rahman berkata: "Aku tidak pernah mengalami keburukan seperti apa yang menimpaku pada malam ini, celaka kalian mengapa kalian menolak hidangan bagi kalian", kemudian Abu Bakr berkata: "Adapun yang pertama adalah dari setan, makanlah hidangan kalian. Kemudian mereka membaca basmalah dan memulai menyantap makanan. Abdur Rahman berkata: Tatkala hari sudah siang dia pergi kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian berkata: Wahai Rasulullah mereka berbuat baik sedangkan aku menyia-nyiakannya, maka dia menceritakan peristiwanya, kemudian Rasulullah mengabarkannya dan bersabda: (Engkau orang yang paling baik dan terpilih diantara mereka) Abu Bakr berkata: Engkau tidak mengabarkan padaku untuk menebus dosanya".[274]

 

  Kesimpulan hadits ini adalah

  • Tidak menghiraukan tamu karena sibuk dengan suatu pekerjaan dan kemaslahatan, hal itu boleh dilakukan apabila ada orang yang bisa melayaninya.
  • Bagi tamu tidak dianjurkan menahan dirinya untuk memenuhi keinginan tuan rumah dalam masalah yang berhubungan dengan hidangan, dan tidak pula menghalanginya untuk menyediakan hidangan tersebut baginya. Namun, bilamana ia mengetahui bahwa tuan rumah memaksakan diri menyediakan hidangan tersebut dengan susah payah karena malu darinya, maka hendaklah dia menolaknya dengan lembut, sebab bisa jadi tuan rumah bermaksud lain di mana dia merasa berat baginya menampakkan maksud tersebut dan merasa berat pula menolak kehendak tamunya.
  • Bercakap-cakap dengan tamu dan keluarga, sebagaimana Imam Bukhari menulis sebuah bab dalam kitabnya (Bab Fi Qaulid Dhaif Li Shahibihi Laa Akulu Hatta Ta'kulu/ Bab perkataan tamu pada temannya saya tidak akan makan hingga engkau makan) sebab para tamu menolak hidangan itu karena ada kemaslahatan yaitu mungkin Abu Bakr tidak mendapatkan makan malam.
  • Bersembunyi karena khawatir akan sesuatu yang menyakitkan, perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh seorang anak terhadap ayahnya.
  • Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah Swt:

     فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوْا"Bila kamu selesai makan maka keluarlah".[275]

  • Abu Bakr bin Abi Dunya meriwayatkan, beliau berkata: Berkata Abu Abdul Qosim bin Salam: Suatu ketika aku berkunjung kepada Ahmad bin Hanbal, saat aku memasuki rumahnya ia berdiri dan memelukku, kemudian mendudukkanku di tempat duduknya, aku berkata: "Wahai Abu Abdallah! bukankah di katakan bahwasanya tuan rumah lebih berhak untuk duduk di depan rumahnya atau di tempat duduknya". Beliau berkata: "Benar,  dia boleh duduk dan mendudukkan siapa saja yang diinginkannya". Aku berkata dalam hatiku: "Wahai Abu Ubaid! Ambillah hal ini sebagai pelajaran untukmu", kemudian aku berkata: "Wahai Abu Abdallah!, seandainya aku mendatangimu sebatas keberhakanmu, maka aku akan mendatangimu setiap hari", ia berkata: "Janganlah berkata seperti itu, sesungguhnya aku mempunyai beberapa saudara yang tidak pernah aku temui di selama satu  tahun melainkan setahun sekali saja, dan aku percaya akan kecintaan mereka dari pada orang yang temui setiap hari", Aku berkata dalam hati: "Ini sebuah pelajaran yang lain wahai Abu Ubaid", Lalu tatkala aku hendak berdiri ia berdiri bersamaku. Aku berkata: "Wahai Abu Abdallah! janganlah engkau lakukan hal itu", Kemudian ia berkata: Berkata As Sya'bi: Dari kesempurnaan pelayanan bagi orang yang sedang berkunjung adalah berjalan bersamanya sampai pintu rumah dan mengambil (tali) kendaraannya", Aku berkata: "Wahai Abu Abdallah! dari siapa As Sya'bi meriwayatkan adab seperti ini? beliau berkata: Ibnu Abi Za'idah dari Mujalid dari As Sya'bi. Aku berkata dalam hatiku: Wahai Abu Ubaid ini adalah pelajaran yang ketiga bagimu.[276]

 

25- ADAB DUDUK DI DALAM MAJLIS

  • Di anjurkan untuk memperbanyak dzikir pada majlis-majlis pertemuan, serta dilarang duduk ditempat yang tidak disebut Nama Allah Subhanahu Wa Ta'ala padanya, hal itu sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

مَامِنْ قَـوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ َوكَانَ لَهُمْ حَسْرَةٌ

"Tidaklah sekelompok kaum beranjak dari tempat duduknya yang tidak disebutkan di dalamnya nama Allah, melainkan seakan mereka beranjak dari bangkai keledai dan mereka berada dalam kerugian".[277]

  • Ada jeda waktu dalam memberikan nasehat dalam majlis sebab dikhawatirkan akan membosankan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu sesungguhnya ia menyampaikan ceramah setiap hari kamis, kemudian seseorang berkata kepadanya: "Wahai Abu Abdur Rahman kami sangat menyukai dan menyenangi mendengarkan ceramahmu. Kami berharap seandainya engkau menyampaikan ceramahmu setiap hari, kemudian ia berkata: "Tidak ada halangan bagiku untuk berceramah setiap hari kepada kalian, akan tetapi aku takut kalian bosan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan jeda waktu dalam memberikan nasehat kepada kami karena takut membosankan kami.
  • Memilih teman yang baik untuk duduk bersamanya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

  اَْلمَرْءُ عَلىَ دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَاِللْ

"Kebaikan agama seseorang sangat tergantung pada agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapakah yang menjadi sahabat karibnya".[278]

  • Mengucapkan salam kepada orang yang ada dalam majlis tatkala masuk dan keluar darinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam :

إِذِا اْنتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى مَجْلِسٍ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ ثُمَّ إِنْ قَامَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ اِلآخِر

"Bilamana kalian telah sampai pada sebuah majlis hendaklah mengucapkan salam, dan apabila ingin duduk maka duduklah, kemudian apabila ingin pergi maka ucapkanlah salam, sebab bukanlah yang pertama itu lebih berhak daripada yang terakhir".[279]

  • Di makruhkan membangunkan seseorang dari tempat duduknya kemudian dia menempati tempat duduk tersebut, karena ada hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:"Melarang seseorang membangunkan orang lain yang sedang duduk (dari tempatnya yang semula) kemudian dia duduk padanya, akan tetapi bergeserlah dan berlapanglah".[280]

Ibnu Umar radhiallahu anhu membenci orang yang  membangunkan orang yang sedang duduk kemudian ia menempati tempat itu.

  • Berlapang-lapang dalam majlis sesuai dengan keumuman  firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي اْلمَجَالِسِ فَافْـسَحُوْا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ

"Wahai orang-orang yang beriman bilamana dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis" maka lapangkanlah niscaya Allah memberikan kelapangan untukmu".[281]

  • Tidak diperbolehkan memisahkan dua orang melainkan atas seizin mereka berdua sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:                               لاَ يَحِلُّ ِلرَجُلٍ أَنْ يُفَـرِّقَ بَيْنَ اْثنَيْنِ إِلاَّ بِإِذْنِهِمَا

 "Tidak halal bagi seseorang memisahkan dua orang melainkan atas izin mereka berdua".[282]

  • Duduk pada tempat di mana dia sampai padanya, sebagaimana perkataan Jabir bin Abdullah semoga Allah meridhai mereka berdua:

"Bilamana kami mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka salah seorang diantara kami duduk pada tempat dia sampai padanya".[283] Dan Ibnu Umar radhiallahu anhu bilamana seseorang berdiri untuknya dari majlisnya maka ia tidak mau duduk pada tempat tersebut.

  • Sebaik-baik tempat duduk adalah tempat yang paling luas, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abdur Rahman bin Abi Amrah Al Ansori beliau berkata: Abu Said Al Khudriy mengantar jenazah, dia telah datang terlambat di mana oang-orang telah menempati tempat duduknya masing-masing, ketika  orang-orang melihat kedatangannya mereka segera menyingkir dari tempat tersebut sehingga sebagian orang berdiri untuk memberikan tempat duduk baginya, lalu ia berkata: Janganlah (engkau hal lakukan hal ini) sesungguhnya aku mendengar Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:    خَيْرُ الْمَجَاِلسِ أَوْسَعُهَا ثُمَّ تَنَحَّى فَجَلَسَ فَي مَجْلِسٍ وَاسِعٍ

((Sebaik-baik tempat duduk adalah tempat yang paling luas)) kemudian dia menjauh dan duduk di tempat yang luas".[284]

  • Dilarang mendengarkan pembicaraan orang lain tanpa seizin orang yang bersangkutan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنِِِ اسْتَمَعَ إِلَى قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ أَوْ يَفِرُّوْنَ مِنْهُ صُبَّ فِي أُذُنِهِ اْلآنُكَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

"Barang siapa yang mendengarkan pembicaraan suatu kaum sedangkan mereka membencinya atau beranjak darinya niscaya dituangkan pada kedua telinganya timah mendidih di hari kiamat"[285]

  • Ada beberapa posisi duduk yang dilarang seperti:

seseorang meletakkan tangan kirinya dibelakang punggungnya, lalu bersandar pada daging tangan kanannya, yaitu pangkal ibu jari;  Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutnya sebagai duduknya orang-orang yang dimurkai (Yahudi)[286] juga dilarang duduk di bawah bayang-bayang matahari, sebab tempat tersebut adalah tempat duduknya setan.[287]

  • Dilarang banyak tertawa, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:                 لاَ تُكْثِرُوْا مِنَ الضَّحِكِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ

 "Janganlah banyak tertawa sebab banyak tertawa dapat mematikan hati".[288]

  • Dilarang berbisik-bisik dengan dua orang dengan menghiraukan orang ke tiga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:                                         لاَ َيتَنَاجَ اْثَنَانِ دُوْنَ الثَّالِثِ فَإِنَّ ذلِكَ يُخْزِنُهُ

"Janganlah dua orang berbisik-bisik dengan meninggalkan orang ketiga sebab hal itu dapat membuatnya sedih".[289] 

التناجي adalah dua orang berbicara dengan bisik-bisik dengan menghiraukan orang ketiga.

  • Dimakruhkan bersendawa di depan orang lain, sebagaimana dalam hadits bahwasanya seseorang bersendawa di samping Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian beliau bersabda:
كُفَّ عَنَّا جَشَاءَكَ فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ شَبْعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوْعًا يَوْمَ اْلِقَياَمَةِ

"Tahanlah bersendawamu dari kami, sebab sesungguhnya mereka yang paling banyak kenyang di dunia dan akan paling lama lapar  di akhirat".[290]

  • Tidak banyak menoleh ke segenap penjuru majlis sehingga menjadi perhatian orang lain.
  • Termasuk adab dalam duduk adalah tidak menjulurkan kaki dihadapan orang banyak kecuali ada uzur atau halangan.
  • Imam Bukhari rahimahullah berkata: (Babu Ma Yukarohu Minas Samri Ba'dal Isya'/Bab dimakruhkan bercakap-cakap setelah shalat Isya) kemudian beliau membawakan hadits Abi Barzah Al Aslami radhiallahu anhu bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenci tidur sebelumnya dan bercakap-cakap setelahnya. (yaitu setelah sholat Isya.Yang dimaksud dengan bercakap-cakap dalam terjemahan diatas adalah bercakap-cakap dalam perkara yang diperbolehkan, sebab perkara yang haram tidak dikhususkan dengan setelah sholat Isya bagi larangan perbuatan tersebut, bahkan haram membicarakannya di setiap saat. Umar bin khottob radhiallahu anhu pernah memukul seorang yang melakukan hal itu sambil berkata: Apakah pantas kau bercakap-cakap pada permulaan malam kemudian tertidur pada akhir malam".[291]
  • Disunnahkan menutup majlis dengan do'a kafarotul majlis sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

مَنْ جَلَسَ فَي مَجْلِسٍ فَكَثُرَ فِيْهِ لَغَطُهُ فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ  إِلَيْكَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ لَهُ مَاكَانَ فِي مَجْلِسِهِ ذلِكَ.

"Barang siapa yang duduk disuatu majlis yang didalamnya terdapat banyak senda guraunya kemudian berdo'a sebelum beranjak:

يَقُوْمَ سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ  إِلَيْكَ

((Maha suci Engkau ya Allah dengan segala puji bagimu aku bersaksi tiada tuhan yang berhak disembah selain Engkau aku meminta ampun dan bertaubat kepada-Mu)) melainkan Allah akan menghapus segala kesalahan yang ada di majlis tersebut"[292]               

 

26-ADAB BERBICARA

  • Hendaknya setiap muslim menjaga lidahnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad rahimahullah sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِِنَّ الرَّجلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يَضْحَكُ بِهَا جلَسَاءُهُ يَهْوِي بِهَا مِنْ أَبْعَدَ مِنَ الثُّرَيَّا

"Ada kalanya seseorang berbicara dengan suatu kata di mana orang disekelilingnya tertawa dengan ucapannya, namun dengan kata tersebut dia terpelanting ke tempat yang lebih jauh dari bintang tsuroyya". [293]

  • Berbicaralah dengan hal yang baik atau diam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  bersabda:

 مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْلِيَصْمُتْ

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka berbicaralah dengan baik atau diam".[294]

  • Berkata baik merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu shodakoh, hal ini sebagaimana tersirat dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  bersabda:

كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ صَدَقَةٌ,كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ:يَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صََدَقَةٌ,وَيُعِيْنُ الرَّجُلَ عَلىَ دَابَّتِهِ فَيَحْمِلُ عَلَيْهَا أَوْيَرْفَعُ مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَاْلكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ ...

"Setiap persendian tubuh manusia (membutuhkan) sodaqoh setiap hari tatkala terbit matahari, berbuat adil di antara dua orang adalah sodaqoh, menolong orang menunggangi hewan tunggangannya juga mengangkat barang bawaannya adalah sodaqoh dan berbicara dengan kalimat yang baik adalah sodaqoh".[295]

Bahkan orang yang berkata baik akan dijauhkan dari api neraka sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Adi' bin Hatim radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bercerita tentang api neraka kemudian beliau memalingkan wajahnya sambil minta perlindungan darinya,  lalu bercerita tentang api neraka kemudian beliau memalingkan wajahnya sambil minta perlindungan darinya, kemudian bersabda:   ِاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

"Jagalah diri kalian dari api neraka walau dengan sebelah kurma barang siapa yang tidak mendapatkannya maka dengan ucapan yang baik". [296]

  • Mendorong diri sedikit berbicara, sebab banyaknya berbicara akan menyebabkan seseorang terjerumus  kedalam perbuatan dosa, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَّي وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مِجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُوْنَ

"Dan sesungguhnya orang yang paling aku dibenci dari kalian dan paling jauh dariku di hari kiamat adalah orang yang banyak bicara".[297]

  • Menjauhi perbuatan ghibah, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:    وَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا  "Janganlah diantara kalian saling berbuat ghibah".[298]

 

Point Penting. Ghibah diperbolehkan pada enam tempat:

  1. Diperbolehkan bagi orang yang terzalimi menceritakan kezaliman orang lain kepada pemerintah dan hakim.
  2. Bertujuan untuk merubah kemungkaran.
  3. Meminta fatwa (Seperti halnya ia berkata Fulan menzalimiku dengan ini dan itu).
  4. Untuk mengingatkan dan menasehati kaum muslimin dari keburukan. (dengan maksud menasehati).
  5. Orang yang digibahi adalah seorang yang benar-benar menampakkan kefasikan dan kebid'ahannya.[299]
  6. Untuk memberikan keterangan kepada orang-orang (yang bertanya), bilamana orang tersebut terkenal dengan sebutan seperti bermata kabur, pincang dan buta, dan diharamkan memberikan keterangan itu dengan tujuan menghinakannya.[300]

 

Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam ghibah yang diperbolehkan, diantaranya adalah:

  1. Niat ikhlas hanya untuk mencari keridho’an Allah semata.
  2. Berusaha untuk tidak menyebutkan nama orang tertentu semaksimal mungkin.
  3. Mengingatkan seseorang dengan apa yang diperbolehkan baginya.
  4. Berkeyakinan bahwa tidak akan ada kerusakan lebih besar yang diakibatkan oleh point-point penting yang disebutkan di atas.

 

Sebab-sebab yang mendorong seseorang berbuat ghibah:

  1. Menyalurkan kemarahan, hendaknya ia ingat akan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَزَّوَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ اْلحُوْرِ مَاشَاءَ

"Barang siapa yang menahan kemarahan, padahal dia mampu untuk melakukannya maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan menyerunya atas di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat, untuk memilih bidadari yang dikehendakinya".[301]

  1. Menyesuaikan diri dalam pergaulan dan sengaja mengada-adakan sikap baik kepada teman. Hendaklah dia mengingat akan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:           

    وَمَنِ اْلتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكََلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ

"Barangsiapa mencari kerelaan manusia dengan (berbuat sesuatu yang) dibenci oleh Allah maka Allah pasti menyerahkan urusannya kepada manusia".[302]

  1. Hendak meninggikan derajat dirinya dengan cara mengejek orang lain. Obat bagi orang yang memiliki sifat tersebut adalah mengetahui bahwasannya apa-apa yang dimiliki oleh Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.
  2. Bersenda gurau dan bercanda. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبَ لِيَضْحَكَ بِهِ اْلقَوْمُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

"Celaka bagi orang yang berkata kemudian berbohong supaya orang-orang tertawa, maka celaka baginya, maka celaka baginya".[303]

  1. Iri dengki, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ:اَْلإِيْمَانُ وَاْلحَسَدُ

  "Tidaklah berkumpul dalam hati seorang hamba: iman dan sifat dengki.[304]

  1. Menisbatkan sesuatu pada orang lain dengan maksud membersihkan diri darinya.
  2. Banyak waktu yang kosong.
  3. Untuk mendekatkan diri kepada pemimpin dan penguasa.

 

 

 

Beberapa perkara yang tidak dikategorikan sebagai ghibah padahal ia adalah bukan ghibah

  1. Seseorang terkadang berbuat ghibah tetapi apabila dibantah dia berkata: (Saya siap mempertegas ucapan tersebut di hadapannya).
  2. Perkataan orang di depan halayak ramai tatkala menceritakan seseorang (Kita berlindung pada Allah dari kurangnya rasa malu) atau (Fulan demi Allah melewati batas).
  3. Perkataan seseorang, orang itu terkena musibah dengan ini (lalu menceritakan kejelekannya).
  4. Menganggap enteng membicarakan kejelekan orang yang berbuat maksiat.
  • Menjauhi perbuatan mengadu domba sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamلاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ قَتَّاتٌ

"Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba".[305]

 

Point Penting. Enam perkara yang harus diperhatikan oleh orang yang menerima namimah:

  1. Tidak membenarkannya.
  2. Melarang dan menasehati (pelaku namimah) agar dia menjauhi perbuatan tersebut
  3. Membencinya karena Allah sebab hal tersebut dibenci oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
  4. Tidak berprasangka buruk pada saudaranya yang tidak ada di hadapannya.
  5. Tidak memata-matai dan mencari kesalahan orang lain.
  6. Dia tidak merelakan bagi dirinya apa-apa yang telah dilarangnya (dari perbuatan namimah) tentang pribadinya, maka janganlah menceritakan perbuatan namimah orang tentang dirinya ia berkata: Fulan mengisahkan padaku seperti itu kemudian jadilah ia seorang pengadu domba.
  • Dilarang menceritakan setiap pembicaraan yang didengar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَاسَمِعَ

"Cukuplah bagi seseorang berbuat dosa dengan menceritakan setiap apa yang didengarnya".[306]

  • Jauhilah berbuat bohong, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:                            يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا اتْقُوْا اللهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّدِقِيْن

"Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan jadilah kalian bersama-sama orang yang benar .[307]

Selain itu, terdapat hadits riwayat Samurah bin Jundab radhiallahu anhu tentang mimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda:

"… Akan tetapi malam itu aku bermimpi melihat dua orang laki-laki datang kepadaku kemudian mereka berdua memegang kedua tanganku dan membawaku keluar pergi ke tanah suci, tatkala itu ada seseorang yang sedang duduk dan yang lain berdiri, sementara ditangannya terdapat besi yang ujungnya bengkok. Sebagian teman-teman kami meriwayatkan dari Musa hadits riwayat musa dengan lafaz "bahwa dia memasukkan besi tersebut ke bagian mulutnya sehingga menembus kepalanya yang bagian belakang, kemudian melakukannya kembali ke bagian mulut yang lain seperti apa yang dilakukan sebelumnya, akhirnya bagian mulutnya menjadi menyatu, namun tatkala mulutnya kembali seperti sediakala, dia kembali mengulangi perbuatannya. Aku berkata: "Apa ini?" Mereka berdua menjawab pergilah …) Diakhir hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata pada kedua orang tersebut:" Pada malam ini kalian telah membawaku berkeliling, maka beritahukanlah kepadaku tentang apa yang telah aku lihat. Mereka berdua berkata: Adapun orang yang engkau lihat merobek mulutnya, maka orang itu adalah pembohong, ia mengada-adakan kebohongan kemudian menanggung akibatnya hingga ke ujung dunia sampai hari kiamat….)[308]

 

Diperbolehkan berbohong dalam tiga tempat:

  1. Mendamaikan manusia.
  2. Berbohong dalam peperangan.
  3. Perkataan suami terhadap Istrinya dan perkataan istri terhadap suaminya.

Adapun dalil diperbolehkannya hal tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
لاَ أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ, يَقُوْلُ اْلقَوْلَ وَلاَ يُرِيْدُ بِهِ إِلاَّ اْلإْصْلاَحَ, وَالرَّجُلُ يَقُوْلُ فِي اْلحَرْبِ, وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ اْمرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا 

"Aku tidak menganggap berbohong seorang yang (berbohong) untuk mendamaikan perselisihan antara manusia, yaitu dengan mengatakan satu perkataan yang bohong di mana dia tidak menghendaki dengannya kecuali perdamaian, juga seorang laki-laki yang berkata bohong dalam peperangan dan seorang suami yang berkata bohong kepada Istrinya, dan seorang istri yang berbohong kepada suaminya ".[309]

  • Dilarang berkata kotor dan berbuat kotor, serta setiap perkataan yang keji. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلاَ مُتَفحِّشًا

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukanlah seorang yang berkata kotor dan berbuat kotor".[310]

  • Keutamaan orang yang meninggalkan berdebat walaupun dia benar. sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فَي رَبََضِ اْلجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

"Aku adalah pemimpin pada sebuah tempat di surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia benar". [311]

Al Miro' adalah jidal/berdebat.

  • Dilarang membuat orang tertawa dengan cara berbohong. sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  :

وَيْلٌ ِللَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبَ لِيَضْحَكَ بِهِ الْقَوْمِ وَيْلٌ لَهٌ وَيْلٌ لَهُ

"Celaka orang yang berbicara kemudian berbohong supaya orang-orang menertawakannya celaka baginya, celaka baginya".[312]

Semestinya seseorang meninggalkan banyak tertawa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

لاَ تُكْثِرُوْا مِنَ الضَّحِكِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ

"Janganlah kalian banyak tertawa sebab banyak tertawa menyebabkan matinya hati".[313]

  • Apabila seseorang berbicara dengan saudaranya kemudian dia menoleh kepadanya maka itu adalah amanah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:    

    إِذَا حَدَّثَ الَّرجُلُ بِاْلحَدِيْثِ ثُمَّ اْلتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ

"Bilamana seorang membicarakan sesuatu kemudian dia menoleh kepadanya maka itu adalah amanah".[314] 

  • Mendahulukan orang yang lebih tua dalam berbicara, dan berbicara harus dengan suara yang terang dan tidak rendah serta harus dengan kalimat yang jelas yang dapat dipahami oleh semua orang dengan tidak mengada-ada dan berlebih-lebihan.
  • Tidak memotong pembicaraan orang lain, sebagaimana yang diceritakan tentang Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berbicara dengan kaumnya lalu masuk kepadanya seorang badui, kemudian bertanya kepadanya tentang hari kiamat, namun Rasulullah tetap meneruskan pembicaraannya bersama para shahabat, setelah selesai beliau berkata: “Manakah orang yang sebelumnya bertanya tentang hati kiamat?, maka barulah beliau menjawab pertanyaan orang tersebut.[315]
  • Berbicara dengan pelan-pelan dan tidak pula tergesa-gesa, sebagaimana diceritakan tentang Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa apabila beliau bicara dengan tentang sesuatu, seandainya ada orang yang menghitung ucapannya nya niscaya dia bisa terhitung).[316] Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak berbicara secara terus menerus, beliau bicara dengan suatu kalimat yang dan dan terperinci sehingga orang yang mendengarnya menjadi hafal.[317]
  • Berbicara dengan suara, pelan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: وَاغْضُضْ مِنْ َصوِْتكَ   "Pelankanlah suaramu". [318]
  • Menjauhi kata-kata yang haram, seperti mengkafiran orang lain, bersumpah dengan selain nama Allah, perkataan seseorang: “Celaka manusia”, bersumpah dengan thalak serta mencaci maki masa.
  • Meninggalkan mementingkan diri sendiri dalam berbicara.
  • Tidak menceritakan tentang pribadi untuk membanggakan diri sendiri sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: 

   فَلاَ تُزَكُّـوا أَْنفُسَكُمْ

 "Maka Janganlah kamu mengatakan dirimu suci". "[319].

juga tidak mengagungkan diri sendiri dengan mengatakan aku, kami berpendapat dan sebagainya.

  • Menjaga perasaan orang lain, Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: “Di antara mereka ada orang yang dirasuki oleh dorongan semangatnya (ruh) ini adalah keadaan yang berat lagi dibenci, dia adalah wujud akal yang tidak pantas berbicara untuk memberikan manfaat bagimu, atau tidak bisa berdiam dengan baik sehingga bisa mengambil pelajaran darimu, serta tidak mengetahui dirinya sendiri sehingga bisa menempatkan dirinya pada tempatnya.
  • Tidak mengungkapkan cacian kepada khalayak.
  • Hendaknya ia meninggalkan beberapa hal di bawah ini:

q  Banyak bertanya dan sengaja mengada-ada pertanyaan tersebut sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًاوَمِنْهَا َكثْرَةُ السُّؤَالِ

"Dan membenci tiga hal dari kalian salah satunya adalah cerewet dalam bertanya".[320]

q  Tergesa-gesa memberikan jawaban.

q  Tergesa-gesa memberikan pendapat, baik dalam hal yang kecil atau yang besar.

q  Sibuk mengahadapi orang-orang randah dan hina.

q  Berbicara tidak sesuai dengan keadaan.

q  Berbicara yang tidak keruan sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:       منْ حُسْنِ إِسْلاَمِ اْلمَرْءِ  َترْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ

"Dari kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya".[321]

q  Berbicara disamping orang yang tidak menyukainya.

q  Mengulang-ulangi omongan.

q  Meninggikan diri terhadap orang yang mendengarkan omongan.

q  Tidak mendengarkan orang lain yang berbicara dengan baik.

q  Menganggap remeh terhadap pembicaraan orang lain.

q  Meminta orang lain untuk mempercepat menyelesaikan perkataannya.

q  Meninggalkan orang padahal seseorang belum menyelesaikan perkataannya.

q  Tergesa-gesa memvonis orang yang berbicara sebagai pembohong.

q  Menyepelekan perkataan orang yang masih muda belia.

q  Tergesa-gesa menyebarkan suatu berita sebelum nampak fakta yang kongkrit (tentang kebenaran berita tersebut) dan belum jelas manfaat menyebarkannya.

q  Mendengarkan dan menerima perkataan orang secara langsung tanpa menyaring dan menseleksi kebenaran berita tersebut.

q  Kasar dalam memanggil orang. Allah Subhanahu Wa Ta’al berfirman:

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُوْلُ الَّتيِ هِيَ أَحْسَن,إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِغُ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ ِلِْلإِنْسَانِ عَُدًّوا مُبِيًْا

"Katakanlah kepada hamba-hambaku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang baik (benar), sesungguhnya syaitan menimbulkan perselisihan diantara mereka, sesungguhnya syaitan merupakan musuh yang nyata bagi manusia".[322]

Pada ayat yang lain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:    

      وَقُوْلُوْا ِللنَّاسِ حُسْنًا"Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia".".[323]

q  Kasar dalam mencela.

q  Tidak mengetahui adab berdiskusi.

q  Tidak menghiraukan perasaan orang lain.

q  Bersikap apriori terhadap teman bicara.

q  Bergaya bahasa menantang dan menyerang.

q   Masa bodoh dengan nama teman bicara.

q  Mengabaikan prinsif-prinsif yang benar.

q  Ngotot dengan kesalahan dan enggan kembali kepada yang hak.

q  Tidak menguasai materi diskusi.

q  Memvonis saat diskusi berlangsung.

q  Bercabang dalam judul pembicaraan dan keluar dari fokus semula.

q  Senang membantah dan bertentangan.

q  Tenggelam dalam membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat.

q  Banyak saling mencela.

q  Banyak mengeluh kepada orang-orang.

q  Banyak membicarakan tentang perempuan.

q  Banyak bermain-main/senda gurau.

q  Banyak bercanda.

q  Banyak bersumpah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَاحْفَظُوْا أَيْمَانَكُمْ "Jagalah sumpah-sumpah kalian".[324]

q  Mencri-cari kesalahan teman duduk.

q  Menampakkan kebosanan terhadap teman duduk.

q  Membebankan teman duduknya untuk melayaninya.

q  Melakukan suatu hal yang bertentangan dengan rasa di dalam majlis seperti membersihkan gigi dengan tusuk gigi, meludah di hadapan orang banyak, terbahak-bahak, dan memain-mainkan kumis serta jenggot.

q  Melakukan kemungkaran di dalam majlis.

q  Menghadiri majlis yang di dalamnya terdapat kemungkaran dan menemani mereka melakukan hal tersebut.

q  Duduk dengan posisi yang tidak mencerminkan sopan santun.

q  Duduk di tengah-tengah lingkaran orang banyak.

q  Memaksakan diri berbicara secara fasih sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

سَيَكُوْنُ قَوْمٌ يَأْكُلُوْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ كَمَا تَأْكُلُ الْبَقَرَةُ مِنَ اْلأَرْضِ

"Akan ada suatu kaum dimana mereka makan dari hasil lisan-lisan mereka sebagaimana sapi memakan makanan dari bumi".[325]

q  Janganlah membawa suatu perkataan apabila engkau tidak bisa membawakannya seperti yang sebenarnya".

q  Senantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk menutup aib saudara semuslim, hal ini sebagaimana di beritakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

   لاَ يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba yang lainnya di dunia melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat nanti".[326]

q  Menjaga agar tidak menamai dengan gelar-gelar yang jelek sebagaimana Allah berfirman:                       وَلاَ تَنَابَزُوْا بِاْلأَلْقَابِ   

"Janganlah kamu panggil-memanggil  dengan memakai gelar-gelar yang buruk".[327]

dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala pula: وَيْلٌ ِلكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ

"Celaka bagi pengumpat lagi  pencela"[328]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

بِحَِسَبٍ اْمرِئٍ مِنَ الشَّـرِّ أَنْ َيحْقِـرَ أَخَاهُ اْلمُسْلِمَ

"Cukuplah seseorang berbuat dosa yaitu mengejek saudaranya yang muslim".[329]

  • Apabila seseorang berbicara dengan suatu kaum, maka tidak boleh baginya mengarahkan pandangannnya kepada orang tertentu tanpa yang lainnya.
  • Apabila seseorang salah dalam mengatakan suatu perkataan walaupun perkataan itu mengandung kekufuran dimana lisannya ceroboh dengan ucapan tersebut, maka janganlah perkataan tersebut dijadikan sebagai modal untuk menjelekannya. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

ِللهِ أَشَدُّ فَرَحًا بَتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِيْنَ يَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلىَ رَاحِلَتِهِ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ, فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا َطعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا, وَقَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَاِلكَ إِذَا هُوَبِهَا قَاِئمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ُثمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ اْلفَرْحِ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ اْلفَرَحِ

"Sesungguhnya Allah lebih gembira dengan taubat seorang hambaNya tatkala ia bertaubat kepadaNya dari seseorang yang bersama hewan tunggangannya di suatu padang yang luas, kemudian hewan itu menghilang darinya sedangkan makanan dan minumannya ada padanya. Lalu ia merebahkan badannya dibawah pohon karena telah putus asa dengan hewannya itu. Namun, tatkala dia bangun, tiba-tiba hewan tersebut berdiri dihadapannya, kemudian ia mengambil tali pengikatnya sambil berkata dengan perasaan yang sangat bahagia: “Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhanMu”, Ia salah mengucapkannya karena kegembiraannya".[330]

 

27-ADAB TERTAWA

  • Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menciptakan tertawa, sebagaimana firmanNya:  وَأَنه ُُهوَ أَضحكَ وَأَبكى"Dialah dzat Allah yang menciptakan tertawa dan menangis". [331]
  • Tertawa adalah sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana disebutkan di dalam hadits:

يَضْحَكُ اللهُ إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا ْالآخَرَ يَدْخُلاَنِ الْجَنَّةَ,يُقَاِتلُ هذَا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيُقْـتَل, ثُمَّ يَتُوْبُ اللهُ عَلىَ اْلآخَرِ فَيُسَلِمَ فَيُقَاِتلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيَسْتَشْهِدَ

"Allah Subhanahu Wa Ta’ala tertawa terhadap dua orang, dimana salah satunya membunuh yang lain dan mereka berdua masuk surga. Yaitu seseorang berjihad dijalan Allah kemudian dia terbunuh padanya, lalu Allah menerima taubat orang yang membunuh tersebut setelah masuk Islam, kemudian ia berjihad dijalan Allah dan akhirnya mati sahid".[332]

  • Memperbanyak ketawa adalah sifat tercela sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
وَالَّذِي نَفْسِي ِبيَدِهِ لَوْتَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا

"Demi Dzat yang diriku berada di tanganNya seandainya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, niscaya kalian pasti akan sedikit tertawa dan banyak menangis ".[333]

Juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

لاَ تُكْثِرُوْا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكَ تُمِْيتُ اْلقَلْبَ

"Janganlah kalian banyak tertawa, sebab banyak tertawa menyebabkan hati  menjadi mati".[334] 

  • Para ulama memasukkan tertawa yang banyak tanpa sebab sebagai dosa kecil, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
إِيَاكَ وَكَثْرَةَ الضَّحِكَ فَإِنَّهُ يُمِيْتُ اْلقَلْبَ

"Berhati-hatilah dengan banyak tertawa sebab ia menyebabkan hati menjadi mati".[335] 

  • Terdapat riwayat tentang sifat tertawanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam: "Bahwasannya tertawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (sama seperti) tersenyum".[336]
  • Terkadang tertawa menyebabkan kekufuran apabila tertawanya untuk mengejek apa-apa yang diturunkan Allah atau sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
  • Tidak diperbolehkan berbohong untuk ditertawakan oleh orang lain, hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:               وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبَ لِيَضْحَكَ بِهِ اْلقَوْمُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

"Celaka bagi orang yang berkata kemudian berbohong supaya orang-orang tertawa, maka celaka baginya, maka celaka baginya".[337]

  • Disebutkan bahwasannya Nabi shallallahu alaihi wa sallam terkadang duduk dalam suatu majlis bersama para shahabatnya di mana mereka menceritakan suatu yang lucu dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya tersenyum dengannya.[338]
  • Sebagaimana yang diriwayatkan dari Samak bin Harb radhiallahu anhu ia berkata: Aku bertanya kepada Jabir bin Samurah: Apakah engkau pernah duduk bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?”. Dia menjawab: “Ya, seringkali beliau tidak beranjak meninggalkan tempat sholatnya pada waktu shubuh atau pagi sampai matahari terbit, apabila matahari terbit maka beliau bangkit (untuk melaksanakan shalat) dan mereka bercakap-cakap tentang suatu peristiwa di zaman jahiliyyah maka mereka tertawa-tawa sedangkan beliau hanya tersenyum saja.
  • Terdapat jenis manusia yang pandai bersendagurau seperti yang terjadi di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, terdapat seseorang bernama Abdullah, digelari dengan keledai dan dia terkadang membuat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tertawa.
  • Hal-hal yang menyebabkan tertawa adalah (karena gembira apabila melihat sesuatu yang menggembirakan, tertawa karena marah, disebabkan oleh keheranan orang yang marah).
  • Syariat menuntun untuk menciptakan suasana yang menyebabkan tertawa pada saat bersenda gurau dengan istri terutama yang masih perawan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Jabir tatkala ia menikah dengan seorang janda.
فَهَلاَّ جَاِريَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبَكَ وَتُضَاحِكَهَا وَتُضَاحِكَكَ

"Kenapa tidak menikahi seorang perawan, yang bisa mencandaimu dan engkau mencandainya serta engkau membuatnya tertawa begitu juga ia membuatmu tertawa".[339]

  • Meninggalkan senyum dan tertawa secara mutlak bukan termasuk sikap  orang yang berwibawa, pendiam dan bersungguh.
  • Tertawa yang mengeluarkan suara dapat merusak shalat. Sebagian ulama berkata: Ia tidak membuat shalat menjadi rusak sebab bukan perkataan, begitu juga tersenyum tidak merusak atau membatalkan shalat.

 

28-ADAB BERSENDA GURAU

  • Bercanda adalah perkataan yang dimaksudkan untuk melapangkan dada, dan tidak sampai menyakiti, bila menyakiti maka berubah menjadi mengejek.
  • Diriwayatkan bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bercanda, bahkan beliau becanda dengan saudara Anas bin Malik radhiallahu anhu dengan mengatakan: يَا أَبَا عُمَيْرُ ماَ فَعَلَ النُّغَيْرُ  “'Wahai Abu Umair apa yang dilakukan burung kecil". [340]

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bercanda dengan Anas bin Malik: "Wahai yang punya dua telinga".[341]

  • Bercanda juga dianjurkan di antara saudara dan sahabat sebab hal itu dapat membuat hati menjadi tenang.
  • Saat bercanda jangan sampai menuduh, menceritakan aib orang, tenggelam dalam canda yang dapat menurunkan harga diri, mengurangi kewibawaan pribadi, perkataan kotor yang dapat menimbulkan permusuhan, tidak memunculkan keributan dan tindakan bodoh, tidak memunculkan pengkhianatan dan tidak pula bermuatan kebohongan.
  • Di antara canda para shahabat radhiallahu anhum adalah saling melempar semangka, sementara dalam pentas realita mereka adalah para pejuang.
  • Di antara bercanda dan bermain yang tidak diperbolehkan sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayatkan Abdullah bin As Saib radhiallahu anhu dari Ayahnya dan dari kakeknya ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لاَعِبًا وَلاَ جِدًّا فَإِنْ أَخَذَ  أَحَدُكُمْ عَصَا صَاحِبِهِ فَلْيَرُدُّ إِلَيْهِ

"Janganlah seseorang diantara kalian mengambil harta saudaranya dengan main-main atau sengaja, Jika di antara kalian mengambil tongkat saudaranya maka hendaklah dia mengembalikannya".[342]

  • Tidak memperbanyak bersendra gurau, jika hal tersebut melewati batas sehingga terbentuk menjadi tabi’at pribadi, akhirnya menjatuhkan harga dirimu dan para penganggur mempermainkanmu.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang yang bersenda gurau:

  • Hendaknya senda gurau dilakukan pada waktunya yang sesuai.
  • Tidak tenggelam dan terlewat batas.                                                        
  • Tidak berbicara dengan perkataan yang buruk.
  • Tidak bersenda gurau dengan memperolok-olok agama.
  • Tidak bersendra gurau dengan orang-orang yang bodoh.
  • Hendaknya menjaga perasaaan orang lain.
  • Bersanda gurau dengan orang yang lebih tua dan alim dengan sesuatu yang pantas.
  • Tidak terbuai sampai tertawa terbahak-bahak.
  • Tidak memudharatkan diri sendiri.

 

29-ADAB MARAH

  • Al Jurjani berkata: Marah adalah perubahan yang terjadi saat darah yang ada di dalam hati bergejolak sehingga menimbulkan kepuasan di dalam dada. Marah adalah gejolak yang timbulkan oleh setan. dia mengakibatkan berbagai bencana dan malapetaka yang tak  seorangpun mengetahuinya melainkan Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
  • Al Ghozali rahimahullah berkata: Manusia berbeda-beda dalam tingkat gejolak kemarahannya, dan dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu: Kurang marah, marah yang melewati batas, dan marah yang stabil.

Kurang marah adalah hilangnya kekuatan gejolak marah atau gejolak amarahnya tersebut lemah.

Marah yang berlebih-lebihan adalah mendominasinya sifat amarah hingga mengalahkan kendali akal, agama dan ketaatan, sehingga tidak ada bagi orang seperti ini suatu kesadaran, fikiran dan inisiatif.

marah yang stabil adalah marah yang terpuji, terwujud setelah ada isyarat dari akal dan agama untuk melampiaskan kemarahan.

  • Al Ghozali rahimahullah berkata saat menjelaskan tentang–sebab-sebab marah (Di antara sebab-sebab timbulnya marah adalah: kezuhudan, bangga diri, bercanda, main-main, mengejek, mengolok-olok, berbantah-bantahan, saling bermusuhan, berkhianat, mengejar kelebihan harta duniawi dan pangkat, dan sebab yang paling banyak menimbulkan kemarahan adalah pengelabuan orang yang bodoh dengan menyebut kemarahan itu sebagai kemberanian, kejantanan, harga diri dan semangat yang tinggi.  
  • Marah itu ada yang terpuji dan ada yang tercela (yang diharamkan) dan ada yang diperbolehkan:

Marah yang terpuji adalah apabila marah itu bersumber dari Allah Azza Wa Jalla, seperti marah karena Allah Subhanhu Wa Ta'ala terhadap musuh-musuhNya dari golongan Yahudi dan orang-orang sepertinya, baik orang-orang kafir dan munafik. Marah yang terpuji jika motivasinya karena Allah Subhanhu Wa Ta'ala tatkala aturan-aturan Allah dihinakan, sebagaimana firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:

وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوْسَى مِنْ بَعْدِهِ مِنْ حُلِيِّهِمْ عِجْلاً جَسَدًا لَهُ خُوَارٌ أَلَمْ يَرَوْا أَنَّهُ لاَيُكَلِّمُهُمْ وَلاَ يَهْدِيْهِمْ سَبِيْلاً اِتَّخَذُوْهُ وَكَانُوْا ظَالِمِيْنَ(148) وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيْهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوْا قَالُوْا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْلَنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ(149)وَلَمَّا رَجَعَ مُوْسَى إِلَى قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُوْنِي مِنْ بَعْدِي, أَعَجِلْتُمْ أَمْرَرَبِّكُمْ وَأَلْقَى اْلأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيْهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ, قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ اْلقَوْمَ اسْتَضْعَفُوْنِي وَكاَدُوْا َيقْتُلُوْنَنِي فَلاَ تُشْمِتْ بِيَ اْلأَعْدَاءَ وَلاَ تَجْعَلْنِي مَعَ اْلقَوْمِ اَّلظالِمِيْنَ(150)قَالَ رَبِّ اغْفِرْلِي وَِلأَخِي وَأَدْخِلْنَا بِرَحْمَتِكَ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ(151)إِنَّ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا اْلعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي اْلحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِى اْلمُفْتَرِيْنَ (152)وَالَّذِيْنَ عَمِلُوْا السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُوْا ِمنْ بَعْدِهَا وَآمَنُوْا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُوْرٌ رَحِيْمٌ(153)وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوْسَى اْلغَضَبَ أَخَذَ اْلألَوْاَحَ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِيْنَ هُمْ ِلرَبِّهِمْ يَرْهَبُوْنَ(154)

"Dan kaum Musa setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan emas mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat pula menunjukkan jalan kepada mereka?. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan dan mereka adalah orang-orang yang zalim(148) Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, merekapun berkata: "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberikan rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami maka kami menjadi orang-orang yang merugi (149)Tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati, berkatalah dia:Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu, Dan musapun melemparkan luh luh taurat itu dan memegang rambut kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya. Harun berkata: wahai anak ibuku sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir merka membunuhku. Sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku. Dan janganlah kamu memasukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang dzalim (150) Musa berkata:Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukanlah kami ke dalam rahmat-Mu dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara yang penyayang (151) Sesunguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya) kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan di dalam kehidupan dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan (152) Orang-orang yang mengerjakan kejahatan kemudian bertaubat setelah itu dan beriman, sesungguhnya tuhan-mu setelah taubat yang disertai dengan iman adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (153)Sesudah amarah Musa reda, lalu diambilnya kembali luh-luh taurat; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut pada Tuhan-Nya.(154)[343]      

jadi marah yang terpuji adalah marah yang bisa dikendalikan oleh pelakunya  secara santun.[344]

  • Di antara marah yang tercela adalah marah karena fanatisme terhadap suku.
  • Marah yang diperbolehkan adalah marah yang bukan pada maksiat kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala sebagaimana firman-Nya:

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذلِكَ لَمِنْ عَزْمِ ْالأُمُوْرِ

"Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, maka sesungguhnya hal demikian itu termasuk keteguhan yang kuat".[345]

  • Di antara obat marah adalah niat yang benar dengan berharap kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala semoga Dia menghilangkan kemarahan yang ada pada dirinya.
  • Berdo'a kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala semoga Dia menjauhkan dirinya sifat marah ini.
  • Ingatlah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah dipancing untuk marah, yaitu ketika seorang badui menarik selendang dari leher beliau, walau demikian beliau tidak memaki dan membencinya.
  • Melatih jiwa untuk tidak marah.

 

Beberapa terapi syara' untuk mengobati marah:

  1. Berlindung  (kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala) dari godaan syaitan yang terlaknat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Shord, beliau berkata: Aku duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan di hadapannya ada dua orang yang saling mencela, salah satu dari kedua orang tersebut telah memerah wajahnya dan urat lehernya tegang, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي َلأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ:أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ

 "Aku mengetahui satu kalimat seandainya dia ucapkanniscaya akan hilanglah gejolak yang ada pada dirinya, seandainya ia membaca: (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ) "Aku berlindung pada Allah dari syaitan" niscaya hilanglah amarahnya)". [346] [347]

  1. Diam tidak berbicara.
  2. Apabila mampu meninggalkan tempat itu maka berdirilah lalu pergi.
  3. Bersikap tenang, yaitu duduk apabila sedang berdiri, atau tidur terlentang bilamana sedang duduk. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

  إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ, فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ اْلغَضَبَ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ

"Apabila salah seorang diantara kalian marah sedangkan dia berdiri maka hendaklah dia duduk, agar kemarahannya hilang, apabila masih beleum mereda maka hendaklah dia berbaringlah" [348]

Perawi hadits ini adalah Abu Dzar radhiallahu anhu, beliau menceritakan sebuah peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya: Bahwasannya ia telah mengambil air minum untuk dituangkan pada telaga miliknya, kemudian sekelompok orang datang dan berkata: "Siapakah orang yang mampu mendatangkan air untuk Abu Dzar sambil menghitung rambut kepalanya?". Seorang laki-laki menjawab: "Saya", maka datanglah lelaki tersebut dan mengambil air dari telaga itu, namun dia meleburkannya, merusaknya, atau menghancurkannya. Maksudnya adalah Abu Dzar meminta pertolongan dari lelaki tersebut untuk memberi minum untanya dari telaga itu, namun tiba-tiba orang itu berlaku buruk terhadapnya dan menyebabkan telaga itu hancur. ketika itu Abu Dzar berdiri kemudian duduk selanjutnya berbaring. Dikatakan kepadanya wahai Abu Dzar kenapa engkau duduk kemudian berbaring? Dia menjawab bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ….. kemudian beliau membacakan hadits diatas   

  1. Berwudlu, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

َالْغَضَبُ جَمْرَةٌ مِنْ َنارٍ فَاطْفِؤُوْهَا ِبالْوُضُوْءِ        

 "Marah itu adalah bara api maka padamkanlah dia dengan berwudlu".[349]

  1. Melaksanakan sholat, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Atsar:" Penghapus setiap perselisihan adalah dua raka'at (shalat sunnah)".[350]
  2.  Menjaga wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu anhu" Bahwa seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

أَوْصِنِي قَالَ:لاَ تَغْضَبْ, فَرَدَّدَ ذَلِكَ مِرَارًا قَالَ لاَ تَغْضَبْ

"Berilah aku wasiat beliau berkata: "Janganlah marah" Beliau mengulangi wasiat itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan: "Janganlah marah".[351]

  1. "Janganlah marah maka bagimu adalah surga".[352] Jika engkau mengingat apa-apa yang dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang  yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menjauhi sebab-sebab munculnya amarah baik bagaimana menahan amarah dan menolaknya, makahal ini sebagai tindakan yang paling besar yang membantu seseorang dalam memadamkan api kemarahan, juga mendapat pahala yang besar, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

مَنْ َكظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَاِدرٌ عَلىَ أَنْ يُنَفِّذَهُ, دَعَاهُ اللهُ عَزَّوَجَلَّ عَلىَ رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَ هُ مِنَ اْلحُوْرِ مَا شَاءَ

"Barang siapa yang menahan kemarahannya sedangkan ia mampu untuk melakukannya maka Allah azza wa jalla akan menyeru dia di hadapan seluruh manusia pada hari kiamat untuk dipilihkan baginya bidadari yang dikehendakinya".[353]

9.      Mengetahui derajat yang tinggi dan kedudukan istimewa yang akan diberikan kepada orang yang bisa menahan dirinya dari marah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ وَإِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ اْلغَضَبِ

"Bukanlah kuat itu dengan mengalahkan musuh saat bergulat, akan tetapi kuat itu adalah orang yang bisa menguasai dirinya tatkala marah".[354]

Dari Anas radhiallahu anhu bercerita bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melewati sekelompok kaum yang saling bergulat, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya: Apakah ini? mereka menjawab: "Dia pegulat yang ulung tidaklah seorangpun yang bergulat dengannyakecuali dia mengalahkannya kemudian beliau berkata:Tidakkah aku tunjukkan pada kalian yang lebih orang yang lebih kuat darinya, yaitu seorang yang dizalimi namun dia menahan kemarahanya kemudian dia mengalahkan orang yang menzaliminya dan mengalahkan syaitan diri serta mengalahkan syaitan saudaranya".[355] 

10.  Mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika marah. Dari Anas radhiallahu anhu berkata: Aku berjalan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, saat itu beliau memakai kain dari Najran  yang kasar pinggirnya kemudian seorang badui' datang menghampirinya dan menarik kain itu dengan tarikan yang sangat kuat,  sampai aku melihat pada leher Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di mana tarikan itu sampai membekas karena kuatnya tarikan tersebut, kemudian ia berkata: "Wahai Muhammad perintahkanlah (kepada kaummu untuk membagikan kepadaku harta dari Allah yang ada di padamu, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam meliriknya sambil tersenyum lalu beliau memerintahkan untuk diberikan bagian tertentu baginya" [356] Dan di antara petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah menjadikan amarah tersebut hanya karena Allah Subhanhu Wa Ta'ala yaitu bilamana tuntunan Allah Subhanhu Wa Ta'ala dilanggar inilah marah yang terpuji.

11.  Mengetahui bahwasanya menahan amarah adalah ciri orang yang bertakwa, hal itu sebagaimana firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:

اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ اْلغَيْظَ وَالْعَاِفيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ اْلمُحْسِنِيْنَ

         "Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya secara sembunyi dan terang-terangan dan orang yang menahan kemarahan serta memaafkan manusia, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik".[357]

12.  Sadar ketika di ingatkan, sebagaimana dalam sebuah atsar yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu anhu: Sesungguhnya seseorang meminta izin pada Umar radhiallahu anhu maka dia mengizinkannya dan ia berkata: "Wahai Ibnul Khattab demi Allah engkau tidak memberiku dengan pemberian yang banyak, tidak juga berhukum kepada kami dengan adil, seketika itu Umar radhiallahu anhu marah sehingga dia hendak memukulnya, namun Al Harb bin Qais (seorang teman duduk Umar) berkata: Wahai Amirul mu'minin sesungguhnya Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah berfirman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam:                    خُذِ الْعَفْوَ وَاْمُرْ بِاْلعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاِهلِيْنَ

         "Jadilah engkau pmaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh".[358] 

         "Sebab, sesungguhnya dia termasuk orang yang bodoh, demi Allah Umar radhiallahu anhu tidak meremehkan ayat tersebut saat dibacakan kepadanya ayat tersebut dan dia teguh dalam tuntunan kitab Allah az za wajalla.[359]   

13.    Mengetahui akibat buruk sikap marah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al Qomah bin Wail dari bapaknya radhiallahu anhu beliau bercerita kepadanya: Aku duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seseorang membawa orang yang sedang diborgol lalu dia berkata: "Ya Rasulallah dia telah membunuh saudaraku kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada lelaki yang diborgol tersebut: "Apakah engkau telah membunuhnya?", "Ya saya membunuhnya".Jawabnya. Beliau berkata: "Bagaimana engkau membunuhnya?" Orang itu menjawab: "Aku bersamanya mengambil dedaunan dari pohon untuk makanan ternak, kemudian ia mencelaku hingga membuatku marah kemudian aku memukulnya dengan kapak tepat pada batang lehernya akhirnya dia mati, …… [360]  

14.    Mengambil sikap diam, hal ini sebagai mana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallamإِذاَ غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ"Apabila salah seorang d iantara kalian marah maka hendaklah dia diam".[361]

15.    Hal yang dapat menahan kemarahan adalah do'a dan dari do'a Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ اْلحَقِّ فِي اْلغَضَبِ وَالِّرِضَا

         "Ya Allah aku memohon kepadamu perkataan yang hak di waktu marah dan Ridho". [362]

16.    Mengingat ayat atau hadits yang menceritakan keagungan menahan kemarahan serta keutamaan memberikan maaf dan berbuat bijaksana.

17.    Menjauhkan dirinya dari akibat permusuhan dan dendam serta berfikir tentang keburukan rupanya tatkala dia marah.

18.    Selalu berdzikir kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala:

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ اْلقُلُوْبِ

         "Ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati tentram".[363] 

19.    Memberikan hak badan untuk beristirahat.

 

30. ADAB MEMBERIKAN NASEHAT

  • Ikhlas dalam menasehati orang, yaitu hanya untuk mencari keridhoan Allah, melepaskan tanggung jawab dan agar dilihat oleh orang, didengar, serta terkenal atauuntuk menghina dan menyakiti orang yang dinasehati.
  • Menasehati orang hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan lemah lembut, sehingga orang yang dinasehati terpengaruh dan menerima nasehatnya. Sebagaimana di firmankan Allah Subahanhu Wa Ta'ala:

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمِْ بِالَّتِي هِيِ أَحْسَنَ

"Ajaklah manusia kejalan tuhanMu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik".[364]

  • Orang yang dinasehati hendaknya dalam keadaan menyendiri, sebab keadaan tersebut lebih kondusif untuk lebih diterima nasehat, maka barang siapa yang menasehati saudaranya dalam keadaan terbuka maka sesungguhnya ia telah memperburuk citranya dan barang siapa yang mensehatinya dalam keadaan menyendiri maka ia telah memperbaikinya.
  • Orang yang menasehati harus mengetahui tentang apa yang akan dinasehatkan, dan mempertegas berita yang sampai kepadanya (tentang orang yang dinasehati) sehingga dia mengingkari dan memerintahkan sesuatu berdasarkan ilmu dan ini lebih kondusif bagi diterimanya nasehat.
  • Hendaknya orang yang menasehati memperhatikan keadaan orang yang akan dinasehati, maka jangan menasehati orang pada saat  dia sendiri sibuk dengan suatu urusan, atau dia berada di tengah teman-teman dan kerabatnya, dan hendaklah mempertimbangkan perasaannya, kedudukaanya, pekerjaannya, dan problematika yang sedang dihadapinya .
  • Hendaknya orang yang memberikan nasehat melaksanakan nasehat tersebut sebelum memberikan nasehat kepada orang lain sehingga ia tidak termasuk golongan orang-orang yang memberikan nasehat sedangkan mereka melupakan dirinya, hal ini sebagaimana firman Allah melalui lisannya Nabi Syuaib Alaihisalam:     

      مَا أًُرِيْدُ أَنْ أُخَاِلفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهكُـمْ عَنْهُ

"Aku tidak berkehendak menyalahi kamu dengan mengerjakan apa yang aku larang"[365]

  Orang yang memberikan nasehat hendaknya bersabar terhadap bahaya yang terkadang mendatanginya, hal ini sebagaimana nasehat Lukmanul Hakim kepada anaknya:

يبُنَيَّ أَقِـمِ الصَّلاَةَ وَاْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاْنهَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلىَ مَا أَصَابَكَ

"Wahai anakku dirikanlah shalat dan perintahlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu"[366] 

 

31. ADAB MEMBERIKAN UCAPAN SELAMAT

  • Termasuk ucapan selamat adalah mendo'akan seseorang agar mendapat keberkahan, sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendo'akan orang yang mengunjunginya supaya mendapatkan berkah.
  • Apabila seseorang meminta sesuatu maka hendaknya dia berkata: "Berikan kepadaku barang tersebut, semoga Allah memberkahimu!". Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tatkala meminta kepada dua orang Malaikat untuk masuk ke rumahnya di surga, beliau mendo'akan mereka dengan keberkahan.
  • Al-Tarfi'ah adalah salah satu bentuk ucapan selamat yang diperuntukkan bagi orang yang menikah dan dahulu orang arab mengatakan:   بِالرَّفَاءِ وَالْبَنِيِنِ

Yang bermakna: Selamat atas pernikahan yang dipenuhi oleh rukun dan damai serta dan semoga mendapat anak keturunan lelaki"[367]

  • Mengucapkan selamat kepada seseorang karena dia berilmu, atau karena dia berada di dalam kebenaran, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengucapkan selamat kepada Ubay bin Ka'ab radhiallahu anhu tatkala ia ditanya tentang ayat yang paling agung dalam Al Qur'an.[368]
  • Ucapan selamat dalam pernikahan " َبارَكَ اللهُ عَلَيْكَ)  ) Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu, dan ucapan   وَبَارَكَ الله لَكَ Semoga Allah memberi keberkahan bagimu, dan  mengucapkan seperti di bawah ini: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْر))

"Semoga Allah memberkahimu dan memberi berkah kepadamu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan"[369] Dan ucapan selamat ini oleh orang yang hadir dalam acara pernikahan, setelah terjadinya akad, dan jika ucapan selamat dilakukan setelah jima' dinamakan tarfi'ah.

  • Didatangkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dua anak kecil kemudian beliau mendo'akan mereka agar mendapat keberkahan kemudian mentahniknya[370].
  • Disunnahkan mengucapkan selamat kepada orang yang selamat dari bencana, atau bagi orang yang mendapatkan kenikmatan, begitu juga bagi orang yang mendapatkan pekerjaan atau harta benda sambil mendo'akannya agar mendapat keberkahan padanya.
  • Disunnahkan pula mengucapkan selamat kepada orang yang mendapatkan ni'mat di dalam agama sebagaimana kisah Ka'ab bin Malik yang terdapat dalam kitab Bukhari-Muslim bahwasannya tatkala turun ayat:     إِنَّا فَتَحْنَا َلكَ فَتَحًا مُبِيْنًا

"Sesungguhnya aku menangkan engkau dengan kemengan yang nyata".[371]

  •  Maka para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata: Semoga selamat dan sukses.[372]
  • Imam As Suyuti dalam kitabnya "Bulughul Ma'ani Liusul At Tahani" meriwayatkan dari Umu Khalid binti Khalid bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memakaikan baju kepadanya, memakaikannya dengan kedua tangannya sambil berkata: "Abli wakhluki" sepertinya dia mendo'akannya.[373]
  • Ucapan selamat untuk hari raya hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh para sahabat radhiallahu anhum tentang kebolehannya, dan disebukan di dalam sebuah atsar dari Muhamad bin Ziyad beliau berkata: "Aku bersama Abi Umamah Al Bahili dan shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam lainnya, apabila pulang mereka dari hari raya Ied mereka saling mengucapkan:    تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ  

  ((Semoga Allah menerima amal kita dan kalian semua)).[374]

  • Mengucapkan selamat pada saat datang tahun atau bulan baru. Berkata Al-Hafidz Al Mundziri, ia menukil dari Al-Hafidz Al Maqdisi bahwasanya dia menjelaskan hal tersebut: Bahwasannya orang-orang masih berbeda pendapat tentang hal tersebut, adapun pendapatku bahwa itu adalah diperbolehkan bukan sunnah dan bukan pula bid'ah. Begitu juga Al Qolyubi menukil dari Ibnu Hajar radhiallahu anhu Bahwasanya secara umum mengucapkan ucapan selamat dengan datangnya bulan yang baru, hari raya dan tahun baru disunnahkan, pendapat ini juga adalah ringkasan dari apa yang dikatakan Ibnu Baz rahimhullah tatkala ia ditanya tentang masalah ini.[375]

 

32.ADAB MEMBERI KABAR GEMBIRA (AL-BISYAROH)

  • Al-Bisyaroh adalah sesuatu yang dapat melegakan hati seseorang, berupa urusan yang bisa menggembirakan.
  •  Al-Bisyaroh secara mutlak bermakna kabar gembira dengan kebaikan, dan terkadang secara bahasa Al-Bisyaroh digunakan secara terbatas pada hal yang berhubungan dengan kejelekan sebagaimana firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:    فَبَشِّرْهُـمْ بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ      "Maka gembirakanlah bahwa meraka akan menerima siksa yang pedih".[376]
  • Apabila seseorang mendapatkan sesuatu yang menggembirakan maka disunnahkan mengucapkan selamat dengan apa yang membuatnya gembira baik kebaikan dalam urusan agama atau dunia, bahkan para Malaikat telah memberi kabar gembira kepada Ibrahim Alaihissalam dengan anak yang penyantun lagi pintar.
  • Termasuk sunnah menceritakan berita kebaikan yang dapat melegakan dan menggembirakan.
  • Di antara waktu yang pantas untuk membangkitkan kegembiraan adalah pada waktu sakit, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberi kabar kepada Umu Ala radhiallhu anhu beliau berkata:

عَادَنِي النَّبِيُّ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مَرِيْضَةٌ فَقَالَ:أَبِْشِرِي يَا أُمَّ اْلعَلاَءِ فَإِنَّ مَرَضَ اْلمُسْلِمِ يُذْهِبُ اللهُ بِهِ خَطَايَاهُ كَمَا تُذْهِبُ النَّارَخَبَثَ الْذَّهَبِ وَاْلفِضَّةِ 

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjengukku dikala aku sakit maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Gembiralah! Umu Ala' bahwasanya sakitnya seorang muslim sebagai penghapus kesalahan seperti halnya api menghilangkan kotoran emas dan perak".[377]

  • Diantara orang-orang yang juga diberi kabar adalah para pelajar sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi rahimahullah dari Asim bin zurrin bin Hubais berkata kepadaku Sofwan bin Asal Al Muradi sedangkan aku hendak bertanya kepadanya tentang mengusap dua sepatu kemudian ia bertanya: Apa yang membuatmu datang kepadaku? Aku menjawab ingin mendapatkan ilmu, kemudian ia berkata: Bolehkah aku memberi kabar gembira untukmu?". Aku menjawab: "Tentu", kemudian ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

  إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا ِلطَاِلبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ

"Bahwasannya malaikat meletakkan sayapnya bagi pencari ilmu pertanda ridlo terhadap apa yang ia dicari".[378] 

  • Dari pemberitaan kabar baik juga adalah memberi kabar gembira dengan kemenangan sebagaimana terdapat dalam sunnah, oleh karena itulah Imam Bukhari rahimahullah menulis satu bab dalam kitabnya: Kiatabul Jihad Was Siyar/ kitab jihad dan sirah, bab memberi kabar gembira dengan kemenangan.
  • Di antara moment yang baik untuk memberi kabar gembira adalah pada seseorang yang akan meninggal dunia, sebagaimana saat Umar radhiallahu anhu ditikam maka datanglah kepadanya seorang pemuda dari Ansor kemudian ia berkata: Bergembiralah wahai Amirul mu'minin dengan kabar gembira dari Allah untukmu, engkau telah berbuat bagi Islam ini sebagaimana yang telah engkau ketahui.
  • Begitu juga memberi kabar gembira dengan kematian orang jahat sebagaimana kisah seorang sahabat yang telah membunuh Abu Rafi', sebab ia menghina Nabi shallallahu alaihi wa sallam, setelah dia berhasil membunuhnya, maka dia memberi kabar gembira kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang kematiannya.
  • Disunnahkan bagi orang yang menerima berita gembira memberikan sesuatu bagi orang yang membawa berita gembira tersebut, sebagaimana kisah Ka'ab bin Malik[379] radiallahuanhu bahwasannya ia telah memerdekakan hamba sahayanya Al Abbas, tatkala Hajjaj bin Allat mengabarkannya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang sesuatu membuatnya bergembira.
  • Perkataan sebagian orang (Datanglah dengan membawa kabar gembira) terdapat suatu pendapat dari ulama maka dia harus beritakan kepadanya kabar gembira.
  • Sebuah berita gembira (yang disampaikan) baik dalam urusan agama atau dunia, akan mendatangkan pahala bagi orang yang membawa berita gembira tersebut,  hal itu sebagaimana  kisah Umar radhiallahu anhu tatkala dia mengutus anaknya kepada Aisyah radhallahu anha untuk meminta izin supaya dikuburkan bersama dua temannya, maka tatkala Abdullah radhiallahu anhu menemuinya Umar berkata radhillahu anhu bertanya: "Apa yang engkau bawa?"  Dia menjawab: "Aku membawa apa yang engkau inginkan wahai amirul mu'minin, dia (Aisyah) mengizinkanmu, kemudian Umar berkata: Segala puji bagi Allah tidak ada urusan yang lebih penting bagiku selain ini.
  • Termasuk moment yang tepat untuk mengucapkan kegembiraan adalah saat seseorang datang meminta sesuatu dan ia mampu melaksanakannya, dianjurkan berkata: Bergembiralah. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam sunnah tatkala orang-orang mendengar bahwasannya Abu Ubaidah radhiallahu anhu datang dari Bahrain dengan membawa harta benda maka para shahabat berdatangan untuk melaksanakan shalat fajar bersama Rasulullah Subhanahu Wa Ta'ala lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Aku mengira bahwasanya kalian mendengar Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu, mereka menjawab: Benar, ya Rasulallah, kemudian beliau bersabda: bergembiralah dan berangan-anganlah.[380]
  • Di antara adab syara' dalam memberikan kabar gembira adalah bilamana seseorang menerima berita yang membuatnya gembira maka dia bersujud syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala pertanda terima kasih kepadaNya hal ini sebagaimana datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam Bilamana datang kepada beliau suatu urusan yang menggembirakan atau menerima berita gembira maka beliau bersujud syukur sebagai tanda terima kasih kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.[381]
  • Apabila datang kepada seorang perempuan lelaki shaleh yang akan melamarnya, maka dikatakan kepadanya: Bergembiralah!. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Zainab dan haditsnya shahih, yaitu tatkala dia selesai dari  masa iddahnya maka Rasulullah Subhanahu mengutus Zaid untuk mengatakan keinginan beliau kepadanya, Zaid berkata: "Aku pergi menemuinya dan berkata: Wahai Zainab bergembiralah bahwasannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutusku kepadamu dan beliau menyebutmu (melamarmu).[382]

 

33-ADAB MEMBERIKAN HADIAH

  • Hadiah, Pemberian, Shadaqah adalah aqad memberikan kepemilikan suatu barang kepada seseorang tanpa ganti.
  • Terdapat perintah untuk menerima hadiah apabila tidak terdapat padanya sesuatu yang syubhat dan haram. Disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:              

                 أِجِيْبُوْا الدَّاعِيَ وَلاَ تَرُدُّوْاالْهَدِيَّةَ وَلاَ تَضْرِبُوْا اْلمُسْلِمِيْنَ

“Penuhilah panggilan orang yang mengundangmu, janganlah engkau menolak hadiah dan jangan pula memukul orang Islam”.[383] Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مـَنْ أَتَاهُ اللهُ شَيْئًا مِنْ هذَا الْمَالِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسْأَلَهُ فَلْيَقْـبََْلْ فَإِنَّمَا هُـوَ رِزْقٌ سَاَقـَهُ اللهُ إِلَيْهِ

“Barangsiapa yang diberikan oleh Allah harta tanpa mengemisnya dari orang lain maka hendaklah dia menerimanya sebab hal itu adalah rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya”.[384]

  • Dan di antara kemuliaan akhlaq Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa pada saat hadiah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam maka beliau mengikutkan orang lain menikmati hadiah tersebut, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam diberikan semangkuk susu maka beliau memanggil ahlus suhffah dan mengikut sertakan mereka menikmati hadiah tersebut bersama beliau.[385]
  • Apabila dihadiahkan kepada beliau sekeranjang buah-buahan, maka beliau membaginya kepada orang tua yang shaleh dan kepada anak-anak yang hadir bersama beliau. Dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa diberikan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam buah pertama (untuk awal musim buah-buahan) lalu beliau berdo’a:

اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فَِي مَدِيْنََتِنَا وَفيِ مُدِّنَا وَفِي صَاعِنَا وَفِي ثِمَارِنَا بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ

"Ya Allah berikanlah keberkahan bagi kami pada kota kami, pada ukuran mud kami, sha’ kami dan pada buah-buahan kami, curhakanlah keberkahan bersama keberkahan.”, Kemudian beliau memberikan anak yang paling kecil yang ikut hadir bersama beliau.[386]

  • Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjinakkan hati suatu kaum dengan hadiah yang beliau berikan, terkadang seseorang baru masuk Islam atau di dalam hatinya ada ganjalan terhadap Islam atau umatnya, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam tetap memberikannya sampai orang tersebut rela.
  • Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu mengirim hadiah kepada keluarganya, beliau shallallahu alaihi wasallam selalu setia terhadap istrinya, Khadijah radhiallahu anha dan menjadikan hadiah sebagai sarananya, ketika beliau menyembelih seekor kambing, beliau berkata: “Kirimlah daging ini kepada teman-teman Khadijah”.[387]
  • Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu membalas hadiah, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima hadiah dan memberikan balasan atasnya”.[388]
  • Memberikan hadiah kepada orang yang memberikan hadiah adalah bentuk rasa berterima kasih kepada manusia, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.[389]
  • Barangsiapa yang tidak mempunyai sesuatu untuk membalas hadiah maka hendaklah berdo’a atas hadiah tersbut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرًا فَقَـدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan kepada seseorang, kemudian dia berkata kepada orang yang berbuat tersebut: جَـزَاكَ اللهُ خَيْرًا (semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik) maka sungguh dia telah cukup memadai dalam memuji”.[390]

  • Memberikan hadiah kepada tetangganya yang terdekat, seperti yang jelaskan dalam hadits A’isyah radhiallahu anha, dia berkata: Wahai Rasulullah! Saya mempunyai dua orang tetangga kepada siapakah aku memberikan hadiah?, “Kepada orang yang pintunya paling dekat denganmu”.[391] Jawab beliau.
  • Memberikan hadiah menjadi suatu keharusan pada saat manusia membutuhkannya, seperti yang terjadi pada peristiwa khandak.
  • Di antara hadiah yang mesti tidak boleh ditolak adalah hadiah yang tidak terlalu mahal dan tidak pula membebankan, sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menolak yang baik, dan beliau bersabda:

مَـنْ عَـرَضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَـرُدُّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ اْلمَحْمَلِ طَيِّبُ الرَّائِحَةِ

“Barangsiapa yang diberikan kepadanya raihan (semacam tumbu-tumbuhan yang berbau harum) maka janganlah dia menolaknya, sebab raihan tersebut sangat ringan dan harum baunya”.[392]

  • Apabila hadiah tersebut berupa barang yang haram wajib menolaknya, dan jika barang tersebut berasal dari barang yang syubhat maka dianjurkan menolaknya.
  • Apabila hadiah tersebut berasal dari seorang yang jahat, fasiq atau kafir agar hadiahnya tetap ada padamu maka janganlah kau menerimanya.
  • Seseorang dianjurkan untuk menerima hadiah seklaipun hadiah tersebut tidak berkesan di dalam dirinya, sebagaimana Ummu Hafid, bibi Ibnu Abbas radhiallahu anha memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam berupa keju, samin dan daging biawak, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam memakan samin dan keju serta meninggalkan daging biawak.[393]
  • Apabila seseorang ingin memberikan hadiah maka hendaklah berusaha untuk memilih waktu yang paling baik, bahkan para shahabat apabila ingin memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, mereka menunggu hari giliran Aisyah.
  • Jika seseorang menolak suatu hadiah maka hendaklah dia menjelaskan sebab penolakan tersebut.
  • Apabila orang yang akan diberikan hadiah telah meninggal dunia sebelum hadiahnya sampai, maka kepada siapakah diserahkan? Imam Ahmad berkata: Jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan pemberi hadiah maka hadiah tersebut kembali kepada pemiliknya, dan jika yang membawa hadiah tersebut adalah utusan orang yang diberikan hadiah maka hadiah tersebut untuk ahli warisnya.
  • Memberikan hadiah kepada kedua orang tua adalah hadiah yang paling besar nilainya.
  • Orang tua boleh memberikan hadiah kepada anak-anaknya sambil menjaga sikap adil yang diwajibkan.
  • Di antara hadiah yang terbesar adalah hadiah ilmu dan nasehat, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang shahih dari Abdullah bin Isa bahwa dia mendengar Abdurrahman bin Abi Laila berkata: Ka’ab bin Ajroh menemuiku, lalu dia berkata kepadaku: Tidakkah aku memberikan kepadamu sebuah hadiah yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?. Maka aku mejawabnya: “Ya, berikanlah hadiah tersebut kepadaku”, lalu dia berkata: Kami bertanya kepada Rasulullah, Ya Rasulullah bagaimanakah cara bershalawat kepadamu dan kepada keluargamu sebab Allah telah mengajarkan kami cara mengucapkan salam kepadamu? Beliau menjawab: Bacalah:

اَلّلهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ ...حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

“Ya Allah berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engaku telah memberi rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya…sesungguhnya Engaku Tuhan Yang Maha Terpuji dan Mulia”.

  • Hadiah seorang peminang dikembalikan kepada orang yang meminang selama bukan bagian dari mahar.
  • Tidak memberikan hadiah dengan tujuan mendapat balasan.
  • Adapun hadiah untuk memenuhi hajat tertentu, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, sebagian mereka mengatakan halal dikerjakan, dan sebagian yang lain mengatakan makruh dilakukan, seperti yang katakan oleh imam Ahmad rahimahullah kecuali jika orang tersebut memberikan balasan yang setimpal.
  • Hadiah karena telah memberikan syafa’at[394] (pertolongan dan bantuan) tidak diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ شَفَّعَ ِلأَخِيْهِ شَفَاعَةً فَأُهْدِيَ لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا مِنْهُ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا

“Barangsiapa yang memberikan sebuah pertolongan bagi saudaranya lalu saudaranya tersebut memberikan hadiah bagi jasanya lalu menerimanya, maka sungguh dia telah membuka satu pintu dari pintu-pintu riba”.[395] Dan Syaikhul Islam rahimahullah ta’ala menegaskan kebolehan menerima hadiah tersebut, dan keharaman yang dimaksudkan adalah meminta pertolonganmu dalam kezaliman lalu dia memberikan hadiah kepadamu.

  • Seorang hakim tidak diperbolehkan sama sekali menerima hadiah; sebab Umar bin Abdul Aziz-rahimhullah-berkata: Pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam hadiah adalah hadiah, sementara pada zaman kita hadiah adalah bentuk sogokan.
  • Bagi pegawai negeri tidak diperbolehkan menerima hadiah, sebab hadiah bagi pegawai adalah pengkhianatan jika pemberian hadiah untuk mendapat jabatan.
  • Hadiah dari orang-orang musyrik, imam Bukhari rahimhullah berkata dalam kitabnya yang shahih (Bab Qobulul Hadiah Minal Musyrikin/Bab kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik). Kemudian dia menyebutkan setelah menulis bab di atas beberapa hadits yang membolehkannya.

Al-Hafiz Ibnu Hajar-rahimhullah- dalam syarahnya mengatakan: Dalam bab ini (dalam pembahsan ini) terdapat hadits Iyadh Ibnu Himar, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dari Iyadh, dia berkata: Aku telah memberikan bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam seekor onta, maka beliau bertanya: Apakah engkau telah masuk Islam? Aku menjawab: “Tidak” lalu beliau melanjutkan: Aku dilarang menerima hadiah dan pemberian orang-orang musyrik,[396]…kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar menuqil perkataan sebagian ulama tentang cara mengkompromikan antara hadits yang melarang dan kebolehan menerima hadiah dari orang-orang musyrik, yaitu larangan tersebut berkalu bagi orang musyrik yang ingin menggadaikan loyalitas seorang muslim kepadanya dengan hadiah yang diberikannya (seperti simpati kepadanya), dan kebolehan menerima hadiah (dari non muslim) berlaku bagi orang musyrik yang diharapkan bisa dijinakkan hatinya untuk Islam.

 

34-ADAB JANAZAH DAN TA’ZIAH

  • Ingatlah mati, di dalam Al-Qur’an terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang mati, yaitu firman Allah Ta’ala:

اَللهُ يَتـَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَـوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِـهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا اْلمَـوْتَ وَيـُرْسِلُ اْلأُخْـرَى إِلَى أَجَـلٍ مُسَمَّى إِنَّ فِي ذلِكَ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْن

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matiَnya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya; maka dia tahanlah jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”.[397]

قُلْ يَتَوَفّكُمْ مَلَكُ اْلمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُوْن

“Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawaَ) mu akan mematikan kamu kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”.[398]

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ اْلمَوْتُ تَوَفـَّتْهُ رُسُلُنَا وَهـُمْ لاَ يُفـَرِّطـُوْن

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kamiَ, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”.[399] Pada ayat di atas Allah Ta’ala menjelaskan bahwa yang mematikan adalah Allah Azza Wa Jalla pada suatu saat, dan pada saat lain adalah para malaikat dan para utusan (berupa malaikat juga). Maka para ulama mengkompromikan tiga ayat di atas dengan mengatakan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan, dan para malaikatlah yang merealisasikan perintah tersebut secara langsung, lalu diserahkan kepada para malaikat lain yang membawanya menuju langit, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang panjang. Malaikat tersebut memberikan kabar tentang orang yang paling dicintaiNya dan orang-orang yang paling dibenciNya.

  • Ibnul Arabi mengatakan: Dari berbagai hadits dapat disimpulkan bahwa mengumumkan orang yang telah mati terbagi dalam tiga kategori:

-Pertama: Memberitahukan keluarga, teman dan orang-orang yang shaleh, perbuatan ini sunnah.

-Kedua: Mengundang orang berpesta untuk berbangga-bangga, perbuatan ini makruh.

Ketiga: Mengumumkan kematian dengan meratapi orang yang telah meninggal, perbuatan ini diharamkan.[400]

  • Segera dalam menyelenggarkan janazah dan pemakamannya untuk meringankan beban keluarga dan sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka, berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَسْـرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ  فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فًخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَإِنْ تَكُ سِوَى ذلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

“Segerakanlah jenazah tersebut, sebab jika dia shaleh maka kalian telah mensegerakannya kepada kebaikan, namun jika selain itu, maka kalian telah melepaskan beban keburukan dari diri kalian”.[401]

  • Disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah bahwa termasuk petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menguburkan mayit saat terbit dan terbenamnya matahari, dan tidak pula saat matahari berada di tengah langit, beliau menegaskan bahwa menguburkan mayit pada waktu malam tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan darurat atau demi kemaslahatan yang lebih kuat, hal ini didasarkan pada kesimpulan para ulama setelah mengumpulkan beberapa hadits.[402]
  • Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa diantara tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam mengikuti jenazah adalah:

1-Jika seseorang berjalan, maka hendaklah berada di depan jenazah.

2-Jika berkendaraan, maka hendaklah berada di belakang jenazah.

3-Mempercepat jalan dan tidak diperkenankan berjalan dengan pelan.

4-Tidak mendahului duduk sampai jenazah tersebut diletakkan di atas tanah. [403]

  • Dibolehkan mendahulukan shalat jenazah jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat fardhu.[404]
  • Di antara petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang sifat kubur adalah membuat liang lahad dan memperdalamnya serta memperluas kuburan dari sisi kepala dan kedua kaki mayit.[405]
  • Tidak menangisi mayit dengan suara yang tinggi, meratapinya, menyesali kematiannya, meratapi jasa-jasanya dan merobek-robek kantong baju, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:  

    لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَـمَ اْلخُـدُوْدَ وَشَـقَّ الْجُـيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukan dari golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek kantong dan menyeru dengan seruan-seruan jahilyah”.[406]

  • Kesabaran yang bisa mendatangkan pahala (saat ditimpa musibah) adalah kesabaran pada saat pertama kali musibah menimpa, berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam: إِنََّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى  “Hanya sanya kesabaran tersebut saat pukulan pertama (saat musibah menimpa)”.[407]
  • Menangis di sisi kuburan adalah sikap yang tidak mencerminkan kesabaran, berdasarkan hadits yang menceritakan tentang seorang wanita yang manangis pada sebuah kuburan lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegurnya: “Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah”.[408]
  • Dianjurkan mengantarkan janazah sampai jenazah tersebut dikuburkan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ شَهِدَ اْلجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلىَّ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهاَ حَتَّى تُدْفَنَ فَلََهُ قِيْرَاطَانِ قِيْلَ وَمَا اْلقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ مِثْلُ اْلجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَينِ

“Barangsiapa yang menghadiri penyelenggaraan jenazah sampai dishalatkan maka dia akan mendapatkan pahala sebesar satu qiroth, dan barangsiapa yang menghadirinya sampai dimakamkan maka dia mendapat dua qiroth, beliau ditanya: Berapakah dua qiroth tersebut? Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: Seperti dua buah gunung yang besar”.[409]

  • Memuji mayit dengan menyebut-nyebut perbuatan dan sifat baiknya dan tidak menyebut keburukannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam

لاَ تَسُـبُّوْا اْلأَمْوَاتَ فَإِنَّـهُمْ قَـدْ أَُفْضُوْا إِلَى مَا قَـدَّمُوْا

“Janganlah engkau mencaci orang yang telah meninggal sebab mereka telah digiring kepada apa yang telah mereka perbuat”.[410]

  • Memintakan ampun bagi orang yang telah meninggal setelah dikuburkan. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu menceritakan bahwa apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selesai menguburkan janazah, maka beliau berdiri di atas kuburnya kemudian bersabda: اِسْـتَغْفِـرُوْا ِلأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ التّثْـبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ                

“Mintakanlah ampun bagi saudaramu dan berdo’alah baginya agar diteguhkan sebab dia sekarang sedang ditanya”.[411]

  • Takziah tidak memiliki hari dan waktu yang khusus, namun disyari’atkan dari sejak kematian seseorang, baik sebelum shalat atau sesudahnya, sebalum dikuburkan atau setelahnya, dan mensegerakannya lebih baik, pada saat musibah tersebut terasa berat. Dan dibolehkan juga setelah tiga hari dari kematian si mayit karena tidak ada dalil yang membatasinya dengan waktu tertentu.
  • Dianjurkan meringankan beban keluarga orang yang telah meninggal dan membuatkan makanan bagi mereka, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

اِصـْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَـرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَـدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُـمْ

“Buatlah makanan bagi kelurga Ja’far sebab telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”.[412]

  • Dianjurkan menghibur orang yang tertimpa musibah dan menasehati mereka agar tetap bersabar, seperti mengucapkan perkataan:

إِنَّ ِللهِ مِا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَئْ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

“Sesungguhnya hanya bagi Allahlah apa yang diambilNya dan bagiNya pula apa-apa yang diberikan, dan segala sesuatu di sisiNya pada batas yang telah ditentukan maka bersabarlah dan berharaplah pahala dariNya”.[413] Dan kalimat ini adalah kalimat yang paling baik untuk bertakziah, dan lebih baik dari kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang:       أَعْظَمَ اللهُ أًَجْـرَكَ وَأَحْسَـنَ عَزَاءَكَ وَغَـفَرَ لِمَيِّـتِكَ

“Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepadamu dan menghiburmu dengan kebaikan bagimu serta mengampuni dosa-dosa mayitmu”. Kalimat ini adalah adalah pilihan para ulama dan apa yang dipilih oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih baik dan utama.[414]

      Dan sebagian ulama pernah menghibur seorang bapak karena anaknya yang kecil telah meninggal dunia dan berkata kepadanya: “Sebagian dirimu telah masuk surga maka berusahalah agar sisa yang lain dari dirimu tidak tertinggal (masuk surga).”[415]

      Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa tidak ada kata-kata takziah yang mereka dengar  lebih mengena dan singkat dari kata-kata takziah yang diucapkan oleh Syubaib bin Syaibah kepada Al-Mahdi pada saat kematian anaknya (Yaqutah), dia berkata: Wahai Amirul Mu’minin! Apa yang didapatkan (oleh anakmu) di sisi Allah lebih baik baginya dari dirimu, dan pahala dari Allah lebih baik bagimu dari dirinya, aku berdo’a kepada Allah semoga Dia tidak menjadikanmu sedih dan tidak pula mendatangkan fitnah bagimu, dan Allah memberikan ganjaran karena musibah yang telah menimpamu, menganugrahkan kesabaran bagimu, tidak membuat susah dengan ujian, tidak mencabut nikmat yang telah diberikannya kepadamu, dan (ujian yang) sangat membutuhkan kesabaran adalah kesabaran atas sesuatu yang (diambil) dan tidak ada jalan untuk mengembalikannya.[416]

  • Ibnul Qoyyim -rohimhullah-menjelaskan bahwa tidak termasuk petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam melaksanakan sholat gaib bagi setiap mayit, beliau menguatkan pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimhullah- yang merinci pendapatnya (dalam masalah ini) dengan mengatakan: Jika mayit tersebut telah dishalatkan pada tempat dia meninggal dunia, maka tidak dishalatkan kembali dengan shalat gaib, namun jika tidak maka dia harus dishalatkan dengan shalat gaib”.[417]
  • Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam jika dihadapkan dengan seorang yang meninggal dunia untuk meminpin shalat baginya maka beliau bertanya: Apakah dia mempunyai hutang atau tidak?, jika mayit tersebut tidak mempunyai hutang maka beliau shalat untuk mayit tersebut, namun jika mayit tersebut mempunyai hutang maka beliau tidak menshalatkannya dan mengizinkan para shahabatnya untuk menshalatkannya.
  • Ibnul Qoyyim juga menyebutkan perbedaan beberapa riwayat tentang berdiri atau duduknya Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk suatu janazah saat jenazah tersebut lewat, dan perbedaan ulama dalam masalah ini. Dan beliau memilih pendapat yang mengatakan bahwa mengerjakannya adalah sunnah dan boleh meninggalkannya.[418]
  • Bersedaqah untuk mayit adalah perbuatan yang yang disyari’atkan, baik sedeqah tersebut berupa harta atau do’a berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ انْقَطَـعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَـلاَثٍ: صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَـفَعُ بِهِ أَوْ َولَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akannya”.[419]

  • Disyari’atkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, serta berdo’a saat berziarah kubur dengan do’a yang sudah ada dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

(Kesejahteraan bagimu penghuni kubur dari orang-orang mu’minin dan muslimin, dan kami dengan kehendak Allah pasti menyusul kalian, saya mohon kepada Allah bagi kami dan kalian keselamatan”.[420] Dan diperbolehkan mengangkat tangan untuk berdo’a dengan tidak menghadap kubur akan tetapi menghadap ka’bah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur baik bagi orang yang lewat atau orang yang masuk.

  • Tidak berjalan di antara kubur orang-orang muslimin dengan memakai sandal. Dari Uqbah bin Amir radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ِلأَنْ أَمْشِيَ عَلىَ جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أوْ أخَصِْفَ نَعْليِ بِرِجْليِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَمْشِي عَلىَ قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا أُبَاليِ أَوَسْـطَ اْلقُـبُوْرِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْـطَ السُّـوْقِ

“Dan aku berjalan di atas bara api, pedang atau   menjahit sandal saya dengan kaki saya lebih aku cintai daripada melewati kubur seorang muslim dan aku tidak menghiraukan apakah aku memenuhi kebutuhanku di tegah kubur atau di tengah pasar”.[421]

 

 

 

35-ADAB MAKAN DAN MINUM

  • Makan dan minum diniatkan untuk bertaqwa dan taat kepada Allah berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Umar bin Al-Khattab ra, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى...                  

“Sesungguhnya setiap perbuatan dilandaskan pada niat, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkan”.[422]

  • Berlindung dari kelaparan, dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اَللّهُـمَّ إِنِّي أَعـُوذُبِكَ مِنَ الْجُـوْعِ فَإِنَّهُ بِئْـسَ الضَّجِيْعِ وَأَعُـوْذُ بِكَ مِنَ الْخِيَانَةِ فَإِنَّهُ بِئْـسَ اْلبِطَانَةِ

“Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari kelaparan sesungguhnya ia seburuk-buruk teman tidur dan aku berlindung kepadaMu dari khianat sesungguhnya ia seburuk-buruk teman dekat”.[423]

  • Dilarang makan dan minum pada bejana emas dan perak, dari Hudzaifah radhiallahu anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَلْبَسُـوْا الْحَرِيْرَ وَلاَ الدِّيْبَاجَ وَلاَ تَشْرَبُوْا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَِاْلفِضَّةِ وَلاَ تَأْكُلُوْا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي اْلآخِرَةِ

“Janganlah kalian memakai kain sutra dan yang bergaris sutra (dibaj adalah jenis kain persia. Pen.) dan jangan pula kalian minum pada bejana emas dan perak serta makan pada piring yang terbuat dari emas dan perak sebab dia (semua disebutkan di atas) adalah bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat”.([424]) [425]

  • Berusaha mencari makanan yang halal, berdasarkan firman Allah Ta’ala:                                 يَا أَيُّـهَا الَّذِيْنَ آمَنُـوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقَنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik pada apa-apa yang telah kami berikan rizki kepadamu”.[426]

  • Di antara adab makan adalah membagi perutmu menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا مَلأَ اَدَمِيٌّ وِعَاءً شَـرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسَبِ بْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صَلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَـثُلُثٌ ِلطَعَامِهِ وَثُلُثٌ ِلشَرَابِهِ وَثُلُثٌ ِلنَفَسِهِ

“Tidaklah seorang anak Adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya, dan jika dia harus mengerjakannya maka hendaklah dia membagi sepertiga untuk mkanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya”.[427] Ini adalah beberapa tuntunan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam agar umatnya terjaga dari  penyakit yang disebabkan oleh makanan dan minuman, keterangan di atas menunjukkan dimakruhkan memperbanyak dan mempersedikit makan sehingga menyebabkan lemahnya badan.

  • Tidak dianjurkan makan yang banyak, sebab Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اَلْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مَعْيٍّ وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

“Orang-orang mu’min makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus”.[428]

  • Tidak berlebihan dalam fariasi makanan, sebagian ulama Abu Hanifah berkata:  Termasuk berlebihan jika terdapat di atas meja makan roti dengan jumlah yang melebihi kebutuhan orang yang makan, dan termasuk berlebihan menyediakan bagi diri makanan yang beragam.[429]
  • Seorang muslim harus belajar adab-adab makan dan harus mengajarkannya kepada orang lain, dalam hadits riwayat Umar bin Abi Salamah radhiallahu anhu berkata: Pada saat aku kecil dalam asuhan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tanganku selalu liar ke sana kemari dalam piring makanan, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegurku:  

   يَا غُلاَمُ  سَـمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمَينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa-apa yang dekat dengan dirimu”. Hadits Shahih[430]

  • Tidak memulai makan dan minum dalam sebuah majlis sementara di dalamnya terdapat orang yang lebih berhak melakukannya, baik karena lebih tua atau lebih mulia sebab perbuatan tersebut mengurangi nilai adab pribadinya.
  • Dilarang makan sambil ittika’ (berbaring), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya aku tidak makan secara berbaring, di antara bentuk berbaring tersebut adalah:

1-Berbaring ke sebelah kiri.

2-Duduk Bersila.

3-Bertopang pada salah satu tangan dan makan dengan tangan yang lain.

4-Bersandar pada sesuatu, seperti bantal atau hamparan di bawah tempat duduk seperti yang dilakukan para pembesar.

Sifat Ittika’ adalah tetap dengan posisi duduk tertentu saat makan terlepas dari bentuk posisi apapun duduk tersebut, yang lain mengatakan: duduk dengan posisi condong kepada salah satu pinggang, begitu juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang seseorang makan dengan posisi terlungkup di atas perutnya”.([431])[432]

  • Mendahulukan makan dari shalat pada saat makanan sudah dihidangkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا وُضِعَ عَشَاءُأَحَدِكُمْ وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَابْدَءُوْا بِالْعَشَاءِ وَلاَ يَعْجَلُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ

“Apabila makan malam sudah dihidangkan maka mulailah dengan makan malam dan janganlah tergesa-gesa sampai dia selesai makan malam”.([433])

  • Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ غَمْرُ –رِيْحِ اللَّحْمِ-وَلََمْ يَغْسِلْهُ فَاصَابَهُ شَئٌ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Barangsiapa yang tidur sementara tangannya dipenuhi bau daging dan dia belum mencucinya lalu ditimpa oleh sesuatu maka janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri”.[434]

  • Dianjurkan berwudhu’ untuk makan jika seseorang dalam keadaan junub, berdasarkan hadits:

كَانَ رَسـُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْينَاَمَ تَـوَضَّأَ وُضُوْءَهُ ِللصَّلاَةِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila beliau sedang junub dan berkeinginan untuk makan atau tidur maka beliau berwudhu’ terlebih dahulu seperti wudhu’ beliau untuk shalat”.[435]

  • Membaca بِسم الله pada permulaan makan tanpa menambahnya, sebab semua hadits shahih yang menyebutkan tentang basmallah saat makan tidak menyebutkan tambahan [436]اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ sendainya seseorang menambah dengan ucapan [437] اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ maka hal itu juga tidak mengapa, kemudian dia memuji Allah setelah makannya.

Imam Ahmad rahihullah berkata: Apabila saat makan seseorang bisa mengumpulkan empat adab makan, maka dia telah sempurna: Apabila menyebut nama Allah pada awalnya, memuji Allah pada akhir makannya, ikut bersamanya tangan yang banyak dan makanan tersebut dari hal yang halal.[438]

  • Pada permulaan makan dia mengucapkan: بِسم الله dan jika lupa mengucapkannya, maka membaca:  بِِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ   (Dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhir (makan) atau

بِِسْمِ اللهِ فِي أَوَّلَِهُ وفِي َآخِرَِهُ

  • Apabila makan secara bersama maka pujian kepada Allah diucapkan oleh setiap orang, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ اْلعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ اْلأَكْلَةَ فَيَحْمِدُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبُ الشُّرْبَةَ فَيَحْمِدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah rela jika seorang hamba memakan suatu makanan lalu dia memuji Allah atasnya atau meminum suatu minuman dan dia memuji Allah atasnya”.[439]

  • Setelah selesai makan maka dia mengucapkan salah satu do’a yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yaitu:

اَلْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدِّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنِى عَنْهُ رَبَّنَا عَزَّ وَجَلَّ

“Segala puji bagi Allah, pujian yang berlimpah lagi baik dan berkah yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak bisa ditingalkan wahai rabb kami”[440], atau membaca do’a  اَلْحَمْدُ ِللهِ اَّلذِي كَفَانَا وَآوَانَا غير مَكْفِيٍّ وَلاَ مَكْفُوْرٍ (Segala puji Bagi Allah yang telah mencukupkan dan melindungi kita  senantiasa dibutuhkan dan tidak diingkari”.[441] Atau membaca do’a:

اَلْحَمْد ُِللهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَـوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ

“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan aku makan dengan makanan ini, dan menjadikannya sebagai rizki bagiku tanpa daya dan upaya dariku”.[442] Atau membaca:

اَلْحَمْد ُِللهِ الَّذِي أَطْعَمَ وَسَقَى وَسَوَّغَهُ وَجَعَلَ لَهُ مَخْرَجًا

“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makan dan minum serta mempermudahnya, juga menjadikan jalan keluar baginya”.[443]

اَللّهُمَّ أَطْعَمْتَ وَأَسْقَيْتَ وَأَقْنَيْتَ  وَهَدَيْتَ وَأَحْيَيْتَ فَلِلّهِ الْحَمْدُ عَلىَ مَا أَعْطَيْتَ

“Ya Allah Engkaulah yang telah memberikan makan, memberikan minum, memberikan kecukupan, memberikan petunjuk, dan menghidupkan, segala puji bagiMu atas semua yang telah Engkau berikan”.[444] Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:  Barangsiapa yang diberikan makan oleh Allah suatu makanan maka hendaklah dia mengatakan:                         أَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَزِدْنَا مِنْه  “Ya Allah berikanlah keberkahan bagi kami padanya, tambahkanlah makanan tersebut bagi kami” dan aku tidak mengetahui makanan yang bisa memadai (kandungannya) kecuali susu”.[445]

  • Seseorang yang makan seyogyanya mengetahui jenis makanan yang dimakan, dan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak memakan suatu makanan sampai beliau sendiri mengetahui jenis apakah yang dimakan tersebut”.[446]
  • Makan dan minum dengan tangan kanan dan dilarang menggunakan tangan kiri, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:                              لاَ تَأْكُلُوْا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ

“Janganlah makan dengan tangan kiri sebab setan makan dengan tangan kiri”.[447] Dan diperbolehkan memakan roti dengan tangan kiri, adapun mengambil dan memberi tidak diperkenankan kecuali dengan menggunakan tangan kanan dalam rangka melestarikan etika.[448]

  • Tidak bertanya tentang asal makanan, dijelaskan dalam sebuah hadits:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ عَلىَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ فَأَطْعَمَهُ مِنْ طَعَامِهِ فَلْيَأْكُلْ وَلاَ يَسْأَلُ عَنْهُ وَإِنْ سَـقَاهُ مِنْ شَـرَابِهِ فَلْيَشْرَبْ مِنْ شَرَابِهِ  وَلاَ يَسْأَلُ عَنْهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi saudaranya semuslim lalu dia menyuguhkan kepadanya makanan maka hendaklah dia memakannya tanpa bertanya tentang (asal) makanan tersebut dan jika dia memberinya minum maka hendaklah meminumnya tanpa bertanya tentang asal minuman tersebut”. [449]

  • Dianjurkan menseragamkan makanan antara semua yang hadir.
  • Dibolehkan mendahulukan sebagian makanan kepada teman duduknya sebagai bentuk sifat lebih mengutamakan orang lain atas dirinya.
  • Dibolehkan memberikan makan kepada orang yang meminta-minta dan kucing dengan syarat orang yang memberikan makanan tidak terganggu dengan tindakan tersebut.[450]
  • Manyantap makanan yang terdekat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam: “Makanlah dari apa-apa yang terdekat denganmu”.[451]
  • Dianjurkan makan dari apa-apa yang ada di pinggir piring bukan dari atasnya (bagian tengah makanan), berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

كُلُوْا فِي الْقَصْعَةِ مِنْ جَوَانِبِهَا وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسْطِهَا فَإِنَّ اْلبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِي وَسْطِهَا

 "Makanlah pada piring dari pinggirnya dan janganlah kalian makan dari tengahnya sebab keberkahan turun pada tengah suatu makanan”.[452]

  • Dianjurkan makan dengan menggunakan tiga jari[453] dan menjilat tangan[454], berdasarkan hadits Ka’ab bin Malik radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam makan dengan tiga jari dan mejilati tangannya sebelum membersihkannya”[455], dan hikmah menjilat jari-jari adalah karena perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam yang memerintahkan menjilati jari-jari dan piring  tempat makan dan bersabda: “Kalian tidak mengetahui di bagian makanan manakah keberkahan tersebut”.[456]
  • Albani rahimhullah mengatakan: Termasuk aneh, seseorang merasa benci jika makan dengan sendok dengan keyakinan bahwa hal itu menyalahi sunnah, padahal makan dengan sendok tergolong dalam perkara-perkara kebiasaan”.[457]
  • Dianjurkan mengambil suapan yang terjatuh dan membersihkan apa-apa yang menempel lalu memakannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا طَعِمَ أَحَدُكُمْ فَسَقَطَتْ لُقْمَتُهُ مِنْ يَدِهِ فَلْيُمِطْ مَارَابَهُ مِنْهَا وَلْيَطْعَمْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang di antara kalian sedang makan, lalu suapannya terjatuh dari tangannya maka hendaklah dia membersihkan apa-apa yang meragukannya lalu makanlah dia, dan janganlah membiarkannya untuk setan”.[458]

  • Tidak disyari’atkan mencium makanan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah Ta’ala.
  • Beberapa tuntunan sunnah yang berhubungan dengan kurma:
  1. Berbuka puasa dengan kurma.
  2. Menjadikan kurma untuk makan sahur.
  3. Memakan kurma sebelum melaksanakan shalat ied.
  4. Dilarang makan dua kurma sekaligus, begitu juga apa-apa yang menjadi kebiasaan.[459]
  5. Meletakkan biji kurma pada jari telunjuk dan jari tengah kemudian membuangnya.
  6. Tidak memeriksanya kecuali jika kurma tersebut jelek, Dari Anas radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam datang membawa kurma yang sudah lama maka beliau memeriksanya dan mengeluarkan ulat-ulat yang ada padanya.”[460]
  7. Dimakruhkan menaruh biji kurma pada tempat yang sama dengan kurma.[461]
  8. Tahnik dengan menggunakan kurma, yaitu mengunyah sesuatu lalu menaruhnya pada mulut bayi untuk digosokkan pada mulutnya.
  • Pada waktu pagi memakan tujuh biji kurma ajwa, agar terhindar dari racun dan sihir dengan izin Allah, di dalam kitab Al-Shahihaini dari Sa’d bin Abi Waqqas radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةٍ لَمْ َيضُرْهُ ذلِكَ اْليَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ –زاده البخاري- ذَلِكَ الْيَوْمَ إِلىَ الَّليْلِ

“Barangsiapa yang memakan tujuh biji kurma ajwa pada waktu pagi maka dia tidak membahayakan baginya racun atau sihir” ditambahkan oleh Al-Bukhari “pada hari itu sampai malamnya”.[462] Abu Zakaria An-Nawawi rahimhullah memilih pendapat yang mengkhususkan kurma ajwa' yang terdapat di Madinah, pengkhususan seperti sama seperti pengkhususan bilangan tujuh (seperti yang disebutkan di dalam hadits di atas) yang tidak diketahui kecuali dengan wahyu. Dan Abu Dawud menulis “Babu Fi Tamril Ajwah” dan tidak menyebutkan Madinah.[463]

  • Dianjurkan memakan makanan setelah hilang panasnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

 لاَ يُؤْكَلُ الطَّعَامُ حَتَّى يَذْهَبَ بُخَارُهُ 

"Suatu makanan tidak dimakan kecuali setelah asap panasnya menghilang”.[464]

  • Tidak menyebut nama bagi suatu makanan dengan sebutan yang tidak disukai, dalam sebuah hadits riwayat Abi Hurairah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تُسَمُّوْا الْعِنَبَ الْكَرْمَ فَإِنَّ الْكَرْمَ الرَّجُلُ اْلمُسْلِمُ

“Janganlah kalian menamakan Al-Inab (anggur) dengan nama al-karm sebab Al-Karm adalah lelaki yang muslim”.[465]

  • Dilarang mencela dan menghina makanan, sebagimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mencela makanan sedikitpun, apabila beliau menyukainya maka beliau memakannya dan jika tidak menginginkannya maka beliau meninggalkannya.[466] Imam Nawawi rahimahullah berkata: Dan di antara adab makan yang harus adalah makanan tersebut tidak dicela, seperti mengatakan: makanan ini asin atau kecut[467]

Adapun keengganan Nabi shallallahu alaihi wasallam memakan biawak, untuk memberitahukan bahwa keengganan beliau tersebut semata-mata karena beliau tidak menginginkannya. Dan boleh mengatakan: “Saya tidak menginginkan makanan ini”.

  • Mengutamakan minum dengan cara duduk, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam menghardik seorang yang minum dengan cara berdiri[468], namun dibolehkan minum secara berdiri berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas radhiallahu anhu menceritakan bahwa dia memberi minum kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam dari air zamzam, lalu beliau meminumnya, sementara beliau tetap berdiri.[469]
  • Dimakruhkan bernafas dan meniup di dalam bejana (tempat minum):إِذَا شَـرِبَ أَحَـدُكُمْ فَلاَ يَتَـنَفَّـسُ فِي اْلإِنَاءِ ...

“Apabila salah seorang di antara kalian minum maka janganlah bernafas di dalam bejana…”.[470]

  • Dianjurkan bernafas (di luar bejana) tiga kali ketika seseorang sedang minum. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bernafas (di luar bejana) tiga kali saat minum, dan beliau menegaskan bahwa hal itu lebih mengenyangkan, memuaskan dan lezat”.[471] Dan dibolehkan minum dengan satu kali nafas, sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak mengingkari seseorang yang sedang minum (dengan satu kali nafas), dan beliau berkata: Sesungguhnya aku tidak kenyang (minum) dengan satu kali nafas”.
  • Dilarang minum dari sebuah bejana yang pinggirnya terpcah, Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata bahwa dilarang minum dari bejana yang pinggirnya pecah.”[472]
  • Dianjurkan bagi seorang yang minum susu untuk berdo’a dengan do’a yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, di antaranya seperti yang disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas radhiallahu bahwa dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَـدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ. وَإِذَا سُـقِيَ لَبَنًا فَلْيَقُلْ: اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَزِدْنَا مِنْـهُ فَإِنَّهُ لَيْسَ شَيْئٌ يُجْـزِي مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّـرَابِ إِلاَّ اللَّبَنَ

“Apabila salah seorang di antara kalian memakan suatu makanan, maka hendaklah dia membaca: اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ (Ya Allah, berikanlah keberkahan bagi kami padanya dan berikanlah kepada kami makanan yang lebih baik darinya”. Dan apabila beliau diberikan minum dari susu, maka beliau berdo’a:  

 اَللّهُـمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَزِدْنَا مِنْـهُ ((Ya Allah, berikanlah keberkahan bagi kami padanya dan tambahkanlah bagi kami darinya), sebab tidak ada makanan yang lengkap (kandunganya) selain susu”.[473]

  • Disunnahkan berkemumur setelah meminum susu, sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam berkumur setelah meminum susu dan mengingatkan: “Sebab dia mengandung lemak”[474] Abu Zakaria Al-Nawawi berkata:  Para ulama berkata: Disunnahkan berkumur setelah memakan dan meminum selain susu, agar tidak meninggalkan sisa-sisa makanan yang bisa ditelan pada saat shalatnya, maka hendaklah dia membersihkan getah dan lemak makanan tersebut sehingga mulutnya menjadi bersih, demikianlah yang ditegaskannya. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah makan suatu daging dan yang lainnya kemudian beliau mendirikan shalat tanpa berkemumur.[475]
  • Dimakruhkan minum dari wadah tempat air secara langsung, dari Abi Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang minum dari mulut geriba (sejenis jerigen atau galon) atau dari bejana tempat air minum (secara langsung).[476]
  • Dianjurkan orang yang memberi minum adalah orang yang paling terkahir minum, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:  

 إِنَّ سَاقِي الْقَوْمِ آخِرَهُمْ شُرْبًا    

“Sesungguhnya orang yang memberi minum suatu kaum adalah orang yang paling terakhir menikmati minuman”.[477]

  • Dianjurkan berbicara saat makan, untuk menyelisihi kebiasaan orang-orang ajam.[478]
  • Nabi shallallahu alaihi wasallam terkadang memuji makanan, seperti ucapan beliau saat bertanya lauk untuk makan, mereka menjawab: “Kita tidak punya apa-apa kecuali cuka, maka Rasulullah memintanya dan memakannya, kemuidan bersabda: “Lauk yang paling baik adalah cuka”.[479]
  • Apabila lalat terjatuh pada makanan atau minuman, tuntunan yang dikerjakan adalah menenggelamkan lalat tersebut dalam bejana lalu membuangnya, seperti yang ditegaskan dalam hadits riwayat Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَفِي اْلأُخْرَى شِفَاءٌ

“Apabila seekor lalat terjatuh pada bejana salah seorang di antara kalian maka hendaklah dia menenggelamkannya seluruhnya, lalu barulah membuangnya, sebab dalam salah satu sayapnya adalah penyakit sementara pada sayap yang lain adalah obat”.[480]

  • Dianjurkan makan secara bersama (dalam satu piring), berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

طَعَامُ اْلوَاحِدِ يَكْفِي اْلإِثْنَيْنِ وَطَعَامُ اْلإِثْنَيْنِ يَكْفِي اْلأَرْبَعَةَ وَطَعَامُ اْلأَرْبَعَةِ يَكْفِي ثَمَانِيَةً

“Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang”.[481]

  • Nabi shallallahu alaihi wasallam memberi petunjuk kepada orang yang makan namun tidak merasa kenyang dengan sebuah sabdanya:

فَلَعَلَّكُمْ تَتَّـفَـرَّقُـوْنَ قَالُـوا: نَعَـمْ قَالَ: فَاجْـتَمِعُوْا عَلىَ طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوْا اسمَ اللهِ عَلَيْهِ يُبَارَكُ لَكُمْ فِيْهِ

“Sepertinya kalian berpisah-pisah (saat makan)”, mereka menjawab: “Ya, benar” lalu beliau mengingatkan: “Berkumpullah saat makan kalian dan sebutlah nama Allah atasnya niscaya Allah akan memberikan keberkahan bagi kalian padanya”.[482]

  • Diharamkan duduk di hadapan hidangan minuman keras, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

 مَنْ كَانَ يُـؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَـوْمِ اْلآخِـرِ فَلاَ يَقْـعُدْ عَلىَ مَائِدَةٍ يُشْـرَبُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia duduk di hadapan hidangan yang menyuguhkan minuman keras padanya”.[483]

  • Dimakruhkan mendahului kelompok (saat makan secara bersama), berdasarkan hadits riwayat Hudzaifah radhiallahu anhu, dia menceritakan bahwa saat kami makan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kami tidak mendahului meletakkan tangan-tangan kami pada makanan sampai Raslullah shallallahu alaihi wasallam sendiri yang memulainya”.
  • Dianjurkan membersihkan gigi dengan menyeling-nyelingi (lubang dan antara sudut-sudut gigi). Ibnul Qoyyim berkata:  “Menyeling-nyelingi gigi bermanfaat untuk menjaga kesehatan gigi dan gusi, dan kayu yang paling baik dijadikan sebagai tusuk pembersih gigi adalah kayu zaitun.
  • Disunnahkan mengusap-usap nampan tempat makan.[484] 
  • Termasuk etika makan adalah tidak makan di jalanan.
  • Termasuk etika makan adalah tidak melihat kepada wajah-wajah orang-orang yang sedang makan.
  • Termasuk etika makan adalah tidak berbicara dengan sesuatu yang menjijikkan atau mengundang ketawa orang yang sedang makan.
  • Termasuk etika makan tidak memuntahkan sesuatu yang telah ditelan ke dalam nampan tempat makanan, dan tidak pula mencium bau makanan.
  • Dianjurkan mengecilkan suapan dan mengunyah dengan baik.
  • Jabir berkata: Umar melihat sepotong daging pada tanganku, lalu dia bertanya: Apakah yang engkau bawa ini wahai Jabir? “Aku menginginkan sepotong daging lalu aku membelinya” Jawab Jabir menegaskan. “Apakah setiap sesuatu yang engkau kehendaki harus engkau beli wahai Jabir?” Tanya Umar menegur. Tidakkah engkau takut dengan firman Allah Ta’ala:    أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا                                                   

“Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniamu saja”.[485]

  • Dan sebagian orang mengkelompokkan beberapa prilaku dan sikap yang buruk terhadap makanan:
  1. Al-Mutasyawif, yaitu orang yang merasakan lapar sebelum makanan dihidangkan, engaku tidak melihat orang seperti ini kecuali dirinya memperhatikan pintu sambil mengawasi setiap barang yang masuk, jangan-jangan dia adalah makanan.
  2. 2.      Al-Rasyaaf, Yaitu orang yang sedang mengunyah suatu makanan pada mulutnya sampai menelannya habis, lalu suara saat menelan terdengar dihadapan teman-teman, semenatara dirinya asyik menikmati makanan. 
  3. 3.      Al-Naffadh, yaitu orang yang mengunyah suatu makanan pada mulutnya sambil tangannya mengibas makanan.
  4. 4.      Al-Qossam, yaitu orang yang makan sebagian suapan lalu sebagian lainnya dikembalikan pada makanan.
  5. 5.      Al-Murannikh, Yaitu orang yang mencelupkan makanan pada sayuran, di mana dia tidak menelan makanan yang pertama sampai suapan yang kedua menjadi lembut.
  6. 6.      Al-Murasysyisy, yaitu orang yang mengambil daging ayam, sementara dia tidak berpengalaman padanya, akhirnya menjiprati teman-temanya.
  7. 7.      Al-Shabbag, yaitu orang yang memindahkan makanan dari suatu tempat ke tempat lain untuk mendinginkannya.
  8. 8.      Al-Munsyif, yaitu orang yang membersihkan tangannya dengan roti lalu dia memakan roti tersebut.
  9. 9.      Al-Naffakh, yaitu orang yang meniup makanan.

10.  Al-Muhandis, yaitu orang yang berkata kepada orang yang membuat makanan: letakkan ini di sini, ini di sini sehingga terkumpul di hadapannya apa-apa yang disukainya, didefinisikan juga dengan orang yang menggigit ujung makanan dengan giginya lalu mencampurnya dengan lauk

11.  Al-Khardaban, Yaitu orang yang menarik rotinya terlebih dahulu karena khawatir akan diambil oleh orang lain, dia meletakkannya di sebelah kirinya sementara tangan kanannya lahap meraih makanan lain.

12.  Al-Mu’allaq, yaitu orang yang masih menggeggam makanan pada tangannya sebelum mengunyah habis makanan yang di mulutnya dan matanya melirik-lirik pada makanan yang lain.[486]

  • Apabila seseorang diundang untuk menghadiri suatu walimah maka janganlah kehadirannya tersebut diniatkan untuk sekadar makan saja.
  • Memberikan buah yang pertama (pada awal musim buah-buahan) kepada orang yang paling kecil dari teman-teman yang menghadiri pertemuan, dalam shahih muslim dari hadits Abi Hurairah radhiallahu anhu, bahwa pada saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diberikan buah pertama (musim buah-uahan) maka beliau berdo’a:

اَللّهُمَّ بَارِكْ لَناَ فِي مَدِيْنَتِنَا وَفِي ثِمَارِنَا وَفيِ مُدِّنَا وَفِي صَاعِنَا بَرَكَةً مَعَ بَرَكَةٍ

“Ya Allah berikanlah keberkahan pada kota-kota kami, pada buah-buahan kami, pada mud kami dan sho’ kami, keberkahan yang dibarengi keberkahan”.[487] Kemudian beliau memberikan buah tersebut kepada seorang anak yang paling kecil yang menghadiri majlis beliau.

  • Imam Ahmad pernah ditanya tentang roti yang dibuat dengan ukuran besar apakah hal tersebut dimakruhkan? Beliau menjawab: “Ya, sebab tidak ada keberkahan pada roti tersebut, keberkahan ada pada roti-roti yang dibuat dengan ukuran kecil, lalu dia menghimbau agar tidak membuat roti yang besar.[488]
  • Nabi shallallahu alaihi wasallam sangat menyenangi daging dan bagian daging yang paling beliau sukai adalah daging pada bagian hasta.[489]

 

36-ADAM BUANG HAJAT

  • Menjauhi tiga tempat yang terlarang, yaitu seperti dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya:

اِجْتَنِبُوْا الْمَلاَعِنَ الثَّلاَثَ: البِرَازُ فِي اْلمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيْقِ وَالظِّلِّ

"Jauhilah tiga tempat yang dilaknat, yaitu berak di sumber mata air, di jalanan dan di bawah tempat orang bernaung".[490]Diqiyaskan kepada tempat tersebut tempat yang dimanfaatkan oleh orang untuk berjemur diri pada musim dingin.

  • Dilarang kencing di tempat yang tergenang berdasarkan hadits:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبَالَ فِي اْلمَاءِ الرَّاكِدِ

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kencing pada air yang tergenang".([491])([492])

  • Jika seseorang ingin membuang hajatnya pada tempat yang lapang maka hendaklah dia menjauh, seperti yang diterangkan dalam hadits riwayat Mugiroh bin Syu'bah dalam Al-Shahihaini, dia menceritakan bahwa beliau menjauh sampai tertutup dariku lalu membuang hajatnya".[493] Yaitu Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  • Tidak mengangkat pakaian sampai dirinya mendekat di bumi[494]; sehingga auratnya tidak terbuka, dan hal ini termasuk adab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagiamana yang disebutkan oleh Anas radhiallahu anhu.[495]
  • Dimakruhkan memasuki tempat membuang air dengan membawa sesuatu yang bertuliskan zikir kepada Allah.[496]
  • Dilarang menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air pada tempat yang lapang, dan diperbolehkan pada wc yang berbentuk bangunan, berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

إَذَا أَتَى أَحَدُكُمُ اْلغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبٍلُ اْلقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ شَرِّقُوْا أَوْ غَرِّبُوْا

"Apabila salah seorang di antara kalian ingin berak maka janganlah dia menghadap kiblat dan membelakanginya menghadaplah ke timur atau ke barat".[497]

  • Disunnahkan untuk masuk dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan,[498] masuk wc dengan membaca: بِسْمِ اللهِ dan disunnahkan juga untuk membaca: أَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الْخُبُثِ وَاْلخَبَائِث    "Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan jin jin laki-laki dan perempuan".[499] Dan saat keluar dari wc dianjurkan membaca: غُفْرَانَكَ (Ya Allah ampunilah aku).[500] Dianjurkan untuk mengerjakan adab ini sekalipun di tengah padang pasir, pada saat dia ingin duduk membuang hajatnya dianjurkan membaca do'a masuk dan apabila telah selesai dianjurkan membaca do'a keluar wc.[501]
  • Menutup diri saat membuang hajat, seperti yang dijelaskan di dalam hadits riwayat Al-Mugiroh bin Syu'bah di dalam Al-Shahihaini, dia menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shallallahu alaihi wa sallam menjauh sampai tertutup dariku lalu membuang hajatnya".[502]
  • Dibolehkan kencing dengan berdiri[503] dan duduk. Kebolehan kencing secara berdiri harus memenuhi dua syarat[504], yaitu: 1-Aman dari jipratan kencing.             2-Aman dari pandangan orang lain.
  • Dilarang memegang kemaluan dengan tangan kanan saat kencing, sebagaimana diriwayatkan oleh Au Qotadah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

(إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَأْخُذْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يَسْتَنْجِي بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يَتَنَفَّسَ فِي اْلإِنَاءِ) وعند مسلم وغيره (لاَ يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَهُوَ يَبُوْلُ وَلاَ يَتَمَسَّحُ مِنَ اْلخَلاَءِ بِيَمِيْنِهِ...)

(Apabila salah seorang di antara kalian kencing, maka janganlah dia memegang zakarnya dengan tangan kanannya, dan tidak pula dia beristinja' dengan tangan kanannya serta tidak boleh bernafas (saat minum) di dalam bejana) dalam riwayat yang lain disebutkan (Janganlah salah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya pada saat dia sedang kencing dan tidak pula membersihkan kotorannya dengan tangan kanannya…).[505]

  • Hendaklah membersihkan kotoran dengan air dan batu (sesuatu yang mengisap) sesudah membuang hajat.
  • Dilarang membersihkan kotoran dengan tulang dan kotoran, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu pada saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya:    أَبْغِنَي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضُ بِهَا وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ رَوْثَة   ٍ

"Berikanlah kepadaku beberapa batu untuk membersihkan kotoranku dan janganlah membawa kepadaku tulang dan kotoran". Aku bertanya: "Mengapa tidak memakai tulang dan kotoran?. Maka Rasulullah menjawab:

هُمَا مِنْ طَعَامِ اْلجِـنِّ وَإِنَّهُ أَتَانِي وَفْدُ جِنِ نَصِيْبِيْنَ-وَنِعْمَ اْلجِـنِّ-فَسَأَلُوْنِي الـزَّادَ فَدَعَـوْتُ اللهَ لَهُـمْ أَنْ لاَ يَمُـرُّوا بِعِظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ إِلاَّ وَجَـدُوْا عَلَيْهَا طَعَامًا

"Keduanya (tulang dan kotoran hewan) adalah makanan jin, sebab telah datang kepadaku utusan jin Nashibin- jin yang baik sekali- meminta kepadaku jenis bekal yang boleh mereka makan, maka aku berdo'a kepada Allah untuk mereka agar tidak mendapatkan tulang dan kotoran kecuali makanan mereka ada padanya".[506] Begitu juga dilarang membersihkan kotoran dengan tulang anak adam.

  • Membersihkan kotoran memakai batu dengan jumlah yang ganjil, minimal mengusap tempat kotoran sejumlah tiga kali, seperti yang dijelaskan dalam hadis Salman radhiallahu anhu, dia berkata:  Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang beristinja' dengan memaki batu yang kurang dari tiga buah".[507]
  • Dimakruhkan berbicara saat berada di kakus/wc berdasarkan riwayat bahwa seorang lelaki lewat di hadapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu dia mengucapkan salam kepadanya namun beliau tidak menjawab salamnya".[508] Dan pada saat itu beliau sedang membuang hajatnya, dan beliau tidak menjawab sapaan seseorang kecuali yang penting, seperti meminta air atau yang lainnya…
  •   Mencuci tangan setelah membuang hajat berdasarkan suatu riwayat yang menyebutkan bahwa apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam masuk wc maka aku membawakan baginya sebuah bejana atau timba berisi air untuk beristinja' dengannya. Abu Dawud berkata dalam hadits riwayat Waqi' "kemudian beliau mengusapkan tangannya pada tanah"- orang yang meriwayatkan hadits berkata-kemudian aku membawa bejana lain baginya, maka beliau berwudhu' dengannya.[509]

 

 

37-ADAB BERSIWAK

  • Mencuci siwak setelah memakainya untuk membersihkan kotoran yang menempel padanya, dalam hadits riwayat A'isyah radhiallahu anha, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersiwak lalu siwak tersebut diberikan kepadaku untuk dibersihkan, maka aku mencucinya dan bersiwak dengannya. Kemudian aku kembali membersihkannya, baru memberikannya kepada beliau".
  • Terdapat perbedaan ulama tentang dibolehkannya bersiwak menggunakan jari saat kayu siwak tidak ada, yang kuat adalah bersiwak dengan jari tidak termasuk sunnah.
  • Termasuk petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau bersiwak setelah bangun dari tidur.
    • Termasuk sunnah bersiwak pada setiap shalat.
  • Dari Aisyah radhiallahu anha, dia menceritakan bahwa Abdur Rahman bin Abu Bakr Al-Shiddiq radhiallahu anhu masuk  kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat aku menyandarkan beliau pada dadaku (detik-detik wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), sementara di tangan Abdur Rahman terdapat siwak basah yang dipergunakannya untuk bersiwak, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menolehkan pandangannya kepadanya,  (maka aku mengambil siwak tersebut) dan mengunyahnya serta melembutkannya lalu aku berikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian beliau bersiwak dengannya, dan aku tidak pernah sekali-kali melihat beliau bersiwak dengan cara yang lebih baik dari hari itu. Setelah selesai bersiwak beliau mengangkat tangannya atau jarinya kemudian bersabda: فِي الرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى (Pada golongan ornag-orang tertinggi) beliau mengucapkan sebanyak tiga kali. Kemudian beliau meninggal dunia, Siti Aisyah berkata: "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meninggal di antara dua tulang selangkaku dan tulang daguku".

    Beberapa hukum yang bisa disimpulkan dari hadits ini:

  • Disunnahkan bersiwak dengan siwak yang basah.
  • Disyari'atkan bagi seseorang untuk bersiwak pada saat berjalan dan bukan perbuatan yang makruh, sebab Abdurrahman bin Abi Bakr menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sementara dia dalam keadaan bersiwak.
  • Dibolehkan membersihkan mulut di hadapan seorang yang alim atau orang yang mempunyai keutamaan.
    • Dianjurkan bagi seseorang untuk menjaga agar dirinya selalu bersiwak.
  • Dianjurkan bagi seseorang yang terlihat pada dirinya tanda-tanda kematian, sementara dirinya sempat dan bisa bersiwak maka hendaklah dia bersiwak untuk mengikuti ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
  • Tidak dilarang bagi seseorang untuk meminta sesuatu dari saudaranya jika dia mengetahui bahwa saudaranya akan memberikan hal tersebut baginya.
  • Kecintaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan siwak, disebutkan dalam riwayat Al Bukhari bahwa Siti A'isyah berkata: "Maka aku mengetahui bahwa beliau menyukai siwak tersebut, lalu aku bertanya kepada beliau: "Apakah aku mengambilnya untukmu?".
    • Dianjurkan bagi seseorang yang ingin memakai siwak orang lain untuk memanfaatkan bagian yang belum dipergunakan bersiwak.
  • Dianjurkan bagi seseorang yang ingin bersiwak untuk mengharumkan siwaknya dengan air bunga atau wangian lainnya yang boleh dipergunakan pada mulut.
  • Disunnahkan bagi seseorang yang ingin bersiwak pada lidahnya, bersiwak dengan mengikuti arah panjang lidah.
  • Dianjurkan bagi seseorang untuk bersiwak pada saat dia akan melaksanakan shalat, yaitu antara iqomah dan takbiratul Ihrom.
  • Imam Bukhari rahimahullah mengatakan: باب دفع السواك إلى الأكبر "(Bab tentang memberikan siwak kepada orang yang lebih besar), Ibnu Baththal mengatakan: Dari hadits tersebut dapat disimpulkan tentang anjuran mengutamakan orang yang lebih tua dalam bersiwak".[510]

 

38-ADAB TIDUR

  • Mengintrospeksi diri sebelum tidur.
  • Menutup pintu, mematikan api dan lampu sebelum tidur, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

 أَطْـفِئُوا اْلمَصَابِيْحَ بِالَّليْلِ إِذَا رَقَـدْتُمْ وَأَغْـلِقُوْا اْلأَبْوَابَ

"Padamkanlah lampu-lampu pada waktu malam apabila kalian hendak akan tidur dan tutuplah pintu-pintu…"[511]

Alasan dipadamkannya api dan dimatikannya lampu adalah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ (اْلفَأْرَةُ) رُبَّمَا جَرَّتْ الْفَتِيْلَةَ فَأَحْرَقَتْ أَهْلَ اْلبَيْتَ

"Karena sesungguhnya hewan kecil yang nakal (tikus) mungkin menarik sumbu lampu hingga membinasakan penghuni rumah".[512]; Di dalam Al-Shahihaini dari Abi Musa radhiallahu anhu menceritakan: Suatu malam sebuah rumah di Madinah terbakar, lalu pada saat terjadi peristiwa tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:      إِنَّ هذِهِ النَّارُ عَدُوٌّ لَكُمْ فَإِذَا نِمْتُمْ فَأَطْفِئُوْهَا عَنْكُمْ

"Sesungguhnya api ini adalah musuh bagimu, maka apabila kalian tidur maka matikanlah dia darimu".

Adapun menutup pintu sebelum tidur, dijelaskan dalam riwayat Muslim dari hadits Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

وَأَغْلِقُوْا اْلأَبْوَابَ وَاذْكُرُوْا اسْمَ اللهَ فَإِنَّ الشَّـيْطَانَ لاَ يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا

"Dan tutuplah pintu-pintumu dan sebutlah nama Allah, sesungguhnya setan tidak akan membuka pintu yang tertutup."[513] Imam Nawawi rahimhullah berkata: "Apabila sebab (suatu perintah atau larangan) telah tiada maka maka laranganpun ditiadakan".[514]

  • Menutup bejana-bejana yang terbuka, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

غَطُّوا اْلإِنَاءَ وَأَوْكُوْا السِّقَاءَ فَإِنَّ فِي السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيْهَا وَبَاءٌ لاَ يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لََََيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ أَوْ سِقَاءٌ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ إِلاَّ نَزَلَ فِيْهِ مِنِ ذلِكَ الْوَبَاءِ

"Tutuplah bejana-bejana, dan ikatlah mulut-mulut ceretmu sebab sesungguhnya di dalam setahun ada suatu malam yang turun padanya penyakit dan tidaklah dia melewati suatu bejana yang tidak ditutup atau mulut ceretan yang tidak diikat kecuali akan dihinggapi oleh penyakit tersebut".[515] Ibnu Muflih berkata: dengan cara menutup bejana atau meletakkan kayu atau lainnya padanya[516], dalm As-Shahihaini dijelaskan:

فَإِذَا ذَهَبَتْ سَاعَةٌ مِنَ الْعِشَاءِ فَخَلُّوْهُمْ وَأَغْلِـقِ بَابَكَ وَاذْكُرِاسْمَ اللهِ  وَأَطْفِئِ مصَابِحَكَ وَاذْكُـرِاسْمَ اللهِ وَأَوْكِ سِقَاءَكَ وَاذْكُـرِ اسْمَ اللهِ وَخَمِّرْ إِنَاءَكَ وَاذْكُـرِ اسْمَ اللهِ وَلَوْ أَنْ تَعْرِضَ عَلَيْهِ شَيْئًا

"Apabila saat isya' telah berlalu maka biarkanlah mereka (anak-anakmu) dan tutuplah pintu-pintumu, dan sebutlah nama Allah, padamkanlah lampu-lampumu dan sebutlah nama Allah, ikatlah mulut-mulut ceretmu dan sebutlah nama Allah, tutuplah bejana-bejanamu dan sebutlah nama Allah, sekalipun dengan meletakkan sesuatu di atasnya".[517]

  • Dianjurkan berwudhu' sebelum tidur, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجِعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ....

"Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu maka hendaklah engkau berwudhu' seperti wudhu'mu untuk shalat…".[518]

  • Di antara petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah menggerak-gerakkan alas tidur sebelum tidur, berdasarkan hadits Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلىَ فِرَاشِهِ فَلْيَنْفضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي مَا خَلَّفَهُ عَلَيْهِ...

"Apabila salah seorang di antara kalian ingin tidur di atas kasurnya maka hendaklah dia menggerak-gerakkan (membersihkan) kasurnya bagian dalam sarungnya sebab dia tidak mengetahui apa yang ditinggalkan di belakangnya…". Dalam suatu riwayat disebutkan: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ فِرَاشَهُ فَلْيَنْفُضْ بعنفة ثَوْبِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ...

"Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi tempat tidurnya maka hendaklah dia menggerak-gerakkan ujung kainnya tiga kali..". Dan dalam riwayat Muslim disebutkan:

فَلْيَأْخُـذْ إِزَارَهُ فَلْيَنْفُضْ بِهَا فِرَاشَهُ وَلْيُسَمِّ اللهَ فَإِنَّهُ لاَ يَعْلَمُ مَا خَلْفَهُ بَعْدُ عَلىَ فِرَاشِهِ

"Maka hendaklah dia mengambil kainnya dan hendaklah dia membersihkan tempat tidurnya dengannya dan hendaklah dia menyebut nama Allah sebab dia tidak mengetahui apa yang ada di belakang kasurnya".[519]

  • Berbaring di atas bagian tubuh yang sebelah kanan, dan meletakkan pipi di atas tangan yang sebelah kanan[520] Berdasarkan hadits riwayat Al-Barro' bin Azib radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجِعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ  ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلىَ شَقِّكَ اْلأَيْمَنِ...

"Apabila engkau mendatangi tempat tidurmu maka hendaklah berwudhu' seperti wudhu'mu untuk shalat lalu berbaringlah di atas baigan tubuhmu yang sebelah kanan".[521]

  • Membaca wirid-wirid yang sudah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, seperti: ayat kursi, surat Al-Ikhlash, dan Al-Mu'awwidzataini (Al-Falaq dan Al-Nas) lalu meniup padanya, membaca surat Al-Kafirun, lalu membaca sebagian do'a dan zikir…)
  • Dimakruhkan tidur sendiri.
  • Mencuci tangan setelah makan pada saat akan tidur.
  • Berzikir kepada Allah pada saat bermimpi buruk dan tidak bisa tidur, seperti berdo'a dengan mengucapkan:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنَ

"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari murkaNya dan kejahatan hambaNya dan dari tipu daya setan serta mereka hadir di sisiku".[522]

  • Dimakruhkan tidur dengan posisi terlungkup di atas wajah, berdasarkan hadits riwayat Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melewati Abu Dzar dan beliau mendapatkannya tidur terlungkup di atas wajahnya, maka beliau menggerak-gerakkannya dengan kaki beliau lalu berkata: Wahai Junaidib: Ini adalah bentuk tidur penghuni neraka".[523]
  • Dimakruhkan tidur di atas rumah yang tidak bertembok, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

مَنْ بَاتَ فَوْقَ إِجَارٍ أَوْ فَوْقَ بَيْتٍ لَيْسَ حَوْلَهُ شَئٌ يَرُدُّ رِجْلَهُ فَقَدْ بَرِئْتُ مِنْهُ الذِّمَّةَ...

"Barangsiapa yang tidur di atas atap rumah yang tidak memiliki tembok atau atap rumah yang tidak mempunyai pembatas apapun untuk mematasi kakinya maka jaminan telah terlepas atas dirinya…".[524]

  • Lebih utama bagi seseorang agar tidak tidur setelah fajar, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

 اَللهُـمَّ بَارِكْ ِلأُمَّـتِي فِي بُكُـوْرِهِـم "Ya Allah berikanlah berkah bagi umatku pada waktu pagi mereka".[525]

  • Hadits yang menjelaskan bahwa "Nabi shallallahu alaihi wa sallam memakai celak mata sebelum tidur pada malam hari",[526] adalah hadits yang lemah.
  • Sudah dikenal dalam riwayat yang shahih bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidur pada awal malam menghidupkan akhir malam.[527]
  • Dari Mu'adz bin Jabal bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلىَ ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلَ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ

"Tidaklah seorang muslim tidur malam dengan berzikir dan bersuci lalu bangun pada waktu malamnya, kemudian meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat kecuali Allah akan mengabulkan permohonannya".[528]

 

39-BEBERAPA ADAB SEPUTAR MIMPI

  • Mimpi yang benar adalah bagian dari kenabian, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

اَلرُّؤْيَةُ الصَّادِقَةُ جُـزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِيْنَ جُزْءًا مِنَ النُّـبُوَّةِ

"Mimpi yang benar adalah satu bagian dari empatpuluh enam bagian dari kenabian".

  • Mimpi adalah permulaan wahyu.[529]
  • Kebenaran suatu mimpi sangat tergantung pada kejujuran orang yang bermimpi, dan orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya.
  • Pada saat zaman sudah mendekati (hari kiamat), suatu mimpi jarang yang salah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

إِذَا اقْتَرَبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ تَكْذِبُ وَأَصْدَقُكُمْ رُؤْيَا أَصْدَقُكُمْ حَدِيْثًا وَرُؤْيَا اْلمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِيْنَ جُزْءًا مِنَ النُّـبُوَّةِ

"Apabila zaman telah mendekati (hari kiamat), maka mimpi seorang mu'min jarang  yang bohong, dan orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur ucapannya, dan mimpi seorang mu'min adalah satu bagian dari empatpuluh enam bagian kenabian."[530]

  • Mimpi terbagi dalam tiga kategori, yaitu rahmani, nafsi dan syaitani, seperti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Al-Bukhari:

اَلرُّؤْيَا ثَلاَثَةٌ: فَالرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ بُشْرَى مِنَ اللهِ عَزَّوَجَلَّ وَالرُّؤْيَا تَحْزِيْنٌ مَنَ الشَّـيْطَانِ, وَالرُّؤْيَا مِنَ الشَّيْئِ يُحْدِثُ بِهِ اْلإِنْسَانُ نَفْسُهُ

"Mimpi terbagi menjadi tiga: Mimpi yang baik adalah kabar gembira dari Allah Azza Wa Jalla, mimpi yang membuat orang bersedih dari tipu daya setan dan mimpi melihat sesuatu adalah mimpi yang diwujudkan karena pengaruh kejiwaan seseorang".[531]

  • Mimpi para Nabi adalah wahyu, sebagai mimpi yang terbebas dari tipu daya setan, seperti mimpi Ibrahim alaihissalam dalam menyembelih putranya Ismail alaihissalam, dan mimpi selain para Nabi diukur (kebenarannya) dengan wahyu yang jelas, apabila (mimpi tersebut) sesuai dengan wahyu maka seseorang diperbolehkan berbuat berdasarkan mimpi tersebut namun jika sebaliknya maka tidak diperbolehkan beramal dengannya.
  • Barangsiapa ingin agar mimpinya selalu benar maka hendaklah berusaha berkata jujur, memakan barang yang halal dan menjaga perintah syara' serta menjauhi larangan Allah dan Rasulnya, tidur dengan bersuci dan menghadap kiblat, juga menyebut nama Allah sampai dirinya tertidur.
  • Mimpi yang paling baik adalah mimpi pada waktu sahur, sebab pada waktu tersebut adalah waktu turunnya Allah dan diamnya setan-setan, sebaliknya mimpi pada waktu atamah (awal malam setelah hilangnya mega merah sampai sepertiga awal dari waktu malam) adalah waktu menyebarnya setan.
  • Dari Abi Sa'id Al-Khudri radhiallahu anhu bersabda: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ رُؤْيَا يُحِبُّهَا فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ اللهِ فَلْيَحْمَدِ اللهَ عََلَيْهَا وَلْيُحَدِّثْ بِهَا وَإِذَا رَأَى غَيْرَ ذلِكَ مِمَّا يَكْرَهُ فَإِنَّمَا هِيَ مِنَ الشَّيْـطَانِ فَلْيَسْتَعِذْ مِنَ شَرِّهَا  وَلاَ يَذْكُرُهَا ِلأَحَدٍ فَإِنَّهَا لاَ تَضُرًّهُ

"Apabila salah seorang di antara kalian melihat suatu mimpi yang disenanginya, sesungguhnya mimpi tersebut dari Allah, maka handaklah dia menyebut nama Allah atasnya dan menceritakannya (kepada orang lain), dan apabila dia melihat selain itu, dari sesuatu yang dibencinya, sesungguhnya dia berasal dari setan maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dari keburukannya dan janganlah dia menceritakannya kepada seorangpun, sesungguhnya mimpi tersebut tidak memudharatkannya". [532]

  • Dari Abi Qotadah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

اَلرُّؤْيَا مِنَ اللهِ وَالْحُلْمُ مِنَ الشَّـيْطَانِ فَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُـهُ فَلْيَـنْفُثْ عَنْ شَمَالِهِ ثَلاَثًا ثُمَّ يَتَعَوَّذُ مِنْ شَرِّهَا فَإِنَّهَا لاَ تَضُرُّهُ

"Mimpi yang benar dari Allah, dan mimpi yang dusta dari setan, dan apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang dibencinya maka hendaklah dia meniup ke sebelah kanannya tiga kali kemudian berlindung kepada Allah dari keburukannya sesungguhnya dia tidak akan memudharatkannya".[533]

  • Dari Jabir radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَى أَحَـدُكُمْ الرُّؤْيَا يَكْرَهُهَا فَلْيََـبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلاَثًا وَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّـيْطَانِ ثَلاَثًا  وَلْيَتَحَوَّلْ عَنْ جَنْبِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ

"Apabila salah seorang di antara kalian melihat mimpi yang tidak disukainya maka hendaklah dia meludah ke sebelah kirinya tiga kali dan berlindunglah kepada Allah dari setan tiga kali, lalu hendaklah dia berpindah dari posisinya yang semula".[534]

Adab yang dianjurkan saat melihat mimpi yang baik adalah (Memuji Allah atas mimpi tersebut-Merasa gembira dengannya-Menceritakannya kepada orang yang disukainya-Optimis dengan kebaikan karenanya-Waspada terhadap sikap bangga diri)

Adab yang dianjurkan saat melihat mimpi yang buruk adalah (Berlindung kepada Allah dari keburukannya-Tidak menceritakannya kepada seorangpun-Berlindung kepada Allah dari kejahatan setan-Meludah saat dia bangkit dari tidurnya sebanyak tiga kali-Berwudhu' dan shalat dua rekaat[535]-Merubah posisi tidur dari pinggang yang semula kepada posisi yang lain).

  • Menafsirkan mimpi terbagi menjadi beberapa bagian, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Baghawi rahimhullah Ta'ala. (Penafsiran ini) berdasarkan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, atau dari berbagai pribahasa-pribahasa yang berlaku di tengah masyarakat, suatu penafsiran bisa berlaku pada nama-nama dan makna-makna, bahkan berlaku pada sesuatu yang bermakana lawannya atau sebaliknya.

Penafsiran yang didasarkan pada Al-Qur'an, seperti tali sebagai symbol dari perjanjian, berdasarkan firman Allah Ta'ala:

وَاعْـتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا

"Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah ".

Penafsiran mimpi yang didasarkan pada As-Sunnah, seperti burung gagak sebagai symbol bagi lelaki yang fasiq, sebab Nabi shallallahu alaihi wa sallam menamakannya fasiq.

Penafsiran yang didasarkan pribahasa-pribahasa, seperti menggali lubang sebagai isyarat bagi tindakan makar, berdasarkan pada pribahasa yang berlaku ditengah masyarakat: Barangsiapa yang menggali suatu lubang niscaya dia akan terperosok di dalamnya.

Penafsiran yang didasarkan pada isyarat nama-nama, seperti seorang yang melihat lelaki bernama Rasyid (cerdas) sebagai isyarat bagi kecerdasan (kedewasaan).

Penafsiran dengan isyarat makna sebaliknya atau lawan kata, seperti kata takut ditafsirkan dengan rasa aman, seperti yang disebutkan di dalam firman Allah Azza Wa Jalla:

وَلَـيُـبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْد ِخَوْفِهِـمْ أَمْنًا 

"Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan mereka) sesudah mereka berada di dalam ketakutan menjadi aman sentausa"[536].

 

40-ADAB BERPAKAIAN DAN BERHIAS:

  • Wajib menutup aurat.
  • Di antara adab seseorang terhadap Allah adalah orang yang ingin mandi agar menutup dirinya dengan sesuatu yang bisa menutupi dirinya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُحِبُّ اْلحَيَاءَ وَالسِّتْرً فَإَذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ

"Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla bersifat malu dan menutupi, senang pada sikap malu dan menutupi (diri), maka apabila salah seorang di antara kalian mandi maka hendaklah dia menutupi dirinya".[537]

  • Di antara petunjuk beliau adalah memakai pakaian yang mudah bagi diri beliau.
  • Pakaian yang paling dicintai oleh beliau adalah pakian jenis gamis (baju kurung) dan lengannya menjulur sampai ke pergelangan tangan.
  • Diharamkan lelaki menyerupai wanita, begitu juga dengan wanita yang menyerupai lelaki, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat lelaki yang menyerupai perempuan dan wanita yang menyerupai lelaki".[538]
  • Dianjurkan menampakkan nikmat baik pada pakaian atau yang lainnya, berdasarkan hadits dari Abil Ahwash dari bapaknya, ia berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan pakian yang jelek, maka beliau bertanya: "Apakah kamu mempunyai harta?", dia menjawab: "Ya", Beliau bertanya kembali: "Jenis apakah harta tersebut?", Dia menjawab: "Allah telah memberikan kepadaku onta, kuda dan budak", lalu beliau bersabda: "Apabila Allah memberikan kepadamu harta maka hendaklah bekas nikmat dan anugrah Allah tersebut terlihat pada dirimu".[539]
  • Diharamkan mengulurkan baju (sampai dibawah kaki) karena kesombongan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَـوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنْ جَـرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

"Allah tidak akan melihat pada hari kiamat kepada orang yang mengulurkan bajunya (sampai di bawah mata kaki) dengan kesombongan".[540]

  • Diharamkan memakai pakian yang bergambar salib atau gambar-gambar lainnya, dari Al-Qosim, dari Aisyah radhiallahu anha bahwa dia membeli sebuah bantal (kecil untuk bersandar) padanya terdapat beberapa gambar, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri di pintu dan tidak masuk rumah. Dia berkata: "Aku bertaubat kepada Allah dari apa yang telah aku lakukan". Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya: "Bantal apakah ini?", "Kita pergunakan untuk bersandar saat duduk dan memakainya untuk tidur". Rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya orang yang memiliki gambar ini akan diazab pada hari kiamat, dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa-apa yang kalian ciptakan, sesungguhnya para malaikat tidak akan memasuki sebuah rumah yang terdapat padanya suatu gambar".[541]

Dari Imron bin Hathan, Siti Aisyah bercerita kepadanya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak meninggalkan di dalam rumahnya gambar-gambar salib kecuali beliau menghilangkannya".[542]

  • Diharmakan memakai pakaian kebesaran agar terkenal, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

"Barangsiapa yang memakai pakaian kebesaran (agar dia terkenal) di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat".([543])[544]

Diharamkan memakai sutra bagi laki-laki kecuali karena ada halangan, dari Ali bin Abi Tahalib radhiallahu anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil kain sutra lalu memeganganya dengan tangan kanannya, dan memegang emas dengan tangan kirinya, kemudian bersabda: Dua jenis barang ini haram atas umatku yang lelaki".[545] Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang memakai sutra di dunia maka dia tidak memakainya di akhirat, barangsiapa yang meminum khamar di dunia maka dia tidak akan meminumnya di akhirat, barangsiapa yang minum dari bejana emas dan perak di dunia maka dia tidak akan meminum dengannya pada hari kiamat…lalu bersabda: Pakaian penghuni surga, minuman penghuni surga dan bejana penghuni surga".[546]

  • Termasuk sunnah memendekkan pakaian pria dan memanjangkan pakain wanita.
  • Termasuk sunnah mendahulukan yang kanan saat memakai pakaian.[547]
  • Termasuk sunnah saat memakai pakaian yang baru seseorang membaca:

اَللّهُمَّ لَكَ اْلحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيْهِ أَسْأَلًكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ وَأَعوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّمَا صُنِعَ لَهُ

"Ya Allah, segala puji bagiMu, Engkaulah yang telah memberikan kepadaku pakaian ini, aku mohon kepadaMu kebaikannya dan kebaikan apa yang dibuat baginya, dan aku berlindung kepadaMu dari keburukannya dan keburukan apa yang dibuat baginya".[548]

  • Termasuk sunnah dikatakan kepada orang memakai pakaian yang baru: اِلْبَسْ جَدِيْدًا وَعِشْ حَمِيْدًا وَمُتْ شَهِيْدًا

"Pakailah yang baru, hiduplah dengan mulia dan matilah dalam keadaan syahid".[549]

  • Dianjurkan memakai pakian yang putih, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

اِلْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَـفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ....

"Pakailah pakaian yang putih, sebab dia adalah sebaik-baik pakianmu dan kafanilah mayatmu dengannya…".[550]

  • Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang memakai pakian yang dicelup dengan warna merah dan pakaian yang dipenuhi dengan warna merah pekat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:                        إِنَّ هذِهِ ثِيَابُ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا

  "Ini adalah pakaian orang kafir maka janganlah engkau memakainya".[551]

  • Dianjurkan memakai wangian dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling harum baunya, seperti yang jelaskan oleh Anas radhiallahu anhu: "Aku tidak pernah menyentuh sutra dan tidak pula dibaj (pakaian yang bergaris dengan benang-benang sutra) yang lebih lembut dari telapak tangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta aku tidak pernah sedikitpun mencium bau yang lebih harum dari baunya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam".[552]
  • Beliau sangat senang dengan bau yang harum dan kedatangan beliau diketahui dengan keharuman bau beliau.
  • Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menolak hadiah minyak wangi.
  • Nabi shallallahu alaihi wa sallam memiliki sebuah botol (tempat minyak wangi) untuk mengharumkan diri dengannya. [553]

 

41-ADAB MEMAKAI CELAK MATA

  • Memakai celak mata adalah hiasan bagi wanita, dan untuk pria adalah pengobatan dan perbuatan yang bermanfaat, maka tidak seyogyanya bagi lelaki memakai celak sebagai perhiasan, dia mencarinya padahal tidak dibutuhkan. Dia adalah obat bagi penyakit rabun mata:  

          وَإِنَّ خَيْرَ أَكْحَالِكُمْ اْلإِثْمِدُ يَجْلُوْ اْلبَصَرُ وَيُنْبِتُ الشَّعْرَ               "Dan sebaik-baik celak kalian adalah ismid, menjadikan pandangan mata terang dan menumbuhkan rambut".[554]

  • Termasuk sunnah memakai celak dengan jumlah yang  ganjil.[555]

 

42-ADAB MEMAKAI CINCIN

  • Bercincin diperbolehkan bagi lelaki, dan bukan termasuk perkara yang disunnahkan, akan tetapi dia termasuk perkara yang apabila dibutukan maka boleh dikerjakan namun jika tidak maka dia boleh ditinggalkan. Dalilnya adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memakai cincin. Akan tetapi pada saat dikatakan kepada beliau bahwa para raja dan pemimpin tidak menerima sebuah surat tanpa dibarengi dengan cincin, maka beliau memakai cincin yang terukir pada batu matanya:  (محمد رسول الله)  [556]dan cincin tersebut terbuat dari permata[557], dan dipasang pada jari manis[558], dan dimakruhkan memasangnya pada jari tengah dan jari setelahnya (jari telunjuk) yaitu perbuatan yang sangat dibenci[559] dan memasangnya pada tangan kanan lebih baik karena hal tersebut lebih mulia. Nabi shallallahu alaihi wa sallam terkadang memasang cincinnya pada tangan disebelah kanan dan terkadang pula pada tangan disebelah kiri.[560]
  • Dilarang memakai cincin emas, berdasarkan sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat seseorang lelaki memakai cincin emas pada tangannya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencabut lalu membuangnya, dan beliau bersabda: "Salah seorang di antara kalian sengaja menceburkan diri pada bara api neraka dan menjadikannya pada tangannya". Lalu dikatakan kepada lelaki tersebut setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pergi meninggalkannya: 'Ambillah cicinmu dan manfaatkanlah dia", lelaki tersebut menjawab: Demi Allah! Tidak, aku tidak akan mengambil sesuatu yang telah dilempar oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam".[561]
  • Yang lebih utama menjadikan batu mata cincinnya searah dengan bagian dalam telapak tangannya sebab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan hal yang demikian tersebut.
  • Menjadikan mata batu cicinnya dari jenis cincin tersebut.

 

43-ADAB MENYISIR RAMBUT

  • Tidak boleh membotakkan rambut dengan tujuan menjalankan perintah agama kecuali di dalam rangkaian manasik.
  • Dianjurkan membotakkan rambut pada keadaan di bawah ini, yaitu:
    • Apabila anak kecil sudah mencapai usia tujuh hari, berdasarkan sabda  Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

كُلُّ غُلاَمً رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

"Setiap anak baru lahir sangat tergantung pada aqiqahnya, disembelihkan baginya pada hari ketujunya, dan diberi nama padanya serta dibotakkan rambutnya".[562]

  • Apabila rambutnya memanjang dengan ukuran terlalu panjang.
  • Dianjurkan memotong rambut jika bentuk rambut tersebut mempercantik pemiliknya dan dikhawatirkan menjadi sumber fitnah.
  • Bentuk yang dianjurkan bagi rambut adalah agar rambut tersebut diatur secara terjalin; sebab inilah perbuatan terakhir yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebab pada saat itu Ahlul Kitab memanjangkan rambut mereka (ke belakang), dan orang-orang musyrik menjalin rambut mereka, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam memanjangkan rambut keningnya, setelah itu barulah beliau menjalinnya.[563]
  • Apabila rambut memanjang maka dianjurkan menjadikannya dua jalinan.[564]
  • Mengurai rambut (tanpa dijalin) adalah perbuatan yang dibenci.[565]
  • Dianjurkan bentuk rambut seseorang seperti rambut Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, jika rambut tersebut panjang, maka dia sebatas kedua pundak dan jika memendek maka dia sebatas kedua daun telinganya.[566]
  • Dimakruhkan membentuk rambut seperti bentuk qoza'[567], berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang mencukur rambut dengan bentuk qoza''.[568] Bahkan larangan tersebut mengarah kepada keharaman, sebab perbuatan tersebut menjurus kepada penyerupaan terhadap orang kafir, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia dari golongan mereka".[569]

  • Dilarang menyangkul rambut berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kita untuk bersujud di atas tujuh tulang dan tidak mengumpulkan rambut dan menjahit tepi kain (setelah dijelujuri)".[570]
  • Seorang muslim dilarang berlebihan dalam memperhatikan rambut dan bentuk dirinya secara umum, dan diperintahkan menjaga kebersihan dan keindahan diri dengan sewajarnya (tidak berlebihan), berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

 مَنْ كَانَ لَهُ شَعْـرٌ فَلْيُكْرِمْهُ "Barangsiapa yang mempunyai rambut maka hendaklah dia memuliakannya".[571] Dan pada saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melihat seorang lelaki yang rambutnya acak-acakan terurai, maka beliau menegur:  أَمَا كَانَ يَجِدُ هَـذَا مَا يُسَكِّنُ بِهِ شَعْـرَهُ

Apakah orang ini tidak mendapatkan sesuatu untuk menenangkan rambutnya?"[572] Serta Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang bagi seseorang terlalu sering menyisir rambut kecuali bagi orang yang menyisirnya berselang-selang".[573] ([574])

  • Dan terdapat hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa menimbun rambut adalah sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, adapun hadits yang mengatakan:

 اِْدفِـنُوْا ْالأَظْفَارَ وَالدَّمَ وَالشَّـعْرَ فَإِنَّهُ مَيِّتَةٌ

"Timbunlah kuku-kuku, darah dan rambut sebab dia telah mati". Adalah hadits yang lemah.[575]

  • Rambut itu suci, sebab Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencukur rambutnya lalu memberikannya kepada Abi Thalhah dan bersabda: "Bagikanlah kepada orang-orang".[576]
  • Mencabut uban dari rambut kepala hukum larangannya tidak sampai pada tingkat haram, sebab dia bukan Al-Namsh, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

لاَ تَنْتِفُوْاالشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيْبُ فِي اْلإِسْلاَمِ إِلاَّ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهِ حَسَنَةً وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطَِيْئَةً

"Janganlah mencabut uban, tidaklah seorang muslim beruban di dalam Islam kecuali baginya cahaya pada hari kiamat dan Allah menuliskan baginya satu kebaikan serta menghapuskan darinya satu dosa".[577]

  • Menyemir rambut adalah sunnah, namun tidak dengan mengguakan warna hitam, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

يَكُوْنُ قَـوْمٌ يُـخْضِبُوْنَ فِي آخِـرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ اْلحَمَامِ لاَ يَرِيْحُوْنَ رَائِحَةَ اْلجَنَّةِ

"Di akhir zaman akan terdapat kaum yang akan menyemir rambut mereka dengan hitam seperti tembolok burung dara mereka tidak mendaptkan bau surga".[578]

  • Tidak dianjurkan menjual rambut, Iman Nawawi berkata di dalam kitab Al-Majmu': Diharamkan mengambil manfaat dari rambut anak Adam (dengan menjualnya) dan seluruh bagian dirinya sebab jasad tersebut adalah terhormat".[579]
  • Wanita dibolehkan menyemir rambutnya dengan selain warna hitam, seperti warna coklat dan warna blonde, Ibnu Utsaimin rahimhullah berkata: Pada dasarnya hukum perbuatan ini adalah boleh, kecuali jika tindakan tersebut sampai pada tingkat menyerupai rambut kepala wanita-wanita kafir, para wanita tuna susila dan fajir maka hal tersebut haram.[580]

 

 

44-ADAB BERBEKAM

  • الحِجَامة  berasal dari kata الحجم yang berarti menghisap/menghirup/menyedot. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

الشفاءُ في ثلاثةٍ : شربةُ عَسَلٍ وشُرطةُ مَحجَم وكَيَة نارٍ

"Obat itu dalam tiga hal; tegukan madu, goresan bekaman dan pengobatan dengan besi panas."[581]

  • Waktu yang baik untuk berbekam ialah pada paruh kedua hitungan bulan dan lebih bermanfaat lagi pada pekan ketiganya.[582]
  • Dimakruhkan berbekam dalam keadaan kenyang, setelah jima atau setelah membuang hajat.
  • Jika berbekam bertepatan dengan hari kamis, tanggal 17, 19 atau 21 bulan hijriyah, maka itulah waktu yang paling utama.
  • Menggunakan peralatan bekam yang steril.

 

45-ADAB BEROLAH RAGA

  • Berniat karena taqwa dan taat kepada Allah Ta'ala.
  • Bersemangat untuk berolah-raga memanah, berenang, menunggang kuda dan lomba lari.
  • Berpakaian yang tidak menampakkan aurat.
  • Tidak melalaikan dzikir kepada Allah.
  • Tidak menyerupai orang kafir dan musyrikin.

 

46- ADAB NAIK KENDARAAN DAN BERJALAN KAKI.

  • Hendaklah berjalan karena  taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam :        

  َالرِِّجْـلاَنِ تََـزْنِيَانِ وَزِِنَاهُـمَا الْمَشْيُ 

"Kedua kaki bisa melakukan zina dan zina keduanya ialah berjalan". [583]

  • Larangan untuk berjalan dengan perasaan angkuh, sebagaimana Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

بَيْـنَمَا رَجُـلٌ يَمْشِي فِي حُلَّةٍ تُعْـجِبُهُ نَفْسُهُ مُرْجِلٌ جُـمَّتَهُ إِذْ خَسَفَ اللهُ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ إَلىَ يَوْمِ اْلقِيَامَةِ

"Ketika seorang laki-laki berjalan angkuh dengan pakaian kemegahan yang dikaguminnya, rambut menjuntai tersisir rapi, maka Allah menenggelamkannya, sementara ia terus berteriak sampai hari kiamat". [584]

  • Berjalan dengan perasaan angkuh itu tidak diperbolehkan kecuali di medan perang.كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَشَى تَكَـفَّـأَ تَكَـفُّـؤًا    "Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjalan, beliau berjalan dengan seimbang",[585] -agak condong kedepan- beliau orang yang paling cepat dan paling tenang cara berjalannya.
  • Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata:     

مَا رَأَيْتُ مَنْ أَحْسَنَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأَنَّ الشَّمَْس تَجْرِي فِي وَجْهِهِ نُوْرٌ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَسْرَعَ فِي مِشْيَتِهِ مِنْ َرسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  كََأَنَّمَا اْلأَرْضَ تُطْوَي لَهُ، وَإِنَّا لَنُجْهِدُ أَنْفُسَنَا وَأَنَّهُ غَيْرَ مُكْتَرِثٍ    

"Aku tidak melihat seseorang yang lebih tampan dari Rasulullah laksana matahari berjalan, wajahnya penuh cahaya. Aku tidak melihat seseorang yang lebih cepat cara berjalannya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, seakan bumi dilipatkan baginya. Kami bersusah payah mengikutinya sementara beliau seakan tidak perduli".[586]

  • Pemilik hewan kendaraan lebih berhak duduk di atas dada hewan kendaraannya, maka janganlah seseorang duduk di depannya kecuali atas seizinnya berdasarkan hadits riwayat Buraidah radhiallahu anhu beliau berkata:

بَيْنَمَا رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي  جاَءَ رَجُلٌ وَمَعَهُ حِمَارٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِرْكَبْ وَتَأَََخَّرَ الرَّجُلُ فَقَالَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ, أَنْتَ أَحَقُّ بِصَِدْرِ دَابَّتِكَ مِنِّي إِلاَّ أَنْ تَجْعَلَهُ لِي، قَالَ: فَإِنِّي قَدْ جَعَلْتُهُ لَكَ فَرَكِبَ   

"Saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjalan, datanglah seseorang dengan keledainya lalu berkata: 'Wahai Rasulullah, naiklah!', sementara orang itu bergeser kebelakang. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Tidak. Engkau lebih berhak duduk pada bagian depan kendaraanmu, kecuali engkau membelikannya untukku". Lelaki itu berkata: 'Sesungguhnya aku telah menjadikan ini untukmu", akhirnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk pada bagian depan kendaraan tersebut." [587]

  • Dibolehkan membonceng orang lain di atas hewan kendaraan jika tidak memberatkan (bagi hewan tunggangannya), karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah membonceng Mu'adz. [588]
  • Dimakruhkan menaruh tandu diatas hewan kendaraan. Abu Hurairah radhiallahu anhu meriwayatkan dalam sebuah hadits: 

إِيَّاكُمْ أَنْ تَتَّخِـذُوْا ظُهُـوْرَ دَوَابِّكُـمْ مَنَابِرَ فَإِنَّ اللهَ سَخَّـرَهَا لَكُمْ لَتَبْلُغُوْا إِليَ بَلَدٍ لَمْ تَكُوْنـُوْا بَالِغِيْهِ إِلاَّ بِشِـقِّ اْلأَنْفُسِ، وَجَعَـلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ فَعَلَيْهَا فَاقْضُوْا حَاجَاتِكُمْ

"Hendaklah kalian tidak meletakkan tandu di atas punggung hewan kendaraan kalian, karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menjadikannya untuk menyampaikan kalian ke suatu tempat yang tidak mungkin kalian sampai kecuali dengan bersusah payah. Dan Allah telah menjadikan bumi untuk kalian, maka di atas bumi itulah kalian penuhi segala kebutuhan kalian".[589]

  • Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjalan, beliau tidak melirik,[590] tidak juga tampak lemah atau pun malas.
  • Janganlah berjalan dengan bermalas-malasan karena Umar radhiallahu anhu ketika melihat orang yang berjalan seperti itu, beliau berkata: "Janganlah kau matikan agama kami. Semoga Allah mematikanmu".
  • Berjalanlah dengan tenang dan berwibawa. Firman Allah Subnahu Wa Ta'ala:وَعِبَادُ الرَّحْمنِ اللَّذِيْنَ يَمْشـُونَ عَليَ اْلأَرْضِ هَوْنًا              "Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati"  [591]
  • Perempuan hendaklah berjalan di pinggir jalan, sebagaiman firman Allah Allah Subnahu Wa Ta'ala: فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَليَ اسْتِحْيَاءٍ "Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan…" [592]
  • Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjalan bersama para sahabatnya. Mereka berjalan di depan, sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam dibelakangnya dan bersabda:

اُمْشُوْا أَمَامِي، وَخَلُّوْاظَهْرِي ِلْلمَلاَئِكَةِ 

"Berjalanlah kalian di depanku dan biarkanlah di belakangku untuk para malaikat (yang menjaga)" [593]

  • Rasulullah shallallahu alaihi wasallam senantiasa mengiringi orang lemah, menboncengnya dan mendoakannya".[594]
  • Berkata Imam Ibnu 'Aqil –Rahimahullah-: "Jika seseorang berjalan bersama orang yang lebih tua dan lebih pandai, hendaklah dia berjalan di sebelah kanannya seperti posisi imam dalam shalat. Jika sederajat, disunahkan tidak berada di sebelah kirinya, agar seseorang leluasa ketika meludah atau membuang ingus". [595]
  • Berkata Qadhi Abu Ya'la: "Jika berjalan, janganlah menoleh kesana kemari karena perbuatan seperti itu akan dinisbatkan kepada orang dungu".[596]
  • Diriwayatkan dari Khallal bahwa dia menceritakan tentang adab dari Imam Ahmad –Rahimahullah-: "Yang mengikuti berjalan (dianjurkan berada) di sebelah kanan orang yang diikutinya".[597]
  • Ketika Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu keluar dan orang-orang mengikutinya berjalan di belakang, beliau berkata kepada mereka: "Mundurlah kalian karena yang demikian itu adalah kehinaan bagi orang yang mengikuti dan fitnah bagi orang yang diikutinya. Oleh itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam merendahkan diri dan berjalan di belakang para sahabatnya".
  • Berjalan kaki menuju shalat jum'at lebih utama daripada naik kendaraan. Jika perjalanan jauh, hendaklah sebagian naik kendaraan dan sebagian lagi berjalan kaki.
  • Wudhu akan menghilangkan bekas-bekas dosa (yang dikerjakan oleh kaki) berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيْئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلاَهُ مَعَ الْمَاءِ أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِاْلمَاءِ حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوْبِ

"Jika seseorang membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa-dosanya bersama basuhan air atau tetesan terakhir sampai orang itu keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosanya" [598]

  • Berjalan menuju masjid termasuk hal yang menghapus dosa". [599]
  • Jika berjalan menuju masjid, berjalanlah dengan tenang dan berwibawa. Sabda Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam :

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَِيْتِهِ ثُـمَّ مَشَي إَلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ لِيَِقْضِيَ فَرِيْضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خُطُوَاتُهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيْئَةً وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

"Barangsiapa yang bersuci di rumahnya lalu berjalan menuju salah satu rumah Allah Subnahu Wa Ta'ala untuk melakukan salah satu shalat fardhu yang telah diwajibkan oleh Allah Subnahu Wa Ta'ala, maka salah satu langkahnya akan menggugurkan dosa dan langkah yamg lain akan meningkatkan derajatnya."[600]

  • Orang yang sedang shalat dibolehkan berjalan untuk mengisi celah kosong (shaf shalat) atau membukakan pintu sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
  • Dalam Umrah untuk Haji seseorang berjalan biasa pada empat putaran terakhir dan berjalan cepat pada tiga putaran pertama.
  • Dalam sa'i ialah berjalan biasa ketika turun dari shafa dan berjalan cepat ketika kedua kaki menuruni lembah.
  • Dalam melempar jumrah, Nabi shallallahu alaihi wasallam pergi dan pulang secara berjalan.
  • Bila berjalan mengantarkan mayat, hendaklah orang yang berkendaraan berada di belakang jenazah, sedang orang yang berjalan kaki berjalan dibelakang atau sebelah kanannya, atau sebelah kirinya dan dekat dari mayat dengan berjalan cepat.
  • Tidak berjalan di atas kuburan dengan memakai sandal, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika melihat seseorang yang yang berjalan di atas kuburan dengan memakai sandal, beliau bersabda: يَا صَاحِبَ السِّبْتَتَيْنِ أَلْقِهِمَا

"Wahai orang yang memakai sepasang sandal buanglah keduanya ."[601]

  • Hendaklah seseorang berjalan bersama orang-orang yang lemah:

كَانَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ الذِّكْرَ، وَيقِلُّ اللَّغْوُ، وَيُطِيْلُ الصَّلاَةَ، وَيُقَصِّرُ الْخُطْبَةَ، وَلاَ يَأْنَفُ أَنْ َيَمْشِي مَعَ اْلأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِيْنُ فَيَقْضِيَ لَهُ اْلحَاجَّةُ

"Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperbanyak berdzikir, mengurangi perkataan sia-sia, memanjangkan shalat, memendekkan khutbah dan tidak memandang rendah untuk berjalan bersama janda (ditinggal mati) dan orang miskin lalu beliau memenuhi kebutuhannya" [602]

  • Diantara adab berjalan ialah ketika seseorang melihat hal yang membahayakan di jalan, hendaklah ia membuangnya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

بَيْنَمَا رَجُل يَمْشِي بِطَرِيْقٍِ َوجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ عَليَ الطَّرِيْقِ فَأَخَّرَهُ  فَشَكَرَ اللهُ فَغَفَرَ لَهُ

"Ketika seseorang berjalan, ia menemukan ranting yang berduri di atas jalan, lalu ia menghindarkan dari jalanan, maka Allah memberi penghargaan baginya, lalu mengampuninya".[603] Dari Abi Barzah Al Aslami radhiallahu anhu dia berkata: Wahai Rasulullah! Tunjukkanlah kepadaku amal ahli surga? Beliau bersabda:

أَمِطِ اْلأَذَى عَنِ طَرِيْقِ النَّاس "Buanglah duri dari jalan manusia". [604]

  • Berjalan cepat jika ada kepentingan tertentu berdasarkan sebuah hadits:

أَنَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَاعَ فَرَسًا مِنْ أَعْرَابِيٍّ فَاسْتَتْبَعَهُ النَبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِليَقْضِيَهُ ثَمَنَ فَرَسِهِ فَأَسْرَعَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلمَشْيَ

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membeli kuda dari seorang badui, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengikutinya dan mempercepat langkahnya untuk membayar kuda tersebut ".[605]

  • Orang junub dibolehkan berjalan bersama orang lain, bahkan Imam Bukhari memberikan judul dalam kitab shahihnya: "Bab orang junub keluar dan berjalan di pasar dan tempat-tempat lainnya."
  • Nanti ada orang-orang yang dikumpulkan pada hari kiamat diatas wajah mereka. Para sahabat merasa aneh, lalu beliau bersabda:

أَلَيْسَ الَّذِي أَمْشَاهُ عَليَ الرِّجْلَيْنِ فِي الدُّنْيَا قَادِرًا عَلىَ أَنْ يُمَشِّيَهُ عَليَ وَجْهِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

"Bukankah Dzat yang menjadikan manusia berjalan diatas kedua kaki berkuasa untuk menjadikan manusia berjalan di atas wajahnya." [606]

  • Tidak menggunakan kecepatan tinggi ketika mengemudikan kendaraan di jalan-jalan yang penuh dengan orang yang menyebrang. Memberi kesempatan dan keluasan jalan kepada mereka, merupakan bentuk tolong-menolong dalam kebaikan.

 

47- ADAB MEMAKAI SANDAL

  • Hendaklah engkau mendahulukan kaki kanan ketika memakai sandal  dan mendahulukan kaki kiri ketika melepaskannya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam :

إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَيَبْدَأَ بِالْيَمِيْنِ وَإِذَا نَزَع َفَيَبْدَأَ بِالشِّمَالِ لِيَكُنِ اْليُمْنَى أَوَّلَهُمَا تَنْعلٍُ وَآخِرِهِمِا تَنْزَعُ

“Jika salah seorang kalian memakai sandal, mulailah dengan yang kanan dan jika melepaskannya mulailah dengan yang kiri. Jadikan kanan yang pertama dipakaikan dan kiri yang pertama dilepaskan"[607]

  • Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:                                          نَهَى أَنْ يَنْتَعِلَ الرَجُلُ قَائِمًا

"Dilarang memakai sandal sambil berdiri".  Al Manawi berkata: "Perintah dalam hadits ini merupakan nasehat, karena memakai sandal sambil duduk itu lebih mudah dan lebih memungkinkan". [608]

  • Seorang muslim dimakruhkan memakai satu sandal. Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا انْقَطَعَ  شَسْعَ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْشِي فِي نَعْلِهِ اْلأُخْرَى حَتَّى يُصْلِحَهَا

"Jika putus tali sandal salah seorang di antara kalian, maka janganlah memakai sandal yang sebelahnya sampai diperbaiki".[609]

لاَ يَمْشِي أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍِ وَاحِدَةٍ لِيَنْعَلْهُمَا جَمِيْعًا أَوْ لِيُحْفِهِمَا جَمِيْعًا

"Janganlah salah seorang di antara kalian berjalan dengan satu sandal. Maka pakailah keduanya atau lepaslah keduanya".[610] Syaitan berjalan dengan satu sandal sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَمْشِي فِي النَّعْلِ اْلوَاحِدَة    "Sesungguhnya syaitan itu berjalan dengan satu sandal" [611]

  • Termasuk sunah Nabi shallallahu alaihi wasallam ialah (berjalan dengan) bertelanjang kaki. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:     كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَحْتَفِيَ أَحْيَانًا

"Nabi shallallahu alaihi wasallam terkadang memerintahkan kita untuk bertelanjang kaki." [612]

  • "Sesungguhnya sandal Nabi shallallahu alaihi wasallam mempunyai dua tali".[613] 

قبال النعل  dengan kasrah huruf Qaf berarti tali pengikat, yaitu tali kulit (sandal) yang berada antara jari tengah dan jari manis.

  • Disunahkan memperbanyak memakai sandal.
اِسْتَكْثِرُوْا مِنَ النِّعَالَ فَإِنِّ الرِّجْلَ لاَ يَزَالُ رَاِكبَا مَا انْتَعَلَ

"Perbanyaklah memakai sandal, karena seseorang senantiasa berkendaraan selama dia memakai  sandal".[614]

  • Shalat dengan memakai sandal, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah shalat di atas sepasang sandalnya.[615] [616]
  • Jika seseorang masuk masjid lalu membuka sandalnya dan tidak shalat di atasnya, maka tinggalkanlah sandal itu di sebelah kirinya jika shalat sendirian. Adapun jika shalat berjamaah, maka hendaklah menyimpannya di antara kedua kakinya berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا صَلىَّ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَضَعْ نَعْلَيْهِ عَنْ يَمِيْنِهَ وَلاَ عَنْ يَسَارِهِ فَتَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِ غَيْرِهِ إِِلاَّ أَنْ لاَ يَكُوْنُ عَنْ َيسَارِهِ أَحَدٌ وَلْيَضَعْهُمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ

"Jika salah seorang kalian shalat, maka janganlah menaruh sandalnya disebelah kanan atau kirinya. Taruhlah di sebelah kanan orang lain, kecuali jika tidak ada orang lain di sebelah kirinya, maka taruhlah keduanya diantara kedua kakinya".[617] [618]

 

48-ADAB DI JALAN

  • Dari Abi Sa’id Al Khudri radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ فَِي الطُّرُقَاتِ….  "Hindarilah duduk di jalan-jalan….. [619]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memperingatkan kaum muslimin  untuk tidak duduk di jalan-jalan. Jika mesti demikian, maka hendaklah ia memberikan hak jalan.[620]

  • Wajib memenuhi hak-hak jalan yaitu menundukkan pandangan, mencegah kemadharatan, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi munkar. Diriwayatkan dari Abi Sa’id Al Khudri radhiallahu anhu dia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِياَّكُمْ وَاْلجُلُوْسَ عَليَ الطُّرُقَاتِ فَقَالُوْا: مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا، قَالَ: فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ اْلمَجَاِلسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهَا. قَالُوْا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيْقِ ؟ قَالَ:غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ اْلأَذَى وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ

"Hindarilah duduk di jalan-jalan. Mereka berkata: 'Kami tidak bisa meninggalkan tempat itu, tempat kami berbincang-bincang disini'. Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Jika kalian enggan meninggalkan tempat ini, maka berilah hak jalan". Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?". Rasulullah menjawab: "Menundukkan pandangan, mencegah kemadharatan, dan amar ma’ruf nahi munkar'". [621]

  • Menunjukan jalan kepada orang yang bertanya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:وَدَلُّ الطَّرِيْقِ صَدَقَهٌ “Menunjukkan jalan adalah shadaqah”. [622]
  • Di antara adab yang disunahkan ialah membuang sesuatu yang membahayakan di jalan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

نَزَعَ رَجُلٌ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ غُصْنَ شَوْكٍ عَنِ الطَّرِيْقِ إِمَّا كَانَ فِي شَجَرَةٍ فَقَطَعَهُ وَأَلْقَاهُ وَإِمَّا كَانَ مَوْضُوْعًا فَأَمَاطَهُ فَشَكَرَ اللهُ بِهَا فَأَدْخَلَهُ اْلجَنَّةَ

"Seseorang yang tidak mempunyai amal baik sama sekali, menjauhkan ranting duri dari jalan. Jika berada di pohon, dia memotongnya dan membuangnya dan jika berada di suatu tempat, maka dia membuangnya lalu Allah memberi penghargaan atas perbuatan itu dan memasukannya ke dalam surga". [623]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حُسْنُهَا  وَسَيِّئُهَا فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا أَنَّ اْلأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَوَجَدْتُ ِفي مَسَاوِئِ أَعْمَالِهَا النُّخَاعَةُ فِي اْلمَسْجِدِ لاَ تُدْفَنُ

 “Diperlihatkan kepadaku amal-amal umatku, amal baik dan amal buruk mereka, lalu aku mendapatkan dalam amal baik mereka ialah membuang duri dari jalanan dan aku temukan dalam amal buruk mereka ialah berdahak di masjid yang tidak ditimbun dengan tanah”.[624]

Rasulullah bersabda:

خَلْقُ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِي آدَمَ عَليَ سِتِّيْنَ وَثَلاَثِمِائِةِ مَفْصَلاً فَمَنْ كَبَّرَ اللهَ وَحَمِدَ اللهَ وَهَلَّلَ اللهَ وَسَـبَّحَ اللهَ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ  وَعَزَلَ حَجَرًا عَنْ طَرِيْقِ اْلُمسْلِمِيْنَ أَوْ شَوْكَةً أَوْ عَظْمًا  عَنْ طَرِيْقِ اْلُمسْلِمِيْنَ أَوْ أَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ نَهَي عَنْ مُنْكَرٍ عَدَدَ تِلْكَ السِّتِّيْنَ وَالثَّلاَثِمِائَِةِ فَإِنَّهُ يُمْسِي يَوْمَئِذٍ وَقَدْ زُحْـزِحَ عَنِ النَّارِ

“Penciptaan Setiap manusia dari keturunan Adam dengan 360 persendian. Barangsiapa yang bertakbir, bertahmid, bertahlil, bertasbih, beristighfar kepada Allah dan menyingkirkan batu, duri atau tulang dari jalan kaum muslimin, beramar ma’ruf dan nahi munkar sejumlah tigaratus enam puluh itu karena dia maka pada hari itu dia telah dijauhkan dari neraka”. [625]

Diriwayatkan oleh Muslim dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

وَقَدْ  رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِي اْلَجنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيْقِ كَانَتْ تُؤْذِي الْمُسْلِمِيْنَ

 “Sungguh aku melihat seseorang lelaki yang mondar-mandir di surga karena memotong pohon di jalan yang konon mengganggu orang muslim”.[626]

  • Dilarang membuang hajat di jalan kaum muslimin atau di tempat berteduhnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اِتَّقُوْا اللَّعَّانَِيْنِ. قَالُوْا وَمَا الَّلعَّانَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي يَتَخَلىَّ فِي طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ

"Jagalah dirimu dari dua tempat yang menyebabkan orang mengutuk!". "Apakah dua tempat yang menyebabkan orang mengutuk itu wahai Rasulullah?", beliau menjawab: "Yaitu orang yang membuang hajat di jalan umum atau tempat berteduhnya orang banyak'".[627] 

  • Laki-laki lebih berhak di tengah jalan daripada perempuan. Diriwayatkan dari Abi Usaid Al Anshari bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam saat dia berada di luar masjid, maka bercampurlah laki-laki dan perempuan di jalan lalu bersabda Rasululah shallallahu alaihi wasallam kepada para perempuan:

إِسْتأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تُحَقِّقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُمْ  بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَـصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقَ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوْقِهَا بِهِ

"Mundurlah kalian, karena bukan hak kalian di jalan. Hendaklah kalian berada di pinggir jalan. Maka perempuan menempel ke dinding, karena saking melekatnya seakan bajunya menggantung di dinding". [628]

  • Menolong seseorang untuk naik kendaraannya atau mengangkat barangnya ke atas kendaraannya:

كُلُّ سُلاَمَى عََلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ يُعِيْنُ الرَّجُلُ فِي دَابَّتِهِ يُحَامِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا َمتَاعَهُ صَدَقَةٌ....

"Setiap anggota tubuh wajib disedekahkan. Setiap hari menolong seseorang naik kendaraannya atau mengangkat barangnya ke atas kendaraanya ialah shadaqah… [629]

  • Di antara adab jalan ialah menundukkan pandangan, mencegah kemadharatan, menjawab salam, amar ma'ruf dan nahi munkar, memperbanyak dzikir kepada Allah, menasehati orang yang sesat, menunjukkan orang buta, memberi pendengaran orang yang tuli, menolong orang yang didzalimi, membantu orang yang lemah dalam mengangkat barangnya, berjalan di muka bumi dengan rendah hati, mempunya tujuan dalam berjalan, merendahkan suara, kata-kata yang baik, orang yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan,  yang kecil memberi salam kepada yang lebih besar, menjaga tiga hal yang dilaknat: membuang hajat di sumber air, di jalan dan tempat berteduh,  tidak banyak menengok yang tidak perlu karena akan mengurangi harga diri, tidak mengolok-olokan perempuan yang lewat juga tidak mempermainkan pria yang lewat.

 

49-ADAB BEPERGIAN

  • Memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan bepergian dan dalam perjalanan.
  • Persiapan yang lengkap untuk bepergian.
  • Membawa mushaf Al Qur’an dan kitab-kitab ilmiah.
  • Jika singgah di suatu tempat disunahkan membaca:

أَعُـوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ شَرِّمَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan”.[630] Jika membacanya, maka sengatan kalajengking tidak akan membahayakannya. Dan hendaklah membacanya di waktu pagi dan sore.

  • Menentukan kiblat dan mengkhususkan tempat shalat.

Ingatlah hal-hal berikut ini ketika hendak membuang hajat:

  1. Menjaga tiga hal yang dilaknat: membuang hajat di sumber air, di jalan dan tempat berteduh. [631]
  2. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika hendak membuang hajat, beliau menjauh sampai tidak kelihatan.
  3. Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya.
  4. Jika hendak membuang hajat dan mengangkat pakaiaanya, maka di tempat itu disunahkan berdzikir sebagaimana dzikir yang disunahkan di kamar mandi.
  5. Memilih tempat yang menyerap air untuk kencing jangan di tempat yang keras atau batu supaya tidak membahayakan hewan atau yang lainnya.
  6. Tidak membawa sesuatu yang didalamnya ada dzikrullah.
  7. Menutupi dirinya dengan penutup sempurna atau … kurma.
  8. Tidak kencing di air yang tergenang
  9. Tidak bersuci (baik dengan air ataupun batu) dengan tangan kanan.

10.  Jika dia menginjak sesuatu yang membahayakan, maka baginya tanah adalah suci lagi mensucikan.

11.  Ingatlah bahwa menyempurnakan wudhu adalah bagian dari iman dan hiasan seseorang di surga sampai pada tempat sampainya air wudhu.

  • Bertayamum jika tidak ada air atau jika air itu membahayakannya.
  • Menjaga adzan dan mendhahirkannya. Itulah sunah yang dicintai Allah Subhanhu Wa Ta'ala:

يَعْجِبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِي غَنـَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ يُؤَذِّنُ لِلصَّلاَةِ وَيصُليِ فَيَقُوْلُ اللهِ تَعَالَى اُنْظُرُوْا ِلعَبْدِي هذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيْمُ الصَّلاَةَ ، يَخَافُ مِنِّي قَدْ غََفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ اْلجَنَّةِ

Tuhanmu kagum kepada seorang penggembala kambing di bukit sebuah gunung. Dia adzan dan shalat. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman: "Lihatlah hambaku ini.!. Dia adzan lalu mendirikan shalat, dia takut kepada-Ku. Sungguh aku telah mengampuninya dan memasukannya ke dalam surga". [632]

Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ اْلغَنَمَ  وَاْلَبادِيَةَ فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَِّنْتَ لِلصَّلاَةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ فِإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ لَدَى صَوْتِ اْلمـُؤَذِّنِ جـِـنٌّ وَلاَ إِنْـسٌ وَلاَ حَجَـرٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَـهـِدَ لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

"Sesungguhnya aku melihatmu menyukai kambing dan lembah. Jika kamu dengan kambingmu atau berada di lembahmu, adzanlah dan keraskanlah suaramu karena sesungguhnya tidaklah jin, manusia, batu dan segala sesuatu yang mendengar suara seorang muadzin kecuali semuanya akan menjadi saksi pada hari kiamat". [633]

  • Mengeraskan suara adzan ketika tiba waktu shalat merupakan syiar islam yang terbesar. Ini kesempatan untuk mempelajari waktu secara alami.
  • Disunahkan memanjangkan shalat fajar dan mengakhirkan shalat isya sampai tengah malam.
  • Shalat dengan memakai sandal.
  • Shalat di atas tanah secara langsung lebih utama daripada shalat di atas alas jika memungkinkan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:              َتمَسَّحُوْا بِاْلأَرْضِ فَإِنَّهَا لَكُمْ بَرَّةٌ  "Sentuhkanlah diri kalian dengan bumi secara langsung, sebab dia sangat sayang kepada kalian". [634]

Masjid Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beralas batu  kerikil. Nabi shallallahu alaihi wasallam sujud di atas tanah berair ketika turun hujan. Ingatlah untuk tidak main-main dengan tanah ketika shalat atau banyak mengusap tanah dan kerikil.

  • Orang badui yang bepergian dan berazam untuk tinggal lebih dari 4 hari, hendaklah ia menyempurnakan shalatnya menurut pendapat sebagian besar ulama. Dan orang yang berwisata yang mempunyai bekal makanan lalu berniat tinggal lebih dari 4 hari, maka dia juga menyempurnakan shalatnya sebagai bentuk kehati-hatian menurut pendapat kebanyakan ulama.
  • Menjaga shalat fajar dan shalat berjamaah.
  • Shalat sunat fajar dan shalat malam tidak ditinggalkan pada waktu bepergian.
  • Tidak diharuskan melaksanakan shalat jum'at dan shalat berjamaah bagi orang yang berada di luar perkampungan atau dekat sebuah kota tapi tidak mendengar adzan. Dan jika mendengar adzan, maka  wajib baginya mendatangi shalat jumat sebagaimana firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:

 يَاأَيُّـهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمْعَةِ فَاسْـعَوْا إِلَى ذِكْـر ِاللهِ وَذَرُوْا اْلبَيْعَ..

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jumat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli".[635]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

   َالْجُمْعَةُ عَليَ مَنْ سَمِع النِّدَاءَ

"Shalat jumat itu wajib bagi orang yang mendengar seruan". [636]

  • Tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat.
  • Memberikan saran kepada seseorang yang berada di tempat terbuka merupakan shadaqah.
  • Bersungguh-sungguh dalam da'wah.
  • Jika menghampiri tempat tidurmu, maka kibaskanlah dia karena engkau tidak tahu apa yang ada dibalik kasurmu, mungkin saja ada bahaya atau serangga. Begitu juga sandalmu kibaskanlah sebelum memakainya.
  • Berdzikirlah kepada Allah pada setiap batu atau pohon, begitu juga berdzikir pada waktu pagi dan sore, sebelum tidur, pada saat menyendiri.
  • Jika turun hujan, maka bukalah bajumu, kainmu, tanganmu. Percikanlah air berkah ini ke badanmu dan ucapkanlah:

َاللّهُـمَّ صَيِّبًا نَافِعًا   "Ya Allah !. Turunkan hujan yang bermanfaat". [637]

Dan akuilah ke-Esaan-Nya dengan mengucapkan

  مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ "Kita diberi hujan karena karunia Allah dan rahmat-Nya."[638]

 

50-ADAB MEMINTA HUJAN (ISTISQA')

  • Jika air hujan dari langit tertahan, musim peceklik kian panjang, maka laksanakanlah shalat istisqa'.
  • Sang imam mengajak kaum muslimin untuk berpuasa dan bershadaqah sebelum keluar untuk melaksanakan shalat Istisqa.
  • Menentukan waktu keluar berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:.... وَوَعَدَ النَّاسَ يَخْرُجُوْنَ فَِيْهِ.."Dan (beliau shallallahu alaihi wasallam) menentukan hari keluar mereka (untuk melaksanakan shalat istisqo'". [639]
  • Waktu keluar untuk shalat istisqa ialah:

.....فَخَرَجَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ بَدَأَ حَاجِبُ الشَّمْسِ

 “Maka keluarlah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika matahari mulai bersinar”. [640]

  • Keluar untuk shalat istisqa dengan penuh pengorbanan, merendahkan diri, khusyu dan perlahan-lahan. Umar radhiallahu anhu berdoa: 'Ya Allah !. Ampunilah kami sesungguhnya Engkau Maha Pengampun' - sampai datang ke tempat shalat.
  • Perempuan, anak-anak keluar untuk melaksanakan shalat istisqa.
  • Keluar menuju tempat shalat:

أَنَّ النَّبَيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إَِلَى اْلُمصَلىَّ فَاسْتَسْقَى...

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam keluar menuju mushala kemudian shalat istisqa…”. [641]

  • Tidak adzan ataupun iqamat dalam shalat istisqa.
  • Minta hujan dengan meminta doa orang-orang yang shaleh, karena Umar radhiallahu anhu jika musim paceklik tiba, maka beliau minta doa kepada Abas, paman Nabi lalu beliau berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan kepada kami." Beliau berkata: "Maka diturunkanlah hujan kepada mereka". [642]
  • Ketika turun hujan, ucapkanlah:  َالَّلهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا، وَمُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِه "Ya Allah !. Turunkan hujan yang bermanfaat, [643] dan kami diberi hujan karena karunia dan rahmat-Nya".[644]
  • Jika air melimpah dan takut membahayakan, disunahkan mengucapkan:

اَللَّهُـمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا اَللَّهُـمَّ عَليَ اْلآكَامِ [645] وَالظّرَابِ [646]  وَبُطُوْنِ اْللأَوْدِيَةِ وَمنَابِتِ الشَّجَرِ

"Ya Allah !. Turunkan hujan sekitar kami dan jangan membahayakan kami. Ya Allah!. Turunkan hujan diatas dataran tinggi, bukit, dasar lembah dan tempat tumbuh pepohonan".[647]

  • Disunahkan membuka baju sehingga terkena air hujan.
  • Diharamkan mengatakan: kita diberi hujan karena bintang anu dan anu.
  • Keadaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadi berubah jika melihat awan. Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika melihat awan atau angin, maka (kedatangan awan dan angin tersebut) diketahui melalui perubahan yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam . Aku bertanya wahai Rasulullah!, orang-orang berbahagia jika melihat awan karena berharap akan turunnya hujan, sedangkan engkau tampak tidak menyukainya". Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Wahai Aisyah!. Bagaimana aku bisa tenang, sebab bisa jadi pada awan itu diturunknnya azab, suatu kaum pernah diazab dengan angin kencang, di mana kaum tersebut melihat azab itu, sementara mereka berkata: "Ini awan yang akan menghujani kita' ". [648]
  • Tidak ada yang tahu kapan turunnya hujan kecuali Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Sebagaimana firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:

إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ اْلغَيْثَ..

"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan…" [649]

  • Ketika mendengar halilintar, diucapkan:

سُـبْحَانَ مَنْ يُسَـبِّح الرَّعْـدُ بِحَمْدِهِ وَاْلمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ –3x

"Maha suci Allah yang menjadikan halilintar bertasbih dengan memuji-Nya dan malaikat bertasbih karena takut kepada-Nya". (Dibaca 3x kali)." [650]

  • Jika ada angin berhembus maka bacalah:

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هذِهِ الرِّيْحِ وَخَيْرِ مَا فِيْهَا وَخَيْرِ مَا أُمِرْتَ بِهِ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هذِهِ الرِّيْحِ وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُمِرْتَ بِهِ

“Ya Allah! Sesungguhnya kami memohon kepadamu kebaikan angin ini, kebaikan apa yang ada di dalamnya dan kebaikan apa yang Engkau perintahkan kepadanya dan kami berlindung kepadamu dari kejahatan angin ini, kejahatan apa yang ada di dalamnya dan kejahatan apa yang Engkau perintahkan kepadanya”. [651]

  • Mengeluarkan barang-barang agar terkena air hujan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

يَا جاَرِيَةَُُأخرُِجِي سَرْجِي أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُوْلُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا

      “Wahai hamba perempuan!, keluarkanlah pelana kudaku dan pakaianku”. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membaca Al Qur'an: "Dan Kami turunkan dari langit air yang berkah". [652] [653]

  • Doa ketika turun hujan mustajab. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: اِثْـنَتَانِ مَا تُرَدُّ: اَلدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَتَحْتَ الْمَطَرِ                    

“Dua doa yang tidak ditolak: ketika adzan dan ketika hujan”. [654]

  • Apakah hujan dicabut berkahnya ?. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu:

لَيْسَتِ السَّنَةُ بِأَنْ لاَ تُمْطـَرُوْا، وَلِكنَّ السَّنَةَ أَنْ تُمْطـَرُوا وَتُمْطـَرُوا وَلاَ تَـنْبُتُ اْلأَرْضُ شَيْئًا

"Bukanlah musim peceklik dengan tidak diturunkannya hujan, akan tetapi musim paceklik adalah musim diturunkannya hujan, dan diturunkannya hujan akan tetapi hujan tersebut tidak menumbuhkan apa-apa". [655]

  • Sesungguhnya air hujan itu suci sebagaimana firman Allah Ta'ala:

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السََّمَاءِ مَاءً طَهُوْرًا

"Dan Kami turunkan dari langit air yang suci". [656]

  • Keadaan hujan di akhir zaman, diriwayatkan dari Anas radhiallahu anhu berkata:

كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّهُ لاَ تَقُـومُ السَّاعَـةُ حَتَّي يُمْطَرَ النَّاسُ مَطَـرًا عَامًا وَلاَ تَـنْبُتُ اْلأَرْضُ شَيْئًا

"Kami sedang berbincang-bincang bahwa sesungguhnya tidak akan datang kiamat sehingga manusia dihujani oleh hujan selama setahun, namun hujan tersebut tidak menumbuhkan apa-apa". [657]

 

51-ADAB DALAM PERJALANAN

  • Perjalanan ialah bagian dari adzab. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اَلسَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدُكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذاَ قَضَى ُنهْمَتَهُ فَلْيَعْجَلْ إِلَى أَهْلِهِ

"Perjalanan itu ialah bagian dari adzab yang menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum dan tidur. Jika telah menunaikan hajatnya, segeralah ia kembali kepada keluarganya”. [658]

  • Disyariatkan untuk mengucapkan do'a selamat tinggal dengan kalimat yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yaitu kalimat:                          أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ       

“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanatmu dan akhir amalmu”.

Kemudian orang yang akan bepergian menjawab:

أَسْتَوْدِعُكُمُ اللهَ الََّذِي لاَ تَضِيْعُ وَدَائِعُهُ

“Aku titipkan kalian kepada Allah shallallahu alaihi wasallam yang tidak menyia-nyiakan titipan-Nya”. [659]

  • Mendahulukan shalat istikharah ketika ragu mengadakan perjalanan.
  • Menulis wasiat:

مَا حَـقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْئٌ يُوْصيِ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَةً أَوْ َلَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتَهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ

“Seorang muslim yang mempunyai wasiat tidaklah tidur semalam atau dua malam kecuali dia telah menyiapkan wasiatnya tertulis disisinya”. [660]

  • Bertaubat kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala dari segala maksiat; mengembalikan amanat kepada yang berhak, membayar hutang atau memberi wasiat kepada seseorang untuk membayarkannya.
  • Minta izin kedua orang tua.
  • Menitipkan keluargamu kepada orang yang dipercaya.
  • Meninggalkan bekal yang cukup untuk keluarga.
  • Disunahkan meminta wasiat dan doa ketika hendak bepergian. Telah datang seseorang kehadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah!, Sesungguhnya aku akan bepergian, bekalilah aku". Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

زَوَّدَكَ اللهُ التَّـقْوَى، قَالَ: زِدْنِي، قَالَ: وَغَفَرَ ذَنْبَكَ، قَالَ: زِدْنِي، قَالَ: وَيَسَِّرَ لَك َالْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ -  وَقَالَ لَهُ رَجُلٌ:إِنِّي أُرِيْدُ السَّفَرَ فَقَالَ: أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَالتَّكْبِيْرِ عَلَى كُلِّ شَرَفٍ، فَلَمَّا وَلَّى قَالَ: اَللَّهُمَّ اَزْوِ لَهُ اْلأَرْضَ وَهَوِّنْ عَلَيْهِ السَّفَرَ

“Semoga Allah membekalimu dengan taqwa. Orang itu berkata: "Bekalilah aku". Rasulullah bersabda: "Semoga Allah mengampuni dosamu". Orang itu berkata lagi: "Bekalilah aku". Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Semoga Allah Subhanhu Wa Ta'ala memudahkanmu kepada kebaikan dimanapun kamu berada". Seorang laki-laki lain berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: "Sesungguhnya aku akan bepergian, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Aku berwasiat kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah dan betakbir pada setiap tanah yang menanjak. Ketika orang itu berpaling, Rasulullah bersabda: "Ya Allah, lipatkanlah bumi baginya, dan mudahkanlah perjalanannya". [661]

  • Seorang muslim hendaklah mengingatkan saudaranya untuk berdoa ketika bepergian. Umar radhiallahu anhu meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk melakukan umrah, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengizinkannya seraya bersabda: 

   لاَ َتـنْسََنَا يَا أُخَيَّ مِنْ دُعَاِئكَ

“Saudaraku! Janganlah lupa mendoakan kami”. [662]

  • Takbir ketika jalan menaik dan tasbih ketika jalan menurun. [663]
  • Tidak menyukai bepergian sendirian sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

  لَوْ َيعْلَمُ النَّاسَ مَا فَي اْلوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَرَاِكبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ

“Seandainya manusia tahu apa yang terjadi dalam kesendirian seperti apa yang aku ketahui, niscaya tidak akan pernah seseorang berkendaraan pada malam hari dalam keadaan sendiri". [664]

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amar radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

   اَلرَّاكِبُ شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلاَثَةٌ رُكَبٌ                     

“Seorang yang berkendaraan itu satu syetan, dua orang berkendaraan ialah dua syetan. Adapun tiga orang yang berkendaraan, maka mereka para pengendara.” [665]

Al Albani –Rahimahullah- berkata: "Mudah-mudahan yang dimaksud hadits ini ialah bepergian ke padang pasir dan tempat-tempat luas yang jarang terlihat manusia padanya, maka tidak termasuk bepergian di jalan-jalan yang rata dan banyak alat transportasi di zaman sekarang ini. Wallahu A’lam.

  • Disunahkan mengangkat pemimpin dalam perjalanan jika lebih dari tiga orang, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:   

إِذَا خَـرَجَ ثَلاَثَةٌ فَِي سَفَرٍ فَلْيُأَمِّرُوْا أَحـَدَهُمْ

“Jika tiga orang keluar untuk bepergian, hendaklah menjadikan salah seorang sebagai pemimpin”. [666]

  • Jadilah orang yang baik hati, baik akhlak dan mempunyai wajah berseri.
  • Dilarang bepergian dengan membawa anjing dan lonceng, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:      

                       لاَ تَصْحَبُ اْلمَلاَئِكَةُ رِفْقَةٌ فِيْهَا كَلْبٌ وَلاَ جَرَسٌ

“Malaikat tidak akan menemani orang yang membawa anjing dan lonceng”. [667]

  • Perempuan dilarang bepergian tanpa mahram.
  • Disunahkan bepergian pada hari kamis: ”Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hendak bepergian, maka jarang sekali keluar kecuali pada hari kamis”. [668] Dan dilarang bepergian setelah tergelincir matahari pada hari jumat (setelah adzan).
  • Disunahkan bagi yang bepergian ketika larut malam untuk mengucapkan:

سَمـِعَ سَامِـعٌ بِحَمـْدِ اللهِ وَحُسـْنَ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا، رَبَّنَا صَاحَبنَا وَأَفَْضَِلْ عَلَيْنَا، عَاِئذًا بِاللهِ مِنَ النَّارِ

“Orang yang mempunyai pendengaran mendengar pujian kepada Allah dan kebaikan cobaan-Nya kepada kami. Ya Tuhan kami ! Sertailah kami, dan curahkanlah kami, dan kami berlindung kepadaMu Ya Allah dari api neraka". [669]

  • Membaca do'a safar, yaitu do'a yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, diantaranya jika beliau duduk di atas ontanya untuk bepergian, beliau bertakbir tiga kali lalu berkata:

سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا  هذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ، اَللّهُمَّ إِناَّ نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى  وَمِنَ اْلعَمَلِ مَا تَرْضَي ، اَللّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا َسفَرَنَا هذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ  اَلّلهَُّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ، اَللّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبِةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ اْلُمْنقَلَبِ فِي اْلمَالِ وَاْلأَهْلِ وَالْوَلَدِ، وَِإِذَا رََجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيْهِنَّ - آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ

“Maha Suci Allah yang telah menundukkan ini kepada kami yang sebelumnya kami tidak bisa menguasainya dan sesungguhnya kepada Allahlah kami dikembalikan. Ya Allah ..!. Dalam perjalanan ini kami memohon kepada-Mu kebaikan dan taqwa dan amal yang Engkau ridhai. Ya Allah..!. Mudahkanlah perjalanan ini bagi kami dan dekatkanlah jarak yang jauh. Ya Allah ..!. Engkau Teman dalam perjalanan dan yang menjadi pengganti dalam keluarga. Ya Allah..!. Kami berlindung kepada-Mu dari kesusahan dalam perjalanan, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang tidak diinginkan pada harta, keluarga dan anak”.

Ketika kembali pulang hendaklah mengucapkan kalimat ini dan ditambah:  "" آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ “Kami kembali, kami bertaubat dan kami beribadah, dan hanya kepada Rabb kami, kami  memuji." [670]

  • Disunnahkan ketika masuk suatu kampung untuk mengucapkan:

اَلّلهُمَّ رَبَّ السَّماَوَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ، وََرَبَّ اْلأَرَضِيْنَ السَّبْعَ وَمَا أَقْلَلْنَ، وَرَبَّ الشَّياَطِيْنَ وَمَا أَضْلَلْنَ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ َوَمَا ذَرَيْنَ أَسْأَلُكَ خَيْرَ هذِهَ اْلقَرْيَةِ وََخَيْرَ أَهْلِهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هذِهِ الْقَرْيَةِ وَشَّرِّ أَهْلِهَا وَشَرِّ مَاِفيْهَا

“Ya Allah, Rabb tujuh langit dengan apa yang ada di dalamnya, dan Rabb tujuh bumi beserta seluruh isinya, Rabb syetan dan apa yang mereka sesatkan, Rabb segala angin dan segala yang diterbangkannya, aku memohon kepada-Mu kebaikan negeri ini dan kebaikan penduduknya serta yang ada di dalamanya, dan aku memohon perlindungan dari keburukan negeri ini dan kejahatan penduduknya serta segala yang ada di dalamnya." [671]

  • Do'a seorang musafir termasuk salah satu do'a yang mustajab sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

   ثَلاَثُ دَعْوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ – وَذَكَرَ مِنْهَا- دَعْوَةُ المُسَاِفِر

“Ada tiga doa yang tidak diragukan adalah do'a yang mustajab diantaranya disebutkan– do'anya seorang musafir.” [672]

  • Termasuk sunnah, seorang yang musafir melakukan shalat sunah di atas kendaraannya. Diriwayatkan dari ibnu Umar radhiallahu anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلىَ رَاحِلتَهِ ِحَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُوْمِئُ إِيْمَاءً صَلاَةَ اللَّيْلِ إِلاَّ الْفَرَاِئضَ وَيُوْتِرَ عَليَ رَاحْلَتِهِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaksanakan shalat lail di atas kendaraannya, di mana beliau menghadap ke mana saja arah kendaraannya menghadap, beliau shalat dengan isyarat, kecuali shalat fardhu dan melaksanakan shalat witir di atas kendaraannya”.[673] 

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَ قَالَ: أَعُوْذُ بِِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خََلَقَ، لَمْ يَضُرْهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ

"Barang siapa yang berhenti di sebuah tempat lalu mengucapkan: "Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan, maka tidak ada yang membahayakannya sampai ia pergi meninggalkan tempat itu".

  • Disunahkan berkumpul ketika berhenti dan makan. ketika para shahabat berkenti di suatu tempat mereka berkelompok-kelompok dan bercerai berai, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ تَفَرُّقَكُمْ فِي هذِهِ الشِّعَابِ وَاْلاَوْدِيَةِ إِنَّمَا ذلِكُمْ مِنَ الشَّيْطَانِ فَلَمْ يَنْزِلُوْا بَعْدَ ذلِكَ مَنْزِلاً ِإلاَّ انْضَمَّ بَعْضُهُمْ ِإليَ بَعْضٍ حَتَّي يُقَالَ لَوْ بَُسَِطَ عَلَيْهِمْ ثَوْبُ لَعَمَّهُمْ

"Sesungguhnya bercerai-berainya kalian dalam kelompok-kelompok dan lembah-lembah ini adalah dari syaitan. Setelah kejadian ini, tidaklah merka berhenti di suatu tempat kecuali sebagian berkumpul dengan yang lainnya sampai dikatakan seandainya dibentangkan kain untuk mereka niscaya pasti akan menjangkau mereka". [674]

  • Disunahkan 'Tanahud' -beriuran membeli makanan untuk dimakan bersama-. Kata النهد berarti setiap anggota dalam perjalanan mengeluarkan perbekalannya yang diserahkan kepada seseorang untuk dimakan bersama. [675]
  • Memilih tempat yang cocok untuk tidur sehingga tidak mengganggu serangga bumi dan binatang. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَافَرَتْمُ فِي الْخَصْبِ فَأَعْطُوْا اْلإِبِلَ حَظَّهَا مِنَ اْلأَرْضِ، وَإِذَا سَافَرْتُمْ فِي السَّنَةِ فَبَادِرُوْا بِْهَا نِقْيَهَا، وَإَذَا عَرَسْتُمْ فَاجْتَنِبُوا الطَّرِيْقَ فَإِنَّهَا طَُُرقَ الدَّوَابِّ وَمَأْوَى اْلهَوَامِّ بِالَّليْلِ

"Jika kalian bepergian pada musim subur maka berilah hak unta dari bumi, dan jika bepergian pada musim gersang maka segerakanlah berjalan (agar dia tidak binasa), dan jika ingin tidur jauhilah tidur di jalan karena ia adalah jalan binatang dan tempat tinggalnya serangga di waktu malam". [676]

  • Seorang musafir hendaklah semampunya menggunakan sarana apa saja agar dia bisa bangun untuk shalat subuh sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam

   ..مَنْ َيكْلأَُنَُا اللَّيَْلَةَ لاَ نَرْقُدُ عَنْ صَلاَةِ الصُّبْحَ قَالَ: بِلاَلٌ أَنَا...

"Siapakah yang yang maumenjaga kita pada malam ini agar kita tidak tertidur dari melaksanakan shalat subuh?" Bilal menjawab: "Saya…" [677]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika tidur di perjalanan, beliau berbaring ke sebelah kanannya. Dan jika tidur sebelum subuh, beliau menegakkan sikunya dan meletakkan kepala di atas telapak tangannya. [678]

  • Seorang musafir disunahkan segera kembali kepada keluarganya setelah memenuhi hajatnya dan tidak menunda-nunda. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:

اَلسَّفَرُ ِقطْعَةٌ مِنَ اْلعَذَابِ: يَمْنَعُ أَحَدُكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ. فَإِذَا قَضَى نَهِْمَتَهُ فَلْيَعْجَلْ إلِىَ أَهْلِهِ

 “Safar itu adalah bagian dari adzab yang menghalangi musafir dari makan dan minum. Jika dia telah memenuhi hajatnya, segeralah kembali kepada keluarganya". [679]

  • Dimakruhkan seorang musafir mendatangi keluarganya di waktu malam karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang mengetuk pintu keluarganya pada malam hari.[680] [681]
  • Diantara petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam ialah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika tiba dari bepergian, hal yang pertama kali dilakukan ialah bersegera melakukan shalat dua rakaat di masjid.[682]   
  • Jika engkau dalam perjalanan bersama teman seperjalanan hendaklah saling menolong, saling mengasihi, saling berbagi kebutuhan dan pekerjaan. Meninggalkan sifat egois dan bergantung kepada yang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada di belakang (rombongan) jika sedang dalam berjalan, membonceng yang lemah dan mendo'akannya. [683]
  • Pastikan barang-barang anda lengkap. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika bepergian, beliau membawa lima hal; cermin, botol tempat cela, alat sulam, siwak dan sisir”. [684]
  • Hendaklah bepergian di malam hari karena bumi melipat di waktu malam hari, sebagaimana disunahkan bepergian di pagi hari karena sabda Rasulullah:  اَلَّلهُمَّ بَارِكْ ِلأُمَّتِي فِي بُكُوْرِهَا                       

 “Ya Allah.. berkahilah umatku di pagi harinya”.  Dan awal malam dengan sabdanya:                 عِلَِيْكُمْ بِالْدُّلْجَةِ فَإِنَّ اْلأَرْضَ تُطْوَى بِالَّليْلِ

 “Hendaklah kalian bepergian di waktu duljah [685] karena pada malam hari bumi dilipat”.[686]                                                          

  • Membawakan hadiah untuk keluarga merupakan hal yang mendatangkan kebahagiaan.
  • Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika datang dari bepergian, beliau menemui anak kecil dari keluarganya.  Adapun para sahabat, jika mereka bertemu maka mereka saling bersalaman dan berpelukan jika baru datang dari bepergian. [687]
  • Disunahkan bagi orang yang baru datang dari bepergian untuk berpelukan, mengucapkan salam, berdiri, menjemput dan menyediakan naqi'ah.[688] Ketika Zaid radhiallahu anhu mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka tatkala Zaid mengetuk pintu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri menarik bajunya lalu menciumnya. Begitu juga ketika menyambut Ja’far rdhiallahu anhu ketika kembali dari Habsyah.

 

52-ADAB DI DALAM RUMAH

  • Ketahuilah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam tuntunan yang paling sempurna, jalan beliau adalah jalan yang paling terbaik, pada saat beliau menyadari bahwa dunia adalah tempat untuk berjalan bukan tempat menetap, maka beliau menjadikannya tempat tinggal sebatas kebutuhan, baik untuk menutupi diri dari pandangan orang, menghindarkan diri dari bahaya panas, dingin, hujan dan angin serta menjaga apa yang hidup padanya dari binatang piaraan dan yang lainnya, beliau tidak menghiasi dan membangunnya, rumah beliau bukanlah rumah yang megah sehingga orang lain takut jika dia hancur dan tidak pula menjulang tinggi sehingga menjadi tempat bagi sarang binatang, menjadi sasaran hembusan angin kencang, dan bukanlah ia rumah bawah tanah sehingga menyerupai rumah para diktator-diktator terdahulu, bahkan mungkin mengganggu orang yang tinggal padanya karena minim dan kosongnya oksigen, sinar matahari dan diselimuti kegelapan atau menjadi hunian mahluk-makhluk, rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rumah sederhana yang baik, harum karena keringat atau bau beliau sendiri shallallahu ‘alaihi wa sallam.[689]
  • Umar radhiallahu anhu berkata di atas mimbar: Wahai sekalian manusia perbaikilah tempat tinggalmu, dan jauhilah binatang yang selalu bersembunyi ini (ular) sebelum dia menjadikan kamu takut…)
  • Sesungguhnya Allah Ta’la menjadikan bagi rumah-rumah tersebut kehormatan, firman Allah Ta’ala:

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ ِللنَّاسِ وَاْلحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرَّ بِأَنْ تَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلكِنَّ اْلبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Waktu bagi manusia dan (bagi ibadat hajji); Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.[690]

  • Saat keluar dari rumah dianjurkan membaca:
بِسْمِ اللهِ تَـوَكَّلْتُ عَلىَ اللهِ وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُـوَةَ إِلاَّ بِاللهِ

“Dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah dan tiada daya dan upaya kecuali seizin Allah”.[691]

  • Saat memasuki rumah mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَلَجْنَا بِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا وَعَلىَ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا

“Dengan menyebut nama Allah kami memasuki rumah, dengan menyebut nama Allah kami keluar dan kepada Allah kami berserah diri”. Kemudian mengucapkan salam kepada keluarganya.[692]

  • Tidak bermegah-megah dalam membangun rumah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

     لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ

“Hari kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun”.[693]

  • (Dianjurkan) membangun rumah yang luas, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

  سَعَادَةُ اْلمَرْءِ اْلمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِي

“Kebahagian seseorang pada rumah yang  luas, tetangga yang shaleh dan kendaraan yang menyenangkan”.[694]

  • Aktifitas seorang lelaki di rumahnya, Aisyah radhiallahu anha pernah ditanya tentang: Apakah yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah keluarganya? “Beliau mengerjakan apa yang dikerjakan oleh keluarganya dan jika waktu shalat telah tiba maka beliau keluar (menuju shalat)”.[695] Jawab Aisyah. Beliau juga berkata: “Beliau adalah seorang manusia biasa, mencuci pakaiannya dan memerah susu kambingnya”.[696]
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَنْـفَقَ نَفَقَـةً عَلىَ أَهْلِهِ وَهُـوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

“Barangsiapa yang memberikan nafkah bagi keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka hal itu shadaqah baginya”.[697]

  • Beliau juga bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً  تَبْتَغَِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِّرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

“Sesungguhya kalian tidak memberikan nafkah (kepada keluargamu) untuk mengharap pahala dari Allah kecuali engkau pasti diberikan pahala karenanya sampai pada apa yang engkau letakkan pada mulut istrimu”.[698]

  • Mematikan lampu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَغْلِقُـوْا اْلأَبْوَابَ وَأَوْكُوْا السِّقَاءَ وَاكْـفِئُوْا اْلإِنَاءَ  وَخَمِّرُوْا اْلإِنَاءَ  وَأَطْفِـئُوْا الْمِصْبَاحَ إِنَّ الشَّـيْطَانَ لاَ يَفْتَـحُ غَلْقًا وَلاَ يُحِلُّ وِكَاءً وَلاَ يَكْشِفُ إِنَاءً وَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تَضْرِم ُعلَىَ النَّاسِِ بَيْتَهُمْ

“Tutuplah pintu, baringkanlah botol tempat minummu, baliklah bejanamu, padamkanlah lampu, sesungguhnya setan tidak membuka yang tertutup, tidak menempati yang tempat minum (yang dibaringkanlah) dan tidak pula membuka bejana (yang dibalik) sesungguhnya bintang kecil yang nakal (tikus) bisa menybebkan kebakaran pada rumah seseorang”.[699]

  • Tidak membiarkan api menyala di dalam rumah pada waktu akan tidur, suatu malam sebuah rumah penduduk kota Madinah terbakar, lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam diceritakan tentang kejadian tersebut, maka beliau mengingatkan:

إِنَّ هذِهِ النَّارَ عَدُوٌّ لَكُمْ فَإِنْ نِمْتُمْ فَأَطْفِئُوْهَا عَنْكُمْ

“Sesungguhnya api ini adalah musuh bagimu, maka jika kalian tidur padamkanlah api tersebut dari rumahmu”.[700]

  • Dianjurkan menggantungkan cemeti di rumah, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk menggantungkan cemeti di rumah.
  • Menutup pintu pada malam hari tiba, sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ عِنْدَ فَحْمَةِ اْلعِشَاءِ وَإِيَّاكُمْ وَالسَّمْرَ بَعْدَ هِدْأَةِ الرِّجْلِ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ مَا يَبُثُّ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ ؟ فَأَغْلِقُوْا اْلأَبْوَابَ وَأَطْفِئُوْا اْلمِصْبَاحَ وَأَكْفِـئُوْا اْلإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ

“Tahanlah anak-anakmu berkeliaran pada saat kegelapan waktu isya’ dan berjaga-jaga setelah tenangnya gerakan kaki, sesungguhnya kalian tidak mengetahui apa yang dimunculkan oleh Allah dari mahluk ciptaanNya, maka tutuplah pintu-pintu, matikanlah lampu-lampu, baliklah bejana-bejanamu dan baringkanlah botol-botol minummu”.[701]

  • Menahan anak-anak kecil pada waktu isya’, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

كُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ حَتَّى تَذْهَبَ فَحْمَةُ أَوْ فَوْرَةُ الْعِشَاءِ  سَاعَةً تَهُبُّ الشَّيَاطِيْنُ

“Tahanlah anak-anakmu sampai berlalunya malam atau menghilangnya waktu isya’; pada saat setan-setan sedang bergentayangan”.[702]

  • Imam Bukhari rahimhullah menulis: Babut Tabarruz fil Buyut (Bab membuang hajat di dalam rumah). Ibnu Hajar rahimhullah berkata: Pengarang menulis bab ini untuk memberikan penjelasan bahwa keluarnya wanita untuk membuang hajat di luar rumah tidak berlangsung secara terus menerus, akan tetapi pada masa selanjutnya dibangunlah WC di dalam rumah, akhirnya tidak dibutuhkan kembali keluar rumah untuk membuang hajat.

 

53-ADAB BERTETANGGA

  • Tetap memulikan tetangga dan berwasiat yang baik baginya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ اْلِجيَْرَانِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah, orang yang paling baik (prilakunya) bagi sahabatnya dan sebaik-baik tetangga adalah orang yang baik (akhlaqnya) terhadap tetangganya”. [703] Dan diharamkan berbuat zalim atasnya baik dengan perkataan dan perbuatan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ وَاللهِ لاَيُؤْمِنُ قَالُوْا مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِِ؟ قَالَ: مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah tidak beriman, “Demi Allah tidak beriman, “Demi Allah tidak beriman. Para shahabat bertanya siapakah mereka wahai Rasulullah? “Yaitu orang yang tidak memberikan rasa aman bagi tetangganya dari kejahatan dirinya”.[704]

  • Tetangga yang terdekat, yang rumahnya berdempetan (denganmu)  mempunyai hak yang lebih besar dari tetangga yang lebih jauh, dari Aisyah radhiallahu anha menceritakan: Aku bertanya: Wahai Rasulullah aku mempunyai dua orang tetangga, siapakah yang paling berhak aku berikan hadiahku baginya? “Kepada tetangga yang paling dekat pintunya denganmu”. Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[705]
  • Tidak melarang tetangganya menancapkan atau mendirikan kayu pada dindingnya untuk membangun sebuah ruang atau yang lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَمْنَعُ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ

“Janganlah seseorang melarang tetangganya menancapkan sebuah kayu pada dindingnya”.[706] Dengan syarat tidak memudaratkan orang lain dan tidak ada jalan lain kecuali dengan cara seperti itu, kemudian Abu Huriarah, perawi hadits berkomentar: Mengapa saya melihat kalian berpaling darinya! Demi Allah saya akan melemparnya pada pundak-pundak kalian”.

  • Diharamkan menyakiti tetangga, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:  مَنْ كَانَ يُؤْمِِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جاَرَهُ

“Barangsiapa yang beriman keapda Allah dan hari akhir maka hendaklah dia tidak menyakiti tetangganya”.[707]

  • Memberinya makan dan minum dengan apa yang engkau makan dan minum.
  • Tidak menyebarkan rahasianya, menundukkan padangan di hadapan mahromnya dan memberikan hadiah baginya.
  • Memberikan ucapan selamat baginya dalam kesenangan dan menghiburnya dalam kesusahan.
  • Tidak menutup pintu bagi tetangganya. Dari Ibnu  Umar radhiallahu anhu berkata: “Sungguh telah datang kepada kita suatu zaman, di mana kita merasa bahwa tidak ada yang lebih berhak menikmati  uang dinar dan dirham yang dimilikinya dari saudaranya semuslim, namun sekarang, uang dinar dan dirham yang dimilikinya lebih dicintainya dari saudaranya semuslim” Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:      

 كَمْ مِنْ جَارٍ مُتَعَلِّقٌ بِجَارِهِ يَقُوْلُ يَارَبِّ سَلْ هذَا َأغْلَقَ عَنِّي بَابَهُ وَمَنَعَنِي فَضْلَهُ

“Sungguh banyak tetangga yang bergantung pada tetangganya, dia berkata: Wahai Tuhanku, tanyalah dia! Orang ini telah menutup pintunya dariku dan menahan kelebihan hartanya dariku”.[708]

  • Seseorang tidak sepantasnya kenyang sementara tetangganya kelaparan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَيْسَ اْلمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ

“Bukanlah seorang yang mu’min orang yang merasa kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya”.[709]

  • Tidak meninggikan bangunan tembok (melebihi bangunan rumah tetangga) sehingga tidak menghalangi sinar matahari dan hembusan angin, dan tidak pula menzaliminya dengan menghilangkan atau merubah bangunannya; sebab hal tersebut bisa menyakitinya.
  • Menasehati, mengarahkannya pada kebaikan, menyerunya pada perbuatan ma’ruf dan mencegahnya dari kemungkaran dengan penuh hikmah, mau’izhah hasanah tanpa maksud membeberkan kesalahan atau mengucilkannya, dan tidak mencari-cari kesalahannya, senang dengan kekhilafannya, serta menutup diri dari kekeliruan dan kesalahannya.
  • Bersabar atas prilaku tetangga yang menyakiti dirinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ يُحِبُّ ثَلاَثَةً ويُـبْغِضُ ثَلاَثَةً –وَذَكَرَ مِنْهُمْ-رَجُلاً كَانَ لَهُ جَارٌ وَيُؤْذِيْهِ وَيَصْبِرُ عَلىَ أَذَاهُ حَتَّى يَكْفِيَهُ اللهُ إِياَّهُ يِحَيَاةٍ أَوْ مَوْتٍ

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla mencintai tiga hal dan membenci tiga hal: Di antara yang disebutkan adalah seorang lelaki yang mempunyai tetangga yang selalu menyakitinya namun dia tetap bersabar atas prilaku buruknya sampai Allah mencukupkannya dari tetangganya baik saat hidup atau setelah kematian “.[710]

  • Dibolehkan menangisi orang yang sakit, maka orang yang mati lebih utama, akan tetapi tangisan yang tidak mengarah pada meratapinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis saat masuk kepada Sa’ad bin Ubadah radhiallahu anhu saat mendapatkannya sakit.[711]
  • Berdo’a dengan kebaikan bagi orang yang sedang sakit, sebab malaikat mengaminkan atas ucapannya, seperti yang dijelaskan dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَضرْتُمْ اْلَمرِيْضَ أَوْ اْلَميِّتَ فَقُوْلُوْا خَيْرًا فَإِنَّ اْلَملاَئِكَةَ يُؤَمِّنُوْنَ عَلىَ مَا تَقُوْلُوْنَ. قَالَتْ:فَلَمَّا مَاتَ أَبُوْ سَلَمَةَ أَتَتِ النَّـبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَارَسُـوْلَ اللهِ إِنَّ أَبَا سَلَمَةَ قَدْ مَاتَ قَالَ قُوْلِي: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلَهُ وَأَعْقِبْنِي مِنْهُ عُقْبَى حَسَنَة. قَالَتْ فَقُلْتُ: فَأَعْقَِبَنِي اللهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ لِي مِنْهُ مُحَمَّدٌ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Apabila kalian menghadiri orang yang sedang sakit atau mati maka katakanlah yang baik, sesungguhnya malaikat mengaminkan apa yang kalian katakan. Ummu Salamah menceritakan: Pada saat Abu Salamah meninggal dunia, dia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Salamah talah meninggal dunia. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: Bacalah do’a ini:

  اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلَهُ وَأَعْقِبْنِي مِنْهُ عُقْبَى حَسَنَة

(Ya Allah berikanlah ampunan bagiku dan baginya serta berikanlah bagiku ganti yang baik). Lalu Allah memberikan ganti yang lebih baik bagiku Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan berdo’a bagi orang yang sakit tersebut dengan do’a yang telah disyari’atkan, seperti: 

      لاَبَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ(Tidak mengapa suci Insyallah).[712] Membaca do’a:َاللّهُم َاشْـفِ فُلاَنًا  (Ya Allah berikanlah kesembuhan bagi si fulan) dibaca 1x atau 3x.[713] Atau do’a:  أَسْأَلُ اللهَ اْلعَظِيْمَ رَبَّ اْلعَرْشَ اْلعَظِيْم َأَنْ يَشْفِيَكَ    (Aku mohon kepada Allah, Yang Maha Besar, Tuhan Arsy yang besar, agar Dia berkenan menyembuhkanmu) dibaca 7x.

  • Meletakkan tangan di atas tubuh orang yang sakit tersebut sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menjenguk orang yang sakit beliau meletakkan tangannya pada tubuh yang sakit, lalu membaca: بِسْمِ اللهِ[714]
  • Meruqyah orang yang sakit tersebut:

-Meruqyahnya dengan Al-Mu’awwidzat, dari Aisyah, Ummul Mu’minin radhiallahau anha menceritakan bahwa apabila salah seorang keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit maka beliau meniupnya dengan membaca Al-Mu’awwidzat...([715])[716]

-Meruqyahnya dengan membaca Al-Fatihah.[717] Dan

أَذْهِبِ اْلبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِـفَاءَ إِلاَّ شِـفَاءُكَ شِـفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Hilangkanlah penyakit, wahai Tuhan manusia, sembuhkanlah hanya Engkaulah yang menyembuhkan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang Engkau kehendaki kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”.[718]

بِسْمِ اللهِ أُرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ شـَرٍّ يُؤْذِيْكَ  مِنْ شَـرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْعَيْنٍ حَاسِدٍ اللهُ يَشْفِيْكَ بِاسْمِ اللهِ أُرْقِيْكَ

“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari setiap kejahatan yang menyakitimu, dari setiap kejahatan jiwa atau mata yang dengki, Allahlah yang menyembuhkanmu dengan nama Allah aku meruqyahmu”.[719]

  • Menjenguk seseorang tidak mesti dilakukan pada saat orang yang sakit mengetahui siapa yang menjenguknya, menjenguk seseorang disyari’atkan sekalipun orang yang sakit tersebut pingsan, demi mendapatkan keberkahan do’anya dan tangannya yang diletakkan pada tubuh orang yang sakit tersebut, lalu mengusap dan meniupnya dengan bacaan Al-Mu’awwidzat dan yang lainnya.[720] Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata: Aku ditimpa suatu penyakit lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakr datang menjengukku dengan berjalan kaki, mereka mendapatiku sedang pingsan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuangkan air wudhu’nya kepadaku, akhirnya aku tersadar dan tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada di hadapanku, aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah yang mesti aku lakukan dengan hartaku? Apakah yang mesti aku perbuat pada hartaku? Namun beliau tidak menjawabku sehingga turun ayat-ayat tentang pembagian warisan”.[721]
  • Termasuk bentuk menyerupai prilaku Yahudi dan Nashrani adalah memberikan bunga kepada orang yang sakit.
  • Mengajarkan ucapan syahadat bagi orang yang sedang sakit, saat ajal menjemput, lalu menutup matanya dan berdo’a baginya jika telah meninggal dunia.
  • Dianjurkan menjenguk orang yang sedang sakit pada permulaan sakitnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Apabila sakit maka jenguklah dia”.[722]
    • Tidak dianjurkan memaksa orang yang sedang sakit untuk makan atau minum dengan makanan dan minuman tertentu.[723]

 

54-ADAB MENJENGUK ORANG YANG SEDANG SAKIT

  • Berkunjung kepada orang yang sedang sakit mempunyai keutamaan, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:                   مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِحَتَّى يَرْجِعَ

"Barangsiapa yang menjenguk orang yang sedang sakit, maka dia senantiasa berada pada petikan buah kurma di dalam surga sampai dia pulang" [724]

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي. قَالَ: رَبِّي كَيْفَ أَعُوْدُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ؟ قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلاَنًا  مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا إِنَّك َلَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي  عِنْدَهُ...

"Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berkata pada hari kiamat: Wahai anak Adam! Aku telah sakit namun kamu tidak menjengukKu. Anak Adam bertanya: "Bagaimanakah aku menjengukMu karena Engkau adalah Tuhan semesta alam". Allah menegaskan: Tidakkah engkau mengetahui bahwa hambaKu fulan sedang sakit namun engkau tidak menjenguknya, Seandainya engkau menjenguknya niscaya engkau akan mendapatkan Aku padanya…".[725]

Dari Ali radhiallahu anhu berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى أَخَاهُ عَائِدًا مَشَى فَي خُرَافَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسَ فَإِذَا جَلَسَ غَمَرَتْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا كَانَ غُدْوَةً صَلىَّ عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنْ كَانَ مَسَاءً صَلىَّ عَلَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ

"Barangsiapa yang menjenguk saudaranya, maka dia senantiasa berjalan pada petikan buah surga sampai dia duduk, apabila dia sudah duduk maka rahmat akan tercurah baginya, dan jika berkunjungnya pada saat pagi tujuhpuluh ribu malaikat berdo'a baginya sampai sore, dan jika berkunjungnya pada waktu sore maka tujuhpuluh ribu malaikat berdo'a baginya sampai waktu pagi".[726]

  • Akan ditulis bagi orang yang sakit tersebut pahala bagi amal-amal yang selalu dikerjakan pada waktu sehatnya.
  • Hendaklah orang yang sakit tersebut diingatkan untuk selalu bersabar terhadap qodha' Allah atas dirinya, tidak memperlambat pengobatan dan tidak berangan-angan mati bagaimanapun kronis penyakit yang dihadapinya.
  • Menjenguk orang yang kafir dianjurkan untuk menyerunya kepada Islam dan membebaskan diri dari tanggung jawab berda'wah (kepada orang kafir tersebut). [727] berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik radhiallahu anhu bahwa seorang anak Yahudi yang telah berkhidmah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditimpa penyakit, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenguknya dan memerintahkannya: "Masuklah Islam!, maka anak tersebut akhirnya masuk Islam".[728]
  • Menjenguk orang yang sakit bisa dilaksanakan pada waktu kapan saja selama tidak menyulitkan baginya, Al-Marwazi rahimahullah berkata: "Aku pergi pada waktu malam bersama Abu Abdullah untuk menjenguk seorang yang sedang sakit, bulan itu adalah bulan ramdhan, dia berkata kepadaku: (Pada bulan ramdhan orang yang sakit dijenguk pada waktu malam)[729].
  • Tidak tinggal bersama orang yang sakit tersebut terlalu lama kecuali jika dia menghendaki hal tersebut.
  • Dianjurkan bagi seorang yang menjenguk untuk duduk di sisi kepala orang yang sedang sakit, pada saat seorang anak Yahudi di timpa sakit maka Rasulullah datang menjenguknya dan duduk di sisi kepalanya[730]dan dari Ibnu Abbas radhiallahu
  • , dia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menjenguk orang yang sakit beliau duduk di sisi kepalanya…".[731]
  • Di antara tuntunan yang baik saat berkunjung adalah bertanya kepadanya tentang keadaannya, dari Aisyah radhiallahu anhu berkata: Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai memasuki kota Madinah, Abu Bakr dan Bilal di timpa penyakit. Aisyah melanjutkan: Maka menjenguk keduanya lalu bertanya kepada Abu Bakr: Wahai Bapakku bagaimana keadaanmu?.[732]
  • Dibolehkan menangisi orang yang sakit, maka orang yang mati lebih utama, akan tetapi tangisan yang tidak mengarah pada meratapinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis saat masuk kepada Sa’ad bin Ubadah radhiallahu anhu dan mendapatkannya sakit.[733]
  • Berdo’a dengan kebaikan bagi orang yang sedang sakit, sebab malaikat mengaminkan atas ucapannya, seperti yang dijelaskan dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَضرْتُمْ اْلَمرِيْضَ أَوْ اْلَميِّتَ فَقُوْلُوْا خَيْرًا فَإِنَّ اْلَملاَئِكَةَ يُؤَمِّنُوْنَ عَلىَ مَا تَقُوْلُوْنَ. قَالَتْ:فَلَمَّا مَاتَ أَبُوْ سَلَمَةَ أَتَتِ النَّـبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَارَسُـوْلَ اللهِ إِنَّ أَبَا سَلَمَةَ قَدْ مَاتَ قَالَ قُوْلِي: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلَهُ وَأَعْقِبْنِي مِنْهُ عُقْبَى حَسَنَة. قَالَتْ فَقُلْتُ: فَأَعْقَِبَنِي اللهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ لِي مِنْهُ مُحَمَّدٌ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Apabila kalian mengunjungi orang yang sedang sakit atau mati maka katakanlah yang baik, sesungguhnya malaikat mengaminkan apa yang kalian katakan. Ummu Salamah menceritakan: Pada saat Abu Salamah meninggal dunia, dia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Salamah telah meninggal dunia. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: Bacalah do’a ini: اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلَهُ وَأَعْقِبْنِي مِنْهُ عُقْبَ حَسَنَة

 (Ya Allah berikanlah ampunan bagiku dan baginya serta berikanlah bagiku ganti yang baik). Lalu Allah memberikan ganti yang lebih baik bagiku Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan berdo’a bagi orang yang sakit tersebut dengan do’a yang telah disyari’atkan, seperti:  لاَبَأْسَ طَهُوْرٌ إِنْ شَاءَ اللهُ  (Tidak mengapa suci Insyallah).[734] Membaca do’a:

ََاشْـفِ فُلاَنًا  اللّهُم (Ya Allah berikanlah kesembuhan bagi si fulan) dibaca 1x atau 3x.[735] Atau do’a:

أَسْأَلُ اللهَ اْلعَظِيْمَ رَبَّ اْلعَرْشَ اْلعَظِيْم َأَنْ يَشْفِيَكَ    (Aku mohon kepada Allah, Yang Maha Besar, Tuhan Arsy yang besar, agar Dia berkenan menyembuhkanmu) dibaca 7x.

  • Meletakkan tangan di atas tubuh orang yang sakit tersebut sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menjenguk orang yang sakit beliau meletakkan tangannya pada tubuh orang yang sakit, lalu membaca: بِسْمِ اللهِ[736]
  • Meruqyah orang yang sakit tersebut:

-Meruqyahnya dengan Al-Mu’awwidzat, dari Aisyah, Ummul Mu’minin radhiallahu anha menceritakan bahwa apabila salah seorang keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit maka beliau meniupnya dengan membaca Al-Mu’awwidzat...([737])[738]

-Meruqyahnya dengan membaca Al-Fatihah.[739] Dan membaca

أَذْهِبِ اْلبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِـفَاءَ إِلاَّ شِـفَاءُكَ شِـفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Hilangkanlah penyakit, wahai Tuhan manusia, sembuhkanlah hanya Engkaulah yang menyembuhkan tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang Engkau kehendaki kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”.[740]

بِسْمِ اللهِ أُرْقِيْكَ مِنْ كُلِّ شـَرٍّ يُؤْذِيْكَ  مِنْ شَـرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْعَيْنٍ حَاسِدٍ اللهُ يَشْفِيْكَ بِاسْمِ اللهِ أُرْقِيْكَ

“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari setiap kejahatan yang menyakitimu, dari setiap kejahatan jiwa atau mata yang dengki, Allahlah yang menyembuhkanmu dengan nama Allah aku meruqyahmu”.[741]

  • Menjenguk seseorang tidak mesti dilakukan pada saat orang yang sakit mengetahui siapa yang menjenguknya, menjenguk seseorang disyari’atkan sekalipun orang yang sakit tersebut pingsan, untuk mendapatkan keberkahan do’anya dan tangannya yang diletakkan pada tubuh orang yang sakit tersebut, lalu mengusap dan meniupnya dengan bacaan Al-Mu’awwidzat dan yang lainnya.[742] Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata: Aku ditimpa suatu penyakit lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakar datang menjengukku dengan berjalan kaki, mereka mendapatiku sedang pingsan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuangkan air wudhu’nya kepadaku, akhirnya aku tersadar dan tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada di hadapanku, aku bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah yang mesti aku lakukan dengan hartaku? Apakah yang mesti aku perbuat pada hartaku? Namun beliau tidak menjawabku sehingga turun ayat-ayat tentang pembagian warisan”.[743]
  • Termasuk bentuk menyerupai prilaku Yahudi dan Nashrani adalah memberikan bunga kepada orang yang sakit.
  • Mengajarkan ucapan syahadat bagi orang yang sedang sakit, saat ajal menjemput, lalu menutup matanya dan berdo’a baginya jika telah meninggal dunia.
  • Dianjurkan menjenguk orang yang sedang sakit pada permulaan sakitnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Apabila dia sakit maka jenguklah dia”.[744]
    • Tidak dianjurkan memaksa orang yang sedang sakit untuk makan atau minum dengan makanan dan minumman tertentu.[745]

 

55-ADAB DI PASAR

  • Berdo’a sebelum memasuki pasar:

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْـدَه لاَ شَـرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلُملْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَـيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ اْلخَيْرُوَهـُوَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيْـرٌ

“Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya seluruh kekuasaan dan seluruh pujian, Yang Menghidupkan dan Mematikan, dan Tuhan Yang Hidup dan Tidak Mati, di TanganNyalah kebaikan, Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[746]

  • Seorang muslim harus memahami hukum-hukum yang berhubungan dengan jual beli.
  • Tidak curang dalam menimbang dan menakar barang.
  • Dilarang menipu, menimbun barang dan berlaku najsy, yaitu: menawar dengan harga yang lebih tinggi oleh orang yang tidak berkeinginan membelinya.
  • Dilarang jual beli al-inah, yaitu menjual suatu barang kepada orang lain dengan harga yang dibayar pada masa yang akan datang, kemudian si penjual membeli barang tersebut dari pembeli pertama dengan harga yang lebih sedikit dari harga semula secara cash.
  • Mengendalikan harga, dari Anas radhiallahu anhu menceritakan bahwa masyarakat mengadu kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Harga barang-barang melonjak, batasilah harga tersebut! Maka Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allahlah yang menciptakan, yang menyempitkan dan meluaskan serta menentukan harga, dan aku berharap agar diriku menemui Allah Ta’ala tanpa seorangpun menuntutku dengan suatu kezaliman baik darah atau harta”.[747]
  • Jujur dalam bertransaksi, sebagaimana yang diriwayatkan bahwa saat Nabi shallallahu alaihi wasallam berjalan pada sebuah pasar melewati sekumpulan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata bagian bawahnya basah terkena hujan, lalu beliau bertanya: Wahai pemilik makanan apakah yang terjadi dengan makananmu ini? “Ditimpa hujan wahai Rasulullah” Jawab sang penjual. Beliau menegur: “Tidakah kau menjadikannya di atas makanan yang lain agar pembeli melihatnya, barangsiapa yang menipu, dia bukan dari golongan kita”.[748]
  • Dilarang menyambut penjual yang baru datang (di luar pasar), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَلَقُّوْا السِّلَعَ حَتَّى يَهْبِطَ بَهَا فِي السُّـوْقِ

“Janganlah kalian menyambut barang jualan sampai barang tersebut turun memasuki pasar”.[749]

  • Dilarang menjual barang yang bukan miliknya dan barang yang belum di tangannya.
  • Diperintahkan bersikap mudah dan lapang dada dalam jual beli, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رَحِمَ اللهُ عَبْدًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ سَمْحًا إِذَا اشْتَرَى  وَسَمْحًا إِذَا اقْتَضَى

“Allah memberikan rahmat kepada seorang hamba yang mudah toleran apabila menjual, toleran apabila membeli dan toleran dalam menuntut piutangnya”.[750]

  • Tidak mengangkat suara dalam bertikai dan bertengkar, disebutkan bahwa salah satu sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau bukanlah orang yang suka berkata kotor, berbuat kotor, tidak bersuara keras di pasar, tidak membalas dengan keburukan namun beliau suka memaafakan dan memberikan ampunan”.[751]
  • Menjaga agar selalu memenuhi aqad, janji dan kesepakatan antara kedua belah pihak, berdasrkan firman Allah Ta’ala:  

  يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ

“Wahai orang-orang yang beriman penuhilah jani-janjimu”.[752]

  • Memperkuat terjadinya jual beli dengan adanya saksi atau tulisan berdasarkan firman Allah Ta’ala: َوأَشْهِدُوْا إِذَا تَبَايَعْتُمْ    “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.[753]
  • Tidak banyak bersumpah dalam berjual beli, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:   

   إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةُ اْلحَلَفِ فِي اْلبَيْعِ فَإِنَّهُ يُنْفِقُ ثُمَّ يُمْحِقُ

"Jauhilah banyak bersumpah pada saat berjual beli sebab tindakan ini mendatangkan laba namun menghilangkan keberkahan”.[754]

  • Membersihkan pasar dari barang-barang yang diharamkan.
  • Menjauhi berjual beli dengan barang yang dirampok atau dicuri, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجـرَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu”.[755]

  • Menjaga pandangan dari wanita dan menjauhi bercampur bersama mereka, firman Allah Ta’ala:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يُغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ وَقُلْ ِللْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya”.[756]

  • Menjaga syi’ar-syi’ar agama, tidak menyibukkan diri dengan jual beli dari panggilan shalat, sebaik-baik manusia adalah orang yang tidak disibukkan oleh perkara-perkara dunia sampai melupakan akhiratnya dan tidak pula tenggelam dalam urusan akhirat sampai melupakan dunianya”. Firman Allah Ta’ala:    

     رِجَالٌ لاَ تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَ بَيْعٌ عَنْ ِذكْرِ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكوةِ

Lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah dan dari mendirikan sembahyang dan dari membayar zakat”.[757]

 

56-ADAB TERHADAP KEDUA ORANG TUA

  • Berbakti kepada kedua orang tua teramsuk amal shaleh yang bisa melapangkan segala kesusahan dan menghilangkan kegelapan.[758]
  • Kedudukan berbakti kepada kedua orang tua lebih diutamakan dari berjihad di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu, dia bertanya:  Perbuatan apakah yang paling dicintai oleh Allah?, Rasulullah menjawab: "Shalat pada waktunya", aku bertanya kembali: "Kemudian apalagi?", Rasulullah berkata: "Berbakti kepada kedua orang tua", Kemudian apa?, "Berjihad di jalan Allah".[759] Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru, dia berkata: Seorang lelaki mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Aku mendatangimu untuk berbai'at mengikuti jihad dan aku meninggalkan kedua orang tuaku menangis". Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Kembalilah kepada keduanya dan jadikanlah mereka tertawa gembira sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis".[760]
  • Memperbanyak berdo'a dan memintakan ampun bagi mereka berdua.
  • Mencium kening keduanya.
  • Melunasi hutang keduanya, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa Sa'ad bin Ubadah radhiallahu anhu meminta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: Ibnuku telah meninggal dalam keadaan menanggung suatu nazar, apakah aku akan melunasinya?", Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Lunasilah nazar ibumu tersebut".[761]
  • Memuliakan shahabat mereka berdua, sebagimana riwayat Ibnu Umar bahwa setiap dia pergi menuju Mekkah, dia mempunyai seekor himar yang dipergunakan pergi jika letih menunggang kendaraannya, sambil melilitkan surban pada kepalanya, sehingga  saat dia menunggang himarnya, datanglah seorang badui lewat di hadapannya, lalu Ibnu Umar bertanya: "Bukankah kau anak fulan bin fulan? Badui tersebut menjawab: "Benar" Maka Ibnu Umar memberikan orang teresebut himar tunggangannya, dan berkata: "Tungganglah himar ini", lalu menambahnya dengan memberikan surbannya dan berkata: "Pakailah surban ini untuk mengikat kepalamu!", lalu sebagian shahabatnya menegurnya: "Semoga Allah mengampunimu! Engkau telah memberikan orang badui ini seekor himar yang kamu pergunakan untuk menyenangkan dirimu dalam perjalananmu, dan surban yang kau pergunakan untuk melilit kepalamu? Maka Ibnu Umar menjawab: Aku telah mendegar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَبَرِّ اْلبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ

"Sesungguhnya termasuk berbakti kepada orang tua seseorang menyambung silaturrahmi kerabat orang yang pernah dicintai oleh bapakanya setelah kematiannya."[762] Bapak orang badui ini adalah teman dekat Umar bin Khattab radhiallhu anhu. Ini adalah salah satu bentuk keluasan rahmat Allah, di mana berbuat baik kepada kedua orang tua cakupannya sangat luas tidak dibatasi pada bapak atau ibu kedua orang tua saja.

  •  Menyebut kedua orang tua dengan sesuatu yang baik.
  • Mendahulukan keduanya atas yang lain.
  • Memberikan kebahagiaan kepada keduanya dengan cara yang bisa dilakukannya, seperti memberikan hadiah, mengajak mereka pergi dan bersenda gurau dengan mereka berdua.
  • Berjaga untuk menenangkan jiwa mereka berdua, terlebih saat mereka sakit.[763]
  • Berbicara kepada keduanya dengan penuh adab dan lembut. Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاُ كَرِيْمًا

      "Maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya ucapan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia".[764]

  • Bangkitlah untuk menyambut keduanya saat mereka berdua datang menjenguk.
  • Ciumlah tangan mereka berdua.
  • Muliakan dan berikanlah mereka berdua apa-apa yang diinginkan.
  • Tidak mengangkat suara di hadapan keduanya dan tidak pula mendebatnya.
  • Bermusyawarahlah dengan mereka berdua dalam pekerjaan dan urusanmu.
  • Janganlah berbohong terhadap mereka berdua.
  • Janganlah mencela mereka berdua saat berbuat sesuatu yang tidak membuatmu puas.
  • Janganlah tidur atau berbaring jika mereka berdua sedang duduk.
  • Janganlah menjulurkan kaki di hadapan mereka berdua.
  • Janganlah kau berjalan sejajar di samping bapakmu di jalanan akan tetapi mundurlah sedikit ke belakang.
  • Janganlah kau duduk di tempat yang lebih tinggi dari tempat mereka.
  • Segera memenuhi panggilan mereka berdua saat membutuhkan.
  • Janganlah seseorang memanggil orang tuanya dengan namanya, tidak mendahuluinya duduk pada sebuah tempat dan tidak pula berjalan di depannya. Dari Abi Hurairah radhiallahu anhu bahwa dia melihat dua orang lelaki, lalu berkata kepada salah seorang dari keduanya: Apakah hubunganmu dengan orang ini? "Dia adalah bapakku". Tegasnya. Lalu Abu Hurairah menasehatkan: "Janganlah engkau memanggilnya dengan namanya, jangan pula berjalan di hadapannya, serta janganlah engkau mendahuluinya duduk".[765]
  • Selalu bershahabat dengan orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya.
  • Berbakti kepada kedua orang tua tetap ada bahkan sampai setelah mereka meninggal dunia. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika ditanya: Masihkah ada perbuatan bakti yang bisa aku persembahkan kepada kedua orang tuaku setelah meninggalnya? Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:

نَعَمْ اَلصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَاْلاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمَا وَصِلَةُ الَّرحْمِ الَّتِي لاَ تُوْصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامِ صَدِيْقِهِمَا

"Ya dengan mendo'akan mereka berdua, memintakan ampun bagi mereka berdua, melaksanakan wasiat mereka berdua setelah kematian keduanya dan silaturrahmi yang tidak bisa disambung kecuali dengan keduanya dan memuliakan teman mereka berdua".[766]

 

57 – ADAB DALAM MENDIDIK ANAK (HAK-HAK ANAK)

  • Membiasakan mereka untuk pergi ke masjid, jikalau tidak khawatir akan mengganggu ketenangan masjid sebagaimana yang terdapat di dalam Hadits: جَـنِّبُوْا مَسَـاجِدَكُـمْ صِبْيَانَكُمْ وَمَجَـانِيْنَكُمْ (ضعـيف).

     "Jauhkanlah anak-anak dan bayi-bayi kalian dari masjid" Hadits dhoif.

  • Memotifasi mereka untuk cinta terhadap ilmu, dan fase-fase yang harus dilaluinya di dalam menuntut ilmu. Al Maimuni berkata: Saya bertanya kepada Abu Abdullah: Mana yang lebih engaku sukai, saya mulai mendidik anakku dengan belajar Al Qur an atau Hadits ?", Dia berkata: "Tidak, akan tetapi dengan Al Qur an". Saya berkata: "Haruskah saya ajarkan keduanya secara bersaaman?" Dia berkata: "Jika kiranya sulit bagi mereka maka ajarilah salah satu diantaranya", Kemudian ia berkata kepadaku: "Jikalau belajar membaca didahulukan maka dia akan terbiasa dengan membaca kemudian memacu untuk membiasakannya".
  • Memanggil mereka dengan panggilan "Abu Fulan atau Ummu Fulanah", ini yang akan merangsang pertumbuhan perasaan dan tingkat kedewasaan anak. Dalam sebuah riwayat bahwasanya Nabi pernah memberi gelar kepada anak-anak kecil,:

وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ يُكَنِّي الصِّغَارَ فَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: "كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلقًا, وَكاَنَ لِي أَخٌ يُقَـالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرُ قَالَ: أُحِْسبُهُ فَطِيْمًا وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ:يَا أَبَا عُمَيْرُ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟!"

Diriwayatkan dari Anas radhiallahu anhu Berkata: " Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya, dan saya punya saudara yang digelari oleh Nabi dengan panggilan Abu Umair, beliau berkata: "Saya kira dia adalah anak kecil yang sudah tidak menyusui lagi", maka setiap kali dia datang Nabi memanggilnya dengan: Wahai Abu Umair apa yang terjadi pada burung Al-Nughair" Yaitu seekor burung kecil yang dijadikan sebagai teman bermainnya".[767]

Dan boleh memberikan gelar dengan anak yang belum didapatkannya, sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat yang shahih pada kitab Shahihul Bukhari dan yang lainnya bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan gelar bagi seorang gadis kecil ketika sedang memakai baju bagus, maka beliau berkata kepadanya: (Ini adalah penampilan yang cantik wahai Ummu Khalid, ini penampilan yang begitu cerah wahai Ummu Khalid).[768]

  • Membawa anak-anak pada pertemuan-pertemuan umum dan mengkondisikan mereka duduk dengan orang-orang yang sudah dewasa. Dahulu, para sahabat menyertakan anak-anak mereka di dalam majelis Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan salah satu cerita dari tentang hal tersebut adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah bin Qurrah dari bapaknya berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah duduk dalam sebuah majlis, lalu para sahabat duduk mengelilingi beliau, dan di antara mereka ada seorang sahabat yang datang bersama anaknya, kemudian dia mendudukkan anak tersebut di hadapan Rasululullah shallallahu alaihi wasallam melalui belakang punggung beliau…".[769]

Amru bin Ash pernah berkata kepada sekelompok orang yang duduk-duduk disekitar ka'bah, setelah beliau melakukan thawaf lalu dia duduk bersama mereka, dan mereka menjauhkan anak-anak dari majelis mereka, maka Amru bin Ash menegur: "Jangan lakukan itu, berilah tempat untuk mereka, dekatkanlah mereka dan berikanlah mereka insfirasi". Mereka pada masa ini kecil, namun mereka akan menjadi dewasa dan akan menjadi kaum yang lain. Dulu kami adalah anak-anak kecil namun sekarang kita oang-orang dewasa dan menjelma menjadi generasi lain (berbeda dengan masa kecil).[770]

  • Banyak bercerita kepada mereka tentang pahlawan Islam yang terdahulu dan sekarang, serta kemenangan kaum muslimin dalam setiap peperangan.
  • Mendidik mereka tata cara beradab dengan orang tua, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلىَ الْكَبِيْرِ, وَالْمَارُ عَلـَى اْلقَاعِـدِ, وَالْقَلِيْلِ علَىَ اْلكَـثِيْرِ 

"Yang muda memberi salam kepada yang lebih tua, dan yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, dan yang sedikit memberi salam kepada yang banyak ".

  • Menghargai anak-anak dalam sebuah majlis.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَـالَ: أَُتِي النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدْحٍ فَشَرِبَ مِنْهُ وَعَنْ يَمِيْنِهِ غُلاَمٌ أَصْغَرَ اْلقَوْمِ وَاْلأَشْيَاخُ عَـنْ يَسَارِهِ فَقَـالَ : يَـا غُلاَمُ, أَتَأْذَنُ لِي أَنْْ أُعْطِيَه ُاْلأَشْيَاخَ؟ قَالَ: مَا كُنْتُ ِلأُوْثِرَ بِفَضْليِ مِنْكَ أَحَدًا يَا رَسُـوْلَ اللهِ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu anhu berkata: Nabi diberikan sebuah mangkuk maka Rasulullah minum darinya, dan di samping kanan beliau ada seorang anak kecil sementara di samping kirinya para orang-orang yang telah dewasa maka beliau berkata: Wahai anak! Bolehkah saya memberikan kapada orang-orang dewasa air minum ini? Lalu anak itu berkata: “Aku tidak akan mengutamakan seorangpun atas kelebihan yang engkau berikan kepadaku, wahai Rasulullah”. Maka Rasulpun memberikan air minum (bekas beliau) kepada anak tersebut.[771]

  • Melatih mereka dengan olahraga kesatriaan seperti memanah, berenang, mengendarai kuda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah bin Sahl berkata:

"Umar radhiallahu Anha menulis surat kepada Abi Ubaidah bin Jarrah: “Ajarilah anak-anakmu berenang".[772]

  • Menjauhkannya dari sebab-sebab yang membawanya condong kepada sifat kewanitaan, seperti menari, cenderung meniru prilaku wanita, menyisirinya seperti menyisiri wanita, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik radhiallahu anhu:

"Dan saya sangat tidak menyukai anak muda yang memakai sesuatu dari emas; karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan kepadaku bahwasanya beliau melarang memakai cincin dari emas, maka aku membencinya bagi orang dewasa ataupun anak-anak dari kaum lelaki".

  • Hindari agar jangan sampai merendahkan mereka dihadapan umum, dan jangan menghina ide-idenya, upayakan untuk merangsang mereka agar ikut berpartisipasi dalam kebaikan.
  • Mengucapkan salam kepadanya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melewati anak-anak dan memberi salam kepada mereka.
  • Menghargai dan menerima ide-idenya.
  • Memberikan tanggungjawab secara terus menerus sesuai dengan kemampuannya.
  • Membiasakan diam terhadap rahasia. Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah memanggil Anas radhiallahu anhu untuk sebuah urusan rahasia dan Anas tidak pernah membuka rahasia tersebut kepada siapapun.
  • Mengajarinya keberanian pada tempatnya.
  • Memperhatikan bentuk pakaiannya, menghindarkannya dari kecondongan bergaya dalam berpakaian, potongan rambut, tingkah laku serta cara berjalannya.

Menjauhkannya dari kehidupan bermewah-mewah, bergantung kepada orang lain, malas, bersantai-santai, dan berfoya-foya. Umar radhiallahu anhu bekata: "Hiduplah secara keras karena sesungguhnya nikmat (kehidupan dunia) tidak kekal selamanya ".

  • Menjauhkan mereka dari majlis yang sia-sia dan munkar.

 

58-ADAB TERHADAP KELUARGA

  • Memutuskan hubungan silaturrahmi termasuk dosa besar yang mendapatkan ancaman dari Allah, seperti yang dijelaskan di dalam firmanNya:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدَ فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوْا أَرْحَامَكُمْ أُلئِكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ َوَأَعْمَى أَبْصرَهُمْ

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasakamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluaragaan. Mereka itulah yang dilakanati Allah dan ditulikan-Nya teling mereka dan dibutakan-Nya pengelihatan mereka"[773].

  • Berbakti dan berbuat baiklah kepada mereka dan pergaulilah mereka dengan pergaulan yang baik.
  • Membantu yang fakir dari golongan mereka dan menghibur mereka dalam kesenangan dan kesususahan.
  • Memenuhi hajat mereka dan berwasit bagi mereka jika mereka tidak termasuk ahli waris.
  • Keluarga dekat mempunyai hak hubungan kekeluargaan, sekalipun mereka orang kafir, sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits: وَلِكنْ لَـهُمْ رَحِمٌ أُبِلُّـهُمْ بِبِلاَلِهَا "Akan tetapi bagi mereka terdapat hubungan kekrabatan denganku yang tetap aku basahi dengan curahan air kesejukannya".[774]
  • Hubungan kekerabatan dari pihak ibu sama dengan hubungan kekerabatan dari pihak bapak.
  • Dilarang menjauhi keluarga karena masalah pribadi.[775]

 

59-ADAB DUDUK BERSAMA TEMAN-TEMAN

  • Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkata: Sesungguhnya aku melihat kebiasaan orang yang sudah menyebar (di kalangan masyarakat) bahwa mereka menyia-nyiakan waktu, mereka saling menziarahi satu sama lain namun mereka tidak melapaskan diri dari omongan yang tidak bermanfaat dan prilaku menggunjing, paling tidak yang terjadi adalah menyia-nyiakan waktu. Padahal ulama salaf sangat mewaspai hal teresbut. Al-Fudhail berkata: Aku mengetahui orang yang mengevaluasi perkataannya dari juma't yang satu kepada jum'at yang lain".[776]
  • Memilih teman yang diakui keistiqomahannya di dalam menjalankan tuntunan agama, berkahlaq baik dan amanah baik secara lahir dan bathin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

اَلرَّجُلُ عَلىَ دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُـرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَاِللْ

"Seseorang tergantung pada agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapakah orang yang layak ditemaninya".[777] Dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ

"Janganlah engkau berteman kecuali dengan orang yang beriman dan jangan pula memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa".[778] Hendaklah teman duduk tersebut orang yang alim, penyantun dan bertaqwa.

  • Selayaknya dorongan utama dalam bersaudara dan bershahabat adalah karena Allah sehingga terbentuk perasaan saling mencintai hanya karena Allah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَيْنَ الْمُتَحَابُوْنَ بِجَلاَلِي اَلْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِليِّّّ

"Allah berkata pada hari kaiamat: Di manakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku Yang Maha Tinggi, pada hari ini Aku menaungi mereka pada hari tidak ada naungan kecuali naunganKu".[779] Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتََحابِيْنَ فِيَّ وَالْمُتَجَالِسِيْنَ فِيَّ وَالْمُتَزَاوِرِيْنَ فِيَّ وَالْمُتَبَاذِلِيْنَ فِيَّ

"Allat Tabaraka Wa Ta'ala berfirman cintaKu wajib bagi orang-orang yang saling mencintai karena Aku, duduk berkumpul karena Aku, saling menziarahi karena Aku, dan saling menziarahi karena Aku serta saling berkorban karena Aku".[780]

  • Dianjurkan bagi orang yang mencintai saudaranya untuk mengungkapkan cintanya tersebut kepadanya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa seorang lelaki berada di sisi Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu lewatlah seorang lelaki lain lalu orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya mencintai orang ini, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata: “Tidakkah kau memberitahukannya?” “Belum”Jawab orang tersebut. Lalu lelaki tersebut berkata: Aku akan memberitahukannya”. Lalu dia mengejarnya, kemudian berkata kepadanya: “Saya mencintaimu karena Allah”. Dan lelaki tersebut menjawabnya:أَحَبَّكَ اللهُ الَّذِي أَحْبَبْتَـنِي فِيْهِ

“Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karenaNya”.[781]

·         Agar orang-orang yang mencintai karena Allah saling ada rasa keterikatan baik jiwa dan hati mereka dari waktu ke waktu.

·         Wajah tersenyum, bersikap lembut dan saling mencintai antar saudara, berdasarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفَ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ"

“Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekalipun sedikit sekalipun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-seri”[782] Dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

وَتَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ   “Dan senyummu di hadapan wajah saudaramu adalah shadaqah”.[783] Dan Beliau bersabda:

 لََنْ تَسَعُوْا النَّاسَ بِأَمْوَاِلكُمْ فَلْيَسَعَهُمْ بَسْطَةَ اْلَوجْهِ    

"Kalian tidak akan meliputi manusia dengan harta-hartamu hendaklah   kalian meliputi mereka dengan kecerahan wajahmu”.[784]

  • Selalu menjaga untuk saling menasehati antara saudara dan Nabi shallallahu alaihi wasallam telah membai’at para shahabatnya atas yang demikian itu. Sebagaimana diceritakan Jarir bin Abdullah: “Aku telah membai’at Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan memberikan nasehat bagi setiap muslim”.[785]Dan dari Mu’adz bin Jabal rdhiallahu anhu berkata: “Jauhilah setiap teman yang tidak memberikan manfaat ilmu apapun bagimu”.[786]
  • Menyuruh mereka untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta menjelaskan kebenaran kepada mereka.
  • Tidak menipu mereka atau bersikap mengambil simpati dengan mengorbankan agama Allah.
  • Mengikuti jalan yang mereka tempuh tanpa bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan menjauhi perbuatan yang menyimpang dalam tindakan-tindakan yang bersifat duniawi.
  • Kerja sama di antara suadara, dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:               وَاللهُ فَِي عَوْنَ اْلعَبْدَ مَا كَانَ اْلعَبْ ُفيِ عَوْنِ أَخِيْهِ

“Sesungguhnya Allah akan menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya”.[787]

  • Saling bersifat merendah diri di antara mereka, dan tidak bersifat sombong dan angkuh atas yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُـوْا حَتىَّ لاَ َيفْخَـرَ أَحَـدٌ عَلىَ أَحَـٍد

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap merendah diri sehingga tidak ada yang merasa bangga atas orang lain”.[788] Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:             وَمَا َتوَاضَعَ عَبْدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ 

“Dan tidaklah seseorang bersikap merendah diri karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya”.

  • Berakhlaq yang baik kepada saudara, seperti wajah yang berseri, sabar atas kekeliruannya dan memendam amarah….
  • Dianjurkan bersikap berlapang dada, berdasakan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: وَاسْلُلْ سَخِيْمَةَ- الحقد والضغينة-قَلْبِي “Dan cabutlah kedengkian hatiku”.[789]
  • Berbaik sangka kepada suadara dan tidak memata-matai kesalahan mereka, menafsirkan perkataan mereka atas makna yang paling baik dan menerima permohonan maafnya.
  • Memaafkan kesalahan mereka dan menahan amarah terhadap mereka berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ كَظَـمَ غَيْظًا وَهُـوَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلىَ رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللهُ فِي أَيِّ الْحُـوْرِ شَاءَ

“Barangsiapa yang menahan amarahnya sementara dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan menyerunya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk untuk diberikan oleh Allah memilih bidadari yang dia sukai”.[790] Sikap tidak melampiaskan kemarahan bukan cermin sikap lemah akan tetapi justru sebagai cermin sikap yang tinggi dan mulia, Abu Hurairah telah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صََدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْـوٍ إِلاَّ عِـزًّا وَمَا تَـوَاضَعَ عَبْدٌِ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَـهُ اللهُ

“Tidaklah berkurang harta yang dishadaqahkan dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan sikapnya yang memberikan maaf kecuali ketinggian dan tidaklah seseorang bersikap merendah diri karena Allah kecuali Allah akan mengangkatnya”.[791]

  • Dilarang saling membenci dan saling mendengki serta saling menjauhi jika hal tersebut hanya karena sebab kepentingan pribadi sekalipun lebih banyak dari tiga malam.[792]
  • Dilarang saling panggil memanggil dengan gelar-gelar buruk, Abu Jubairah bin Dhahhaq radhiallahu anahu meriwayatkan, bahwa ayat ini turun pada Bani Salamah:

وَلاَ تَناَبَُزوْا بِاْلأَلْقَابِ بِئْسَ اْلاِسْمُ الْفُسُـوْقُ بَعْدَ اْلإِيْمَانِ

"Dan janganlah kamupanggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk . Seburuk-buruk panggilan setelah beriman".[793]. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendatangi kami sementara kami memiliki dua atau tiga nama panggilan, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam memanggil seseorang dan mengatakan: "Hai fulan" Lalu mereka menegur: "Wahai Rasulullah! Dia marah jika dipanggil dengan nama ini" lalu turunlah firman Allah Ta'ala: وَلاَ تَنَابَزُوْا بِاْلأَلْقَابِ . Oleh karenanya maka hendaklah dia menjauhi dari mencela orang lain.[794]

  • Dianjurkan untuk ishlah (rekonsiliasi) di antara saudara seiman, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِِِرُكُمْ بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ وَالصَّلاَةِ وَالصَّدَقَةِ؟ قَالُوْا بَلىََّ: قَالَ: صَلاَح ُذَاتِ اْلبَيِّنِ فَإِنَّ فَسَادَ ذَاتِ الْبَيِّنِ هِيَ اْلحَاِلقَةُ

"Maukah kalian aku beritahukan dengan sebuah amal yang lebih utama dari derajat puasa, shalat dan shedeqah?". Para shahabat menjawab: "Ya" Rasulullah melanjutkan: "Memperbaiki hubungan antar sesama saudara, sebab kerusakan hubungan antara saudara itulah yang membinasakan".[795] Maka hendaklah dia bersikap obyektif saat terjadi perselisihan.

  • Membantu memberikan biaya hidup bagi saudaranya, diceritakan dari Yahya bin Hilal Al-Warraq, dia berkata: Suatu saat aku datang kepada Abi Abdullah, lalu aku mengadu kepadanya, maka dia memberikan kepadaku empat dirham, lalu berkata: "Ini adalah semua yang aku miliki".[796]
  • Dilarang suka menyebut-nyebut pemberiannya kepada orang lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ َعَذَابٌ أَلِيْمٌ-وَذَكَرَ مِنْهُمْ- اَلْمَنَّانُ

"Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak pula dilihat serta disucikan dan bagi mereka azab yang pedih…, di antara yang disebutkan adalah orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya kepada orang lain".[797]

  • Menjaga rahasia mereka dan tidak menyebarkannya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendatangiku pada saat aku sedang bermain bersama anak-anak yang lain, dia bercerita: Maka Rasulullah mengucapkan salam kepadaku dan mengutusku untuk menyelesaikan suatu urusan, akhirnya aku terlambat mendatangi ibuku, lalu pada saya mendatanginya, dia bertanya: Apakah yang menahanmu sehingga terlambat?, Aku menjwab: "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengutusku untuk sebuah urusan". Dia bertanya: "Urusan pakah itu". "Urusan Rahasia" Jawabku. "Janganlah sekali-kali engkau menceritakan rahasia Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada seorangpun". Nasehat ibunya. Anas menimpali: "Demi Allah, jika saya boleh menceritakannya kepada orang lain nisacaya saya akan menceritakannya kepadamu wahai Tsabit".[798]

Amru bin Ash berkata: Tidaklah aku menitipkan sebuah rahasia kepada orang lain lalu dia menyebarkannya, dan aku mencelanya (karena tindakannya yang menyebarkan rahasiaku), sebab dada saya lebih sempit darinya sehingga saya menitipkan rahasia tersebut kepadanya. Kepada makna inilah seorang penyair berkata:

إِذَِا ضَاقَ صَدْرُ اْلمَرْءِ عَنْ سِرِّ نَفْسِهِ         فَصَدْرُ الَّذِي يُسْتَوِْدِعُ السِّرُّ أَضْيَقُ

Apabila dada seseorang terasa sempit untuk rahasia dirinya

Maka tentu dada orang yang dititipkan rahasia lebih sempit

  • Bermusyawarah dengan orang yang berakal dari kalangan mereka, sebagaimana dikatkan dalam sebuah sya'ir:

شَاوِرْ سِـوَاكَ إِذَا نَابَتْكَ نَائِبَةٌ           يَوْمًا وَإِنْ كُنْتَ مِنْ أَهْلِ الْمَشُوْرَاتِ

  فالعين تبصر منها ما نأى ودنا        ولا تــرى نفسـها إلا بمــرآة

    Bermusyawarahlah dengan orang saat engkau didatangi masalah

Pada suatu hari, walaupun engkau tempat orang berkonsultasi

  Mata mampu melihat apa-apa yang jauh dan yang dekat darinya

Namun tidak bisa memandang dirinya kecuali dengan bercermin

  • Memberikan setiap orang haknya masing-masing dan menempatkan mereka pada tempat yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagian ulama berkata: Ada beberapa petunjuk dalam bergaul bersama orang lain: Terhadap guru dan orang-orang besar dianjurkan menghormati mereka, berkhidmah dan mengabdi menyelesaikan tugas-tugas mereka, terhadap teman sejawat dan orang yang berada pada tingkat pertengahan dengan memberikan nasehat dan memberikan apa yang ada, dan terhadap murid serta anak-anak kecil dengan memberikan petunjuk dan mengajarkan kepada mereka adab.
  • Saling menutupi aib orang lain.
  • Tidak menghadapi sudaranya dengan sesuatu yang dibencinya.
  • Tetap bersikap malu terhadap saudara.
  • Dilarang tidak menepati janji antara saudara.
  • Menyenangi bagi saudara apa yang disenangi bagi diri sendiri.
  • Agar tetap memperhatikan segala sesuatu yang bisa melanggengkan rasa cinta antara dirimu dengannya.
  • Bertanya tentang namanya, nama bapak dan keadaan keluarganya.
  • Selalu mempertahankan persaudaraan dan janganlah engkau memutuskannya dan merasa bosan karenanya.
  • Menjaga terjalinnya kecintaan yang telah lama terjalin.
  • Mendahulukan kepentingan saudara.
  • Tidak menjilat kepada saudara dalam urusan duniawi.
  • Membela kehormatan mereka dan mempertahankannya.
  • Memperhatikan agar tetap membantu dan berkhidmah kepada mereka.
  • Tidak menerima semua pembicaraan yang menohok saudara atau ungkapan untuk adu domba.
  • Tetap menjaga jalinan persaudaraan walaupun mereka telah meninggal dunia.
  • Menjalin kasih sayang dengan melakukan perbuatan yang baik.
  • Menziarahi sudara dan tidak menghalangi diri dari mereka.
  • Bersabar atas prilaku mereka yang kasar.
  • Seseorang harus menghormati keluarga shahabat dan anak-anaknya.
  • Memberikan pujian bagi mereka pada hal yang bukan maksiat.
  • Memperkecil frekuensi mencela dan menghina.
  • Membalas dan menjawab mereka: Jika dia mengirim surat maka tulislah balasan atas surat tersebut.
  • Memahami kejiwaan teman-teman.
  • Dikatakan: Seseorang diuji pada tiga kondisi:  Diuji dengan nafsunya pada saat dia menghendaki sesuatu, dengan marahnya pada saat dia marah, dan dengan sifat rakusnya pada saat dia ingin memiliki sesuatu".[799]
  • Menerima permohonan maaf orang yang berbuat salah, jika ada orang yang meminta maaf kepadamu maka hendaklah kamu mneyambutnya dengan penuh kegembiraan, Hasan bin Ali pernah berkata: Seandainya seseorang mencelaku pada telingaku yang satu lalu memohon maaf pada telinga yang lain niscaya aku akan menerima maafnya tersebut. Dikatakan dalam sebuah ungkapan:

قِيْلَ لِي قَدْ أَسَاءَ إِلَيْكَ فُلاَنٌ            وَقُعُوْدُ اْلفَتَى عَنِ الضَّيْمِ عَارُ

      قُلْتُ قَدْ جَاءَنَا فَأََحْدَثَ عُذْرًا         دِيَةُ الذَّنْبْ عِنْـدَنَا اْلاِعْـتِذَارُ

         Dikatakan kepadaku si fulan telah berbuat buruk kepadamu

Dan diamnya pemuda pada kezaliman adalah perbuatan cela

Aku katakan dia telah mendatangiku lalu ia memintalah maaf

Dan tebusan  bagi suatu dosa di sisiku adalah memohon maaf

  • Barangsiapa yang menjauhi temannya selama setahun, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ

"Barangsiapa yang menjauhi saudaranya selama setahun, maka dia seakan telah menumpahkan darahnya".[800]

  • Berdo'a bagi saudaranya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ دَعْوَةَ الْمَرْءِ مُسْتَجَابَةٌ ِلأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلََّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ قَالَ: آمِيْنُ َولَكَ مِثْلُهُ

"Sesunguhnya do'a seseorang mustajab bagi saudaranya yang tidak ada di hadapannya, di sisi kepalanya terdapat dua malaikat yang diberikan tugas (mengaminkan) pada setiap kali dia berdo'a dengan kebaikan bagi saudaranya tersebut. Malaikat tersebut mengatakan: Amin dan bagi kamu seperti apa yang kamu do'akan".[801]

  • Diriwayatkan oleh Al-Thabrani dengan sanadnya pada kitab: "Makarimul Akhalaq" dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma: Tiga orang yang tidak bisa aku membalasnya dan yang keempat tidak akan membalaskannya untukku kecuali Allah Ta'ala: Adapun orang yang tidak mampu aku balas adalah seorang yang memberikan aku kelapangan di dalam majlisnya dan seorang lelaki yang memberikan aku minum saat kehausan serta lelaki yang kedua kakinya berdebu berjalan menuju pintuku untuk berdamai pada suatu perselisihan. Adapun orang keempat, yaitu orang yang tidak bisa membalaskannya bagiku kecuali Allah Azza Wa Jalla adalah seorang yang di datangi suatu kebutuhan lalu dia berjaga dan berfikir kepada siapakah yang dia mengadukan kebutuhannya, lalu saat pagi tiba, dia melihatku sebagai orang yang cocok untuk mengadukan kebutuhannya, maka hal ini tidak ada yang bisa  membalasnya bagiku kecuali Allah Azza Wa Jalla. Sesungguhnya aku sangat malu jika melihat seseorang mendatangiku tiga kali dan menginjak lantai rumahku namun belum terlihat pada dirinya satu bekaspun dari bekas berkunjungnya ke rumahku".[802]
  • Yahya bin Aktsam berkata: Suatu hari Aku menceritakan kepada Imam Ahmad bin Hambal tentang sebagian teman dan sikapnya yang berubah terhadap kami, lalu Abu Abdullah berkata:

      وَلَيْسَ خَلِيْليِ بِالْمُلُلولِ وَلاَ الَّذِي        إِذَا غِبْتُ عَنْهُ بَاعَنِي بِخَلِيْلٍ

  وَلِكنَّ خَلَيْليِ مَنْ يَدُوْمُ وِصَالُهُ         وَيَحْفَظُ سِرِّي عِنْدَ كُلِّ خَِلِيْلِي

      Temanku, bukanlah orang yang bosan denganku dan juga tidak

      Jika aku tiada di hadapannya, dia menjualku kepada orang lain

      Temanku adalah orang yang tetap menyambung hubungannya

      Dan menjaga semua rahasiaku dari setiap teman yang bergaulku

 

60- ADAB BERBEDA PENDAPAT

  • Tidak mengedepankan akal daripada nash naqli dan kembali kepada Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
  • Tidak menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian serta keretakan yang mengakibatkan perpecahan.
  • Mendalami agama.
  • Mengambil pendapat yang benar setelah mengetahuinya dan tidak fanatik.
  • Mendengarkan argumen lawan bicara.
  • Menjunjung tinggi amanat ilmiah dan moralitas serta jauh dari emosi.
  • Ikhlas, mencari kebenaran, tidak dilandasi oleh hawa nafsu dan jauh dari sikap ingin terkenal serta mementingkan kepentingan pribadi.
  • Berprasangka baik terhadap lawan bicara, tidak menuduh buruk niat baiknya dan tidak menjelekkan kepribadiannya.    
  • Menghindari perselisihan sedapat mungkin.
  • Tidak terburu-buru menyalahkan orang lain kecuali setelah melalui penelitian yang mendalam dan pemikiran yang matang.
  • Lapang dada dalam menerima kritikan dan penilaian orang lain.

 

61-ADAB MEMPERGAULI ISTRI

  • Menganjurkan pernikahan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan pernikahan dengan sabadanya: “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu menikah diantara kalian, maka menikahlah, sesungguhnya menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, maka sesungguhnya puasa itu adalah tameng”.[803]
  • Bergaul terhadap istri dengan cara yang baik.
  • Lemah lembut dan berpesan baik terhadap wanita, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: “Berpesanbaiklah terhadap wanita, maka sesungguhnya wanita tercipta dari tulang rusuk, dan sesuatu yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah atasnya, jika engkau paksa meluruskannya ia akan patah, dan jika engau diamkan ia akan tetap bengkok, maka berpesanbaiklah terhadap wanita”.[804] 
  • Bermain dan bersenda gurau dengan isteri. Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu anha telah berkata pada saat beliau bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam suatu perjalanan: Äku berlomba lari dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam maka aku mengalahkannya, maka tatkala diriku menjadi gemuk, aku berlomba lari dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau mengalahkanku. Maka beliau bersabda: “Kekalahanmu ini adalah balasan atas kekalahanku yang dulu”.[805] Dan sabda beliau kepada Aisyah radhiallahu anha: “Sesungguhnya aku mengetahui jika engkau ridha atau marah kepadaku. Manakala engkau ridha kepadaku, maka sesungguhnya engkau mengatakan: “Tidak, demi Rab Muhammad”. Dan jika engkau “sedang marah, maka engkau akan mengatakan: “Tidak, demi Rab Ibrahim”.[806]
  • Sabar menghadapi sikap isteri dan toleransi terhadap kekhilafannya.
  • Menggauli isteri sebagian dari hak-hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami.
  • Beberapa adab jima’/bersenggama:
    • Membaca basmalah sebelum bersenggama berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Jika salah seorang di antara mereka ingin mendatangi isterinya kemudian membaca:

بِسْمِ اللهِ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang engkau rizkikan kepada kami”Jika ditakdirkan bagi keduanya seorang anak, maka syaitan tidak dapat mencelakakannya”.[807] 

  • Memakai selimut pada saat bersenggama.
  • Berwudhu jika ingin mengguli isteri untuk kedua kalinya. Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin menggauli untuk kedua kalinya, maka hendaklah ia berwudhu”.[808]
  • Haram bagi seseorang menceritakan apa yang terjadi pada saat bersenggama dengan isterinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya diantara manusia yang paling buruk derajatnya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah sesorang lelaki yang menggauli isterinya dan isterinya menggauli dirinya, lalu ia menyebarkan rahasianya”.[809]
  • Wajib berlaku adil terhadap para isteri.
  • Meletakkan tangan diatas kepala isteri dan membaca doa untuknya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Äpabila salah seorang diantara kalian menikah, hendaklah membaca pada keningnya basmalah dan berdoa untuknya dengan keberkahan seraya membaca: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan tabiatnya dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburuan tabiatnya”.[810]

 

62- ADAB KEPADA PEMBANTU

 

  • Berbuat baik dan toleransi terhadapnya.
  • Diriwayatkan dari Abu Umamah radhiallahu anhu, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam datang bersama dua orang pelayan, maka beliau memberikan seorang pelayan kepada Ali radhiallahu anhu dan bersabda: “Janganlah engkau memukulnya, maka sesungguhnya aku melarang (seseorang) memukul orang yang selalu mendirikan shalat, dan sungguh aku melihat dia mendirikan shalat sejak kami datang”. Dan beliau memberikan seorang lagi kepada Abu Dzar serya bersabda: “Berpesan baiklah kepadanya”. Maka ia pun memerdekakannya. Maka beliau bersabda: “Apa yang kamu lakukan?” Ia menjawab: "Engkau telah memerintahkanku berpesan baik kepadanya, maka aku memerdekakannya”.[811]
  • Diriwayatkan dari Anas radhiallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang tanpa seorang pelayan, maka Abu Thalhah memegang tanganku mengajakku pergi sehingga sampai di hadapan Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia berkata: Wahai Nabiyallah, Sesungguhnya Anas adalah seorang anak yang pandai dan cerdas, maka ia akan melayani engkau. Maka Anas berkata: Maka aku melayani beliau di perjalanan dan di rumah sejak kedatangannya di Madinah sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam wafat, beliau tidak pernah mengatakan kepadaku tentang sesuatu yang aku kerjakan, kenapa kamu kerjakan hal ini begini, dan tidak juga mengatakan terhadap sesuatu yang tidak aku kerjakan, tidakkah kamu kerjakan ini begini?[812]
  • Tidak memukulnya: Diriwayatkan dari Abu Mas'ud radhillahu anhu ia berkata: Aku pernah memukul pelayanku, lalu aku mendengar suara di belakangku, “Ketahuilah wahai Abu Masúd, Allah lebih mampu (berbuat seperti ini) terhadapmu daripada dirimu terhadapnya”. Lalu aku menengok kebelakang, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Aku berkata: Wahai Rasulullah, Dia telah merdeka, karena mengharap wajah Allah. Maka beliau bersabda: “Apabila engkau tidak melaksanakannya, niscaya engau akan dibakar oleh api neraka”. Atau “akan dihanguskan mukamu oleh api neraka”.[813]
  • Teliti terhadap pelayan untuk menghindari buruk sangka. Diriwayatkan dari Salman ia berkata: Sesungguhnya aku menghitung Al-Uroq, yaitu tulang yang telah dimakan dagingnya karena takut jika terjadi prasangka yang tidak baik terhadap pelayan.[814]
  • Jangan mengatakan, semoga Allah memburukkan wajahnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mengatakan, semoga Allah memburukkan wajahnya”.[815]
  • Menghindari wajah saat memukul, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:  إِذَا ضَـرَب أَحَـدُكُمْ خَاِدمَـهُ فَلْيَتَجَنَّبِ اْلوَجْـهَ “Apabila salah seorang di antara kalian memukul pelayan/hamba sahayanya maka hindarilah wajah”.[816]
  • Apabila seseorang menampar hamba sahayanya, hendaklah ia memerdekakannya. Berdasarkan riwayat dari Hilal bin Yasaf, ia berkata: "Tatkala kami menjual perabot rumah di rumah Suwaid bin Muqrin, tiba-tiba keluarlah seorang hamba sahaya perempuan lalu berkata kepada seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menamparnya, maka Suwaid bin Muqrin berkata: apakah kamu menampar wajahnya? Sesungguhnya aku melihat diriku orang yang ketujuh dari tujuh orang, sedangkan kami tidak memiliki kecuali seorang hamba sahaya saja, lalu sebagian kami menamparnya, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkannya untuk memerdekakannya”.[817]
  • Al Bukhari telah mengatakan dalam Al Adab Al Mufrad, bab: Uksuhum Mima Talbasun (Pakaikanlah mereka dari apa yang kalian pakai), Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiallhu anhu ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam telah berwasiat agar berbuat baik terhadap para hamba sahaya seraya bersabda:

أَطْعِمُوْهُمْ مِمَّا تَأْكُلُوْنَ وَأَلْبِسُوْهُمْ مِنْ لَبُوْسِكُمْ وَلاَ تُعَذِّبُوْا خَلْقَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

 “Beri makanlah mereka dari apa yang kalian makan dan pakaikanlah mereka dari pakaian kalian serta janganlah kalian menyiksa ciptaan Allah Ázza wa Jalla.[818]

  • Tidak menghinanya.
  • Tidak membebankan pelayan atau hamba sahaya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:

لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ إِلاَّ مَا يَطِيْقُ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأَعِيْنُوْهُمْ

 “Bagi para hamba sahaya hak makanan dan pakaian serta tidak dibebani dengan pekerjaan kecuali yang mampu dipikulnya, apabila kalian membenani mereka (suatu pekerjaan) maka bantulah mereka”.[819]

  • Memberi nafkah kepada pelayan adalah shodaqoh. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُـوَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ وَزَوْجَتَكَ وَخَادَمَكَ فَهُـوَ صَدَقَةٌ

 “Makanan yang kamu berikan untuk dirimu adalah shodaqoh, dan makanan yang kamu berikan untuk anak, isteri dan pelayanmu adalah shodaqoh”.[820]

  • Apabila ia tidak suka makan bersama hamba sahayanya, maka hendaklah memberi makanan yang ada di tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

فَإَنْ كَـرِهَ أَحَـدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ مَعَهُ الْخَـاِدمُ- فَلْيَطْعَمْهُ أُكْلَةً فِي يَدِهِ

 “Maka apabila salah satu di antara kalian tidak suka makan bersamanya -pelayannya- hendaklah ia memberi makanan yang ada di tangannya”.[821]

  • Al Bukhari rahimahullaahu taála telah mengkhususkan dalam Kitab Al Adab Al Mufrad satu bab: Hal Yujlisu Khadimahu Ma'ahu Iza Akala (Apakah seorang pelayan duduk bersamanya pada saat makan?) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhillahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

إِذِا جِاءِ أِحَـدُكُمْ  خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَلْيُجْلِسْهُ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَلْيُنَاوِلْهُ مِنْهُ

 “Apabila datang kepada salah satu di antara kalian seorang pelayan membawa makanannya, maka hendaklah ia mengajak duduk (makan) bersamanya, jika ia menolak, maka ambilkan dari makanan itu untuknya”.[822]

  • Jika seorang hamba sahaya menasehati tuannya, maka baginya pahala sebanyak dua kali lipat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا نَصَـحَ لِسَيِّدِهِ وَأَحْسَنَ عِبَادَةَ رَبِّهِ فَلَهُ أَجْـرُهُ َمَـرَّتَيْنِ

 “Sesungguhnya jika seorang hamba sahaya menasehati tuannya dan menyembah Tuhannya dengan baik, maka baginya pahala sebanyak dua kali lipat”.[823]

 

 

63- ADAB SAAT KELAHIRAN SORANG ANAK

  • Memuji Allah Taála dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat tersebut.
  • Orang tua harus bergembira dengan lahirnya bayi tersebut.
  • Tidak boleh marah dan pesimis apabila bayi yang dilahirkan ternyata perempuan, karena hal tersebut bagian dari sifat-sifat jahiliyah yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

َوإِذَا بُشِّـرَ أَحَدُهُمْ باِْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُـهُ مُسْوَدًّا وَهُـوَ كَظِيْمٌ يَتَورَىمِنَ اْلقَـوْمِ مِنْ سُـوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ  أَيُمْسِكُهُ عَلىَ هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

 “Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.[824] Sedangkan anak adalah rizki yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Allah Subhanhu Wa Ta'ala Berfirman:يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنـثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ اُّلذُكُوْرَ “Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendakidan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki”.[825]

  • Para ulama menyebutkan, di antara sunnah-sunnah yang mesti dilakukan terhadap bayi yang baru dilahirkan adalah mengumandangkan adzan pada telinga kanannya, sehingga yang pertama kali didengarnya di dunia ini adalah Kalimat Tauhid. Akan tetapi pada dalil-dalil yang menunjang hal tersebut terdapat kelemahan, sehingga menjadikan adzan pada telinga bayi tidak dianjurkan, karena hukum syari’ah harus didasari oleh dalil-dalil yang shahih dan akhbar yang benar.[826] Sedangkan mengumandangkan iqomah pada telinga kiri bayi, tidak ada ketetapannya dari agama.
  • Tahnik dan mendo'akannya dengan keberkahan: Diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu anhu ia berkata: “Anakku telah lahir, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam, kemudian beliau menamainya Ibrahim dan men-tahnik-nya serta mendo'akannya dengan keberkahan, lalu menyerahkannya kepadaku.”[827] Tahnik adalah mengunyah makanan yang manis seperti kurma atau madu kemudian memasukkannya ke dalam mulut bayi yang baru dilahirkan.
  • Diantara sunnah-sunnah yang telah ditetapkan tentang hukum-hukum bayi yang baru dilahirkan adalah aqiqah pada hari ketujuh sejak kelahirannya, yaitu menyembelih dua ekor kambing bagi bayi laki-laki dan satu ekor kambing bagi bayi perempuan. Disunnahkan pula mencukur rambut bayi pada hari ketujuh sejak kelahirannya. Dalam sebuah hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهِنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

 “Setiap anak tergadaikan dengan ‘aqiqah-nya yang disembelihkan baginya pada hari ke tujuh sejak kelahirannya, dicukur rambutnya dan diberi nama.”[828] Jika bayi tersebut meninggal dunia sebelum hari ketujuh, maka tidak ada aqiqah baginya.       

  • Mencari nama yang baik: Sesungguhnya dianjurkan memberi nama Abdullah atau Abdurrahman, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلىَ اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ الرَّحْمنِ

  •  “Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman”.[829] Memberi nama pada bayi boleh dilakukan pada hari pertama kelahiran atau hari ketujuh. Pemberian nama merupakan hak ayah (bayi), akan tetapi dianjurkan bermusyawarah kepada ibu (bayi).[830]
  • Mengkhitan bayi.  
  • Mencukur rambut bayi dan bersedekah seberat timbangan rambutnya[831]. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ini tidak shahih, begitu juga halnya meminyaki rambut bayi dengan minya za’faran setelah dicukur.
  • Ucapan selamat kepada ayah bayi, diriwayatkan dari Al Hasan Al Basri rahimahullaahu Taála, bahwa ia pernah mengatakan:

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي اْلمَوْهُوْبِ لَكَ وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ وَبَلَغَ أَشُدَّهُ وَرُزِقْتَ بِرَّهُ

(Semoga Allah memberkahimu atas bayimu, dan kamu bersyukur kepada Allah Yang Maha Memberi, dan ketika ia dewasa, berbakti kepadamu).

 

64- ADAB MEMINJAM BUKU

  • Meminjamkan buku termasuk salah satu cara menyebarkan ilmu.
  • Berterima kasih kepada orang yang meminjamkan dan berdoa untuknya dengan kebaikan.
  • Tidak menyimpan buku pinjaman terlalu lama tanpa ada kebutuhan.[832]
  • Buku yang dipinjam harus buku yang bermanfaat dan tidak membahayakan.
  • Wajib atas orang yang meminjam untuk mengebalikan buku pinjaman secepatnya. Diantara perkataan adalah:

أُيُّهَا اْلمُسْتَعِيْرُ مِنِّي ِكتَابًا       إِنْ رَدَدْتَ الْكِتَابَ كَانَ

            أََنْتَ وَاللهِ إِنْ رَدَدْتَ كِتَابًا        كُنْتُ أَعْطَيْتُهُ أَخَـذْتُ

Wahai orang yang meminjam buku dariku

Wajib atasmu mengembalikan buku itu

Demi Allah, jika engkau mengembalikan buku

Yang telah aku berikan kepadamu, niscaya akan ku terima.

 

Sebagian ulama tidak meminjamkan buku kecuali dengan jaminan, dan Abu Hafsh Umar bin Usman Al Janazi telah melantunkan sebuah syair:

ِإذَا أَعَرْتَ كِتَابًا فَخُـذْ        عَلَى ذلِكَ رَهْنًا وَخَلِّ الْحَيَاءَ

فَإِنَّكَ لَمْ َتَهْتَمَّ مُسْتَعِيْرًا       وَلِكنَّ لِتُـذَكّـِرَ ِمنْهُ اْلأَدَاءَ

Jika engkau meminjamkan sebuah buku maka,

Mintalah jaminannya dan jangan merasa malu

Engkau tidak akan memperhatikan peminjam

Namun, mengingatkannya agar mengembalikannya

 

  • Tidak boleh memperbaiki buku tanpa seizin pemiliknya, dan tidak boleh menulis apapun pada halaman yang kosong di awal dan akhir buku, kecuali setelah diketahui ridha pemiliknya.
  • Wajib atas peminjam untuk memeriksa buku sebelum mengambil dan mengembalikannya agar mengetahui bahwa buku tersebut bagus adanya.

 

65-ADAB BERSIN

  • Ibnul Qayyim –Rahimahullah– berkata: “Ketika seorang yang bersin telah mendapatkan kenikmatan dan manfaat dengan keluarnya hawa/angin yang masuk ke dalam otaknya, yang apabila hawa/angin tersebut tidak keluar akan menyebabkan berbagai macam penyakit yang berbahaya, maka disyariatkan baginya memuji Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas nikmat tersebut bersamaan dengan kembalinya seluruh anggota badan pada keadaannya semula setelah mengalami guncangan dahsyat laksana gempa bumi”.[833]
  • Ibnu Hubairah berkata: Jika seorang bersin, itu merupakan tanda dari dirinya akan kesehatan badannya, bagus pencernaannya dan stabil kekuatannya, maka hendaklah ia memuji Allah Subhanahu Wa Ta'ala.[834]
  • Mendo'akan orang yang bersin[835] adalah perintah agama, berdasarkan hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam: (Rasululah memerintahkan kita tujuh perkara dan melarang kita tujuh perkara pula –dia menyebutkan hal-hal yang diperintahkan di antaranya– mendo'akan orang yang bersin)[836]         
  • Hukum mendo'akan orang yang bersin adalah fardhu kifayah, dan disunnahkan bagi semua orang, berdasarkan hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam:

فََإِذَا عَطَسَ أَحـَدُكُمْ وحَمِدَ اللهَ كَانَ حَقًّا عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يَقُـوَْلَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللهُ

“Jika salah seorang diantara kalian bersin kemudian mengucapkan Alhamdulillaah, maka wajib atas setiap muslim yang mendengarnya mengucapkan yarhamukallaah (semoga Allah merahmatimu)”.[837]

  • Mendoakan orang yang bersin adalah pada saat mendengar ia mengucapkan Alhamdu lillaah atau setelah yakin ia mengucapkannya dengan melihat gerakan kedua bibirnya.[838] Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: فََإِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتُوْهُ فَإْن َلمْ يَحْمِـدِ اللهَ فَلاَ تُشَمِّتُوْهُ

“Jika salah seorang diantara kalian bersin kemudian mengucapkan Alhamdulillaah, maka doakanlah ia, namun bila ia tidak mengucapkan Alhamdu lillaah, maka jangan kalian doakan ia”.[839]

  • Apabila ia lupa mengucapkan Alhamdulillaah, sebagian ulama berpendapat: diingatkan, di antaranya adalah Imam Nawawi –Rahimahullah–, dan sebagian yang lain mengatakan: tidak diingatkan, karena Nabi e shallallahu alaihi wasallam tidak mengingatkan orang yang bersin dan tidak mengucapkan Alhamdulillaah, hal tersebut telah disebutkan oleh Ibnul Qoyyim–Rahimahullah[840]
  • Mengucapkan Alhamdulillaah dengan suara yang keras.
    • Sunnah merendahkan suara pada saat bersin: (Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam jika bersin, menutup wajahnya dengan tangan atau pakaiannya dan merendahkan suaranya).[841]
    • Memberikan do'a terhadap orang yang bersin jika bersinnya sebanyak tiga kali, selebihnya adalah penyakit flu. Telah berkata Salamah bin Al Akwa’Radhiyallaahu ánhu– bahwa ia telah mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam dan seseorang bersin di hadapannya, maka beliau mengucapkan: “yarhamukallaah”, kemudian ia bersin kembali, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengucapkan: “Orang ini flu”.[842] Yang benar adalah di ucapkan pada bersin yang ketiga. Ibnu Hajar –Rahimahullah taáala– berkata: Selama ia mengucapkan Alhamdulillaah setiap kali bersin, maka kamu mendo'akannya.[843]
    •  

Beberapa Lafazh Hamdalah

Lafazh Doa

Jawaban Doa

Alhamdulillaahi Rabbil Áalmiin

Yarhamukallaah

Yaghfirullaahu Lanaa Wa Lakum

Alhamdulillaahi Álaa Kulli Haal

Yarhamukallaah

Yahdiikumullaahu Wa Yushlihu Baalakum

Alhamdulillaah

Yarhamukallaah

Yahdiikumullaahu Wa Yushlihu Baalakum

  • Boleh mendoakan Ahluzd Dzimmah dengan ucapan: Yahdiikumullaahu Wa Yushlihu Baalakum (Semoga Allah memberi hidayah kepada kalian dan memperbaiki hati kalian). Orang-orang yahudi pernah berpura-pura bersin di hadapan Nabi shallallahu alaihi wasallam berharap agar beliau mengucapkan Yarhamukallaah, namun beliau mengucapkan:  Yahdiikumullaahu Wa Yushlihu Baalakum[844] bila mereka mengucapkan Alhamdulillaah setelah bersin.
  • Diperbolehkan bagi orang yang bersin pada saat sholat mengucapkan Alhamdulillaah dan dilarang bagi yang mendengar mendo'akannya.
  • Pada saat bersin dilarang menengok ke kanan dan ke kiri, agar tidak mengganggu orang yang berada disampingnya.
  • Dilarang mendo'akan orang yang bersin pada saat imam khutbah, karena harus diam dan mendengarkan khutbah imam.[845]
  • Apabila khatib bersin dan mengucapkan: Alhamdulillaah, kemudian setelah itu ia diam, kita mendoakannya, namun jika ia meneruskan khutbahnya, maka kita mendoakannya di dalam hati kita sehingga kita tidak berbicara.
  • Apabila orang yang mendengarkan khutbah di masjid bersin dan mengucapkan Alhamdulillaah didalam hatinya, maka dilarang bagi yang lain mendoakannya, namun jika mendoakannya diantara dua khutbah atau setelah khatib turun dari mimbar, maka hal tersebut diperbolehkan.
  • Jika bersin pada saat shalat, hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillaah, kecuali pada saat membaca Surah Alfatihah, maka ia harus meneruskan bacaannya dan tidak memotongnya.
    • Jika bersin di WC, hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillaah didalam hati.
  • Jika seorang bersin dan anda tidak tahu, apakah ia mengucapkan Alhamdulillaah atau tidak, maka hal ini ada beberapa keadaan:
  1. Anda mengetahui bahwa ia tidak mengucapkan Alhamdulillaah, maka jangan mendo'akannya dan ingatkan ia agar mengucapkan hamdalah.
  2. Anda tidak mengetahui, apakah ia mengucapkan hamdalah. Maka jika ditemukan tanda yang mendukung, seperti: halayak mendo'akannya, maka do'akanlah. Boleh juga anda mengucapkan Yarhamukallaah in Kunta Hamidtallaah (Semoga Allah merahmatimu jika kamu mengucapkan hamdalah). Sebagaimana disebutkan oleh bukhari dalam Al Adab Al Mufrad diriwayatkan dari Makhul ia berkata: Aku berada di sebelah Ibnu Umar –Radhiyallaahu ánhuma – lalu  seseorang bersin pada salah satu sisi masjid, maka Ibnu Umar –Radhiyallaahu ánhuma – mengucapkan: ((Yarhamukallaah in Kunta Hamidtallaah)).

 

66- ADAB MENGUAP

  • Sunnah menahan pada saat menguap, karena menguap itu dari syaitan. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

اَلتَّثَاؤُبُ مِنَ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدُّهُ مَااسْتَطَاعَ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَالَ: هَاهْ ضَحِكَ الشَّيْطَانُ

 “Menguap adalah dari syaitan, maka jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia tahan menurut kemampuannya, dan sesungguhnya jika seseorang di antara kalian mengatakan “haa...” (pada saat menguap) maka syaitan tertawa”.[846]

  • Menguap biasanya dibarengi dengan rasa berat pada seluruh tubuh yang mendorong kepada kemalasan, dan salah satu yang dapat membantu agar tidak menguap adalah sedikit makan dan minum.
  • Jika tidak mampu menahannya, maka hendaklah ia menutup mulutnya dengan pakaian atau tangannya sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا َتثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَلْيَضَعْ يَدَهُ عَلىَ ِفيْهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مَعَ التَّثَاؤُبِ

 “Jika salah seorang di antara kalian menguap pada saat shalat, hendaklah ia meletakkan tangannya pada mulutnya, karena sesungguhnya syaitan masuk pada saat ia menguap”.[847]

  • Orang yang sedang membaca Alqurán hendaknya menghentikan bacaannya pada saat ia menguap.
  • Perkataan Ibnu Hajar Alhafidh –Rahimahullah taáala– yang diriwayatkan oleh sebagian ulama: Bahwa di antara keistimewaan Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah tidak pernah menguap, karena menguap datang dari syaitan.
  • Banyak sekali orang yang melakukan kesalahan, yaitu membaca Taáwudz pada saat menguap, padahal hal tersebut tidak disyariatkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.
    • Sesungguhnya syaitan masuk ke dalam rongga orang yang menguap:

إِذَا َتثَاءَبَ أَحَـدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَااسْتـَطَاعَ فَإِنَّ الشَّيـْطَانَ يَدْخُلُ فِي فِيْهِ

 “Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia tahan menurut kemampuannya, karena sesungguhnya syaitan masuk ke dalam mulutnya”.[848]

  • Menahan suaranya:

َإِذَا تَثَاءَبَ أَحـَدُكُمْ فَلْيَرُدُّهُ مَااسْتـَطَاعَ وَلاَ يَقـُوْلَنَّ: هَاهْ هاه فَِإ نَّمَا ذلِكَ الشَّيـْطَانُ يَضَْحَِكَُ مِنْهُ

 “Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia tahan menurut kemampuannya dan janganlah sekali-kali ia mengatakan ha… ha... karena sesungguhnya pada saat itu syaitan menertawakannya”.[849]  

 

67-ADAB BERSENDAWA

  • Serdawa adalah hawa yang keluar setelah kenyang dan biasanya keluar dibarengi dengan bau yang tidak sedap. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 َكَفاكَ عَنَّا َجشَاءَكَ فَإِنَّ َأْكثَرَهُمْ َشَبْعًا فِي الُّدنْيَا أَطْوَلَهُمْ جُوْعًا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

“Berhentilah berserdawa di hadapan kami, karena sesungguhnya orang yang paling banyak kenyangnya di dunia adalah orang yang paling panjang rasa laparnya pada hari kiamat”.[850] Pada hadis ini diterangkan kemakruhan berserdawa di hadapan banyak orang.

  • Sebagian dokter menyebutkan, untuk menyembuhkan serdawa adalah dengan mengunyah tumbuhan za’tar atau na’na’.
  • Tidak terdapat dalil yang menerangkan sebuah ucapan kepada orang yang bersedawa, karenanya Ibnu Muflih berkata: (Tidak dijawab dengan ucapan apapun, dan sunnah menurut Ibnu Uqail dan lainnya mendoakan orang yang berserdawa jika ia mengucapkan hamdalah, ia berkata: Sesungguhnya tidak ada sunnah apapun di dalamnya, bahkan hal tersebut hanyalah kebiasaan yang digugurkan…….).[851]

 

68- ADAB MELUDAH

  • Ludah adalah cairan yang keluar dari mulut.
  • Pada dasarnya mulut manusia suci dan tidak ada sesuatu pun yang membuatnya menjadi najis.
  • Hendaknya mengeluarkan ludah pada sisi kirinya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

أَيَُسُرُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَبْصُقَ فِي َوجْهِهِ؟ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ  فَإِنَّمَا يَسْتَقْبِلُ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلمَلَكُ عَنْ يَمِيْنِهِ فَلاَ يَتْفُلْ عَنْ يَمِيْنِهَ وَلاَ فِي قِبْلَتِهِ وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ فَإِنَّ عَجِلَ بِهَ أَمْرٌ فَلْيَتْفُلْ هكَذَا يَعْنِي فِي ثَوْبِهِ

 “Apakah salah seorang dari kalian senang bila orang lain meludah di hadapannya? Sesungguhnya jika salah satu dari kalian menghadap kiblat, maka sesungguhnya ia menghadap Tuhannya Azza Wa Jalla, sedangkan malaikat di sebelah kanannya, maka janganlah ia meludah pada sisi kanannya tidak juga pada arah kiblatnya, hendaklah ia meludah pada sisi kirinya atau di bawah kakinya, dan apabila ia terburu-buru, maka hendaklah ia meludah seperti ini –yaitu meludah pada pakaiannya–“.[852]

 

69-ADAB-ADAB UMUM[853]

  • Wajib bagi orang yang berakal menghitung keburukan dirinya pada sisi agama, akhlak dan adab; lalu ia kumpulkan di dadanya atau ditulis pada sebuah buku. Kemudian ia banyak memperlihatkannya pada dirinya sendiri untuk memperbaikinya dimulai dari satu, dua atau lebih dari keburukannya itu, per satu hari, satu minggu atau satu bulan. Setiap kali ia berhasil memperbaiki sesuatu dari keburukan itu ia menghapusnya dengan perasaan senang, dan sebaliknya bila ia melihat keburukannya tetap tidak berkurang, ia merasa sedih. 
  • Wajib bagi orang yang berakal berusaha sekuat mungkin agar tidak bergaul dan berdekatan kecuali dengan orang yang terhormat dari sisi ilmu, agama dan akhlaknya.
  • Wajib bagi orang yang berakal takut mengambil pendapat yang tidak sejalan dengannya walaupun ia mengira hal tersebut didasari atas keyakinan.
  • Wajib bagi orang yang berakal jika dihadapkan kepada dua hal yang belum diketahui manakah yang benar, hendaklah ia melihat kepada yang lebih ia sukai, kemudian ia harus berhati-hati.
  • Rendahnya status seseorang, hendaknya tidak menghalangi anda untuk menerima pendapatnya yang benar dan mencontoh akhlaknya yang mulia. Karena sesungguhnya mutiara tidak menjadi rendah nilainya karena status orang yang mengeluarkannya dari kedalaman.
  • Di antara sifat orang yang paling baik akalnya adalah orang yang mampu mempersiapkan kehidupannya di dunia dan di akhirat secara baik tanpa merusak salah satu di antara keduanya. Jika ia menyadari hal tersebut, ia akan meninggalkan hal-hal yang hina untuk mendapatkan yang mulia.
  • Disebutkan: Hormatilah orang yang lebih tinggi darimu, lemah lembutlah kepada orang yang lebih rendah darimu, pergaulilah orang yang setara denganmu secara baik, hendaknya hal tersebut membuat dirimu mampu merangkul semua lapisan. Karena hal tersebutlah yang bersaksi untukmu, bahwa penghormatanmu kepada orang yang lebih tinggi darimu bukan dengan merendahkan diri di hadapan mereka dan kelemahlembutanmu kepada orang yang lebih rendah darimu bukan untuk mendapatkan pelayanan mereka.
  • Lima macam orang yang sedih terhadap lima perkara yang disesalkannya: Orang yang sangat lemah jika ditinggalkan pekerjaannya, orang yang terputus dari teman dan saudaranya saat musibah menimpanya, orang yang dikalahkan musuhnya karena strategi yang tidak baik jika ia mengingat kelemahannya, orang yang berpisah dengan isteri yang solehah jika diuji dengan seorang isteri yang durhaka dan orang yang berani melakukan dosa pada saat datangnya maut.     
  • Di antara tanda-tanda kelemahan orang yang berbicara adalah munculnya gelak tawa bukan karena perkataannya; atau seseorang yang berebut bicara dengan temannya dan berharap agar temannya berhenti berbicara dan mendengarkannya, ketika temannya diam mendengarkannya ia tidak berbicara dengan baik.
  • Sesungguhnya orang yang meminta pendapat –walaupun pendapatnya lebih baik dari pendapat orang yang dimintainya pendapat– maka dengan pendapat orang yang dimintai pendapat tersebut akan menambah ide untuk dirinya laksana api yang bertambah sinarnya dengan lemak.
  • Di antara keburukan orang yang paling jelek adalah keburukan yang tidak diketahui oleh dirinya. Karena orang yang tidak mengetahui keburukan dirinya tidak akan mengetahui kebaikan orang lain, barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan dirinya dan kebaikan orang lain, maka dirinya tidak akan pernah terlepas dari keburukan yang tidak diketahuinya dan tidak akan mendapatkan kebaikan orang lain yang tidak dilihatnya.
  • Tidak didapatkan orang yang membanggakan diri dipuji, orang yang marah bergembira, orang yang mulia bersifat tamak, orang yang dermawan dengki, orang yang royal/menghamburkan harta kaya, orang yang cepat bosan mempunyai banyak saudara.
  • Perhatian mereka terhadap pengetahuan tersebut sampai pada tahapan seseorang yang telah dibukakan baginya pintu sebagian ilmu, atau kata dari sebuah kebenaran, sementara dia berada pada sebuah negeri yang tidak berpenghuni, maka dia menuliskan ilmu tersebut pada bebatuan sebelum ajal datang menjemput dan karena ia benci jika ilmu tersebut terluput dari orang yang datang sesudahnya.  
  • Wahai penuntut ilmu dan adab, jika kamu menginginkan ilmu pengetahuan, maka ketahuilah dasar dan cabangnya.    
  • Jika anda menjadi penguasa jauhilah sifat ingin dipuja dan dipuji, agar orang-orang tidak manjadikan hal tersebut celah untuk menyerang diri anda atau pintu masuk kepada diri anda dan membicarakan kejelekan anda serta menterwakan anda.
  • Sesungguhnya jika anda mencari keridhaan semua orang, berarti anda telah mencari sesuatu yang tidak mungkin didapat. Bagaimana mungkin pendapat orang-orang yang berbeda menyatu? Apakah anda membutuhkan ridha orang yang ridhanya palsu, dan persetujuan orang yang persetujuannya adalah kesesatan dan kebodohan? Anda harus mencari ridha orang-orang yang baik dan berakal di antara mereka, maka jika anda mendapatkannya anda membuat perbekalan untuk diri anda dari selainnya.
  • Hendaknya orang-orang mengetahui di antara apa yang mereka ketahui dari akhlak anda; tidak memberi imbalan dan hukuman dengan tergesa-gesa. Karena hal tersebut dapat membuat orang lebih takut dan berharap.
  • Ketahuilah, bahwa kedermawanan anda tidak akan dapat mencukupi semua orang, maka dahulukanlah orang-orang yang mempunyai kemuliaan. Dan hati anda tidak akan mampu memperhatikan semua hal, maka kosongkanlah untuk hal-hal yang penting.
  • Ketahuilah, sesungguhnya banyak di antara manusia yang pada saat marah bermuka sangat masam dan cemberut pada orang yang tidak menyebabkan dirinya marah dan berkata jelek kepada orang yang tidak berdosa serta menghukum orang yang tidak bersalah.
  • Jika anda mendengar perkataan seorang teman atau melihat pendapat yang membuat anda kagum, maka janganlah anda mengaku-aku sebagai pandapat anda di hadapan manusia, akan tetapi cukup bagi anda mengumpulkan pendapat yang benar dan menisbatkannya kepada empunya.
  • Janganlah anda memulai sebuah pembicaraan kemudian anda memotongnya dan mengatakan: “akan” seakan anda berfikir dan mempertimbangkannya setelah anda memulainya.
  • Hendaknya orang-orang berilmu mengetahui sifat diri anda pada saat anda bersama mereka, bahwa anda lebih senang mendengar dari pada berbicara.
  • Jika anda ingin meninggikan diri terhadap seseorang atau bersenda gurau dengan orang yang ingin kau dekati dengan ungkapan canda, maka jadikan tujuannya adalah keseriusan, jangan melampaui batas berbicara dengan senda gurau, maka jika ia sampai pada keseriusan atau mendekatinya, tinggalkanlah ia.
  • Janganlah anda mencampur adukan antara senda gurau dan keseriusan dan sebaliknya. Karena jika anda mencampuri senda gurau dengan keseriusan, maka anda telah melemahkannya, dan jika anda mencampuri keseriusan dengan senda gurau berarti anda telah mengacaukannya. Hanya saja saya mengetahui sebuah kondisi yang apabila anda mampu membalas keseriusan dengan senda gurau anda telah melakukan hal yang benar dan dikenal oleh teman-teman. Yaitu, jika seseorang datang kepada anda mencaci maki, marah-marah dan berkata tidak baik, lalu anda membalasnya dengan senda gurau, menerimanya dengan tangan terbuka dan wajah yang berseri serta perkataan yang mantap.
  • Jika anda melihat teman anda bersama musuh anda, janganlah hal tersebut membuat anda marah, karena ia adalah satu diantara dua orang:

FJika ia termasuk dari saudara-saudara anda yang terpercaya, maka tempat yang paling bermanfaat bagi anda adalah yang paling dekat dengan musuh anda; karena dia akan menghentikan perbuatan buruknya kepada anda, menjaga rahasia anda, mengawasinya pada saat anda jauh, maka betapa butuhnya anda kepada orang terpercaya yang dekat dengan musuh anda.

FJika ia bukan termasuk teman yang istimewa bagi anda, maka atas hak apakah anda menghalangi dan membebani dirinya agar dia harus bergaul dengan orang yang anda sukai.

  • Jagalah majlis dan perkataan anda dari sifat ingin melebihi teman-teman anda, bersikap baiklah terhadap banyak perkataan dan pendapat yang mengandung kebenaran agar anda dapat mengusainya dan teman-teman anda tidak berprasangka bahwa anda ingin melebihi mereka.
  • Janganlah anda mengaku mengetahui setiap hal yang muncul antara diri anda dan teman-teman anda.
  • Milikilah rasa malu untuk mengatakan kepada teman anda bahwa anda orang yang berilmu dan ia orang bodoh secara terus terang atau tidak.
  • Jika anda merasa memiliki kemuliaan, lalu anda ingin menonjolkannya dengan cara menyebut-nyebut atau memperlihatkannya, maka ketahuilah bahwa hati manusia justru lebih menilai hal tersebut merupakan aib daripada melihatnya sebagai kemuliaan. Ketahuilah, sesungguhnya jika anda bersabar dan tidak tergesa-gesa, maka kemuliaan tersebut akan terlihat dan diketahui dengan baik di mata manusia.
  • Jika anda ingin memakai pakaian ketenangan dan keindahan, berhias dengan hiasan kedewasaan di hadapan semua orang, memiliki kesungguhan yang tidak terkalahkan, maka jadilah orang yang berilmu seakan anda orang yang bodoh dan pembicara seakan anda orang yang tak pandai merangkai kata.
  • Jika anda ingin seseorang berbicara tentang topik yang telah anda ketahui atau memberi kabar apa yang telah anda dengar sebelumnya, maka janganlah anda ikut berbicara tentang hal tersebut karena ingin diketahui bahwa anda telah mengetahuinya. Karena hal itu, selain dianggap sebagai kekurangajaran juga merupakan sebuah kebodohan, kelemahan, kedengkian, kehilangan control diri dan ujub.
  • Hendaknya anda dikenal oleh teman-teman anda sebagai orang yang melakukan apa yang tidak anda katakan, daripada mengatakan apa yang tidak anda kerjakan.
  • Jadikan tujuan antara diri anda dan musuh adalah keadilan dan antara diri anda dan sahabat adalah keridhaan.
  • Jadikan tujuan niat anda mempersaudarakan dan menyambung silaturahmi dengan seseorang untuk tidak memutuskannya walaupun terdapat sesuatu yang anda benci dari dirinya.
  • Ketahuilah, bahwa jika anda terlalu menjauhkan diri dari manusia, akan menimbulkan permusuhan, dan jika terlalu dekat dengan mereka, maka akan anda dapatkan teman yang buruk. Keburukan teman lebih berbahaya daripada kebencian musuh.
  • Pakailah di hadapan manusia dua macam pakaian yang tidak ditinggalkan oleh orang yang berakal dan tidak ada kehidupan dan kedewasaan kecuali dengan keduanya:

FPakaian (kehati-hatian) menjaga jarak yang anda kenakan untuk (menghadapi) semua orang, tidaklah mereka menjumpai diri anda kecuali dalam keadaan menjaga diri, kuat dan siap siaga.

FPakaian kelapangan dan keakraban yang anda kenakan untuk orang-orang istimewa dan terpercaya di antara teman-teman anda. Anda menemui mereka dengan segenap kelapangan hati, selanjutnya anda menjaga perkataan, berhati-hati dalam bersikap dan mempertahankan apa yang telah terjalin antara mereka dan diri anda.

  • Janganlah meminta maaf, kecuali kepada orang yang akan memaafkan anda.
  • Jika datang seseorang meminta maaf kepada anda, maka temuilah ia dengan wajah yang berseri dan perkataan yang mantap, kecuali memutuskan hubungan dengannya merupakan satu keharusan yang menguntungkan.
  • Jika anda melakukan amal kebajikan kepada seseorang atau memiliki kelebihan atasnya, maka hidupkanlah kebaikan/kelebihan tersebut dengan mematikan (melupakan)-nya dan besarkanlah dengan menganggapnya sebagai hal yang kecil (biasa).
  • Jadikanlah sesuatu yang dapat menyingkirkan penderitaan dan kesengsaraan diri anda adalah bahwa anda tidak menjadi orang yang pendengki.
  • Jika anda mampu meletakan diri anda setingkat di bawah tujuan anda pada setiap majlis, perkataan, pendapat dan pekerjaan, maka lakukanlah.
  • Jika anda mampu tidak memberitahu sesuatu apapun kepada saudara anda tentang diri anda yang sesungguhnya, kecuali jika anda dapat mengalihkannya demi mendapatkan kemuliaan amal atas ucapan dan sebagai persiapan untuk mempersingkat pekerjaan jika memang singkat, maka lakukanlah.
  • Jika pekerjaan anda menumpuk, maka janganlah anda menundanya hari demi hari, karena sesungguhnya tidak ada kelapangan kecuali setelah anda menyelesaikannya.
  • Kami telah melihat sebagian orang yang gandrung kepada sesuatu, ia tidak melepaskan diri darinya dan tak henti-henti membicarakannya, sekalipun teman-temannya tidak antusias, hal tersebut tidak menghalanginya untuk kembali mengulangi dan mengulangi.
  • Terkadang beberapa orang terbawa oleh sifat ingin mengungguli dan dorongan pendapat yang bodoh dengan membahas satu kata yang telah dilupakan untuk mencari-cari alasan yang dengannya mereka berusaha melebihi orang lain. Padahal perbuatan tersebut merupakan kelemahan akal pikiran dan akhlak yang tercela.          
  • Hendaknya terkumpul dalam diri anda kebutuhan kepada orang lain dan kecukupan terhadap mereka. Kebutuhan anda kepada orang lain hendaknya tercermin dalam kata-kata yang lembut dan sopan santun dalam bergaul, sedangkan kecukupan anda terhadap mereka tercermin dalam kehormatan dan kemuliaan diri anda.
  • Janganlah anda bergaul dengan seseorang dengan cara yang tidak lazim baginya, karena jika anda menimpali orang bodoh dengan ilmu, atau orang yang keras hati dengan pemahaman dan orang yang sulit bicara dengan penjelasan, hanya perbuatan yang sia-sia dan justru dapat menyakitinya karena anda telah membebankan sesuatu yang tidak diketahuinya dan membuat anda sedih seperti kesedihan orang asing (selain Arab) yang fasih dan memahaminya.
  • Hendaklah anda belajar mendengarkan sebagaimana anda belajar berbicara dengan baik. Diantara metode belajar mendengar yang baik adalah dengan memberi kesempatan kepada orang yang sedang berbicara selesai dari perkataannya, sedikit mengarah kepada jawaban, menghadapkan diri dan memandang ke arahnya serta memahami ucapannya.
  • Jika seseorang berbicara tentang sesuatu yang telah anda ketahui, maka janganlah anda memotong pembicaraannya lalu ikut berbicara seakan anda ingin orang lain tahu bahwa anda mengetahui sebagaimana yang ia ketahui.
  • Jika anda berada pada satu kelompok kaum, maka janganlah sekali-kali  anda menghina dan mencaci satu generasi dari sebuah komunitas manusia atau kelompok secara keseluruhan, karena bisa saja secara tidak sengaja anda menyinggung sebagian orang yang ada di hadapan anda sedangkan anda tidak menjamin dapat mengimbangi mereka, atau secara sengaja, maka anda akan dikatakan bodoh.[854]
  • Ibnu Abdul Bar berkata: Enam macam orang yang apabila terhina tidak menyalahkan kecuali diri mereka sendiri; seorang yang pergi ke sebuah pesta makan padahal ia tidak diundang, seorang yang meminta kemuliaan dari orang-orang durjana, seorang yang mencampuri pembicaraan dua orang tanpa seizin keduanya, seorang yang menganggap enteng penguasa, seorang yang berada pada sebuah majlis yang tidak layak baginya dan seorang yang berbicara kepada orang yang tidak mendengarkannya.[855]
  • Orang bijak berkata kepada anaknya: Hendaklah engkau belajar mendengarkan sebagaimana engkau belajar berbicara dengan baik. Sesungguhnya mendengar yang baik adalah dengan memberi kesempatan kepada orang yang sedang berbicara selesai dari perkataannya, menghadapkan diri dan memandang ke arahnya, tidak memotong dan ikut berbicara tentang sesuatu yang anda telah mengetahuinya.[856]
  • Luqman telah berkata kepada anaknya: Jika orang lain ditanya, janganlah engkau jawab pertanyaan tersebut, seakan engkau telah mendapatkan harta rampasan atau hadiah. Karena jika engkau lakukan hal tersebut, engkau telah mengacaukan orang yang ditanya dan membuat geram orang yang bertanya, serta menunjuki orang-orang bodoh atas kebodohannya dan keburukan budi pekerti anda.[857]
  • Imam Syafií –Rahimahullaah–   berkata: Terlalu jauh dari orang lain, akan menimbulkan rasa permusuhan, dan jika terlalu dekat dengan mereka, akan menimbulkan daya tarik bagi teman-teman yang buruk. Maka jadilah engkau antara jauh dan dekat.[858]

 

70-WASIAT AL KHATHTHAAB IBNUL MA’LA AL MAKHZUUMI KEPADA ANAKNYA[859]

 

((Muhammad Ibnul Mundzir bin Said telah mengabarkan kepadaku, Abu Hatim brcerita kepadaku: Muhammad bin Idris Al Hanzhali telah meriwayatkan kepada kami, telah meriwayatkan kepadaku Abdurrahman bin Abu Athiyyah Al Hamshi dari Al Khaththaab Ibnul Ma’la Al MakhzuumiAl Qurasyi: Bahwa ia menasihati anaknya, seraya berkata:

((Wahai anakku, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada-Nya, jauhi larangan-Nya, dengan mengikuti jalan dan rambu-rambu-Nya, sehingga keburukanmu menjadi baik dan pandanganmu menjadi tentram, karena tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah. Sesungguhnya aku telah membuat tanda dan gambar untukmu, apabila engkau menghafal dan memahaminya lalu mengerjakannya, niscaya dirimu akan memenuhi mata raja-raja dan orang-orang fakir akan mengikutimu, selama itu engkau menjadi orang yang beruntung dan bahagia, dibutuhkan orang, dan apa diingini berada di genggamanmu. Maka taatilah ayahmu, berpeganglah pada wasiat ayahmu, renungkan dan pikirkanlah. Jauhilah pembicaraan yang tidak perlu, banyak tertawa dan canda, sering mencandai teman, karena hal tersebut dapat menghilangkan keakraban dan menimbulkan permusuhan. Bersikaplah dengan tenang jauh dari kesombongan dan keangkuhan, temuilah teman dan musuhmu dengan wajah keridhaan, tidak menyakitinya dengan hati yang lapang dan tidak merasa takut kepada mereka. Ambillah sikap pertengahan dalam segala urusan, karena sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan. Sedikitlah berbicara, sebarkan salam, berjalanlah dengan mantap dan tenang, jangan melangkah dengan kakimu dan menarik bokongmu serta jangan kau miringkan leher dan jubahmu seraya berjalan dengan angkuh dan banyak menengok. Janganlah berdiri secara bergerombol, jangan engkau jadikan pasar dan warung sebagai tempat berkumpul dan berbincang-bincang, jangan banyak berdebat dan berselisih dengan orang-orang bodoh. Jika engkau berbicara, persingkatlah, dan jika engkau bercanda, sedikitkanlah, jika kau duduk, bersila-lah, dan jangan kau menyilang-nyilangkan jari-jari tanganmu dan membunyikannya, jangan pula memegang-megang jenggot dan memain-mainkan cincin serta ujung pedangmu, jangan pula kau menyisik gigimu, memasukkan tangan ke hidungmu, banyak mengusir lalat dari wajahmu, serta banyak menguap dan mengulet[860], serta hal-hal serupa lainnya yang orang lain dapat menganggap enteng dan mengejek dirimu.

Hendaklah tempat berkumpulmu menjadi petunjuk dan perkataanmu tersusun rapi, dengarkanlah perkataan yang baik dari orang yang berbicara kepadamu tanpa memperlihatkan kekagumanmu kepadanya dan tidak meminta untuk mengulanginya. Hindarilah pembicaraan dan cerita-cerita lucu dan janganlah engkau menceritakan kekagumanmu terhadap anak dan budak perempuanmu, tidak juga tentang kuda tungganganmu dan pedangmu, dan janganlah berbicara tentang mimpi-mimpi. Karena jika engkau perlihatkan kekagumanmu terhadap salah satunya, akan menimbulkan ketamakan orang-orang bodoh, lalu melahirkan angan-angan yang tidak baik terhadapmu dan menjelekkan akal pikiranmu. Janganlah berbuat seperti wanita dan jangan berusaha seperti halnya seorang budak, janganlah kau mencabut jenggotmu atau mencukur jenggot yang berada di bawah dahimu serta jangan terlalu sering memendekkannya, mecabut uban, serta terlalu banyak memakai celak mata dan minyak rambut, hendaklah celak matamu sedikit. Janganlah engkau merengek-rengek dan merendahkan diri ketika meminta kebutuhanmu. Janganlah engkau beritahu isteri dan anakmu –apalagi orang lain– tentang jumlah hartamu. Karena jika mereka memandang sedikit, engkau akan merasa hina, dan jika dipandang banyak, engkau tidak akan mendapatkan keridhaan mereka. Takutilah mereka tanpa kekerasan, lemah lembutlah dengan mereka tanpa kelemahan, janganlah bergurau dengan budakmu baik yang perempuan maupun yang laki-laki, jika engkau bertengkar/berperkara, tenanglah, jagalah dirimu, kebodohanmu, jangan tergesa-gesa, fikirkan argumentasimu, tunjukkan pada hakim sebagian kesabaran/kemurahan hatimu, jangan banyak menunjuk dengan tanganmu, jangan bersimpuh di atas kedua lututmu, jangan sampai wajahmu memerah dan keningmu berkeringat, jika ia tidak mengetahuimu, bermurah hatilah, jika ia membuatmu marah, bersabarlah, mulyakanlah kehormatanmu, buanglah sesuatu yang tidak engkau perlukan. Jika seorang penguasa mendekatimu, maka berhati-hatilah terhadapnya, jika ia telah akrab denganmu, janganlah merasa aman dari pengkhianatannya kepadamu, berlemahlembutlah dengannya seperti kelemahlembutanmu kepada seorang bayi, bicaralah tentang sesuatu yang disenanginya. Janganlah terbawa oleh apa yang engkau lihat dari kelemah-lembutan dan kekhususannya kepadamu: membuatmu masuk/mencampuri urusan yang terjadi antara dirinya, anak serta keluarga dan kerabatnya, walaupun ia mendengarkan dan mematuhi perkataanmu. Karena kejatuhan/kehancuran orang yang mencampuri urusan yang terjadi antara raja dan keluarganya sangat cepat dan tidak dapat bangkit kembali dan juga merupakan kesalahan yang tak terucapkan. Jika engkau berjanji, tepatilah, jika engkau berbicara, jujurlah, janganlah engkau mengangkat suaramu saat berbicara, seakan engkau sedang berdebat dengan orang tuli dan janganlah engkau terlalu merendahkan suaramu seperti halnya orang bisu. Pilihlah perkataan yang baik dengan pengucapan yang dapat diterima, dan jika engkau berbicara dari sumber yang engkau dengar, nisbatkanlah perkataan itu kepada empunya. Janganlah engkau membicarakan hal-hal kotor yang tidak diterima oleh hati dan membuat bulu kuduk merinding. Janganlah engkau mengulang-ulang satu kata, seperti: iya, iya atau tidak, tidak atau cepat, cepat dan lain sebagainya. Jika engkau berwudhu sehabis makan, cucilah kedua telapak tanganmu dengan baik, letakkanlah sabun (atau sejenisnya) pada mulutmu, sebagaimana yang kamu lakukan pada saat bersiwak, janganlah engkau membuang riyak dalam bejana, buanglah air di mulutmu (saat berkumur) sedikit demi sedikit, jangan kau keluarkan sekaligus, sehingga cipratan air mengenai orang yang ada di dekatmu. Janganlah menggigit setengah sendok makanan lalu engkau letakkan setengah lagi ke tempatnya, karena hal tersebut adalah hal yang dibenci. Janganlah terlalu banyak minta minum ketika engkau berada di depan hidangan raja dan jangan membersihkan tulang dari daging yang menempel di atasnya atau mengeluarkan sumsum yang ada di dalamnya. Janganlah engkau mencela makanan apapun yang dihidangkan di dekatmu dengan menyebut kurang cuka, bumbu atau madu, karena perhatianmu terhadap kuah hidangan tersebut dapat membuatmu tidak mendengarkan pembicaraan orang. Janganlah terlalu bakhil dan jangan pula terlalu menghambur-hamburkan laksana orang bodoh yang tertipu, ketahuilah hak yang wajib di dalam hartamu, dan kemuliaan teman, cukupilah ketergantunganmu kepada orang lain, niscaya mereka akan membutuhkanmu. Ketahuilah bahwa kerakusan membawamu kepada keburukan, dan keinginan –sebagaimana telah dikatakan– membuat hina seseorang, betapa banyak satu kali makan menghalangi beberapa kesempatan makan lainnya. Menjaga kehormatan (tidak meminta-minta) merupakan harta yang agung dan akhlak yang mulia, kesadaran seseorang terhadap kemampuan dirinya menambah kemulian, barangsiapa yang melampaui kemampuannya karena kesombongan, ia akan binasa. Kejujuran adalah kebaikan, dusta adalah keburukan. Kejujuran yang mempercepat kehancuran pemiliknya lebih baik daripada akibat dusta yang menyelamatkan pelakunya. Bermusuhan dengan orang yang penyantun lebih baik daripada berteman dengan orang bodoh. Berteman dengan orang mulia dalam kehinaan lebih baik daripada berteman dengan orang lalim dalam kesenangan. Dekat dengan seorang raja yang dermawan lebih baik daripada dekat dengan seorang dermawan yang banyak mengusir, dan pendamping yang buruk adalah yang menimbulkan penyakit yang buruk.

Tirulah orang-orang yang berakal, niscaya engkau akan menjadi bagian dari mereka, berpura-puralah mulia, niscaya engkau akan mendapatkannya.

Ketahuilah bahwa kedudukan setiap manusia tergantung bagaimana ia menempatkan dirinya, dan setiap orang akan dinisbatkan kepada apa yang diperbuatnya. Hakikat seseorang dapat diketahui dari temannya sepergaulannya, maka jauhilah teman-teman yang buruk, karena mereka akan mengkhianati dan membuat sedih orang yang orang yang menemani mereka. Dekat dengan mereka lebih dapat menularkan keburukan daripada penyakit kudis, menolak mereka adalah sebagian dari kesempurnaan adab. Berkhianat karena mendapat perlindungan adalah perbuatan tercela, ketergesa-gesaan akan menimbulkan kemalangan dan management yang buruk merupakan kelemahan.

Teman ada dua macam: Teman yang menjagamu pada saat turun cobaan dan teman di waktu senang. Jagalah kedekatanmu dengan teman pertama dan jauhilah tipe teman yang kedua, karena ia adalah musuh yang sebenarnya.

Barangsiapa yang mengikuti hawa nafsunya, maka ia telah mendekati kehancuran. Janganlah terpesona terhadap orang yang bermuka masam dan jangan pula menganggapnya enteng. Karena seseorang dinilai dari hati dan lidahnya, tidak ada sesuatupun yang berguna dari dirinya kecuali hati dan lidahnya.

Janganlah berbuat kerusakan walaupun engkau berada di wilayah musuh, janganlah kau bentangkan kehormatan dirimu kepada orang yang berada di bawahmu dan janganlah menjadikan hartamu lebih mulia dari kehormatan dirimu. Janganlah banyak berbicara sehingga memberatkan halayak ramai, jauhkan keburukan dari teman dudukmu dan terimalah orang yang menemuimu.

Janganlah banyak berhias dan meminyaki badan, karena hal tersebut perbuatan yang dinisbatkan kepada wanita. Janganlah menggoda wanita, jadilah orang yang akrab, terhormat dan dapat menggunakan waktu dengan baik. Bijaksanalah dalam memenuhi kebutuhanmu, teguhlah dalam melakukan penyerangan. Kenakan pada setiap zaman pakaian yang sesuai dan pada setiap kaum bentuk/corak yang sesuai dengan mereka.

Berhati-hatilah terhadap apa yang akan menimpamu di akhirat kelak dari perbuatan tercela yang engkau lakukan dan jangan tergesa-gesa melakukan sesuatu sehingga kamu mengetahui akibat yang ditimbulkannya. Janganlah menolak sampai engkau melihat fersi sumbernya.

Pergunakanlah bahan penghilang rambut sebulan sekali dan jangan mencukur ketiakmu dengan bahan tersebut. Jadikan siwak sebagai kebiasaanmu, jika engkau bersiwak maka melebarlah (ke kiri dan ke kanan mulutmu). Membangunlah, karena pembangunan adalah perdagangan yang paling berfaedah. Memperbaiki system pertanian lebih baik daripada membeli pakaian perang. Permusuhanmu dengan orang yang tercela membuat dirinya tamak kepadamu. Barangsiapa yang memuliakan kehormatannya maka akan dimuliakan manusia.  Dan celaan orang yang bodoh labih baik dari pujiannya kepadamu, mengetahui kebenaran bagian dari pekerti jujur, temanmu yang shaleh daialah anak pamanmu, barangsiapa yang merasa mudah, nisacaya gampang menjadi somobong dan barangsiapa yang butuh mesti gampang terhina, sedikitlah berbicara untuk menghindari jawaban bertele-tele dan membosankan, orang yang berjalan menuju kamu mesti mengalahkanmu, perjalanan yang panjang akan menimbulkan kebosanan, banyak angan adalah kesesatan, orang yang tiada tidak akan mempunyai teman, dan tiada bagi orang yang telah mati teman yang mengasihi, beradab kepada orang yang sudah adalah payah, menanamkan etika kepada anak kecil dengan upaya yang keras, kekejian adalah raja (karena orang takut berbicara dengannya) dan sikap tidak tahu malu (tebal muka) adalah mentri, orang yang penyantun adalah rujukan orang yang dungu, kebodohan adalah penyakit yang tidak mempunyai obat, sifat penyantun adalah sebaik-baik pendamping, agama adalah tuntunan yang paling indah, gembira di atas penderitaan orang lain adalah kebodohan, mabuk adalah setan, ucapannya linglung, dan sya'ir  bagian dari sihir, mengancam orang berarti menjauhinya, pelit akan membawa kepedihan, keberanian adalah cermin keteguhan, memberi petunjuk termasuk pekerti yang tersembunyi, dia akan menelurkan rasa cinta, barangsiapa yang memulai berbuat baik maka itu adalah hutang (bagi orang yang menerimanya),  dan termasuk kebaikan memulai berbuat baik tanpa dipinta, orang yang dikenal berbuat baik karena kedermawanan, dan riya' dengan kebaikan lebih baik daripada mempertontonkan keburukan, keturunan sangat berpengaruh, adat adalah kebiasaan alami yang lazim terjadi,  jika dia baik maka akan terbentuk menjadi baik, namun jika buruk akan terbentuk menjadi buruk. Barangsiapa yang melepaskan ikatan akan terperosok pada kedengkian, mendekati penguasa akan merobek kemanusiaan namun menjauhinya adalah kecelaan, maju mendekatinya berarti menerjang tantangan, bantuan yang paling baik adalah memberikan kemudahan pada saat kesulitan, banyak alasan termasuk prilaku pelit, seburuk-buruk orang adalah orang yang banyak mengungkapkan  alasan, pertemuan yang baik akan menghilangkan permusuhan, ucapan yang halus termasuk akhlaq orang yang mulia.

            Wahai anaku! Istri adalah tumpuan ketentraman suami, tidak ada ketenangan di dalam hidup jika dia berselisih dengan istrinya, jika kau ingin menikahi seorang wanita maka tanyakanlah tentang keluarganya sebab keturunan yang baik akan melahirkan buah yang manis.

            Ketahuilah bahwa wanita lebih beragam dari jemari tangan, maka jagalah wanita yang tajam lisannya, terbiasa mengganggu orang, di antara wanita ada yang bangga terhadap dirinya sendiri, mencela suami, jika suami menghormatiya dia beranggapan bahwa hal itu kerena kelebihan dirinya atas suaminya, tidak berterima kasih atas kebaikan, tidak rela dengan sesuatu yang sedikit, lisannya bagi pedang yang mengkilap, kekasaran telah merobek dinding rasa malu dari wajahnya, tidak malu dengan tersingkapnya (keperibadiannya), tidak malu terhadap tetangga, bagai anjing melolong, pengobar keburukan, penerkam, wajah suaminya terabik-cabik, citranya tercela, tidak menjaga suaminya baik karena perintah agama atau kepentingan dunia, tidak juga menjaga persahabatan dan anak-anaknya yang banyak, dinding sang suami telah terkoyak, rahasia telah tercerai berai, kebaikan telah tertimbun, mengawali pagi dengan perasaan tertekan, mengakhiri hari dengan mencela, minumannya pahit, makanannya amarah, anak tersia-siakan, rumah tangga hancur roboh, pakaian kotor, rambut kusut, tertawa sinis, berbicara geram, siang menjadi malam, malam menjadi siang, sengatan ungkapannya bagai ular berbisa dan kelalimannya bagai kelajengking.

Di antara mereka, ada  bagai wanita renta, gemulai, berprilaku kasar, berbisa, pengancam, dan berpura-pura, larut ke mana angin berhembus, melayang bersama-sama semua sayap, jika suaminya mengatakan: Tidak, dia menimpali: "Ya", jika suaminya mengatakan: "Ya" dia berkata: " Tidak ", terlahir untuk menghinakan suami, meremehkan apa yang ada di tangan suaminya, suka membanding-bandingkan, meremehkan suami di hadapan lelaki lain, mengombang-ambingkannya dalam ketidakpastian, membuat sang suami membenci rumahnya sendiri, bosan terhadap anaknya, hidup gelap, harga diri terbengkalai sehingga teman-teman mengingkari dan tetangga merasa kasihan.

Ada di antara wanita yang bodoh lagi dungu, berani terhadap suami bukan pada tempatnya, bawel, mencampuri urusan orang, merasa puas dengan rasa cintanya, merasa amandengan pendapatan suami, makan bagai himar di gembala, terik matahari menyengat namun dia tidak bergaming, rumah kotor tidak disapu, masakannya terbengkalai melewati malam, bejana kotor, tepung adonan terasa basi,  air tersa hangat, barang-barang berserakan, prabot tertahan (tidak dipinjamkan), pembantu tersiksa dan tetangga sebagai sasaran amarah.

Ada Wanita yang pengasih dan penyayang, wanita berkah dan banyak anak, orang bebas dari aibnya, disenangi tetangga, berlaku terpuji kala rahasia dan terang-terangan, mulia dalam mengahadapi suami, banyak memberi, bersuara rendah, rumah bersih, pembantu makmur, anaknya rapi, kebaikannya mengalir, suami bahagia, tinggi (keperibadian) dan disenangi, dikenal dengan sifat iffah dan kebaikannya.

Wahai anakku! Semoga Allah menjadikanmu sebagai orang yang menapaki jalan petunjuk, mengikuti orang yang bertaqwa, menjauhi sifat suka marah dan senang dengan sifat rela.

Hanya Allahlah yang mengawasimu, menguasai semua urusanmu, tiada daya dan upaya kecuali dengan kehendak Allah Yang Maha Tinggi dan Agung,

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Muhammad, Nabi pembawa petunjuk dan kepada seluruh keluarganya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

71-WASIAT YANG BERMANFAAT

Disebutkan di dalam kitab “Aqidatus Salaf Wa Ashabul Hadits” karangan imam, ahli tafsir, syekhul Islam Abi Utsman Isma’il bin Abdur Rahman Al-Shabuni, wafat tahun 449H, kitab yang telah ditahqiq oleh Nabil Al-Subki hal. 53, dia menulis sebuah wasiat di bawah ini: (…Dia berkata: Aku menceritakan: Abdullah bin Abbas memberitahukan kepadaku, yaitu menisbatkan hadits tersebut kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:

لِكُلِّ شَيْئٌ شَرَفٌ وَأَشْرَفُ اْلمَجَالِسِ مَا اسْتُقْبِلَ بِهِ الْقِبْلَةُ لاَ تُصَلُّوْا خَلْفَ نَائِمٍ وَلاَ مُحْدِثٍ وَاقْتُلُوْا اْلحَيَّةَ وَالْعَقْـرَبَ وَإِنْ كُنْتُمْ فِي صَلاَتِكُمْ وَلاَ تَسْتُرُوْا اْلجُدُرَ بِالثِّيَابِ وَمَنْ نَظَرَ فِي كِتَابِ أَخِيْهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنَّمَا َينْظُـرُ فِي النَّارِ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرارِكُمْ ؟ قَالُوْا: بَلىَ يَارَسُوْلَ اللهِ! قَالَ: اَلَّذِي يَجْلِدُ عَبْدَهُ وَيَمْنَعُ رَفْدَهُ وَيَنْزِلُ وَحْدَهُ. أَفَلاَ أُبَشِّرُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذلِكُمْ؟ اَلَّذِي لاَ يَقِيْلُ عَثَرَةًَ وَلاَ يَقْبَلُ مَعْـذِرَةً وَلاَ يَغْفِـرُ ذَنْبًا, أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكُمْ؟ اَلَّذِي لاَ يُرْجَى خَيْرُهُ وَلاَ يُؤْمَنُ شَرُّهُ. مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ أَحَبَّ النَّاسِ فَلْيَتَوَكَّلْ عَلىَ اللهِ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللهِ أَوْثَقُ بِمَا فِي يَدِ غَيْرِهِ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ أَكْرَمَ النَّاسِ فَلَْيتَّـقِ اللهَ. إِنَّ عِيْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ قاَمَ فِي قَوْمِهِ فَقَالَ: يَابَنِي إِسْرَائِيْلَ! لاَ تَكَلَّمُوا ْبِالْحِكْمَةِ عِنْدَ الْجُهَّالِ فَتَظْلِمُوْهَا وَلاَ تَمْنَعُوْا أَهْلَهَا فَتَظْلِمُوْهُمْ وَلاَ تَظْلِمُوْا وَلاَ تُكَافِـئُوْا ظَاِلمًا بِظُلْمِهِ فَيَبْطُلَ فَضْلُكُمْ عِنْدَ رَبِّكُْم. اَلأُمُوْرُ ثَلاَثَةٌ: فَاتَّبِعُوْهُ وَأَمْرٌ بَيِّنٌ غَيُّهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَأَمْرٌ اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ فَكُلُوْهُ ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Setiap sesuatu mempunyai nilai kemuliaan, dan majlis yang paling mulia adalah majlis yang menghadap kiblat[861] janganlah kalian sholat di belakang orang yang sedang shalat dan sedang berhadats, bunuhlah ular dan kalajengking sekalipun kalian sedang melaksanakan shalat[862] dan janganlah menutupi tembok dengan kain, dan barangsiapa yang melihat buku saudaranya tanpa seizin darinya maka dia sebenarnya sedang memandang kepada api neraka[863]. Tidakkah aku memberitahukan kepadamu orang yang buruk di antara kalian?, “menjawab: “Ya, hai Rasulullah”, Rasulullah bersabda: “Orang yang memukul budaknya dan menghalangi pertolongannya bagi budaknya dan menginap dalam sebuah rumah saat bepergian sendirian”. ”Dan tidakkah aku memberitahukan kepada kalian orang yang lebih buruk dari itu?”, “Yaitu orang yang   tidak memaafkan kesalahan orang lain, tidak menerima permohonan maaf tidak menghapuskan kekeliruan orang yang berbuat keliru”, Tidakkah aku memberitahukan kepada kalian orang yang lebih buruk dari orang di atas?”, “Orang yang tidak diharapkan kebaikannya dan tidak pula orang merasa aman dengan prilaku buruknya”. “Barangsiapa yang ingin menjadi orang yang paling kuat maka hendaklah dia bertawakkal kepada Allah, dan barangsiapa yang ingin menjadi orang yang paling kaya hendaklah apa yang ada ditangan Allah lebih diyakini dari apa yang ada ditangan orang lain, barang siapa yang ingin menjadi orang yang paling mulia maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah. Sesungguhnya Isa Alahis Salam berdiri dihadapan kaumnya dan berkata: wahai bani Israil! Janganlah engkau berbicara dengan perkataan yang mengandung hikmah dihadapan orang-orang yang bodoh sehingga menyebabkan engkau menzalimi hikmah tersebut dan jangan pula engkau menahan berbicara dengan hikmah dihadapan orang yang berhak menerimanya sehingga engkau menzalimi mereka. Janganlah engkau berbuat zalim dan jangan pula membalas kezaliman orang lain dengan kezaliman yang serupa sehingga kelebihan dirimu menjadi terhapus di sisi Tuahanmu. Perkara itu ada tiga: Perkara yang jelas kebenarannya maka ikutilah dia dan perkara yang jelas kesesatannya maka jauhilah dia, serta perkara kamu ragukan maka makanlah dia dengan menyebut nama Allah Azza Wa Jalla.[864]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENUTUP

…Wa Ba'du. Saya mohon kepada Allah semoga diberikan keikhlasan kepada saya dan kepada kalian semua dalam perkataan dan perbuatan serta menjadikan kita orang-orang yang menapaki jalan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam.

            Ketahuilah -wahai saudaraku semuslim-buku yang anda baca ini adalah karya manusia, mesti ada kekurangannya, dan bagaimanapun seorang manusia berusaha maka sifat kekurangan tersebut tetap melekat pada dirinya:

إِنْ تَجِدْ عَيْبًا فَسُدَّ اْلخَلَلاَ      جَلَّ مَنْ لاَ عَيْبَ فِيْهِ وَعَلاَ

Jika kau mendapatkan padanya kekurangan, tutupilah kekurangan itu

Maha Mulia zat yang tidak mempunyai kekurangan dan Maha Tinggi

Aku mengingatkanmu dengan ungkapan Ibnul Qoyyim rahimhullah:

Wahai membaca ungkapanku dan berfikir padanya: Ini adalah perbekalan yang tidak berharga yang aku persembahkan bagimu, ini adalah pemahaman dan pemikiran penulis yang diberikan kepadamu, dengannya kau akan mendapat keberuntungan dan bagi penulis tanggungan (tanggung jawabnya), engkau memetik manfaat dan kegunaannya sementara bagi penulis konsekwensi (kesalahannya), jika engkau tidak memiliki pujian dan terimakasih baginya, maka janganlah kau menahan maafmu atas (kekurangan) yang ada padanya, jika engkau tidak memiliki kehendak kecuali mencelaku maka pintunya tetap terbuka, dan hanya Allahlah yang berhak dipuji dan dipuja, sementara dan celaan adalah milik manusia".[865]

Aku ingin menutup kitab "Al-Muntaqo" yang aku tulis ini dengan apa yang tulis oleh Imam Ibnul Hajar rahimhullah di dalam kitabnya saat menjelaskan shahihul bukhari…Dari Urwah, dari Aisyah berkata: Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk dalam sebuah majlis atau selesai selesai dari berdo'a, maka beliau mengakhirinya dengan sebuah do'a, lalu aku bertanya kepada beliau tentang do'a (faedah) tersebut, belaiu menjawab: Jika dia mengungkapkan kata-kata yang baik (di dalam majlisnya) maka dia akan ditutup (hayatanya) dengan (kebaikan) sampai hari kiamat, dan apabila dia berbicara dengan ungkapan yang tidak baik maka do'a tersebut sebagai penghapus dosa baginya:

سُبْحَانَكَ الّلهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

"Maha Suci Allah dan segala puji bagimu, tiada tuhan kecuali Engkau, aku memohon ampun dan bertaubat kepadaMu".[866]

Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh shahabatnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] QS. Al-An’am:88

[2] QS. Ibrahim: 7

[3] QS. Al-An’am: 91

[4] QS. Al-Nahl: 116

[5] QS. Al-Taghaabun: 4

[6] QS. Al-Nisa’:64

[7] QS. Al-Naml: 62.

[8] QS.Az-Zumar: 53

[9] QS. Al-An’am: 16

[10] QS. Fushshilat: 23

[11] QS. Al-Nur: 63

[12] Makna mengucapakan shalawat kepada Nabi  Muhammad shallallahu alaihi wasallam:

Sebagian ulama mengatakan bahwa: Ucapan shalawat yang berasal dari Allah berarti curahan rahmat, perkataan ini ditentang oleh Ibnu Qoyyim dengan tiga alasan:

  • Antara rahmat dan shalawat terdapat perbedaan, sebab Allah membedakan antara keduanya, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala:ُألَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ....
  • Memohon rahmat diperintahkan bagi setiap muslim, sementara membaca shalawat hanya khusus bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam
  • Rahmat Allah mencakup segala sesuatu, sementara shalawat khusus untuk hamba tertentu.

Pendapat yang benar adalah apa yang dijelaskan oleh Abul Aliyah Rufai’I ibnu Mahron Al-Riayhi yang diriwayatkan oleh Al-Bukahri. Ia berkata: Shalawat Allah kepada Nabi-Nya berarti pujian-Nya di tempat yang tertinggi.

-Tidak diperbolehkan mengucapakan shalawat dan salam secara berkesinambungan kecuali kepada Nabi, selain mereka dibolehkan pada saat-saat tertentu saja. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukahri dalam kitab shahihnya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya tentang shadaqah yang didatangkan kepadanya. Maka dikatakan kepadanya bahwa itu adalah dari keluarga Abi Aufa. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam mengucapkan: َاللهُمَّ صَلِّ عَلىَ أَبِي أَوْفَى  (Ya Allah berikanlah kesejahteraan kepada keluarga Abi Aufa). Oleh karenanya, boleh mengucapkan shalawat kepada orang tertentu yang dikenal kebaikannya dengan syarat perbuatan tersebut tidak dijadikan sebagai kebiasaan.

-Penulisan shalawat kepada Nabi dengan simbol صلعم adalah perbuatn yang tidak sesuai dengan sunnah. Dan telah disebutkan oleh Al-Shakhawi Al-Syafi’I dalam kitab “Fathul Mugits syarah Alfiatul Hadits bahwa orang yang paling pertama menulis (ص) dipotong tangannya.

[13] Seorang lelaki mendatangi Malik rahimhullah, lalu ia berkata: “Dari manakah saya harus berihram”

Imam Malik menjawab: Dari miqat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Lelaki itu berkata kembali: Jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh (sebelum sampai di miqot)?.

Imam Malik berkata: Aku tidak berpendapat yang demikian.

Lelaki tersebut berkata: Dia tidak meninggalkan apa-apa yang menjadi dasar kewajiban

Imam Malik berkata: Aku khawatir akan terjadinya fitnah.

Lelaki tersebut menimpali: Fitnah apakah yang engkau khawatirkan dengan bertambahnya kebaikan?

Imam Malik menegaskan: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْـبَهُمْ فِـتْـنَةٌ أَوْ يُصِيْـبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” QS. Al-Nur: 63.

[14] QS.Asy-Syuro: 20.

[15] HR. Muslim

[16] Talaqqi adalah memperoleh hapalan dengan cara menyimak langsung dari sang guru.

[17] HR. Daruquthuni.

[18] QS. Al-Muzzammil: 4

[19] HR. Muslim Syarhun Nawawi 6/76, Silsilah Hadits Shahihah 597.

[20] Al-Adab Al-Syai’iyah 2/301

[21] HR. Muslim no: 1905

[22] HR. Bukhari no:1386.

[23] HR. Bukhari no: 5033.

[24] HR. Bukhari no: 5039 dan Muslim no: 790

[25] QS. An-Nisa’: 82

[26] HR. Bukahri no: 297, Muslim no: 301.

[27] HR. Bukhari no: 1136, Muslim no: 255.

[28] Beberapa bentuk ucapan isti’adzah yaitu:1/أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ 

 أَعُوْذُ بِاللهِ السميع العليم مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم من همزه ونفخه ونفثهِ-/2  3/ أَعُوْذُ بِالسََّمِيْعِ اْلعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم  ِ semua bentuk isti’azah ini disebutkan oleh Abu Dawud no: 1785. Bagi orang yang membaca Al-Qur’an dianjurkan untuk bergantian dalam mempergunakan isti’adzah tersebut. (Al-Syarhul Mum ti’ Ala Syarhu Zadil Mustaqni’ 3/71). Adapun tentang basmalah, diriwayatkan oleh Anas ra ia berkata: Saat Rasulullah saw bersama kami pada sebuah majlis beliau terserang rasa mengantuk yang sangat, lalu beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Maka kami bertanya: Apakah yang membuat anda tersenyum wahai Rasulullah?, beliau bersabda: Telah diturunkan kepadaku sebuah surat, lalu beliau membacanya: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ....  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ HR. Muslim no: 400.

[29] Majlis ulama Suadi Arabia telah menelaskan dalam fatwanya no: 4310 bahwa ucapan: صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ adalah ucapan yang benar, namun membacanya secara terus menerus setelah selesai membaca Al-Qur’an adalah bid’ah, sebab perbuatan tersebut belum pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan para khulafairrasyidin padahal mereka banyak membaca Al-Qur’an. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّBarangsiapa yang mengerjakan sebuah perbuatan yang belum pernah kami perintahkan maka perbuatan tersebut menjadi tertolak” Dalam sebuah riwayat disebutkan: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْس مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ   Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam agama ini yang tidak kami perintahkan maka ia pasti tertolak”.

[30] Al-Adzkar, Imam Nawawi hal. 163

[31] QS. Al-Muzammil: 4

[32] HR. Bukhari no: 5045

[33] HR. Abu Dawud no: 1468 dari hadits riwayat Al-Barro’ bin Azib ra, Al-Albani mengatkan bahwa hadits ini adalah shahih.

[34] Syarhus Sunnah Al-Bagawi no: 729.

[35] HR. Abu Dawud no: 1332, dan Al-Albani mengatkan bahwa hadits tersebut shahih.

[36] Badan fatwa ulama Saudi Arabia menegaskan bahwa do’a yang dinisbatkan kepada Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tentang do’a khatmul Qur’an tidak diketahui kebenaran

[37] Disebutkan oleh syekh Abdur Rahman Al-Barrak

[38] QS. Al-A’rof: 204

[39] QS. Shaad: 29

[40] Fatwa lembaga fatwa Saudi Arbia no: 3713

[41] HR. Muslim

[42] Seperti yang dijelaskan oleh Al-Utsaimin rahimhullah (Al-Fatawa Al-Islamiyah)

[43] HR. Bukhari 4526.

[44] HR. Bukhari 1077

[45] Syaikhul Islam rahimahullah ditanya tentang berdiri untuk menghormati mushaf lalu menciumnya dan apakah dimakruhkan juga jika seseorang membuka mushaf untuk menumbuhkan semangat, beliau menjawab: Segala puji bagi Allah tentang berdiri untuk menghormati mushaf dan menciumnya, kami tidak mengetahui apapun dari perbuatan salaf tentang hal ini, dan imam Ahmad telah ditanya tantang hukum mencium mushaf, beliau menjawab: Aku tidak pernah mendengar riwayat apapun yang menjelaskan masalah ini, akan tetapi diriwayatkan dari Ikrimah bin Abi Jahl bahwa dia mambuka mushaf dan meletakkan mukanya di atas mushaf tersebut sambil mengatakan: firman Tuhanku, firman Tuhanku, tetapi generasi salaf tidak menjadikan berdiri untuk menghormati mushaf sebagai kebiasaan mereka (Majmu’ fatawa). Dan syaekh Bin Baz rahimhullah berkata: senadainya seseorang mencium mushaf karena terjatuh dari tangannya atau terjatuh dari tempat yang tinggi maka hal tersebut tidak mengapa.

[46] Fatwa lembaga fatwa Saudi Arabia no: 2078

[47] Seperti yang dikatakan oleh/ Abdul Aziz bin Baz Rahimhullah (Al-Ftawal Islamiyah).

[48] Dan di antara riwayat yang sering diucapkan oleh orang tentang bersafari dalam menununtut ilmu adalah hadits: اُطْلُبُوْا اْلعِلْمَ وَلَوْ بِاالصِّيْنِ   “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”. Riwayat ini tidak benar berasal dari Nabi saw. Ibnu Hibban berkata: riwayat tersebut bathil dan tidak mempunyai landasan, hadits ini disebutkan dihadapan Imam Ahmad rahimhullah maka beliau mengingkari riwayat ini dengan pengingkaran yang keras. Maka hendaklah kita mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang tersebar banyak yang mendorong untuk menunutut dan menimba ilmu sebagai ganti dari riwayat yang bathil di atas. (Ahadits muntasyirah la tastbut anin Nabi shallallahu alaihi wasallam, Syaekh Abdul Aziz Al-Sadhan).

[49] Seperti yang diungkapkan oleh Syaekh Utsaimin rahimahullah. (Fatawa Islamiyah 1/175).

[50] Al-Adaabus Syar’iyah 2/35

[51] QS. Al-Shaf: 2-3

[52] Al-Adabus Syar’iyah 2/14. Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang seorang yang banyak menulis hadits. Beliau berkata: Hendaklah orang tersebut banyak beramal sebagaimana ia banyak menulis”.

[53] Ibnu Aqil berkata dalam kitab (Al-funun): Di antara hal yang aku dapatkan dari adab Ahmad bin Hambal radhiallahu anhu, bahwa suatu saat dia duduk bersandar, lalu disebutkan di hadapannya nama Ibnu Thamhan, maka beliau bangkit dari sandarannya, kemudian berkata: Tidak pantas bagi kita jika disebutkan nama seorang yang shaleh namun  kita tetap bersandar. Al-Adabus Syar’iyah 2/145.

[54] Al-Adabusyar’iyah 2/145.

[55] QS. Al-Nahl: 78.

[56] Al-Adabus Syar’iyah: 3/389

[57] Fathul Bari 1/171

[58] Al-Adbus Syar’iyah: 2/163.

[59] Tahdzibut Tahdzib 8/274, Al-Siar 1/398.

[60] Menajdi orang yang terdahulu dalam menghadiri shalat jum’at dan berjama’ah dan…

[61] Fathul Bari 1/229.

[62] HR. Bukahri no: 425, Muslim no: 263, hadits ini telah disebutkan oleh Syaekh Utsaimin dalam kitab syarah riadhus shalihin 3/98.

[63] Seperti kata: Muttaafaq alaihi, makna yang tersebar dan dikenal untuk ungkapan tersebut adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, namun istilah muttafaq alaihi dalam kitab: Muntaqal Akhbar, karangan Majdud Din Ibnu Taimiyah bermakna hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim.

[64]A’amul Muwaqi’in 2/187.

[65]Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra bahwa jika beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw, beliau merasa gentar, dan mengucapkan: “atau sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw (Jami’u bayaninl ilmi wa fadhlihi). Dibolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya, menurut pendapat jumhur, dengan syarat dia harus mengetahui apa yang diriwayatkan tersebut, dan tidak mengakibatkan adanya perubahan hukum dengan penambahan atau pengurangan. (Al-Kitabah fi ilmir riwayah hal. 295).

[66] Siar A’lamun Nubala’: 8/107.

[67] HR. Bukhari.

[68] QS Maryam: 45.

[69] QS. Al-A’raaf: 99

[70] HR. Muslim

[71] HR. Bukhari no: 6337.

[72] HR. Muslim

[73] Shahihut Targib (3160).

[74] Mukhtarush Shihah hal. 150.

[75] Ali bin Abi Thalib ra berkata: Sesungguhnya hati ini bisa bosan sebagaimana badan bisa bosan; maka hiburlah dia dengan cerita-cerita lucu dan hikmah. Dan Aisyah berkata kepada Lubaid bin Umair: Janganlah membuat orang menjadi bosan dan putus asa. Dan Al-Zuhri jika ditanya tentang hadits dia menjawab: Selingilah dan barengilah pelajaran hadits dengan yang lainnya sehingga jiwa menjadi terbuka. Ibnu Mas’ud ra berkata: Hiburlah hati, sebab hati yang benci akan menjadi buta. (Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 2/102.

[76] Adalah Wasil Bin Atho’ bin Al-Gozzal, dikatakan Gozzal sebab dia sering mondar-mandir pada perkukumpulan orang-orang yang cabul di Bashroh. Kuniyahnya Abu Hudzaifah, tokoh Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluq, termasuk tokoh di dalam ilmu balagah dan ilmu kalam. Dia tidak bisa mengucapkan huruf ر, maka dia menggantinya dengan  غ, maka dia selalu menjauhi huruf  ر  di dalam komunikasinya sampai dijadikan sebagai contoh. Disebut Mu’tazilah karena Washil bin Atho’ termasuk seorang yang menghadiri pengajian Al-Hasan Al-Bashri, namun akhirnya meninggalkan majlis tersebut yang diikuti oleh beberapa jama’ah, akhirnya dikenal dengan nama Mu’tazilah (Al-A’lam 8/108)

[77] Tidak ada istilah saya kira atau mungkin di dalam urusan agama ini, sebuah perkara dalam agama baik kamu tahu secara yakin atau diam.

[78] Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: (…Dan hendaklah engkau mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh mu’adzin). Dengan hadits ini sebagian dari ulama salaf menyimpulkan kewajiban menjawab adzan, sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Thahawi, pendapat ini dikuatkan oleh Abu Hanifah dan ahluz zahir serta Ibnu Wahb…namun jumhur mengatakan perintah di atas menunjukkan pengertian disunnahkan. Fathul Bari, Ibnu Hajar, 2/93.

[79] HR. Muslim 4/85.

[80] HR. Bukhari: 8/399.

[81] HR. Ibnu Majah: 589.

[82] HR. Abu Dawud: 521, Turmudzi: 212, Ahmad: 3/155, dishahihkan oleh  Al-Albani dalam kitab shaihul jami’ dengan tambahan redaksi: فََمَاذَا نَقُوْلُ: قَالَ سَلُوْا اللهَ اْلعَافِيَةَ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ (Apakah yang mesti kami baca?. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Mintalah kepada Allah penjagaan di dunia dan kahirat)

[83]Al-Muhakamul Matin Fi Iktisharil Qulil Mubin Fi Akhathail Mushallin, Abu Ubaidah Mashur bin Hasan aali Salman.

[84] Fatwa syekh Abdil Aziz bin Baz rahimahullah.

[85] QS. Al-Jin: 18.

[86] Fathl Bari, Ibnu Rajab (2/261). Hal ini menunjukkan bolehnya menisbatkan masjid kepada orang yang membangun dan memakmurkannya.

[87] HR. Bukhari no: 855.

[88] HR. Bukahri no: 615. Muslim no: 437

[89] HR. Bukhari no: 635 dan Muslim no: 437.

[90] HR. Muslim no: 763.

[91] HR. Bukhari no: 444. Muslim no: 714.

[92] HR. Bukhari no:176, Muslim no: 649.

[93] HR. Al-Hakim dalam kitab AL-Mustadrok 4/359 dan Al-Dzahabi berkata dalam kitab Al-Talkhish: Shahih. Dihasankan oleh Albani.

[94] Al-Adabus Syar’iyah 3/376.

[95] Fatawa lajnah daimah lil buhutsil ilmiyah wal ifta’ no: 5795.

[96] HR. Bukhari no: 442.

[97] Fatawa lajnah daimah lil buhutsil ilmiyah wal ifta’ no: 5795

[98] HR. Bukahri.

[99] HR. Turmudzi no: 1321, dia berkata hadits ini hasan garib.

[100] HR. Muslim no: 568.

[101] HR. Abu Dawud no: 526, dan Albani mengatakan: Shahih.

[102] HR. Ibnu Majah no 2300, Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[103] HR. Bukhari no: 3212.

[104] HR. Bukahri no: 455, disebutkan di dalam kitab Syarhul Muslim: Dibolehkan bermain dengan menggunakan senjata atau peralatan perang lainnya di dalam mesjid, termasuk semua perlatan yang bisa dimanfaatkan untuk berjihad

[105] HR. Muslim no:655.

[106] Dihasankan oleh Albani dalam kitab sisilatus shahihah 3/135.

[107] Shahih Abu Dawud no: 475

[108] Bisa jadi bagian ini tidak ada hubungannya dengan bab tentang adab di dalam mesjid namun saya menyebutkannya agar seseorang mengambil manfaat dariya dalamhal yang berhungan dengan mesjid.

[109] Dan orang yang pertama kali memberikan unsur emas bagi ka’bah dan menghiasi mesjid adalah Al-Walid bin Abdul Malik saat ia diutus ke Khalid bin Adullah Al-Qusari dan ke Mekkah pada saat itu. (Al-Adabus Syar’iyah 3/374)

[110] Dihasankan oleh Albani dalam kitab Al-Silsilah Al-Shahihah no: 1001.

[111] HR. Muslim no: 407.

[112] Muttafaq Alaihi.

[113] HR. Bukhari no: 386, Muslim no:255.

[114] HR. Abu Dawud no: 609.

[115] Sangat sulit bagi seseorang untuk memasuki mesjid dengan kedua sendalnya lalu shalat dengan keduanya pada zaman ini.

[116] HR. Abu Dawud no: 649.

[117] HR. Abu Dawud no: 646

[118] HR. Bukhari no: 415, Muslim no:552.

[119] Al-Adabus Syar’iyah 3/384.

[120] Fathul  Bari, Ibnu Rajab 1/551.

[121] HR. Imam Ahmad, syakir mengatakan: sanadnya shahih, al-musnad 15/175.

[122] HR. Muslim no: 1144.

[123] Zadul Ma'ad 1/375.

[124] Musnad Imam Ahmad 4/8 dan sanadnya shahih.

[125] HR. Al-Darimi 3283, dishahihkan oleh Al-Albani dalam shahihul jami'.

[126] HR. Bukhari 877

[127] Dicantumkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahihun Nasa'I no: 1307.

[128] Bersegera menuju masjid termasuk kebiasaan generasi salafus shaleh radhiallhu anhum, bahkan Abu Syamah mengatakan: Pada generasi pertama setelah terbitnya fajar, jalan-jalan penuh dengan orang-orang yang berjalan dengan meyalakan obor, mereka ramai berjalan menuju masjid jami’ seperti hari ied, sampai masa tersebut berlalu dan semangat menuju mesjid pudar; sehingga dikatakan: Bid’ah pertama yang terjadi di dalam Islam adalah meninggalkan bersegera menuju mesjid pada hari jum’at.

[129] HR. Al-Nasa'I, dishahihkan oleh Al-Albani no: 1316.

[130] HR. Al-Nasa'I no: 1330, dan dishahihkan oleh Al-Albani.

[131] HR. Turmudzi no: 532.

[132] HR. Muslim: 877, 878.

[133] Zadul Ma'ad 1/381.

[134] Shahihul Jami' no: 4431.

[135] HR. Bukhari no: 905.

[136] HR. Bukhari no: 883.

[137] HR. Muslim no: 865.

[138] HR. Bukhari no: 918. (dan mimbar Nabi saw sangat pendek yaitu tiga tingkat) HR. Imam Ahmad 1/268, Abu Dawud 353, Al-Hakim 1/280, Ibnu Huzaimah 3/127.

[139] HR. Abdur Rozzaq dalam kitabnya dari Ibnu Juraij ari Atho' 1/192.

[140] QS. Al-Jum'ah: 11.

[141] Dihasankan oleh Al-Albani dalam shahih Abi Dawud no: 971.

[142] HR. Muslim no: 873, Ibnul Munzir dalam Al-Ausath 1803.

[143] HR. Bukahri no: 2742, Muslim no: 1628.

[144] HR. Al-Syaikhani

[145] HR. Al-Nasa'i

[146] Zadul Ma'ad (1/163, 3/165-166), Al-Wabilus Shayyib hal.224, Ibnul Qoyyim rahimhullah berkata: Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu berpuasa sehingga seakan beliau tidak pernah berbuka, dan terkadang berbuka sehingga dikatakan bahwa beliau tidak selalu berpuasa dan tidaklah beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan ramdhan dan tidak pula beliau berpuasa dalam suatu bulan (selain ramadhan) yang lebih banyak dari bulan sya'ban). Zadul Ma'ad 1/163.

[147] HR. Bukahri no:953.

[148] Al-Irwa' (3/126).

[149] Ibnu Hajar berkata: Sanadnya hasan, Al-Fath 2/446.

[150] Shahih Ibnu Huzaimah no: 1765.

[151] HR. Bukhari no: 986.

[152] Diintisarikan dari kitab berjudul: Al-Du'a (Mafhumuhu-Ahkamuhu-Aktha' Taqa'u Fihi), Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd.

[153] HR. Al-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath, dihasnkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami' no: 4523.

[154] QS. Al-Anbiya': 90.

[155] QS. Al-Anbiya': 90.

[156] Shahihut Targib no: 1653.

[157] Shahih Abu Dawud no: 1316.

[158] QS. Al-A'rof: 55.

[159] HR. Muslim no: 3009.

[160] HR. Muslim, Silsilatus Shihah  no: 3472.

[161] HR. Bukhari no: 3960.

[162] HR. Abu Dawud no: 1488, Al-Albani rahimhullah mengatakan bahwa sanad hadits tersebut hasan, Shahihul Jami' no: 2070.

[163] HR. Muslim no: 2542.

[164] HR. Bukahri no: 5974, Muslim no: 2743.

[165] HR. Bukhari no: 6502.

[166] HR. Bukhari no: 4323, Muslim no: 498.

[167] QS. Thaahaa: 25-35.

[168] QS. Yusuf: 86.

[169] QS. Al-Anbiya': 83.

[170] QS Al-Qoshsos: 24.

[171] QS. Al-Hasyr: 10.

[172] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab: Al-Shahihul Jami' no: 4733.

[173] QS. Muahammad: 19.

[174] Dihasankan oleh Albani dalam kitab Shahihul Jami' no: 2026.

[175] HR. Bukahri no: 6010

[176] Zadul Ma'ad 1/220.

[177]Zadul Ma'ad 1/221.

[178] QS. Al-Ahzab: 32.

[179] Dishahihkan oleh Albani dalam Al-Adab Al-Mufrod no:262

[180] Al-Adabus Syar'iyah 1/427.

[181] HR. Muslim no: 673.

[182] HR. Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban no: 620.

[183] HR. Bukhari no: 3326. Muslim no:2841.

[184] HR. Ibnu Hibban no: 856, dishahihkan oleh Albani.

[185]Al-Nawawi syarah shahih Muslim 2160.

[186] Abu Dzakaria Al-Nawawi mengatakan: Dianjurkan bagi orang yang mengucapkan salam untuk memulainya dengan اَلسَّلاَمُ عَلََيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ yaitu menyebutkannya dengan menggunakan kata ganti plural sekalipun sesorang mengucapkan salam kepada satu orang saja. Dan orang yang menjawabnya mengatakan: وعَلََيْكُمْ اَلسَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ َوبَرَكَاتُهُ. Al-Adab Al-Syariyah 1/359.

[187] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 986, Albani mengatakan: Shahih.

[188] Sunan Abu Dawud no: 5209, dan Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[189] Semua riwayat tentang mengulangi salam menyimpulkan bahwa mengulangi salam dilakukan pada kondisi tertentu, dan Imam Al-Nawawi mengatkan bahwa mengulangi salam dilakukan apabila jama'ah tempat mengucapkan salam tersebut berjumlah banyak (Riyadhus Shalihin hal. 291). Dan mengulangi ucapan salam untuk meliputi semua jama'ah. Dan Ibnu Hajar mengatakan rahimahullah mengatakan bahwa mengulangi salam dilakukan jika seseorang merasa ragu kalau-kalau orang yang diberikan salam kepadanya tidak mendengarkan ucapan salam tersebut. Fathul Bari hadits no: 6244, dan Zadul Ma'ad 2/418.

[190] HR. Bukhari no: 6244.

[191] HR. Bukhari no:12 dan Muslim no: 39.

[192] Al-Adabus Syar'iyah 1/396.

[193] HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no: 986, dan Albani mengatakan: Shahih.

[194] HR. Bukhari no: 6232. Muslim no: 2160.

[195] HR. Bukahri no: 6231.

[196] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.

[197] Al-Adabus Syar'iyah 1/401.

[198] HR. Abu Dawud no: 5231 dihasankan oleh Albani

[199] Al-Adabus Syar'iyah 1/352.

[200] HR. Bukahri no: 6247.

[201] HR. Muslim no: 2055.

[202] HR. Muslim no: 2167

[203] Kecuali jika ucapan selamat yang mereka lontarkan cukup jelas dan tidak membawa makna yang samar, maka dalam hal ini boleh bagi sesorang untuk menjawabnya, berdasarkan keumuman makna yang terkandung dalam firman Allah Ta'la:  وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا"Apabila kalian diberikan suatu penghormatan maka balasalah penghormatan tersebut dengan yang lebih baik darinya atau balaslah dengan hal yang sama".

[204]  Jika ada yang bertanya: Bagaimana dengan sikap Nabi saw yang mengawali salam kepada orang kafir  dengan mengatakan:سَلاَمٌ عَلىَ مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى...؟  (keselamatan kepada orang yang mengikuti petunjuk). Para mufassirin menyebutkan bahwa ucapan tersebut bukan penghormatan tetapi maksudnya adalah orang yang masuk Islam akan selamat dari adzab Allah. Oleh karena itu disebutkan setelahnya bahwa azab akan menimpa orang yang mendustakan dan berpaling dari tuntunan Allah, maka jawabannya adalah bahwa beliau tidak mengawali orang kafir dengan mengucapkan salam secara sengaja, sekalipun lafaz hadits ini seakan mengisyaratkan makna tersebut. (Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/38).

[205] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, An-Nawawi 367.

[206] Al-Adabus Syar'iyah 1/390, Al-Adzkar, Al-Nawawi: 367

[207].Fathul Bari 11/16, adapun tentang hadits Asma' binti Yazid yang mengatakan: "Nabi saw mengulurkan tangannya kepada jama'ah perempuan saat menyampaikan salam". HR. Turmudzi no: 2697, Al-Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 1047, 1003, Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih, Imam Nawawi mengatakan bahwa kemungkinan bahwa Nabi saw mengumpulkan antara isyarat dengan ucapan salam, sebagimana yang disebutkan dalam riwayat Abi Dawud: فَسَلَّمَ عَلَيْهِ (dan mengucapkan salam kepadanya), Al-Adzkar hal. 356.

[208] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya pada jilid ke 22, menyebutkan bahwa Jika orang yang sedang shalat mengetahui cara menjawab salam dengan isyarat maka dibolehkan menyampaikan salam kepadanya, jika dia tidak mengetahuinya maka sebaiknya tidak mengucapkan salam kepadanya agar shalat mereka yang wajib tidak terputus dengan perbuatan yang sunnah, sebab bisa jadi orang tersebut menjawab salam secara lisan sehingga menimbulkan kekurangan bagi shalatnya.

[209] HR. Muslim no: 370

[210] Al-Adabul Mufrod no: 1055 dan dihasankan oleh Al-bani.

[211] Zadul Ma'ad 2/413-414.

[212] Fatawa Lajnah Da'imah 8/243.

[213]Fatawa Lajnah Da'imah 8/246 Saudi Arabia.

[214] HR. Al-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dan Abu Na'im dalam kitab Al-Hulyah dihasankan oleh Al-Bani dalam Silsilatus Shahihah no: 816.

[215] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Al-Shahihah: 817.

[216] HR. Turmudzi nno: 2861, Al-Bukahri dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 1008 dan Albani mengatakan hadits  Shahih.

[217] Al-Muhkamul Matiin Fi Ikhtisharul Qaulul Mubiin Fi Aktha’al Mushalliin, Mashur bin Hasan Ali Salman.

[218] Shahih Bukhari no: 5708.

[219] As-Silsilatus Shahihah no: 1189

[220] HR. Abu Dawud no: 5212

[221] HR. Abu Dawud no: 5212 dan Albani mengatakan bahawa hadits ini shahih.

[222] HR. Turmudzi no:2728, dan dikeluarkan oleh Alabni dalam kitabnya Sililatus Shahihah no:160 1/288.

[223] HR. Turmudzi no: 2490, dishahihkan oleh Albani dengan berbagai jalan dalam kitab Al-Sisilatus Shahihah no: 2485, (5/635)

[224] Al-Turmudzi no: 2292.

[225] Albani rahimhullah menegaskan dalam kitab Al-Silsilatus Shahihah 1/251 bahwa mencium tangan  orang yang alim dibolehkan dengan tiga syarat:

  1. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan, di mana orang yang alim tersebut secara sengaja mengulurkan tangannya kepada para murid-muridnya.
  2. Hal tersebut tidak menjadikan orang yang alim tersebut sombong terhadap orang lain.
  3. Perbuatan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah berjabatan tangan.

Disebutkan dalam fatwa syekh Ibnu Humaed rahimhullah: “Tidak baik bagi seorang lelaki mencium mulut ibunya dan tidak pula mulut anaknya,, begitu juga kakak laki-laki tidak diperbolehkan mencium mulut adik perempuannya, dan bibi dari bapak, bibi dari ibu serta salah seorang mahromnya, mencium mulut khusus bagi seorang suami.

[226] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 946, dan terdapat sedikit perbedaan lafaz, Albani berkata: Shahih.

[227]HR. Bukhari no: 6262.

[228] Majmu’ fatawa 1/374-375

[229] Ibnu Hajar rahimhullah berkata: secara umum, jika berdiri untuk menyambut seseorang dianggap sebagai penghinaan dan bisa menimbulkan kerusakan maka hal itu tidak boleh dilakukan, dan makna inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Abdis Salam (Fathul Bari 11/56). Ahlul Ilmi menjelaskan bahwa berdiri tersebut dibagi menjadi tiga macam:

 1/Berdiri untuk mendatangi seseorang, maka hal ini tidak mengapa, sebab Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat kedatangan Sa’d bin Mu’adz radhiallahu anhu setelah memberikan hukuman kepada  Yahudi dari Bani Quraidhah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: (Berdirlah menuju pemimpin kalian) HR. Bukhari no: 4121, Muslim no: 1768.

2/Berdiri untuk menyambut kedatangan seseorang, hal ini juga tidak mengapa, apalagi jika masyarakat menjadikannya sebagai kebiasaan, dan orang yang datang menganggap bahwa tidak berdiri untuk mneyambutnya adalah penghinaan, sekalipun yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut seperti yang dijelaskan di dalam sunnah, namun apabila masyarakat terbiasa dengan perbuatan seperti itu maka hal tersebut tidak mengapa dilakukan.

3/Berdiri untuk menghormati seseorang. Seperti seseorang duduk lalu salah seorang sebagai ketua berdiri  untuk mengagungkannya, maka perbautan seperti ini terlarang. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:         لاَ تَقُوْمُوْا كَمَا تَقُوْمُوْا اْلأَعَاجِمُ يُعَظِّمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا

Janganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ajam berdiri (dalam mengormati) sebagian mereka atas sebagian lannya” HR. Abu Dawud no: 5230, dan dilemahkan oleh syekh Albani rhimhullah dalam kitab Silsilatud Dhaifah no: 346. Syarhu Riadhus Sholihin, Ibnu Utsaimin 1/260.

   Adapun berdiri untuk kebaikan dan kemaslahatan, seperti berdirinya Ma’qil bin Yasar untuk mengangkat ranting sebuah pohon dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat berbai’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim, dan berdirinya Abu Bakr radhiallahu anhu untuk melindunginya dari terik matahari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq maka perbuatan ini adalah mustahab.

[230] Al-Adabus Syar’iyah 1/400.

[231] Al-Aadbus Syar’iyah: 1/402.

[232] Al-Adabul Mufrod no: 1117 dengan sanad yang hasan.

[233] Fathul Bari, Ibnu Rajab 11/3.

[234] HR. Ahmad no: 22617, Abu Dawud dan lafaz hadits ini darinya no:5177, dan Alabni mengatakan hadits ini Shahih.

[235] HR. Muslim no: 2158.

[236] HR. Bukahri no: 6245, Muslim no: 2153.

[237] Fathul Bari 29/11 hadits no: 6245.

[238] QS. Al-Nur: 28.

[239] HR. Bukahri no: 6250, Muslim no: 2155.

[240] HR. Bukahri dalam Al-Adabul Mufrod no: 1080, dan Albani mengatkan bahwa haidts tersebut shahih.

[241] Al-Adabus Syar’iyah: 1/428.

[242] HR. Abu Dawud no: 5189, dan Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[243] Undangan untuk menghadiri walimah adalah izin dalam menghadiri undangan tersebut dan menyantap hidangan. Disebutkan dalam kitab Al-Mugni dan yang lainnya dan berdasarkan makna lahir dari ucapan sebagian besar ulama: Hendaklah dia  meminta izin, hal ini sebutkan oleh Al-Bukhari saat mengomentari hadits riwayat Abu Hurairah ra: !ِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلىَ الطَّعَامَ  فَجَاءَ مَعَ الْرَّسُـوْلِ فَإِنَّ ذلِكَ لَهُ إِذْنٌ (Al-Adabus Syar’iyah 1/422).

[244] Syarhul Adabul Mufrid no: 1074.

[245] Albani berkata di dalam kitab: Al-Silsilah diriwayatkan oleh Abu Al-Syekh  Ashbahan: 113, As-Silsilah 1/304 no: 182.

[246] QS. Al-Nur: 29.

[247] HR. Al-Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubro 2/247 dan dishahihkan oleh Albani dalam kitab Silsilatus Shahihah 1/815.

[248] HR. Abu Dawud no:5000 dengan sanad yang shahih.

[249] HR.Bukhari no: 6018

[250] HR. Muslim no: 6135

[251] HR. Bukhari no: 6176

[252] HR.Bukhari no:5177

[253] HR.Bukhari no: 1240 Muslim no:2162

[254] Adad As Syar'iyyah Juz 3 Hal 197

[255] HR Muslim no:1431

[256] HR Bukhari-Muslim

[257] HR Bukhari no:5434

[258] HR Bukhari no:5420 Muslim no:2041/145  didalamnya terdapat adab Anas r.a menghidangkan dhubba pada Rasulullah Saw dan beliau tidak memakannya.

[259]  Shahih Al jami' no:7441

[260]  QS. Al Ahzab ayat 53

[261]  HR Abu Ya'la Juz 4 no:315/ 2425 Berkata Al hafidz: Sanadnya kuat "Fathul Bari Juz 10 no:89

[262] HR Bukhari dalam kitab Adab Mufrad no:353

[263] Silsilah hadits shahih bab mendahulukan orang tua dalam berbicara dan bersiwak bukan dalam hal minum.

[264] Silsilah hadits shahih no: 2941

[265] HR Abu Daud no: 3854 dan dishahihkan oleh Al Albani

[266] HR Muslim no:2055

[267]HR Muslim no:2042

[268] QS Az-Dzariyat ayat 26-27

[269]  QS Az-Dzariyat ayat 27

[270]  HR Bukhari no:6450

[271]  Adab As Syariyyah Juz 3 Hal 227

[272]  HR Abu Daud no: 4045 At Tirmidzi no:1992 dan dihasankan oleh Al Albani

[273]  HR Bukhari ( Hadits mauquf dan di shahihkan oleh Al Albani )

[274]  HR Bukhari-Muslim tidak terdapat didalamnya: Aku bersumpah Kalian telah berbuat baik sampai akhirnya.

[275]  QS-Al Ahzab ayat 53

[276]  Al Adab As Syariyyah juz 3 hal 227

[277]  HR Abu Daud no: 4855 berkata Al Albani Hadits ini hadits shahih

[278] HR Abu Daud no:4833 dan dihasankan oleh Al Albani

[279]  HR At Tirmidzi no:2706 ia berkata hadits ini hadits hasan. Berkata Al Albani hadits ini  hasan shahih

[280]  HR Bukhari no:6270 dengan memakai lafadz darinya.

[281]  QS Al Mujadalah : 11

[282]  HR Abu Daud no: 4845 dan Al Albani berkata:Hadits ini Hasan shahih

[283]  HR Abu Daud no: 4825 dan dishahihkan oleh Al Albani

[284]  Al Albani menshahihkan hadits ini dalam kitab silsilah hadits shahih

[285]  HR Bukhari no: 7042 dengan memakai lafadz darinya

[286]  HR Ahmad no:18960 dan Abu Daud 4848 serta di shahihkan oleh Al Albani

[287]  Silsilah hadits shahihah no:838

[288]  HR Ibnu Majah no:4193 dan dishahihkan oleh Al Albani no:3400

[289]  HR.Bukhari no:6288 Muslim no:2183

[290]  HR. At-Tirmidzi no: 2478 dan di hasankan oleh Al-Albani no:3413

[291] Fathul Bari Ibnu Hajr Juz 2 hal 73

[292]  Shohih kalim tayyib karangan Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang di petik oleh Muhamad Nasirudin Al Albani

[293]  HR. Ahmad dalam kitab Al Musnad no:8967

[294] HR Bukhari no:6018

[295]  HR Bukhari no:2989 Muslim no:1009

[296]  HR Bukhari no:6563 Muslim no:1016

[297]  HR.At Tirmidzi  no: 2018 dari hadits Jabir r.a dengan memakai lafadz dari beliau

[298]  QS. Al Hujurat:12

[299] Imam Bukhari mengemukakan dalil diperbolehkannya menceritakan orang yang berbuat kerusakan dan kesyirikan dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  ketika menceritakan Ainah bin Hisan tatkala ia meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam  untuk bertemu dengan beliau saat itu beliau berkata :Sejelek-jeleknya saudara keluarga.   

[300]  Pengarang kitab Al Mukhtar dari golongan Hanafiyah berkata: ولا غيبة لأهل القرية (Tidak ada ghibah pada penduduk kampung) . Adab As Syariyyah Ibnu Muflih Juz 1 Hal 274

[301]  HR.Abu Daud no: 3997 dan dihasankan oleh Al Albani

[302]  HR.At-Tirmidzi no: 1967 dihasankan oleh Al Albani

[303] HR.Abu Daud no:4990 dan dihasankan oleh Al Albani

[304]  HR.Shohih Al jami' 7620

[305]  HR. Bukhari no: 6056 Muslim no:105

[306] HR.Muslim no:5 dan lafadz hadits darinya

[307] QS.At-Taubah(10):119

[308] HR Bukhari no:1386 dan Ahmad no:19652

[309] HR. Abu Daud no: 4921dan dishohehkan oleh Al Albani

[310] HR.Bukhari no:3559  

[311] HR.Abu daud no:4800 dan dihasankan oleh Al Albani

[312] HR.Abu daud no: 4990 dan dihasankan oleh Al Albani

[313]  HR.Ibnu Majah no:4193  dan di shohehkan oleh Al Albani

[314] HR. Abu daud no:4878 dan dihasankan oleh Al Albani

[315] HR. Bukhari no:59

[316] HR. Bukhari no:3568

[317] HR. Ahmad no:25677

[318] QS. Lukman:19

[319] QS. An Najm:32

[320] HR.Muslim no:1715 Ahmad juz 2 hal 27

[321]  HR.At-Turmudzi no:1887dan dihasankan Al Albani

[322] QS. Al Isra:53

[323] QS. Al Baqoroh:83  

[324] QS.. Al Maidah( 4):89)

[325]  HR.Shohih Al Jami'

[326]  HR.Shohih Al Jami'

[327]  QS.Al Hujurat:11

[328] QS Al Humazah:1

[329]  HR.Shohih Al Jami'

[330] HR. Muslim no:2747 kitab At Taubah

[331] QS An Najm: 43

[332]  HR.Shohih Al Jami"

[333]  HR.Silsilah hadits shohihah

[334]  HR.Shohih At Targhib

[335]  HR. Shohih Al Jami"

[336]  HR.Shohih At Targibh

[337] HR.Abu Daud no:4990 dan dihasankan oleh Al Albani

[338] HR.Shohih An-Nasa'i

[339]  HR.Bukhari dengan memakai lafaz darinya dan Muslim

[340] As Syamail Al Muhamadiyah 4813

[341] Misykat Al Mashabih 4813

[342] Shahih al Adab 180

[343] QS. Al A'raf 148-154

[344]  Adab Ad Dunnya wa Ad Din hal. 250

[345]  QS. As Syura':43

[346]  Oleh karena itu sebagian ulama berpendapat bahwasanya bilamana seseorang sedang marah maka janganlah mengatakan kepadanya: Ingtlah Allah sebab hal tersebut terkadang menjadikan dia lebih buruk, disebutkan dalam akhir hadits ini bahwasanya seseorang diingatkan: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ  dia menjawab: Aku tidak gila.

[347]  HR.Bukhari – Muslim, Al fath juz 6 hal 337, Al Kalam At Tayyib 227.

[348]  HR. Abu Daud no:4000

[349]  HR.Al Baihaqi dan sebagian ulama yang lain menghasankannya

[350]  HR.Silsilah hadits shahihah

[351]  HR. Bukhari Fath Al Bari juz 10 hal 456

[352]  Hadits shahih, shahih al Jami' no:7374 dan Ibnu Hajar menisbatkan hadits ini pada At Tabrani lihat Al Fath juz 4 hal 465 shahih at Targib no:2747

[353]  HR. Abu Daud  no:4777 dan yang lainnya dan dihasankan oleh Al Albani dalam shahih Al Jami' no:6518

[354]  HR.Bukhari Muslim dan Imam Ahmad juz 2 hal 236 shahih Al Adab 989

[355]  HR Al Bazzar dan Ibnu Hajar berkata:sanadnya hasan juz 10 hal 519 silsilah shahihah no:3295

[356]  HR Bukahri- Muslim,Fath Al Bari juz 1 hal 375

[357]  QS.Ali Imran:2:134

[358]  QS.Al A'raf:199

[359] HR.Bukhari juz 4 hal 403

[360]  HR.Muslim

[361]  HR. Imam Ahmad dalam kitab Al Musnad juz 1 hal 329 shahih al Jami' 693

[362]  Didalamnya ada Abu Bakr dia Ibnu Maryam dan itu da'if ( Al Albani)

[363]  QS.Ar Ra'ad:28  

[364]  QS.An Nahl:125

[365]  QS  Hud:88

[366]  QS. Lukman:17

[367]  بِالرَّفَاءِ وَالْبَنِيِنِ (Al-Rafa') adalah keurunan dan kedamaian, bararti: Semoga engkau menikah dengan pernikahan yang mendatangkan kerukunan dan kedamaian. Al Banin adalah memberikan ucapan selamat agar diberikan anak,. Dilarang mengucapkan selamat jika untuk kelahiran anak laki-laki semata dan mengesampingkan anak perempuan, sebab itu prilaku jahiliyah dan itu pula rahasia larangan mengucapkan ucapan ini. Mu'jam al manahi  al lafzhiyyah: 178 

[368]  Silsilah As Shahihah no:4310

[369]  Hasan shahih Al Kalam At tayyib 207

[370] mengoleskan buah kurma ke dalam mulut bayi yang baru lahir setelah buah kurma tersebut dikunyah oleh orang yang mau mentahniknya

[371] QS Al Fath:1

[372]  Al Adab As Syar'iyyah juz 2 hal 220

[373]  Hadits shahih

[374] Untuk tambahan maraji' Al Adab As Syar'iyyah juz 3 hal 219

[375] Syekh Abdul kariem Al Khudair telah ditanya tentang hukum mengucapkan selamat hari tahun baru hijriyah dengan mengatakan كل عام وأنتم بخير   semoga sukses atau dengan mendoakan keberkahan seperti mengirim surat yang berisi mendo'akan orang yang di kirimi surat tersebut dengan kebaikan dan keberkahan  ditahun baru?Beliau menjawab:Mendo'akan seorang muslim dengan do'a yang mutlak dan orang itu tidak beribadah dengan lafaz yang diucapkan itu seperti menyambut hari raya, maka hal itu diperbolehkan bilamana yang dimaksud adalah mengucapkan selamat karena kebahagiaan yang diterimanya  serta menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan di wajah orang-orang Islam. Imam Ahmad berkata:Aku tidak mendahului dengan mengucapkan selamat, bilamana seseorang mendahului-ku maka aku menjawabnya sebab menjawab selamat adalah wajib  dan mendahului mengucapkan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang ( Emeil  Al Islam Tanya – Jawab/ 2129.  

[376]  QS.Ali Imran: 21

[377]  HR.Silsilah hadits shohihah

[378] Shoheh Al Jami'

[379]  HR.Bukhari Muslim

[380] HR Ibnu Majah no:3231

[381]  HR Shahih Abu Daud no:2412

[382] HR. An Nasa'I no:3050

[383] Shahihul Adab: 117.

[384] HR. Bukahri dan Muslim, Silsilatus Shahihahno: 1187.

[385] Shahihu t Targib no: 3303.

[386] HR. Muslim no: 1373, 474. Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 1/315.

[387] Shahihul Jami’ no: 3331

[388] Shahihul Jami’ no: 4999.

[389] Al-Silsilatus Shahihah no:416

[390] Shahihul Jami’ no: 6368

[391] Shahihul Adab: 79.

[392] Shahihul Jami’ no:2392

[393] Shahihun Nasa’I no: 4029.

[394] Seperti membantu seseorang agar urusannya dipermudah dalam sebuah instansi atau lembaga. Pen.

[395] Al-Silasilatus Shahihah: 3465.

[396] Shahih Abu Dawud no: 2630

[397] QS. Al-Zumar: 42.

[398] QS. Al-Sajdah:11

[399] QS. Al-An’am: 61.

[400] Fathul Bari, Ibnu Hajar 3/112

[401] HR. Abu Dawud no: 2724.

[402] Zadul Ma’ad 1/145, 3/16-17, Tahzibus Sunan 4/308-309.

[403] Zadul Ma’ad 1/144, Bad’iul Fawa’id 4/98, Tahzibus Sunan 4/311, 4/315-316, 4/337

[404]Fatawa Lajnah Da’imah.

[405]Zadul Ma’ad 1/145-146, Tahzibus Sunan 4/335, 338

[406] Shahihul Jami’ no: 5441.

[407] HR. Bukhari no: 1283, Muslim no: 926.

[408] Ibid.

[409] Shahihut Targib no:3498.

[410] Shahihul Jami’no: 7311

[411] HR. Abu Dawud no: 2758.

[412] Shahihul Jami’ no: 1015.

[413] HR. Al-Nasa’I: 1762.

[414] Syarah riadhus Shalihin, syekh Shaleh Al-Utsaimin jilid 1/hal.154.

[415] Badaiul Fawaid 3/157

[416] Al-Kamil Fil Tarikh: 5/73

[417] Zadul Ma’ad 1/144-145.

[418] Tahzibus Sunan: 4/312-314, Zadul Ma’ad 1/145.

[419] Jika mayit tersebut berwasiat untuk disembelihkan maka disemblihkan baginya (sebagai shadaqah), namun jika dia tidak berwasiat demikian maka berdo’a baginya lebih utama. Al-Babul Maftuh, Ibnu  Utsaimin rahimhullah 52/50. Adapun Thawaf untuk salah seorang kelaurga yang meninggal, Syekh bin Bazz mengatakan: lebih utama meninggalkan perbautan tersebut karena tidak ada dalil yang menjelaskan perbuatan tersebut, namun sebagian ulama membolehkannya jika diqiyaskan dengan shadaqah dan do’a tetapi lebih baik meninggalkannya.

[420] HR. Muslim, Al-Kalimut Thayyib: 151.

[421] HR. Ibnu Majah no: 1567.

[422] HR. Bukhari.

[423] Hadits ini dihasankan oleh Albani-rahimhullah-, sunan Abi Dawud no: 2723

[424] HR. Bukhari no: 5426, Muslim no: 2067.

[425] Berbeda pendapat ulama tentang menyimpan bejana yang terbuat dari emas dan perak tanpa memakainya…dan pendapat yang masyhur adalah melarangnya, seperti yang diungkapkan oleh jumhur ulama dan disebutkan bahwa sebagian ulama memberikan keringanan dalam menyimpannya. (Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/97-98)

[426] QS. Al-Baqarah: 172.

[427] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab silsilatus shahihah no: 2265.

[428] HR. Bukhari no: 5393, Muslim 2060, 182.

[429] Al-Adabus Syar’iyah no: 3/193.

[430] HR. Bukhari no: 5376, Muslim no: 2022.

[431]Catatan penting: Bentuk duduk beliau saat makan adalah duduk dengan posisi bertinggung (duduk di atas pantat sambil mengangkat kedua lutut), disebutkan juga bahwa beliau duduk dengan posisi tawaruk dan meletakkan bagian belakang kaki kiri di atas bagian depan kaki kanan sebagai  cermin sikap merendah diri kepada Tuhannya Yang Maha Tinggi.

[432] HR. Abu Dawud no: 3774 dan dishahihkan oleh Albani

[433]HR. Bukhari no: 674, Muslim no: 559.

[434] HR.Ahmad no: 7515, Abu Dawud no: 3852 dan dishahihkan oleh Albani.

[435] HR. Bukhari no: 286, Muslim no: 305.

[436] Silsilah hadits yang shahih no: 71

[437] Syarah riyadhus shalihin, Syekh Utsaimin rahimhullah 5/197

[438] Zadul Ma’ad 4/223.

[439] HR. Muslim no: 2734, Imam Nawawi rahimhullah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Aklah dalam hadits tersebut adalah makan siang dan makan malam, sebagimana disebutkan oleh syekh Utsaimin dalam syarah Riadhus Shalihin.

[440]HR. Bukhari  5459

[441] Shahihul Jami’ no:4731.

[442] HR. Turmudzi no: 3458 dan dihasankan oleh Albani no: 3348.

[443] HR. Abu Dawud no: 385, Albani berkata: Shahih.

[444] Albani mengatkan dalam Silsilatus Shahihah: (1/111)(71): HR. Ahmad tentang akhlaq Nabi shallallahu alaihi wasallam, kemudian dia menyebutkan sanadnya, lalu berkata: sanadnya shahih, semua yang meriwayatkan orang-orang yang terpercaya dan termasuk perawi hadits dalam muslim

[445] HR. Turmudzi no: 3455 dan dihasankan oleh Albani no: 3385.

[446] HR. Muslim no: 5010

[447] HR. Muslim no: 2019.

[448] Fatwa lajnah Da’imah ( Fatawa Islamiyah 2/457)

[449] HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/399, hadits ini dishahihkan oleh yang alim Albani rahimhullah dalam kitab Silsilatus Shahihah no: 627.

[450] Al-Adabus Syar’iyah 3/182.

[451] HR. Muslim no: 2022.

[452] HR. Abu Dawud no:3772. dan bagian tengah dikhususkan bagi turunnya berkah sebab bagian tersebut adalah  bagian yang paling adil.

[453]  Dan jari yang dipergunakan menyantap makanan adalah Jari telunjuk, ibu jari dan jari tengah, kecuali makanan tersebut sejenis tsarid (makanan roti yang direndam dalam kuah) atau yang sejenisnya maka diperbolehkan makan dengan lima jari-jarinya. Ibnul Qoyyim rahimhullah mengatakan: Cara makan yang paling mulia yaitu makan dengan menggunkan tiga jari-jari, sebab orang yang sombong makan dengan satu jari sementara orang yang kuat makan dengan lima jari sekligus dan mendorong makanan tersebut dengan tenang.

[454] Dan cara menjilat jari-jari adalah memulai menjilat yang dengan jari tengah, kemudian jari telunjuk dan ibu jari, dan hadits tentang masalah ini diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam kitab Al-Mu’ajmul Ausath. Saat itu mereka belum mempunyai tissu untuk membersihkan tangan mereka.

[455] HR. Muslim no: 20222.

[456] HR. Muslim no: 2033.

[457] Al-Sildilatus Shahihah no: 1202.

[458] Sisilatus Shahihah no: 1404

[459] Seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimhullah.

[460] HR. Abu Dawud no: 3832.

[461] Disebutkan oleh Al-Baihaqi, Ibnul Jauzi berkata dalam bab (Adab-Adab makan): Dan janganlah dikumpulkan antara biji kurma dengan kurma secara bersamaan di dalam satu mangkuk dan tidak pula mengumpulkannya pada tangannya secara bersama, akan tetapi menaruhnya dari mulutnya pada punggung telapak tangannya lalu membuangnya, begitu juga bagi setiap makanan yang memiliki pangkal ranting dan berbusa. Al-Adaus Syar’iyah no: 3/216.

[462]HR. Bukhari no: 5445 dan 5768, Muslim: 2047.

[463] Al-Adabus Syar’iyah no: 3/6.

[464] Albani berkata di dalam kitabnya: Irwa’ul Galil no: 1978: Shahih dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 7/2580

[465] Shahih Muslim no: 5830.

[466]HR. Bukahri no: 5409.

[467] Fathul Bari, Ibnu Hajar no: 9/548

[468] Dari Anas radhiallahu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang minum secara berdiri. HR. Muslim no: 2024.

[469] HR. Bukhari no: 1637

[470] HR. Bukhari no: 5630, Al-Hafiz berkata di dalam kitabnya: Fathul Bari 10/80: Larangan tentang meniup di dalam bejana didasarkan pada beberapa hadits, begitu juga dengan larangan bernafas padanya, sebab bisa saja saat bernafasnya terjadi perubahan pada mulutnya karena pengaruh makanan atau karena jarang bersiwak dan berkumur, atau karena nafas tersebut naik bersama dengan gas yang terdapat di dalam lambung, dalam masalah ini meniup lebih keras dari sekedar bernafas.

[471] HR. Bukhari no: 45631.

[472] As-Silsilatus Shahihah no: 2689, dan adapun riwayat yang mengatakan: Sesungguhnya setan minum darinya” adalah riwayat yang lemah

[473] Dihasankan oleh Albani rahimhullah, Silsilatus Shahihah no: 232.

[474] Muttafaq Alaihi.

[475] Al-Adabus Syar’iyah 3/212.

[476] HR. Bukhari no: 5627.

[477] HR. Muslim no: 681.

[478] Lihat Ihya’ Ulumud Din, Al-Gazali 2/11.

[479] HR. Muslim no: 5202.

[480] HR. Bukharino: 5782

[481] HR. Muslim no: 2059.

[482] HR. Abu Dawud no: 3764 dan dishahihkan oleh Albani.

[483] HR. Ahmad no: 14241.

[484] Al-Adabus Syar’iyah no: 3/161.

[485] QS.Al-Ahqof: 20.

[486] Diambil dari kitab: Adabul Akli Was Syurb Fil Fiqhil Islami, Hamid bin Muddah bin Humaidan Al-Jad’ani hal. 83.

[487] HR. Muslim no: 3322.

[488] Al-Mugni 13/354.

[489] HR. Bukhari no: 3340, dan Muslim no: 194.

[490] HR. Abu Dawud no: 26, Al-Bani mengatkan hadits ini shahih.

[491] HR. Muslim no: 281

[492] Fatwa syekh Abdul Aziz bin Baz rahimhullah begitu juga tidak diperbolehkan kencing pada sumur, begitu juga pada bak mandi yang lubang alirannya tertutup, sebab hukumnya sama seperti air yang tergenang, namun jika pada lubang yang aliran airnya dibuka maka dia sama dengan air yang mengalir maka dibolehkan kencing padanya.

[493] HR. Bukhari:1/137, Muslim 1/230

[494] Zadul Ma'ad 1/174.

[495] HR. Abu Dawud dan Turmudzi.

[496] Dalilnya adalah hadits Anas radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila memasuki wc maka beliau meletakkan cincinnya. HR. Abu Dawud no:19, Al-Turmudzi no: 1746, Al-Nasa'I no: 8/178, Ibnu Majah 1/110, Al-Hakim 1/187, Al-Baihaqi 1/95. Dan hadits ini dilemahkan oleh Ibnul Qoyyim di dalam kitab Tahzibus Sunan 1/26-31, dan lihatlah Talkhisul Habir 1/108, dan ini tidak termasuk zikir yang telah dikenal sekalipun tulisan: (محمد رسول الله)  adalah bagian syahadataini namun tidak seperti tasbih dan tahlil, oleh karenanya mereka yang menshahihkan hadits ini seperti Al-Turmudzi dan Al-Hakim atau mengatakan bahwa hadits ini hasan, berkata bahwa hukumnya adalah makruh membawa sesuatu yang bertuliskan zikir. Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih, maka dia berpendapat tidak makruh membawanya, tetapi yang lebih afdhal agar seseorang tidak membawanya masuk, lain dengan mushaf tidak dianjurkan untuk membawanya masuk (Al-Syarhul Mumti' 1/60)

[497] HR. Bukhari no: 144.

[498] Masalah ini bisa dijadikan sebagai qiyas, di mana mendahulukan yang kanan untuk perkara-perkara yang dimuliakan dan mendahulukan yang kiri untuk sebaliknya (Syarhul Mumti' 1/81).

[499] HR. Bukahri 1/67, Muslim 1/283.

[500] HR. Imam Ahmad 6/155, dan yang lainnya.

[501] Barangsiapa yang lupa membaca do'a, sementara dia telah berada di dalam wc kemudian mengingatnya, apakah yang mesti lakukan? Ibnu Hajar rahimhullah berkata: Hendaklah dia berlindung kepada Allah dengan hatinya, bukan dengan lisannya.

[502] HR. Bukhari:1/137, Muslim 1/230

[503] Seperti yang diriwayatkan oleh Huzaifah radhiallahu anhu bahwa dia menceritakan: Aku dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ingin kencing maka beliau menjauh sampai mendatangi tempat membuang sampah suatu kaum, di belakang sebuah tembok maka beliau berdiri sebagaimana berdirinya salah seorang di antara kalian maka beliau kencing maka akupun menjauh darinya, lalu beliau memberikan isyarat kepadaku untuk mendatanginya, maka akupun datang kepadanya lalu berdiri dibelakangnya sampai beliau selesai kencing. HR. Bukhari no: 225, Muslim no: 273, dan Ibnul Qoyyim menyebutkan alasan kenapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam kencing secara berdiri, yaitu agar terhindar dan tidak terkena jipratan kencing sebab beliau mengerjakan hal ini ketika mendatangi tembok tempat membuang sampah suatu kaum….(Zadul Ma'ad 1/43).

Adapun hadits A'isyah radhiallahu anha yang mengatakan: "Siapakah yang memberitahukan kepadamu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kencing dengan berdiri maka janganlah engkau mempercayainya, beliau tidak pernah kencing kecuali dengan cara duduk". HR. Al-Nasa'I no: 29, dan dishahihkan oleh Al-Bani diartikan sebagai kebiasaan yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan lembaga tetap bagian riset dan fatwa Saudi Arabia memfatwakan bahwa jika seseorang kencing secara berdiri tanpa hajat yang menuntut, maka dia tidak berdosa namun dia telah menyalahi adab yang lebih baik dan yang paling sering dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

[504] Dikatakan oleh Ibnu Utsaimin rahimhullah ta'ala dalam Syarhul Mumti' 1/92.

[505] HR. Bukhari no: 153, Muslim no: 267.

[506] HR. Bukahri dalam bab Al-Manaqib no: 3860.

[507] HR. Muslim 1/223.

[508] HR. Muslim no:370.

[509] Shahih Abu Dawud, dihasankan oleh Albani no: 312.

[510] Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/357.

[511] HR. Al-Bukahri no: 6296, Muslim no: 2012.

[512] Fatul Bari 11/89

[513] HR. Muslim no: 2012

[514] Syarah Muslim 13/156, no: 2015.

[515] HR. Muslim no: 5223.

[516] Al-Adabus Syar'iyah 3/238, dan hikmah meletakkan kayu di atasnya adalah-wallahu a'alam- untuk membiasakan menutupnya dan tidak melupakannya, atau sebab untuk mencegah hewan melata yang lewat di sekitarnya, dan tindakan ini dikerjakan baik pada waktu malam atau siang. Al-Adabus Syar'iyah 3/242. 

[517] HR. Bukhari no: 5623, Hr. Muslim no: 2710.

[518] HR. Bukahri no: 247, Muslim no: 2710

[519] Kesimpulan yang dapat diambil dari hadits tersebut:

  • Disunnahkan menggerak-gerakkan alas tidur seblum tidur.
  • Digerakkan tiga kali.
  • Membaca bismillah saat menggerakkannya.

Dan orang yang berdiri meninggalkan alas tidurnya lalu kembali datang maka dianjurkan menggerakkannya kembali.

[520] Tidur di atas bagian tibuh yang sebelah kanan mempunyai manfaat, yaitu: Membuat seseorang lebih cepat terjaga sebab hati tergantung dengan arah sebelah kanan maka dia tidak menjadi berat karena tidur.

[521] HR. Bukhari no: 6320, Muslim no: 2714.

[522] HR. Abu Dawud no: 3893 dan dihasankan oleh Albani.

[523] HR. Ibnu Majah no: 3724 dan dishahihkan oleh Albani no: 905

[524] HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no: 1192 dan dishahihkan oleh Albani no: 908.

[525] HR. Abu Dawud no: 2606, dishahihkan oleh Albani no: 1300.

[526] Dhaif, dilemahkan oleh Albani dalam Silsilatud Dhaifah no: 2454.

[527] HR. Ahmad, Al-Syaikhani dan Ibnu Majah.

[528] HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Albani dalam kitab Al-Misykat no: 1215 dan Shahih Abu Dawud no: 4216.

[529] HR. Ibnu Majah dalam bab: Al-Ta'bir no: 3907 dan dishahihkan oleh albani dalam Al-Shahihah no: 1870.

[530] HR. Bukhari no: 7071, Muslim no: 2263.

[531] Al-Silsilatus Shahihah No: 3014.

[532] Shahihul Jami' no: 550

[533] HR. Bukhari dan Muslim

[534] HR. Ibnu Majah no: 3156

[535] Disebutkan dalam kitab Al-Bukhari dalam bab Al-Qoid fil Manam dari Abi Hurairah radhiallahu anhu tentang shalat dan lafaznya adalah: Barangsiapa yang melihat di dalam tidurnya sesuatu yang dibencinya maka hendaklah dia tidak menceritakannya kepada seseorang, dan hendaklah dia bangkit dan mendirikan shalat. Disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.

[536] QS. Al-nur no: 55.

[537] HR. Abu Dawud no: 4012, dan dishahihkan oleh Albani.

[538] HR. Bukhari no: 5885.

[539] HR. Abu Dawud no: 4063 dan dishahihkan oleh Albani

[540] HR. Bukhari no: 5788.

[541] HR. Bukhari no: 5957, Muslim no: 2107.

[542] HR. Bukhari no: 5952.

[543] HR. Ahmad no: 5631, Abu Dawud no: 4029, dihasankan oleh Albani no: 3399.

[544] Ibnu Taimiyah rahimhullah berkata: Dimakruhkan memakai pakian kebesaran agar seseorang terkenal, yaitu pakaian yang yang dipakai agar seseorang menonjol melebihi kebiasaan, sesungguhnya generasi salaf sangat menghindari dua hal yang membuat orang terkenal yaitu orang yang mengangkat diri atau terlalu bersahaja (agar terkenal)…..(Al-Fatawa 22/138).

[545] HR.Abu Dawud  no: 4057, dishahihkan oleh Albani no: 3422.

[546] Al-Silsilatus Shahihah no: 384, dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mengatakan: (Pakaian penghuni surga) Sepertinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang alasan diharamkannya pemakaian barang-barang tersebut, diharamkan bagi kaum pria sebab sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta'ala:  وَلِبَاسُهُمْ فِيْهَا حَرِيْرٌ"Dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutra" QS. Al-Hajj: 23 Dan sutra yang diharamkan adalah sutra yang berasal dari hewan.

[547] Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi 3/131.

[548] HR. Turmudzi no: 1767, Abu Dawud no:4020 dan dishahihkan oleh Albani.

[549] HR. Ahmad no: 5588, dan dishahihkan oleh Albani no: 2879.

[550] HR. Abu Dawud no: 4061 dan Albani mengatakan hadits tersebut shahih.

[551] HR. Muslim no: 2077.

[552] HR. Bukhari no: 3561.

[553] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Mukhtasharus Syama'il no: 185.

[554] HR. Abu Dawud no: 3878 dan dishahihkan oleh Albani.

[555] Yaitu bercelak pada mata sebelah kanan tiga kali dan pada sebelah kiri tiga kali, atau pada bagian mata sebelah kanan dua kali dan pada mata sebelah kiri satu kali, maka jumlahnya menjadi ganjil atau sebaliknya, atau lebih banyak dari jumlah ang disebutkan selama jumlahnya ganjil. Dan Ibnu Hajar lebih menguatkan pendapat yang pertama (Fathul Bari 10/167)

[556] Syarah Riyadhus Shalihin, Ibnu Utsaimin rahimahullah 4/544.

[557] Dengan syarat tidak ada keyakinan tertentu padanya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengikuti kebiasaan orang Nasrani dalam pemakaian cincin pengantin, di mana sebagian orang memakainya saat menikah.

[558] Berdasarkan hadits Anas radhiallahu anhu, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wa sallam membuat sebuah cincin, lalu berkata: Kita membuat sebuah cincin dan mengukirnya dengan ukiran yang jelas, maka janganlah salah seorang mengukir di atas ukiran tersebut. Anas berkata: Sungguh aku melihat kecerahan warnanya pada jari manisnya". HR. Bukhari no: 5874, dan Muslim no: 2092.

[559] Syarh Muslim, An-Nawawi 14/59.

[560] Fatwa syekh Utsaimin rahimahullah.

[561] HR. Muslim no: 2090.

[562] Irwa'ul Golil 1165. Shahih.

[563] HR. Bukhari 10/374, Fathul Bari, HR. Muslim.

[564] Ibnul Qoyyim menjelaskan tentang rambut kepala: Adapun mengurai rambut, jika rambut tersebut memanjang, maka yang lebih baik menjadikannya dua jalinan ke kanan dan ke kiri, namun jika memanjang sebatas daun telinga atau di atasnya, di mana keadaan rambut seperti itu tidak bisa dijalin dan menjadikannya dua kepang, maka diperbolehkan mengurainya tanpa dimakruhkan., beginilah petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam mengatur rambut, jika memanjang maka beliau menjalinnya namun jika tidak  maka beliau meninggalkannya". Ahkam Ahluz Zimmah 2/751.

[565] Al-Fath 1/374, Syarh Muslim, An-Nawawi 15/90. Al-Sadlu (mengurai rambut) yaitu melepasnya memanjang seperti keadaannya. Al-Tamhid 6/74

[566] Al-Mugni 1/65.

[567] Memotong rambut pada bagian tertentu dari kepala dan membiarkan bagian yang lain tidak terpotong sehingga seakan membentuk gumpalan awan dan menyerupai orang kafir.

[568] HR. Bukhari no: 6920.

[569] HR. Ahmad 2/50/92, dan dishahihkan oleh Albani dalam Irwa'ul Golil no: 1269.

[570] HR. Bukhari.

[571] Al-Silsilatus Shahihah no: 500.

[572] Al-Silsilatus Shahihah no: 493.

[573] HR. Abu Dawud no: 3505.

[574] Hadits ini mejelaskan tentang larangan terlalu mementingkan hiasan penampilan.

[575] Al-Silsilatud Dhaifah no: 2178, namun jika dikhawatirkan sampai ke tangan para tukang sihir maka sebaiknya ditimbun atau membuangnya pada tempat yang tidak bisa dijangkau oleh mereka.

[576] HR. Muslim no: 1305.

[577] Shahih Abu Dawud no: 3548, dan dishahihkan oleh Albani dalam kitab Gayatul Marom.

[578] Shahih Abu Dawud no: 3548, dishahihkan oleh Albani pada kitab Gayatul Marom.

[579] Al-Majmu' 3/140.

[580] Al-Fatawa 4/120.

[581]  Shahih Al Jami' (3734).

[582]  dan Hadits: "Sesungguhnya waktu terbaik untuk berbekam ialah pada hari ketujuh belas, sembilan belas atau kedua puluh satu". HR.Tirmidzi dengan sanad lemah.

[583] HR. Abu Daud (885).

[584] HR. Bukhari (5789), HR. Muslim (2088).

[585] HR. Muslim (2330), dan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, ia berkata:"Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjalan, beliau berjalan dengan seimbang bagaikan menuruni landai". HR. Abu Daud (4864)

[586] HR. Tirmidzi (3638).

[587] HR. Tirmidzi (2773), Abu Daud (2573), berkata Al Al-Bani: Hasan Shahih.

[588] HR. Bukhari (2856), HR. Muslim (30).

[589] HR.Abu Daud (2567), dishahihkan oleh Al Albani.

[590] Shahih Al Jami' (4870).

[591] Q.S. Al Furqan (63)

[592] Al Qashash (25).

[593] Al Silsilah Al Shahihah (1557).

[594] Al Silsilah Al Shahihah (2120).

[595] Al Adab Al Syar'iyah (274/3).

[596] Al Adab Al Syar'iah (371/3).

[597] Al Adab Al Syar'iah (247/3).

[598] Shahih Al Tirmidzi (2)

[599] Shahih Al Jami' (59)

[600] Shahih Jami' (6155)

[601] Dishahihkan Ibnu Majah (1274)

[602] Dishahihkan Al Albani dalam shahih Al Nasai (1314)

[603] Shahih Al Jami' (2874).

[604] Shahih Al Adab (168)

[605] Shahih Al Nasai (4647/4332)

[606] HR. Bukhari dan Muslim, Al Silsilah Al Shahihah (3507)

[607] HR. Bukhari (5856), HR. Muslim (2067)

[608] Al Silsilah Al Shahihah (719)

[609] Shahih Al Adab (732).

[610] Shahih Al Syamail Al Muhamadiyah (66)

[611] Al Silsilah Al Shahihah (348), dikatakan bahwa dimakruhkan berjalan dengan memakai sepasang sandal yang berbeda. Al Adab Al Syr'iyah (510/3).

[612] HR.Ahmad (23449), Abu Daud (4160) dishahihkan Al Albani.

[613] HR. Bukhari (3107).

[614] Al Silsilah Al Shahihah (345).

[615] Sahih Al Jami' (4966).

[616] Anas radhiallahu anhu berkata: "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat di atas kedua sandalnya". Ibnu Bathal berkata: Hal ini dimungkinkan jika tidak ada najis di atas sandal tersebut. Amalan ini merupakan rukhshah (keringanan) sebagaimana pendapat Ibnu Daqiq Al 'Ied, bukan yang disunahkan…  Aku berkata: Abu Daud dan Hakim telah meriwayatkan hadits dari Syidad bin Aus dengan derajat marfu': "Berbedalah kalian dari orang-orang Yahudi, sesungguhnya mereka tidak shalat di atas sandal-sandalnya/sepatu-sepatunya", maka disunahkannya memakai sandal dalam shalat dengan maksud untuk membedakan diri dari mereka.. Fathul Bari, Ibnu Hajar –Rahimahullah- (494/1).

[617] HR. Abu Daud (609) dishahihkan Al Albani.  

[618] Walaupun hal ini tidak mudah di zaman sekarang karena di masjid-masjid sudah dipasang karpet.

[619] HR. Bukhari (2465) dan Muslim (2121).

[620] Syarh Riyad Al Shalihin, Syekh Ibnu Utsaimin –Rahimahullah- (541/4).

[621] HR. Bukhari (2465).

[622] HR. Bukhari (2891)

[623] HR. Bukhari (654)

[624] Shahih Al Adab (170).

[625] Shahih Al Jami’ (2491).

[626] Shahih Muslim (4745).

[627] HR. Muslim (8636)

[628] HR. Abu Daud (5272).

[629] HR. Bukhari (2891).

[630] HR. Muslim, Shahih Al Kalim Al Thayyib (180).

[631]  Shahih Abu Daud (21)

[632] Shahih Al Jami' (4108).

[633] Shahih Al Jami' (2450).

[634] Al Silsilah Al Shahihah (1792)

[635] Q.S. Al Jumah (9).

[636] Irwa Al Ghalil (593)

[637] Shahih Al Adab (530)

[638] HR. Bukhari dan Muslim. Al Kalim Al Thayib (160)

[639] HR. Abu Daud (1040).

[640] HR. Abu Daud (1040)

[641] HR. Abu Daud (1034).

[642] HR. Bukhari/Tawasul (51).

[643]  Shahih Adab (530).

[644] HR. Bukhari dan Muslim/Al Kalim Al Thayib (160).

[645] الإكمام dikasrahkan ialah jamak أكمة yaitu الرابية. Dijamakkan الإكام  menjadi أكم dan آكام (Al Nihayah Fi Gharibil Hadits Wal Atsar Libni Al Atsir).

[646] الظراب ialah bukit. Kata tunggalnya ialah ظرب seperti كتِف . Terkadang dijamakkan menjadi أظرب (Al Nihayah Fi Gharibi Al Hadits Wal Atsar Libni Al Atsir)

[647] Irwai' Al Ghalil (680).

[648] Al Silsilah Al Shahihah (2757), Shahih Al Jami' Al Shaghir (7930).

[649] QS. Luqman (34).

[650] Al Kalimut Thayib (157).

[651] Al Silsilah Al Shahihah (2756).

[652] QS. Qaf (9).

[653] Isnadnya Shahih Mauquf, Shahih Al Adab (9320).

[654] Shahih Al Jami’ (3078).

[655] Shahih Jami' (15447).

[656] QS. Al Furqon (48).

[657] Al Silsilah Al Shahihah (12773).

[658] HR. Bukhari (1804) dan Muslim (1927).

[659] Al Silsilah Al Shahihah (14, 15, 16) dan Al Kalim Al Thayib (167/93).

[660] HR. Bukhari (2738).

[661] HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim dengan Sanad Hasan.

[662] HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan Isnad lemah.

[663] Berdasarkan Hadits Ibnu Umar radhiallhau anhu, dia berkata:" Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan pasukannya jika menaiki lembah, mereka bertakbir dan jika turun, mereka bertasbih". HR. Abu Dawud (2599), dishahihkan oleh Al Albani.

[664] HR. Bukhari (2998).

[665] Hadits Hasan, Al Silsilah Al Shahihah (62).

[666] HR. Abu Dawud (2608), dishahihkan Al Albani (500).

[667] HR. Muslim (2013).

[668] HR. Bukhari (2950).

[669] HR. Muslim (2718).

[670] HR. Muslim (1342).

[671] HR. Ibnu Sini dan Ibnu Hiban (2377). Hakim (100/2) Sanad Hasan.

[672] HR. Abu Daud (1536) dihasankan oleh Al Albani.

[673] HR. Bukahari (1000) dan Muslim (700).

[674] HR Abu Daud dengan Isnad Hasan (2628) dishahihkan Al Albani.

[675] Al Adab Al Syar'iyah (182/3).

[676] HR. Muslim (1926). الخصب lawan kata gersang. السنة berarti gersang. Dikatakan أخذته السنة berarti telah datang musim kering dan peceklik. (Al Nihayah Fi Gharib Al Hadits Ibnu Al Atsir Juz 2).

[677] HR. Al Nasa'I (624).

[678] HR. Muslim (683).

[679] HR. Bukhari (1804) dan Muslim (1927).

[680] Mutafaq Alaih.

[681] Illat sebuah larangan ialah sampai terurainya benang kusut. Jika menelpon atau memberi kabar kepada keluarga maka tidak dilarang karena larangan diberi illat oleh nash hadits. Maka larangan akan hilang dengan hilangnya illat.

[682] HR. Bukhari (3088) dan Muslim (2769).

[683] HR. Abu Daud dengan Sanad Hasan.

[684] Dhaif. Al Silsilah Al Dha'ifah (4249).

[685]  الدُلجة ialah berjalan di malam hari. Dikatakan أَدلَجَ dengan takhfif yaitu berjalan di awal malam dan ادَّلج dengan tasydid yaitu berjalan di akhir malam. Ada yang menggunakan kata الادلاج dengan arti seluruh malam, sepertinya makna inilah yang dimaksud dalam hadits ini karena diiringi dengan kalimat           فإن الأرض تطوي بالليل , dan tidak dibedakan antara diawal atau diakhir malam. (Al Nihayah Fi Gharib Al Hadits Libni Al Atsir Juz 2/120).                                                                            

[686] HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Albani (4064).

[687] Berkata Al Haitsami dalam Al Mujama' (8/36), HR. Thabrani dalam Al Ausath. Perawinya shahih dan disetujui oleh Al Abani (4064).

[688] Naqi'ah ialah yang disediakan untuk yang baru datang dari bepergian.

[689] Al-Adabu Syar’iyah 3/411.

[690] QS.Al-Baqarah: 189.

[691] HR. Abu Dawud no: 4349, Al-Turmudzi no: 3666.

[692] HR. Abu Dawud no: 1091.

[693] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab shahihul adab no: 350.

[694] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 355.

5 Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 418

6 Dishahihkan oleh Albani dalam kitab As-Silsilatus Shahihah no: 671.

[697]  Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 576

[698]  Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab

[699] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 927

[700] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab Shahihul Adab no: 931

[701] Sanadnya shahih dengan syarat Muslim, dan dishahihkan oleh Albani dalam Al-Silsilatus Shahihah no: 3454.

[702] Dishahihkan leh Albani dalam kitab Shahihul Adab

[703] HR. Turmudzi no: 1944.

[704] HR. Muslim no: 2625.

[705] HR. Bukhari no: 6020.

[706] HR. Bukahri no: 2463, Muslim no: 1609.

[707] HR. Bukhari no: 9018, Muslim no: 47.

[708] HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrod no: 111, Alsilsilatus Shahihah no: 2646.

[709] Al-Silsilatus Shahihah no: 1/149.

[710] Dishahihkan oleh Albani dalam Shahihut Targib no: 2569.

[711] HR. Bukhari no: 1304 dan Muslim no: 924.

[712] HR. Bukahri no: 3616.

[713] HR. Bukhari 5659, Muslim no: 1628.

[714] Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Fathul Bari 10/126 diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang baik.

[715] HR. Bukhari no: 5748 Muslim no: 2192.

[716] Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: Yang dimaksud dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat Al-falaq dan Qul a’udzu bi robbi nnas dan dijama’kan sebab jumlah minimal bagi jama’ adalah dua. Atau dijadikan bentuk jama’ karena yang dimaksud adalah kalimat yang terdapat di dalam dua surat tersebut, dan bisa jadi maksud dari Al-Muawwidzat adalah dua surat di atas ditambah dengan surat Al-Ikhlash dan inilah yang biasa terjadi. Pendapat inilah yang dipegang. Fathul Bari 7/738.

[717] HR. Bukhari no: 2276, Muslim no: 2201.

[718] HR. Bukhari no: 2276 dan Muslim no: 2201.

[719] HR. Muslim no: 2186.

[720] Fathul Bari 10/119

[721] HR. Bukhari no: 5651, Muslim no: 1616.

[722] Dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’ no: 3151.

[723] Al-Adabus Syar’iyah 2/344.

[724] HR. Muslim no: 2568.

[725] HR. Muslim no: 2569.

[726] HR. Ahmad no: 756, Abu Dawud no: 3098, Albani berkata: Shahih no: 1191.

[727] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengikuti jenazah orang yang kafir dan menjenguknya pada saat sakitnya, beliau menjawab: Janganlah engkau mengikuti jenazahnya, namun menjenguknya saat dia sakit, tidak mengapa; sebab hal tersebut bisa membawa kemaslahatan, untuk menarik hatinya pada Islam, dan apabila dia mati dalam keadaan kafir maka wajib baginya masuk neraka, maka dia tidak boleh dishalatkan, Wallahu A'lamu". Al-Fatawal Kubro 3/6.

[728] HR. Bukhari no: 5657.

[729] Al-Adabus Syar'iyah no: 2/190

[730] HR. Bukhari no: 5657

[731] HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrod no: 536 dan dishahihkan oleh Albani no: 416.

[732] HR. Bukhari no: 5654, Muslim no: 1376.

[733] HR. Bukhari no: 1304 dan Muslim no: 924.

[734] HR. Bukahri no: 3616.

[735] HR. Bukhari 5659, Muslim no: 1628.

[736] Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Fathul Bari 10/126 diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang baik.

[737] HR. Bukhari no: 5748 Muslim no: 2192.

[738] Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: Yang dimaksud dengan Al-Mu’awwidzat adalah surat Al-falaq dan Qul a’udzu bi robbi nnas dan dijama’kan sebab jumlah minimal bagi jama’ adalah dua. Atau dijadikan bentuk jama’ karena yang dimaksud adalah kalimat yang terdapat di dalam dua surat tersebut, dan bisa jadi maksud dari Al-Muawwidzat adalah dua surat di atas ditamah dengan surat Al-Ikhlash dan inilah yang biasa terjadi. Pendapat inilah yang dipegang. Fathul Bari 7/738.

[739] HR. Bukhari no: 2276, Muslim no: 2201.

[740] HR. Bukhari no: 2276 dan Muslim no: 2201.

[741] HR. Muslim no: 2186.

[742] Fathul Bari 10/119

[743] HR. Bukhari no: 5651, Muslim no: 1616.

[744] Dishahihkann oleh Albani dalam Shahihul Jami’ no: 3151.

[745] Al-Adabus Syar’iyah 2/344.

[746] Shahih Ibnu Majah no: 1817.

[747] Shahihul Jami’ no: 1846.

[748] Shahihut Turmudzi no: 1060.            

[749] Shahihul Jami’ no: 7589.

[750] Shahih Ibnu Majah no: 1790.

[751] Al-Syama’ilul Muhammadiyah no: 298.

[752] QS.Al-Ma’idah: 1.

[753] QS. Al-Baqarah: 282.

[754] Shahihut Targib no: 1795.

[755] QS. Al-Nisa’: 29.

[756] QS.Al-Nur: 30-31.

[757] QS. Al-Nur: 37.

[758] Sebagimana yang disebitkan dalam kisah tiga orang yang tertahan di dalam sebuah gua, dan salah seorang di antara mereka adalah orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya.

[759] Muttafaq Alaihi

[760] HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah  dengan derjat hasan.

[761] HR. Bukhari dan Muslim dan yang lainnya.

[762] HR. Muslim  no: 2552.

[763] Diriwayatkan dari Abi Yazid Al-Bashtami rahimahullah Ta'ala, dia berkata: Saat usiaku dua puluh tahun, ibuku memanggilku pada suatu malam untuk merawatnya, maka akupun memenuhi panggilannya, maka aku menjadikan salah satu tanganku di bawah kepalanya, dan tanganku yang sebelahnya aku letakkan di atas tubuhnya lalu membaca:   قل هو الله أحد sampai tanganku menjadi kebas. Maka aku mengatakan: Ini adalah tanganku, dan hak ibu untuk ditaati aku niatkan untuk Allah,aku bersabar atas keadaan seperti ini sampai terbit fajar, akhirnya tanganku tidak bisa berfungsi kembali. Lalu pada saat dia meninggal dunia, sebagian shahabatnya melihatnya dalam mimpi di mana dia terbang di surga. Shahabatanya bertanya kepadanya:Bagaimana engkau bisa mendaptakan rahmat seperti ini?. Beliau menjawab: "Dengan berbakti kepada ibu dan bersabar atas semua bencana". Lihat kitab: Kaifa Tabarru Walidaik. Ibrahim bin Shaleh Al-Mahmud Hal. 47

[764] QS. Al-Isro': 23.

[765] Apakah seseorang boleh menyebut kunyah bapakanya? Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata: (Akan tetapi Abu Hafsh Umar telah memutuskan). Dalam ungkapan ini Ibnu Umar radhiallahu anhu telah menyebut kunyah bapaknya. Dishahihkan isnadnya oleh Albani (Shahihul Adabil Mufrod, Imam Bukhari).

[766] HR. Abu Dawud no: 5142.

[767] HR. Bukhari no: 5735

[768] Al-Adabus Syar'iyah 3/152, Dari Aisya radhiallahu anha, dia berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam: "Wahai Rasulullah setiap istri-istrimu mempunyai kuniyah/gelar kecuali saya". Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya: Berkuniyahlah dengan anakmu: Abdullah, yaitu bin Zubair, kamu adalah Ummu Abdullah". Al-Silasilah As Shahihah no: 132. Adapun apa yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha bahwa dia pernah keguguran dan menamakannya dengan Abdullah, lalu menkuniyahkannya dengan nama bayi yang gugur tersebut adalah bathil baik sanad dan matan. Al-Silsilatud Dhaifah no: 14137.

[769] HR. An-Nasa'I dan dishahihkan oleh Albani dalam kitab Ahkamul Jana'iz.

[770] Al-Adabus Syar'iyah, Ibnu Muflih 1/244.

[771] HR. Bukhari.

[772] HR. Imam Ahmad bin Hambal dalam awal musnad Umar bin Al-Khattab-radhiallahu anhu.

[773] QS. Muhammad: 22-23.

[774] HR. Bukhari no: 5990. Dan makna hadits ini adalah aku akan memberikan hak kekerabatan bagi mereka yang tetap aku sambung sekalipun mereka kafir.

[775] Al-Adabus Syar'iyah, Ibnu Muflih 1/256.

[776]Al-Adabus Syar'iyah: 3/456.

[777] HR. Imam Ahmad no; 8212, Albani mengatakan hadits ini hasan.

[778].HR. Imam Ahmad no: 10944, Albani mengatkan hadits ini hasan.

[779] HR. Muslim no; 2566

[780] HR. Imam Ahmad no: 21525

[781] HR. Ahmad no: 21525.

[782] HR. Muslim no: 2626.

[783] Shahihul Adab no: 684.

[784] HR. Al-Bazzar dengan sanad yang hasan, sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Al-Fath 10/459, dan di akhir hadits tersebut disebutkan: وَحُسْنِ اْلُخلُقِ  (dan akhlaq yang baik)

[785] HR. Bukahri no: 57, Muslim no: 56.

[786] Al-Adabu Syar’iyah 3/544.

[787] HR. Muslim no: 2699.

[788] HR. Muslim no: 2865.

[789] HR. AbuDawud no: 1510, dan Albani mengatakan: Shahih.

[790] HR. Turmudzi no: 2021, dan Albani mengatakan haditsnya hasan.

[791] HR. Muslim no: 2588.

[792] Menjauhi karena hak Allah, seperti menjauhi pelaku kemungkaran agar dia bertaubat, sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam  menjauhi tiga orang yang ikut serta dalam perang tabuk sampai  Allah menurunkan taubat atas mereka, maka hukuman mengisolir tiga orang shahabat ini tidak dibatasi dengan waktu tertentu.

[793] QS. Al-Hujurat:11

[794] Seseorang berkata: "Aku telah mencela seseorang yang sebagian gigi-giginya telah menghilang maka gigi-gigipun akhirnya menghilang, dan aku melihat kepada wanita yang tidak halal bagiku akhirnya seseorang yang tidak aku kehendaki memandang istriku".

[795] HR. Turmudzi no: 2509, dia berkata bahwa hadits ini shahih, HR. Abu Dawud no: 4919, Albani mengatakan hadits ini shahih.

[796] Al-Adbus Syar'iyah 2/6.

[797] HR. Muslim no: 106

[798] HR. Muslim no: 2482.

[799] Al-Adabus Syar'iyah 3/538.

[800] Al-Silsilatus Shahihah no: 928. Shahih.

[801] Al-Silsilatus Shahihah no: 1339.

[802] Al-Adabus Syar'iyah 1/325

[803] HR. Bukhari (5065) dan Muslim (2400)

[804] HR. Bukhari (3331) dan Muslim (1468)

[805] HR. Abu Dawud (2578)

[806] Shahih Al-jami’(2490) Diantara kebaikan cara Nabi shallallahu alaihi wasallam memperlakukan Aisyah radhiallhu anha. Bahwa beliau memberi kun-yah Ummu Abdillah, sedangkan ia tidak melahirkan anak. (HR. Abu Dawud/4970)

[807] HR. Bukhari (6388) dan Muslim (1434)

[808] HR. Muslim (308)

[809] HR. Muslim (1437)

[810] HR. Bukhari dalam bab adab malam pengantin.

[811] Dihasankan oleh Albani dalam Shahih Al Adab Al Mufrod.

[812] Shahih Al Adab (122)

[813] Disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (127)

[814] Sanadnya disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (125)

[815] Albani menghasankannya dalam Shahih Al Adab Al Mufrad (128)

[816] Disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (130)

[817] Disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (132)

[818] Disahihkan oleh Albani dalam Al Adab Al Mufrad (139)

[819] Shahih Al Jami’(5192)

[820] Disahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Adab Al Mufrad (143)

[821] Disahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Adab Al Mufrad (146)

[822] Shahih Al Adab Al Mufrad (147), Al Silsilah Al Shahihah (1297)

[823] Disahihkan oleh Albani dalam Shahih Al Adab Al Mufrad (149)

[824] QS. An Nahl: 58-59

[825] QS. Asy Syuura: 49

[826] Hadis-hadis yang ada tentang adzan pada telinga bayi yang baru dilahirkan adalah: yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari jalan Áshim bin Ubaidillah, dari Ubaidillah bin Abi Rafi’dari ayahnya berkata: (Aku telah melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam mengumandangkan adzan shalat pada telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.Di dalamnya terdapat Áshim bin Ubaidillah yang dilemahkan oleh para ahli hadis.

Sedangkan hadis Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam (mengumandangkan adzan pada telinga Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya, maka beliau mengumandangkan adzan pada telinga kanannya dan mengumandangkan iqomah pada telinga kirinya) didalamnya terdapat (Al Hasan bin Amru), dia adalah seorang pendusta, lihat Al Silsilah Adh Dhaíifah (1/491)  

[827] HR. Bukhari no. (5150) dan Muslim no. (2145)

[828] HR. Imam Ahmad dan Ahlus Sunan

[829] HR. Muslim no. (2132) Sedangkan hadis yang meriwayatkan (Sesungguhnya nama yang paling baik adalah yang memuji dan menghamba), maka Imam Muhammad bin Ahmad Ash Sha’di mengatakan dalam kitab (An Nawafih Al Athirah) no. (708): Tidak ada dasarnya. Syeikh Ibnu al Utsaimin rahimahullaah berkata: Tidak ada dasarnya dan bukan hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam shallallahu alaihi wasallam (Syarh Riyadh Ash Sholihin 1/203) 

[830] Dari Fatwa Syaikh AbdulAziz bin Baz rahimahullaahu taála.

[831] Berdasarkan hadis Abu Rafi’ radhiallahu anhu ia berkata: Ketika Fatimah melahirkan Hasan ia berkata: Tidakkah aku menyembelih aqiqah untuk anakku? Ia berkata: (Tidak, akan tetapi cukurlah rambutnya, dan bersedekahlah dengan perak seberat timbangan rambutnya kepada orang-orang miskin atau kaum aufadh). Aufadh adalah orang-orang yang sangat membutuhkan di antara sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berada di masjid atau di shuffah. Abu Nadhir telah berkata: Dengan emas kepada kaum aufadh, yaitu Ahlu Ash shuffah atau kepada orang-orang miskin. Lalu ia melakukannya, ia berkata: Ketika aku melahirkan Hasan aku melakukan hal itu. Musnad Imam Ahmad (24662), dan larangannya terhadap aqiqah, sepertinya ia ingin menanggung sendiri aqiqah keduanya (As Sunan Al Kubra 9/304)  

[832] Disebutkan dalam terjemahan Al Khatib Al Baghdadi rahimahullahu taála (Bahwa seseorang ingin meminjam buku darinya, iapun berkata: waktumu tiga hari, maka ia berkata: mungkin tidak cukup, ia pun menjawab: aku telah menghitung jumlah lembarannya, jika kamu butuh menulisnya, maka tiga hari itu cukup, dan jika kamu butuh membacanya, maka tiga hari itu cukup, namun jika kamu ingin berlama-lama dengannya, maka aku lebih berhak untuk itu). Oleh karena itu berkatalah seseorang:

Janganlah engkau meminjamkan sebuah buku, maaf adalah sebuah jawaban

………………….

Disebutkan: Bahwa di India ada seorang yang membangun perpustakaan yang sangat besar, dikatakan kepadanya: Bagaimana kamu membangun perpustakaan ini? Ia menjawab: dari pinjaman buku-buku.

Sekali-kali tidak, wahai peminjam buku dariku

Sesungguhnya aib bagiku meminjamkan buku

Kekasihku di dunia ini adalah buku

Apakah engkau melihat kekasih dipinjamkan  

[833] Zaadul Maáad (2/438)

[834] Al Aadaab Al Syaríyyah(2/318)

[835] Ibnu Daqiq Al Ied –Rahimahullah– berkata: Diantara manfaat doa tersebut adalah menimbulkan rasa cinta dan kasih pada kaum muslimin dan mendidik orang yang bersin agar bersikap tawadu’dan tidak takabbur, karena kata-kata “Rahmah” mengisyaratkan adanya dosa yang luput dari perhatian banyak orang dewasa. (Fathul Baari, Ibnu Hajar: 1/206). Makna mendoakan orang yang bersin merujuk pada kitab Al Aadaab Asy Syaríyyah: (2/321)

[836] HR. Bukhari (2445)

[837] HR. Bukhari (6226)

[838] Zaadul Maáad (1/442)

[839] HR. Muslim (2992)

[840] Zaadul Maáad (1/442)

[841] HR. Tirmidzi (2745) dan Albani mengatakan: (Hasan Sahih)

[842] HR. Muslim (2993)

[843] Pendapat ini dipilih oleh syeikh kami Syeikh Bin Baz –Rahimahullah taáala– 

[844] HR. Abu Dawud dan Albani mengatakan: (Sahih)

[845] Hal ini dikatakan oleh Syeikh Bin Baz –Rahimahullah taáala–  dalam Fataawa Islaamiyyah (1/411)

[846] HR. Bukhari (3289)

[847] HR. Muslim (2995)

[848] HR. Imam Ahmad, Shahih Aljami’(426)

[849] Abu Isa berkata hadis ini shahih, Sunan Tirmidzi (22747)

[850] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Albani dalam Al Silsilah Al Shahihah (1/343)

[851] Al Aadaab Asy Syaríyyah (1/2,404/329)

[852] Shahih Aljami’ (2661)

[853] Rangkuman kitab Al Adab Al Kabir – Al Adab Ash Shaghir, Ibnul Muqfi’

[854] Diambil dari (Al Adab Al Kabir – Al Adab Al Shaghir), Ibnul Muqni’

[855] Al Adaab Asy Syaríyyah (2/102)

[856] Al Adaab Asy Syaríyyah (2/163)

[857] Al Adaab Asy Syaríyyah (2/163)

[858] Al Adaab Asy Syaríyyah (3/451)

[859] Dinukil dari kitab (Raudhatul uqala wa nuzhatul fudhala) hal. (332), Imam Al Hafizh Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al Bisti, meninggal tahun 354 H.

[860] Mengulet dibarengi dengan menguap merupakan tanda-tanda kemalasan

[861] Imam Syaukani berkata di dalam kitab: Tuhfatuz Zakirin hal. 42-43, Imam Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang hasan, dari Abi Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya setiap sesuatu itu mempunyai pemimpin, dan pemimpin sebuah majlis adalah majlis yang menghadap kiblat”. Hadits yang semakna juga tertulis di dalam kitab Al-Aushat dari riwayat Ibnu Abbas radhiallahu anhu.

[862] Hadits Shahih dishahihkan oleh Albani dalam kitab: Shahihul Jami’ 1/255.

[863] Larangan untuk menutupi tembok dengan kain terdapat dalam shahih muslim, sebagaimana disebutkan di dalam Syarhun Nawawi 14/86 sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk menutupi batu dan tanah”. Imam Nawawi berkata: Para ulama menyimpulkan dari hadits tersebut bahwa dilarang menutupi tembok dan menghiasi rumah dengan pakian, larangan ini bersifat makruh yang keras bukan larangan yang berarti haram, dan pendapat inilah yang benar. Dan didhaifkan oleh Albani di dalam kitab “Al-Silsilahus Shahihah” hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam: وَمَنْ نَظَرَ فِي كِتَابِ أَخِيْهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَإِنَّمَا َينْظُـرُ فِي النَّارِ

[864] Diambil dari kitab: “Aqidatus Salaf Wa Ashabul Hadits” hal.53.

[865] Thariqul Hijrataini Wa Babus Sa'adatini, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah. Hal. 21.

[866] Fathul Bari, Ibnu Hajar 13/546.

 

Chosen Islamic Manners - Indonesian

Download

Tentang buku itu

Penulis :

ماجد بن سعود آل عوشن

Penerbit :

www.islamland.com

Kategori :

Morals & Ethics