Makna 'Ilhad' (menyimpang) Terhadap Nama-Nama Allah Dan Macam-macamnya
Answer
Jawab:
'الإلحاد' dari segi bahasa artinya menyimpang. Di antaranya terdapat dalam firman Allah Ta'ala,
لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ (سورة النحل: 103)
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang." (QS. An-Nahl: 103)
Di antara maknanya adalah; Al-Lahd (liang lahat) di kuburan. Dinamakan liang lahat karena lobangnya condong ke samping.
Sesuatu dikatakan 'الإلحاد' (menyimpang) kalau telah diketahui yang lurus. Karena sebagaimana dikatakan, "Dengan lawannya sesuatu akan dikenal". Istiqamah (pandangan yang lurus) dalam bab nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya adalah menetapkan nama dan sifat Allah berdasarkan hakikatnya yang sesuai bagi Allah Azza wa Jalla, tanpa merubah, menggugurkan, merinci bagaimananya dan menyerupakan dengan makhluk, berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan oleh Ahlussunnah wal Jamaah dalam bab ini. Jika telah kita ketahui jalan yang istiqamah dalam bab ini, maka yang bertentangan dengan jalan yang istiqamah itu adalah 'الإلحاد' (menyimpang). Sebagian ulama berpendapat bahwa penyimpangan terhadap nama-nama Allah Ta'ala terdiri dari beberapa macam yang kesimpulannya dapat kita katakan bahwa penyimpangan tersebut karena tidak meyakini apa yang harus diyakini dalam bab ini. Macam-macam tersebut adalah:
Pertama: Mengingkari salah satu nama Allah atau sifat yang terkandung di dalamnya. Misalnya ada yang mengingkari bahwa Ar-Rahman termasuk nama Allah Ta'ala, sebagaimana diyakini oleh orang-orang jahiliyah. Atau dia menetapkan nama, akan tetapi dia mengingkari sifat yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ahli bid'ah bahwa Allah Ta'ala 'رحيم بلا رحمة' (Namanya Ar-Rahim, tapi tidak mempunyai sifat rahmah (kasih sayang). Atau 'سميع بلا سمع' (nama-Nya As-Sami', tapi tidak mempunyai sifat mendengar.
Kedua: Memberi nama kepada Allah dengan nama yang tidak Dia berikan untuk diri-Nya.
Perkara ini dikatakan ilhad (menyimpang) karena nama-nama Allah bersifat tauqifi (paten). Tidak boleh bagi seorang pun memberi nama bagi Allah Ta'ala dengan nama yang Dia sendiri tidak memberikan nama untuk-Nya. Karena itu berarti berbicara tentang Allah apa yang tidak dia ketahui dan termasuk perbuatan aniaya terhadap Allah Ta'ala. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh kalangan filsafat, mereka menamakan Allah sebagai 'Al-Illah Al-Fa'ilah' (Faktor Pelaku) atau sebagaimana orang-orang Nashrani memberi nama bagi Allah Ta'ala dengan nama 'Bapak', dan semacamnya.
Ketiga: Meyakini bahwa nama-nama tersebut menunjukkan sifat-sifat makhluk, maksudnya adalah serupa dengan makhluk.
Perkara ini dikatakan ilhad (menyimpang) karena siapa yang meyakini bahwa nama-nama Allah Ta'ala menunjukkan keserupaan Allah terhadap makhluk-Nya, maka berarti dia telah mengeluarkannya dari kandungan yang sebenarnya dan keluar dari garis istiqamah (lurus) dan menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai jalan pada kekufuran, karena menyerupakan Allah dengan makhluknya adalah kufur, karena itu berarti mendustakan firman Allah Ta'ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ (سورة الشورى: 11)
«Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat." (QS. Asy-Syura: 11)
Juga terhadap firman Allah Ta'ala,
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً (سورة مريم: 65)
"Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?" (QS. Maryam: 65)
Nu'aim bin Hamad Al-Khuzai, gurunya Imam Bukhari rahimahumallahu Ta'ala berkata, "Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluknya, maka dia telah kafir dan siapa yang mengingkari sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya maka dia telah kafir. Sifat yang Allah tetapkan untuk diri-Nya bukan menyerupakan-Nya (dengan makhluk)."
Keempat: Mencari akar kata dari nama-nama Allah Ta'ala sebagai nama berhala, seperti Al-Laata 'الللات' dari kata 'الإله' atau 'العزى' dari kata 'العزيز', atau 'مناة' dari kata 'المنان'.
Syekh Muhamad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah.